Harus bagaimana kuawali ini, apa kabarmu, apakah layak untuk menyapamu? Bukankah kau selalu maha baik, kita samasama tau itu masih berlaku. Lalu mesti bicara apa..pernahkah begini sulit untuk bercakap ? seingatku tak pernah. Meski aku suka mengigau dan meracau tentang kau, segalanya meluncur sederas air bah di musim hujan, saat tidur atau jaga, sama saja kau selalu begitu mudah untuk dicurahi keluhankeluhan yang tersisa dari puisipusis basi. Hmm, bolehkan kutanyakan sesuatu yang mungkin menyinggung perasaanmu ? hahaha..tolol bukan aku ini. Ini kan keluhan, bukan diskusi atau dengar pendapat, jadi tak usahlah banyak tanya. Katakan saja. Katakan saja. Aduh, gimana ya..sungguh aku ingin menghujatmu, nah apa kau masih bisa berwajah arif sekarang ? aku terpaksa bertanya lagi.. yah itulah yang kuingin menghujatmu dengan segenap kalimat dan kata tajam yang akan mencabik dan mengoyak ayatayatmu. Karena kaulah semua ini mesti jadi rumit, kau penulis nasib, pengukir takdir, atau kau mau sembunyi tangan lagi sesudah melemparkan sekarung kerikil ditaman ini, hingga kami yang berjalan tanpa alas kaki dilembutnya rumput, mulai menyusut, tertusuk ..Aku paham, sepertinya kaupun tak suka lihat orang senang. Klise dan cerdas. Sukasuka kaulah harus jadi serupa apa hujatku saat ini, jerit, ratap, maki, tangis, pilih saja, semuanya aku sangat mahir. Atau kau lebih suka aku komatkamit melafalkan zikir dengan aneka jenis tasbih secara berganti. Walau tak semahir adegan tragis tadi, inipun aku bisa. Kau, jangan purapura lupa pernah tuliskan kisah romanku dengan segala jenis lelaki jenius dan ahli ibadah. Mereka masingmasing, lelakilelaki itu gemar mengajari aku segala dalil dan rumus, juga berdoa sambil bermesra, mereka bilang, adalah kau yang akan beri jalan bahagia. Aku selalu harus purapura tersedak , menahan tawa, andai mereka tahu betapa tak pedulinya kau pada deritaku, kekasihmu.Tak macam mereka yang selalu paham cara memuja cinta. Aduh jangan cemburu, kau sendiri yang mau ku perankan itu. Kau bilang ingin tau pasti apa lelaki atau perempuan yang lebih pantas dipercaya. Dan saat satu babak sandiwara usai, kau memanggilku, dengan tegas menyuruhku lupakan semua, mereka semua bukan lelaki sejati yang rusuknya terpakai untuk menciptaku. Jadi aku masih harus mengulang atau menunggu, semua ruang, semua sudut, harus dilewati sekali lagi. Kupikir kau kelewatan padaku, memangnya tak ada perempuan lain dijagad ini yang bisa kau ajak bermain? Kenapa hanya aku saja yang mesti temani kau menikmati resah, membaca gelisah, merasa kehilangan, menangis dan putus asa, ya aku tau semua cuma canda ringan disela makan siang. Dan kita juga sama paham bahwa tak butuh yang macam itu saat makan malam. Mungkin karena malam selalu menyimpan hasrat dan sesatnya sendiri, bisa jadi dalam sebotol wine hadiah dari orang yang tak bisa membela dirinya sendiri lagi, buntu akalnya begitu cemas akan ajal, dan dikiranya ajal bisa tertunda dengan menyuapkan sebotol, atau berapa botolpun wine berkelas ke meja makan kita. Tak masalah dengan mereka, malam akan membereskan semua cemas. Sementara kau dan aku akan duduk diruang makan sampai pagi, bersulang anggur, bertaut senyum dan pandang. Mungkin juga berujung sebuah kecupan penuh. Menjelang pagi seorang malaikat nekad mengintip, “maaf tuanku, matahari menunggu perintah untuk segera terbit..”, kau melambaikan tangan tak acuh, menyuruh manusia bersayap itu berlalu, lalu aku bisa lanjut mengomel, bahkan matahari harus patuh padamu, tapi aku…kau suruh terbit dan terbenam sesuka sukaku, apa kau pikir lebih perkasa dan bijak diriku ini dibanding matahari…hmm, kenapa pula aku bisa menebak jawabmu, “of course my dear!”…
Ahh kau, siasia semua keluhan panjangku ini, kan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar