Kamis, 30 Desember 2010

mati lampu

Kebetulan aku bertemu denganmu lagi, di manamana. Dengan berbagai warna. Aku bertemu denganmu, kau berbaju biru, aku merah muda, seketika mata langit menjadi ungu. Aku bertanya, kenapa angkasa mengaduk warnawarna kita. Kau bilang itu kebetulan. Kebetulan, tak hendak menjadi kebenaran. Anggur itu berkecipak dalam gelasmu, kebenaran menjadi sebuah masa, datang kembali mengantarkanmu ke dalam lagu.

Lain waktu kebetulan mempertemukan kau denganku, tidak di manamana. Langit menjadi jingga, tak lama aku menatap kaos kakimu, kuning, aku memakai yang berwarna merah darah. Sepertinya bumi hendak mengenang langkahlangkah kita. Sepertinya benar demikian, kebetulan betul benar adanya. Kau mengulurkan tangan, aku berlari, mencengkeram lengan bajumu. Seperti dulu saat menuruni bukit, meningglkan langit jingga di pucuk pepohonan. Hilang dalam kicauan burung kutilang. Aku menenggak yang tersisa di dasar gelas.

Kebenaran menunggu kebetulan mempertemukan aku dan kau, lagi, di sebuah tempat, bukan dunia. Kau mengajariku menebas semak dengan pedang. Ular berlari menghindari mati. Kebetulan serupa tuhan atau hanya seekor ayam , kau tak mendengar. Warna kabut di matamu membutakanku. Kau bilang, tak apaapa, kebetulan tuhan menghembuskan nafas, kebenaran akan bertanya, lebih dulu mana telur atau ayam. Aku lebih sayang pada bayang tanganmu yang menerbangkan elang di dinding kamar.

Lilin hampir habis, kebetulan kau datang membawa balon udara. Aku benarbenar bisa terbang, setelah kaunyalakan api*


gunung kartu

Aku membangun gununggunung dari setumpuk kartu, segiempat terlipat, menumpuk rapuh. Meski dalam rumahku tak ada badai, seekor babi bisa saja tibatiba menerjang. Babi merah muda, kenyal dan lengket, seperti terlahir dari gumpalan ampas permen karet, diludahkan ketika sudah pahit di lidah. Tanyakan pada penjaga kebun binatang, pernahkah aku diajari bersabar. Bersabar untuk selembar selimut perca, yang dijahit dari sisasisa sobekan lantai. Jika aku seekor gajah, tentu tak akan lupa dari mana harus mulai membaca, berapa kali paku menusuk kaki.

Babi merah muda tak suka main kartu, dia menatap cermin, mengikatkan pita merah muda pada lehernya. Menggoda seekor anjing kecil yang sedang pulas. Kalau saja aku punya uang untuk membeli baterei, kukira anjing kecil bisa menyalak, meloncat dan bersalto. Sehebat kucing di balik layar kaca, selalu membual tentang kebahagiaan. Aku melipat kartu lebih banyak lagi, untuk jagajaga, kalaukalau ada kaki menendang. Hore, hujan binatang, hujan binatang, anak perempuan itu berteriak di hadapan layar kaca.

Lipatanlipatan kartu berbaris, mencari jalan masuk ke televisi. Jangan pergi. Kau pengecut dengan setumpuk ketaskertasmu. Babi merah muda menangis tersedusedu, pitanya terbang, jadi kupukupu. Aku masih punya setumpuk kartu, bisa kulipatkan lagi banyak gunung untuk seisi rumahku. Aku hanya perlu memastikan televisi terus menyala*

sabtu pagi

Kita boleh berjumpa kembali, sabtu pagi. Tak ada gemuruh, seekor rusa keluar dari kolong meja, menggerakkan kepala dan tanduknya, membuat seisi kelas tertawa dan bertepuk tangan. Lingkaran daun cemara, kenari panggang, loncang tembaga, semua terkenang. Sabtu pagi tak mengerti, kenapa darah berceceran di daun pintu, kental, tanpa tubuh. Aku telah melubangi atap rumah, menggantung kaos kaki sebelah, membawa bangkai salju ke dalam rumahku. Tapi pintu, sudah terlanjur bunuh diri*

