Manusia kejamlah aku, dengan baju zirah, berdiri mengacungkan pedang ke wajahwajah yang menunduk. Aku manusia kejam yang berkata pada airmata agar setia mengunjungi semua yang menyala. Menjatuhkan udara lembab di dada kering, mengirimkan pesan sedih lewat angin. Aku manusia kejam demi sebait sajak, berpurapura luka itu adalah aku yang mencoba membacamu.
Kau yang tak pernah mau menulis sepatah kata untukku, selain airmata. Airmata dari semua anak ibuku, airmata dari ibu semua anakku. Bapa tak hendak pulang karena aku manusia kejam tanpa belas kasihan, pun demi katakata setia. Dia setia, maka katakata tak pernah tanggal dari rambutnya. Aku, tentu saja manusia kejam itu lagi, memantik api dari akarakar rambutnya. Lingkaran hangat melingkupi kepalanya. Membuat manusia kejam dalam diriku, memiliki semua ingatan yang tak boleh dicatat.
Demi kitab suci, demi anggur dan roti, aku menutup pintuku dari setiap yang menyembah untuk melupa sesalnya. Kejam itu sekekal malam, sesunyi biara, menebarkan wangi yang bukan melati, bukan stroberi atau anggur, bukan doadoa siapa saja. Hanya beberapa kolom berita duka, tersesat pada halaman sekolah, atau kematian yang mekar di ranting kamboja. Aku manusia kejam yang menjadikan segalanya tercatat, serasa seperti merampas berkat di ujung petaka, dari orangorang tak berdaya yang tak pernah menuntut royalti dari setiap kalimat yang pernah kujadikan sajak. Katakata membisu di depan wajahku. Aku manusia kejam, sangat ingin sembunyi di belakang meja persembahan*
Kau yang tak pernah mau menulis sepatah kata untukku, selain airmata. Airmata dari semua anak ibuku, airmata dari ibu semua anakku. Bapa tak hendak pulang karena aku manusia kejam tanpa belas kasihan, pun demi katakata setia. Dia setia, maka katakata tak pernah tanggal dari rambutnya. Aku, tentu saja manusia kejam itu lagi, memantik api dari akarakar rambutnya. Lingkaran hangat melingkupi kepalanya. Membuat manusia kejam dalam diriku, memiliki semua ingatan yang tak boleh dicatat.
Demi kitab suci, demi anggur dan roti, aku menutup pintuku dari setiap yang menyembah untuk melupa sesalnya. Kejam itu sekekal malam, sesunyi biara, menebarkan wangi yang bukan melati, bukan stroberi atau anggur, bukan doadoa siapa saja. Hanya beberapa kolom berita duka, tersesat pada halaman sekolah, atau kematian yang mekar di ranting kamboja. Aku manusia kejam yang menjadikan segalanya tercatat, serasa seperti merampas berkat di ujung petaka, dari orangorang tak berdaya yang tak pernah menuntut royalti dari setiap kalimat yang pernah kujadikan sajak. Katakata membisu di depan wajahku. Aku manusia kejam, sangat ingin sembunyi di belakang meja persembahan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar