Jumat, 17 Februari 2012

*

Kau tahu, aku selalu ingin memperindah diriku dengan segala cara. Banyak gerak, banyak kata. Diam diam aku malu kepada seekor ulat yang menghabiskan seluruh waktunya untuk makan. Kemudian membungkus tubuhnya dan berdiam sepenuhnya untuk menumbuhkan sayap yang kelak memperindah tubuhnya, untuk kupandang. Hanya diam diam*

&

Bercengkrama denganmu membuatku melupakan segenap caci maki yang kulontarkan untuk diriku sendiri. Kelihatannya mula mula menyenangkan, seperti sekumpulan bibir bibir tersenyum, tangan tangan bertepuk, jabat erat, kecupan hangat. Membuatku menjadi ranum untuk diriku sendiri. Untuk yang selalu kuragukan dan kupertanyakan, aku tak ingin berdamai begitu saja. Kau satu satunya yang mampu membuatku merasa sungguh sungguh, aku lebih suka mendengar makianmu. Memaki diriku sendiri tak terkira nikmatnya, mencibir, meludah, meninju wajah. Seperti sakit jiwa. Seperti sakit berarti sehat. Maka aku berpaling. Kembali menatap cermin sambil mengepalkan tangan. Seandainya kau sudah berkenalan juga dengan wajah di dalam cerminmu sendiri, aku merasa kau pasti juga akan menjauhiku. Merasa tak butuh siapapun atau apapun hanya untuk berperang dan memekik kencang. Menampar, menyanyat, menelanjangi, itu gunanya teman. Setia, selalu ada, memeluk sambil berbisik mesra, membesarkan kepala, melegakan dada, memenangkan perkara.
Telah kutemukan yang terbaik untukku, tiada banding, tiada tanding pada cermin*

*

Ketika aku belum memahami dunia, kudengar suara suara berseru takjub bercampur girang sesaat setelah kuucapkan sebagian penggalan kata. Tak perlu sekata utuh, suara suara telah kubuat gembira. Mengingatnya merawat berkah, membuatku terus bernafas dalam udara penuh gelembung berwarna cerah. Kalau bukan berkhayal. Aku belajar atau kalau tidak memandang saja. Suara suara ingin membuatku gembira dengan berjuta kata. Dunia ingin dipahami, rindu dimengerti, serupa denting permata yang dijatuhkan suara suara di mana mana. Tak berharga atau kubuka mata. Aku menghina dunia atau tumbuh dewasa. Sesungguhnya aku memaklumi semuanya akan berakhir. Keriangan dan kepiluan yang suara suara gemakan adalah dua jalan buntu berpangkal satu, tepat di celah bibirku*

*

Ini bukan pilihan. Aku menyebutnya kehendak. Lebih bersahaja dari tanah. Lebih megah dari angkasa. Lebih berkesan dari cakrawala. Lebih sesaat dari kilat. Tak berjejak. Tak terlupakan. Mencintaimu dengan segenap hatiku, dengan caraku*

Kamis, 16 Februari 2012

mimpi indah

Ia serupa kanak kanak pemalu dan penyendiri yang menghabiskan sebagian waktunya dengan berjongkok, melukisi tanah dengan telunjuknya. Ia tak menghendaki apapun, kecuali kerelaanku untuk memandang jejak jemarinya. Tanpa bahasa membaca makna. Sementara aku sibuk menyusun kata. Ia makin rapat meringkuk di sudut salah satu tikungan yang membuatku terpesona. Hingga semakin nyaring gema suaraku menjauh darinya.
Tiba tiba aku terjaga, merasakan hangat jejak kecupannya di antara kedua mata*

idealisme

Aku harus memusuhi teman teman terbaikku. Bagaimanapun pasti lebih ringan dan menyenangkan bagiku. Dibanding jika aku harus bersahabat dengan teman teman terbaikku, tetapi terus menerus bertengkar dengan diriku sendiri*

Selasa, 07 Februari 2012

cap go meh

Ini tentang ketersesatan gemilang.

Kucingku menangkap seekor katak, masuk rumah dengan langkah ringan dan ekor tegak, seiring suara ringkikan katak pada moncongnya. Taringnya mencengkeram erat tubuh katak yang menggelembung.

Aku mau berkata hidup itu sempurna.
Kucingku tadi sudah makan malam, dengan nasi dan lauk ikan laut kegemarannya. Seharusnya kucingku telah kenyang, berbaring nyaman di atas monitorku yang hangat, mendengkur keras hampir terlelap. Bukannya keluyuran mengganggu kesenangan mahluk tak berdaya macam katak muda.
Tak pernah kuajari kucingku berburu katak muda yang sedang menikmati purnama. Tak pernah terpikir olehku untuk memperingatkan kawanan katak di ujung jalan supaya waspada kalau kalau kucingku menerkam.

Bagaimana dengan serigala penyerang domba. Bahkan anak anak kecil sudah menganggapnya wajar. Serupa elang menerkam anak ayam atau kelinci kecil, keduanya lembut, tanpa dosa.

Seperti aku ingin menerkammu, bergelayut di punggungmu, memeluk erat lehermu, menyentuh bahumu dengan bibirku, menggigit tepian daun telingamu. Pasti, tak ada sedikitpun niatku sungguh sungguh memangsamu. Aku cuma ingin sedikit atau banyak bergembira, main main macam anak kecil, bersuka ria, tertawa keras mendengar kau memekik sambil terlonjak. Jangan kesal. Aku tak sekejam anak anak kucing ketika mempermainkan anak burung yang terjatuh. Jauh sekali bedanya.

Ini makin tersesat makin berkilat.

Foto foto tua menatapku bangga. Aku tidak ingat pernah berjasa. Aku bahkan lupa pernah mnyelipkan hari hari tenang di saat aku terlalu lelah berbuat onar. Suara suara terus saja bicara, telingaku keras kepala, rapat membungkam kata.

Itu bukan alasan untuk apapun. Ada terlalu banyak mahluk mirip aku.
Purnama sempurna atau tidak sempurna, kucingku tak merasa bersalah.
Katak muda, anak burung dan tikus kecil masuk surga di lidah kucingku*