opera bahasa asing

Bukubuku ingin  membakar dirinya sendiri ketiika aku tak lagi bisa mengunjungi perpustakaan. Itu hanya sepanggal paragrap yang terjatuh dari hujan dan cuaca yang hampir dilupakan. Seperti malam ini, sejak sore hujan berjatuhan ke seluruh kota, menimpa atapatap rumah, menciptakan nadanada yang sahut menyahut tanpa henti. Aku sedang berada dalam sebuah gedung, duduk di sudut terbaik, di sampingmu, diterangi cahaya paling pilu, menonton manusiamanusia bernyanyi, bersahutan seperti hujan dan katak. Kau serasa begitu dekat, di dalam pekat, atau tepat di tengahtengah antara aku dan hujan,menerjemahkan setiap bunyi dan syair yang berjatuhan dari langit.

Adakah cinta, adakah cinta melambailambai pada lengan perempuan bergaun biru, sesungguhnya perempuan itu adalah biru yang sebenarbenarnya, aku melihat langit di balik atap gedung memutih, menjadi lantai pualam ketika perempuan itu mulai bernyanyi. Menelanjangi langit.

Airmata siapa yang tumpah, menjadi segenap hujan, tajam menusuknusuk jalanan. Aku menginjak setiap genangan, meninggalkan sekeping demi sekeping wajahmu. Tapi wajahmu tak habishabis, membuat jalanan berlubang, menjadi ceruk, menjadi laut, menjadi palung. Aku ingin bertanya, siapa yang mengajariku tenggelam, siapa yang mengajariku tenggelam, lebih dalam, makin dalam. Apakah kau, hujan atau tikaman ?

Lalu ada sejenak jeda, tirai diturunkan, menyembunyikan petir yang meragukan dirinya sendiri. kau mendekatkan wajahmu, mencari sisasisa kesedihan di rambutku. Tak akan kautemukan apaapa, selain harum musim semi, beberapa ulat bulu sedang melahap daundaun mawar. Giginya gemeretak. Jangan gelisah, tirainya pasti kembali terbuka, perempuan bergaun biru akan kembali mewarnai langit dan bernyanyi lagi, sambil memutar tubuhnya ke segala arah. Menyampaikan pesan untuk mata angin. Jangan lupakan langit pucat yang pernah membisikkan rindu di sekujur tubuhmu. Aku tak ingin tahu sedalam apa aku mau tenggelam, biar saja ikan lentera yang menghitung dalamnya palung, aku terlalu ngilu, terlalu banyak mengingatmu.

Tirai akhirnya terbuka kembali, merah marun itu menepi untuk perempuan bergaun biru yang akan kembali menyanyi. Hujan semakin megah kudengar. Perempuan langit kembali bernyanyi, dengan nada tinggi, lebih tinggi, melampaui pilarpilar, melewati tanggatangga berputar, tertahan di atap gedung. Ternyata masih bisa lebih tinggi lagi, nadanada menjelma sapi jantan bersayap, tanduknya panjang, kokoh menerjang atap, Hujan menerobos, seperti pasukan perang, menghujani perempuan bergaun biru dengan ribuan panah dan tombak. Aku berpegang erat pada lenganmu, kau terbelalak menatap rambutku, saat itu aku belum tahu kalau rambutku telah ditumbuhi hutan mawar, kupukupu beterbangan dengan sayapsayap basah, warnanya jadi lebih bersinar.

Musim semi adalah saat terindah untuk mati, tangantangan petir menangkap tubuh perempuan langit. Musik menjeritjerit, meneriakkan namamu, nama laut dan palung, nama para pemain biola dan piano, nama kupukupu. Namamu menjadi hantu, menjadi bayangbayang tubuhku. Aku menyerahkan hutan mawar kepada hujan. Aku melihat ribuah jarum turun dari hutan mawar. Menyuntikkan racun paling bisa ke dalam jantungku. Kau menarikku, memasuki bayangmu, kaurengkuh erat, aku sekarat dalam bisikkanmu, ini akan jadi syair paling indah. Syair tentang ciuman yang mengawali kutukan, kau mengecupku, menghirup massa tubuhku, pelanpelan hingga tak bersisa. Udara menjadi hampa. Perempuan itu masih bernyanyi, tak peduli telah memutih, menjadi serpihan syair yang bisa terbang. Kepada langit syair bertanya, akan punah dengan apa kutukan yang lahir dari ciuman di ujung nyawa. Langit tersipu, mengenakan kembali warna biru. Perempuan masih bernyanyi, dengan suara lebih jernih

Musim semi segera berbunga, aku tanah yang bahagia. Abu bukubuku bertaburan di bibirku, tanpa henti membaca tikasmu. Kutukan yang sempurna, hujan akan datang lagi, tanpa rasa perih, kau selalu akan memetik mawar dari rambutku. Langit biru membuai lelaki petirnya, tertidur pulas. Gemuruh tepuk tangan tak akan mengusik siapasiapa. Di luar hujan belum juga reda*

sandal

Aku akan memotong hari ini, memendekkan jarak antara rumah dan pusat kota. Menyerah pada segenap gelisah di sepanjang jalan, duduk  bersama keranjangkeranjang buah srikaya, nanas dan pepaya, mendengar kisah mereka tentang kebun dan burungburung. Tuhan lalu lalang dalam rahangrahang yang berbeda, entah mana yang sebenarnya tuhan, yang penyayang. Aku mencari tumit paling bersinar, kepadanya ingin kuserahkan semua kesiasiaan panjang yang menindih dadaku. Cinta berserakan di setiap langkah, tak terbaca*


anak kelelawar

Pagi datang macam keengganan paling panjang. Ruang yang sama, mata yang sama, jam dinding yang sama, samasama bertanya, dari mana saja aku. Aku melipat suratmu dan mencibir tidak kepada siapasiapa, kalau saja pernah ada malam yang berani berkata pada pagi agar jangan kembali, aku akan membakar tempat tidurku, biar tak ada tempatku merebahkan diri lagi di malam hari. Biar aku berkelana sepanjang malam, sampai jauh ke dalam hutan, dimana tak ada ruang dan jam dinding lagi, burung hantu boleh pinjamkan matanya padaku, untuk melihat denyut nadi pada leherleher tikus dan ular kecil. Menjelang pagi aku menemukan sebatang dahan di mana jari kakiku mencengkeram rapat, aku melihat matahari bergerak semakin tinggi, mendekati kaki*

di toko mainan

Aku pernah muda, pernah anakanak, pernah menjadi dewasa, pernah tua, pernah menjadi bayi sebelum mati. Sebelum mati itu kutemui dalam dekapanmu yang seluas malam. Dekapanmu yang berlubang, seakan kau sengaja memberikan ruang bagi bintangbintang untuk menghibur waktu anakanakku. Waktu anakanak dalam diriku bernyanyi. Bernyanyi dalam sebuah ruang kelas yang sunyi,melenggoklenggokkan badanku, menggerakgerakkan tanganku, supaya ibu mau keluar dari televisi, membawakan setumpuk buku cerita bergambar, seikat balon dan boneka barbie yang bajunya bisa digantiganti.

Boneka barbie akan memakai baju ibu guru, berdiri di depan kelas membacakan buku. Cerita tentang seorang anak kecil yang tak pernah jadi dewasa dan tua. Balon akan dibagikan waktu pulang sekolah. Boneka barbie memakai baju sopir bis kota, mengantarku pulang ke dalam buku cerita.

Buku cerita yang tak akan habis dibaca, oleh ibuku, aku, anakanak dan cucucucuku. Tak terhitung, mereka semua berlarilari di taman kota, memberi makan landak dan rusa, beserta anakanak dan cucucucu mereka. Boneka barbie masih berjejer di tokotoko mainan, keluar masuk televisi untuk berganti baju. Boneka barbie yang tahu semua ceritaku, bahwa aku pernah muda, anakanak, menjadi dewasa, tua, menjadi bayi sebelum mati.

Boneka barbie selalu menatapku dari balik mika, matanya lentik seperti berkata, jangan hiraukan waktu ketika bermain denganku. Aku mengusap kotak mika dan berjanji kepada boneka barbie, besok akan kembali lagi*

ilusi

Aku dan temanku, siang ini berjumpa dengan penjual tirai. Lelaki muda, biasa saja, memanggul tirai pada bahunya. Yang istimewa tirainya bukan sembarang tirai, bukan tirai kain, bukan tirai kertas, bukan pula manikmanik plastik. Tapi, tirai kerang. Tirai kerang, satu ikat terdiri sepuluh untai, setiap untai satu setengah meter panjangnya. Hanya pada ujungujungnya senar terlihat, bening dan kuat, menguntai ratusan kerang. Besar dan kecil, seribu pola, mungkin lebih. Temanku membeli empat ikat, masingmasing sepuluh ribu rupiah, berisi empat kali sepuluh untai, sama dengan empat puluh untaian kerang. Dua puluh untai berwarna putih, dua puluh untai berwarna hitam. Semuanya indah, menyimpan bau laut jika disentuh hidung.

Empat puluh untai kerang dalam sebuah kantong plastik, menyimpan bau laut, jika kujengukkan kepala ke dalam kantong plastik, mungkin jika kudekatkan telinga bisa kudengar debur ombak. Tapi tidak kudengar dengan telingaku, hanya menyusup masuk ke dalam kepalaku. Agar lebih indah terdengar, akan kusebutkan: memenuhi benakku, debur ombak dan buih, ayunan sampan, bahkan teriakan camar, seakan keluar dari celah kulit kerang, berbondongbondong menyusup ke dalam benak, gemuruh, bagai sekelompok kijang sedang berlari menyeberangi sungai. Barisan buaya di tepinya, mengincar sebuah langkah yang salah. Ajal sedang memilahmilah, macam tirai akan menyekat ruang. Hanya saja temanku bisa memilih di mana hendak memilah rumahnya. Benakku berputar.

Lelaki muda itu tibatiba datang kembali, menawarkan dagangannya yang tersisa, temanku tak merasa kurang, aku tak ada uang. Maka tirai kerang tetap bersandar di bahu lelaki muda. Tak lama datang lagi seorang perempuan, temanku yang lain, kini kami bertiga dalam satu ruang pada sebuah siang, tertarik pada tirai kerang. Tiga perempuan mengamati empat puluh untai kulit kerang, menyentuh, mencium, menimangnimang, mematutmatut, mencoba menghitung, mengamati corak dan warna kulit kerang. Sepertinya kami sedang senang, membayangkan perjalanan kulit kerang dari dasar laut sampai teruntai bersama pada seutas senar. Dua teman perempuan dan aku, merasa antusias pada entah berapa ribu kerang yang terjalin pada senar.

“Betapa susahnya, pada mulanya tentu harus dicuci, biar kulit kerang bersih dari lumpur dan pasir.”

“Tapi, lebih dulu harus menangkap kerangnya, di tengah laut mungkin.”

“Setelah bersih, mestinya masih harus digosok dengan sesuatu agar benarbenar bersih dan cemerlamg warnanya.”

“Baru diuntai pada seutas senar, aku tak mau dibayar seharga sepuluh ribu untuk semua pekerjaan rumit itu, demi seikat tirai kerang berisi sepuluh utas untaian kerang.”

“Kau harus memasangnya berselang seling hitam dan putih, biar lebih matching. Tapi akan kaupasang di mana ?”

“Jika di pintu kamar, pasti akan terlihat eksotis.”

“Atau jadi serupa pintu kamar wanitawanita peramal.”

“Hahaha…”

Tiga perempuan jadi begitu asyik berbicara tentang untaian kulit kerang pada senar. Benarbenar terbenam dalam kisah perjalanan kulit kerang. Sampai jam satu siang, dan kami masingmasing harus pulang. Temanku berjalan pulang,  membawa tirai kulit kerang dalam kantong plastik. Begitu juga temanku yang yang satunya, dan akupun demikian. Tirai kulit kerang dibawa pulang temanku, tapi aroma laut, debur ombak dan buihnya telah kuambil diamdiam, kusimpan dalam benakku.

Sesampainya di rumah aku segera menggelar apa yang tadi sudah kusimpan dalam benakku. Laut, debur ombak dan buih. Burung camar dan sampan nelayan mulai berdatangan ke arah laut yang kugelar. Aku merasa senang mencium bau amis dari geladak sampan. Empat nelayan sedang menanak nasi sambil membakar ikan. Sungguh sedap aroma ikan bakar itu, membuatku jadi lapar. Ketika akhirnya keempat nelayan mulai makan, aku mendekat, berharap mendapat bagian. Tapi tak ada yang melihatku, tak seorangpun dari keempat nelayan itu mengetahui aku ada di sana. Aku sangat kecewa dan masih lapar. Aku jadi iba, teringat nasib seekor anjing yang selalu duduk di bawah meja ketika manusia bersantap, menjadi mahluk yang tidak dianggap ada. Sesaat kemudian burungburung camar terbang dan berseruseru di atas sampan, suaranya berisik, membuatku yang lapar sangat ingin jadi petir, menjatuhkan beberapa ekor camar untuk kusantap, kupikir rasanya pasti tak kalah sedap dengan ikan bakar.

Ternyata aku masih diam duduk di ujung sampan, memandang laut dan ombak yang terbelah oleh laju sampan, pantai kian dekat. Aku senang menyadari bahwa aku akan segera mendarat. Aku senang pantai itu tersedia begitu saja, seingatku tadi aku tak mengambil pantai dari untaian kulit kerang. Sampan merapat, aku berdiri ingin segara pergi. Belum sanggup melangkah ketika kulihat lelaki muda itu, penjual kulit kerang memeluk kerang yang baru turun dari sampan mendahuluiku. Lelaki itu memeluk ribuan kerang eraterat, menundukkan kepalanya selama kirakira sepuluh menit lamanya. Kemudian lelaki muda itu memindahkan kerangkerang ke atas bahunya. Aku menatap tak percaya, kerangkerang itu telah teruntai pada senar, diikat jadi satu bagian tiap sepuluh utas senar, kerangkerang yang telah sempurna teruntai  senar.

Aku mengerjapkan mata, tak percaya pada apa yang kulihat, kulit kerang dengan begitu saja telah jadi tirai kerang. Tak ada pekerjaan yang tadi kubicarakan dengan temantemanku, begitu mudah dan sederhana. Aku masih terus mengerjapkan mataku, terburuburu mengikuti langkahlangkah lelaki muda. Meninggalkan pantai, menyusuri dermaga, perkampungan nelayan, terus berjalan sampai ke jalan raya. Sekalisekali lelaki muda menawarkan tirai kulit kerang pada setiap orang yang ditemui sepanjang jalan, juga di terasteras rumah, di trotoar, di pintu keluar tokotoko. Lelaki itu terus berjalan sambil menawarkan tirai kerang. Aku mengikuti kemanapun lelaki muda penjual tirai kerang itu berjalan, ke arah manapun, aku terus berjalan mengikuti.

Hari mulai redup, aku merasa letih, tapi tak bisa aku meninggalkan lelaki muda penjual tirai kerang itu sendiri. aku tak mengerti, sungguh tak mengerti. Mungkinkah karena aku telah mengambil laut dari tirai kerang temanku, menyimpannya diamdiam dalam benakku. Mungkin akulah yang tengah mabuk aroma laut dan membiarkan aku diambil laut dari temantemanku. Laut itulah yang menyimpanku diamdiam dalam kulit kerang. Aku letih dan masih tak mengerti.

Aku mulai bertanya, manakah yang lebih bisa mengambil dan menyimpan, apakah laut atau aku. Manakah yang lebih mengelabui, manakah yang lebih kuat, aku ataukah laut dalam benakku. Aku berharap lelaki muda penjual tirai kerang akan bertemu kembali dengan temanku, menawarkan kembali tirai kerang, semoga temanku mau membeli tirai kerang lagi, agar aku bisa mengatakan pada temanku bahwa semua percakapan tentang tirai kerang tidaklah benar. Aku juga akan mengembalikan laut yang kusimpan dalam benakku pada tirai kerang kepunyaan temanku. Atau jika memang laut yang menyimpanku, biarlah temanku membebaskan aku dari laut itu. Diamdiam aku bernazar, tak akan pernah lagi aku bermainmain dengan yang lebih besar dan luas dari kepala, tak akan lagi berandaiandai dan ingin tahu apapun, kalau tidak biarlah aku dan laut selamanya saling menyimpan dalam untaian tirai kerang di pintu kamar wanita peramal*


karam

Tubuhmu; beribu persimpangan yang salah letak, membentang di tengah laut tak bertepi. Membuatku hilang akal, nekad mendatangi gua purba, menemui naga bernafas api. Aku mohon lidah api melumatku, menjadikan aku asap. Asap yang membawaku terbang pada loronglorong yang menyala di ruas tulangmu.

Menyusuri setiap jengkal jalanan licin, aku membaca ramburambu di nadimu, aku mencari petunjuk arah. Sebelum badai benarbenar datang menenggelamkan tubuhmu. Sebab asap tak bisa menyelam, selain menumpang dalam rongga lehermu, hirup aku, hirup hingga tuntas. Labirinmu menyesatkan, membenamkan asap dalam lezat aroma rempah.  Aku terpeleset berkalikali.

Tertelan dalam lambungmu, serupa nabi yang membantah tuhannya. Tak gentar pula, aku mengenang naga yang pulas di pintu gua, naga yang kucium mesra, demi menggenapi nubuat yang dibisikkan tuhan kepada ular. Lambungmu sehangat musim panas di sebuah negeri yang tak terjamah malaikat*

perhaps

Rumputrumput di atas bukit berwarna merah muda,  sungguhsungguh merahmuda, sungguh sewarna bibir anak perempuan berkulit pucat yang sedang berdiri di stasiun kereta api. Stasiun kereta api itu letaknya jauh di lereng bukit, lebih tepat lembah, sebuah dataran rendah. Bukit berada jauh di atasnya, jalur kereta melingkarlingkar harus di tempuh untuk tiba di atas bukit.  Kereta belum juga tiba.

Anak perempuan itu berdiri, rambutnya tergerai, seakan ada senja dan bunga akasia bertengger pada rambutnya.  Di belakang anak perempuan,  bangku kosong berbaris dengan siasia, ingin merasakan lembutnya sentuhan gaun anak perempuan yang menjuntai diam dari pinggulnya. Tak ada angin yang bisa membuat gaun itu melambai, dan bangkubangku itu terikat pada tiang besi, tak bisa bergerak barang setapak, hingga membiru bangku itu tetap berdiri kokoh, rindu, teguh. Stasiun itu mungkin aku, yang diamdiam mencatat penantian.

Sebuah jam dinding besar dan bundar tergantung pada tiang berukir, berdetak dengan detak yang tetap, anak perempuan diam, bangku diam,  lantai diam, lampu diam, namanama tempat keberangkatan dan kedatangan diam, angkaangka dalam lambang digital diam. Aku juga diam. Anak perempuan itu menatapku, lalu berkata,”Biar aku yang mencatat ya…” Aku diam, anak perempuan mengambil pensilku, faber castell, yang biasa kugunakan untuk mengarsir rambutmu. Anak perempuan mengambil kertas dari loket tempat membeli karcis, potongannya kecilkecil, ada tulisantulisan sudah tertera pada kertas, beruntung sekali pensilku tebal dan tumpul, anak perempuan tetap bisa mencatat.

Anak perempuan mencatat namanama jalan, namanama bunga, namanama unggas, dan namanama temanteman sekolahku. Aku tak tahu kenapa anak perempuan mencatat ini, tak mencatat itu. Begitu pula sebaliknya, anak perempuan tak tahu kenapa aku membaca ini, tak membaca itu. Tak lama kami saling pandang dengan senyum bahagia, juga samasama tak tahu untuk apa. Senja dan bunga akasia bergerak pada rambut anak perempuan, aku melihat kereta api sedang melintas pelan di bawah pohon akasia, berjalan ke arah senja. Aku ingin memeluk anak perempuan, menciumi wangi senja dan akasia pada rambutnya.

Lonceng tibatiba berdering, peluit kencang memekik, rindu berlari cepat meninggalkanku dan anak perempuan. Orangorang berdatangan, membawa buahbuahan, koper, bantal, selimut, terigu, mentega, gula, telur ayam, kenari, dan buah labu besarbesar. Anak perempuan tibatiba berteriak gembira, mengejutkan senja dan bunga akasia, berguguran, salju merah! Aku merasa begitu gembira. Kereta api akan segera datang, penantian akan sirna, tak lama lagi aku akan kembali menjadi diriku sendiri. Menjadi rel kereta api, mengantarkan anak perempuan ke bukitbukit di atas sana, bukitbukit dengan rumput berwarna merah muda.

Di stasiun terakhir nanti, kereta api akan jadi gedung megah, aku menjadi tangga menuju menara, lantainya lembut, berkilau, dengan lingkaran lilin tergantung pada kubah atapnya. Semua namanama yang tercatat pada kertaskertas kecil akan datang tepat pada saat alarm berbunyi. Pai labu besar matang sempurna, coklat keemasan, bertabur serpihan kenari panggang. Semua hidung mulai menari bersama anak perempuan, bersama senja dan bunga akasia pada rambutnya. Semua seperti sudah bahagia, tanpa mengerti untuk apa. Pertanyaan biar menanti di stasiun kereta api, bersama bangku biru, jauh di lembah, tak terlihat. Semua penumpang kereta berbaris di punggungku. Aku akan membawa anak perempuan dan catatannya ke puncak menara, memandang puncak bukit berumput merah muda dari beranda menara.

Mungkin senja dan pohon akasia akan terbang, melayang, menghampiri bukit berumput merah muda, mungkin anak perempuan akan tersenyum menebarkan serpihan pai labu, para unggas akan menangkapnya. Semua ini akan dicatat oleh anak perempuan berwajah pucat. Orangorang di tempat jauh akan mengenangnya sebagai hari bersyukur. Rambut anak perempuan itu berwarna emas, senja dan pohon akasia sudah pergi, hinggap pada puncak bukit.  Mungkin rumputrumput merah muda sebentar lagi akan berubah warna, mungkin ungu, atau jingga, pasti sewarna jantungmu*

credo experto

Malam merebahkan mataku pada aspal, jalanan hitam dan kasar. Seekor tikus besar berbaring diam, tubuhnya pecah, aku bergidik memandang warna merah yang berserakan di atas hitam. Aku juga menanti dengan berdebar setiap gumpalan merah itu bangkit sendiri dari punggung hitam, mungkin memercik macam kembang api, lalu terbang, sebelum pergi menghilang, lenyap dalam ingatan paling sudut. Dan aku bisa berlalu, menapaki mendung dan gulungan kabut, aku merasa harus menyampaikan pesan kepada kerabat tikus yang menanti. Aku harus berkata, bahwa ada yang pecah dan bercahaya malam ini, tak terbendung, melesat, bersanding bintang. Dan tak perlu mengejar serpihan tubuh yang menempel pada roda, dia akan kembali pada waktunya.  Membuat aku boleh teringat tentang waktu, waktu yang selalu berkhianat dan bertobat, silih berganti pada setiap nafas*


besok pagi

Penjual roti berkeliling, aku diam di dalam rumah. Anakanak tetangga berlari memanggil, rot, roti !
Aku ingin tahu apa aku masih bisa makan roti besok pagi. Sekarang bukan hari keberuntungan roti, untuk kubeli. Seberapapun hangat dan empuk, tak akan kutawar harganya, tak akan kuhiraukan, aku tak mau roti jadi jual mahal besok pagi, ketika aku hendak membeli roti. Kuharap roti murah hati besok pagi. Bukan hari ini, besok pagi. Tapi aku tibatiba memejamkan mataku rapatrapat, melipat tangan, seperti sedang berdoa,aku berharap besok pagi  tak akan berkata bukan hari ini lagi. Aku cuma ingin beli roti sebulan sekali, besok pagi, ketika kuterima upah kerjaku, besok pagi, bukan hari ini.
Besok pagi yang tak akan berkata bukan hari ini lagi*


kehilangan mata

Aku tidak menangis pagi ini, ketika kutemukan rumahku telah jadi puing. Aku tak tahu kenapa aku tidak menangis, mungkin karena bukan hanya rumahku yang roboh semalam, bukan hanya rumahku yang serpihannya berserakan pagi ini. Hampir semua rumah telah runtuh semalam, bersamasama  menjatuhkan diri, tak lagi berdiri. Aku tak tahu mengapa, mungkin karena rumah itu lelah, mungkin karena rumah itu resah, mungkin juga karena rumah itu ingin lepas dari belenggu dindingdindingnya. Mungkin juga rumah itu ingin membuatku bahagia. Dengan menjadi puing dan berserakan di atas tanah, rumahku jadi lebih lebar dan luas, hal yang selalu diharapkan semua manusia, sebuah ruang yang lebih luas untuk sekedar bernafas. Begitulah, aku masih tak mengerti kenapa rumahku menjadi puing pagi ini, dan kenapa aku tidak menangis.

Aku tidak menangis, hanya terkejut di saat pertama membuka mata, mendapati tempat tidurku penuh debu, pecahan batu, dan kepingkeping tembok reruntuhan rumah. Semuanya berserakan di atas tubuhku, sebagian debu segera jatuh ke dalam mataku saat pertama kubuka, maka mataku merah dan terasa pedih, tapi aku tidak menangis. Kulihat dinding kamar tidurku telah menghilang, sekalian juga atapnya, lampu, meja belajar, lemari baju dan rak buku. Semua benda tak ada lagi pada tempatnya. Sebagai gantinya kulihat hamparan tanah luas yang penuh dipenuhi puing dan sisasisa semua benda yang kukenal, bendabenda yang sepertinya pernah ada.

Aku tidak menangis, juga semua anakanak yang kulihat sedang berjalan, berlari, duduk atau merangkak di sekitarku, yang tertangkap pendangan mataku. Tak seorangpun menangis, anakanak itu, dengan berbagai jenis umur dan rupa, semuanya hanya sibuk berceloteh atau melakukan apa saja dengan dirinya dan reruntuhan, begitu sibuk dan sungguhsungguh, mana bisa menangis di saat sedang asyik.

Aku segera duduk di atas tempat tidurku, kemudian bangkit dari tempat tidurku, sekali lagi menatap sekelilingku, menapakkan kaki hatihati pada puing yang berserakan di bawah tempat tidurku. Sedikit terjengkat ketika ada suara mendecit dari bawah, tepatnya dari balik telapak kakiku. Aku membungkuk dan menemukan boneka karet mungil telah terinjak tanpa sengaja oleh kakiku. Aku memungut boneka karet itu, seekor jarapah, atau sebuah jerapah mungkin lebih tepat, dengan wajah ceria, kirakira duapuluh senti saja tingginya, dengan, panjang leher yang lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Kulitnya tebal, kenyal dan terasa dingin pada telapak tanganku, tubuhnya akan mengeluarkan suara decitan jika ditekan. Jerapah itu berwarna kuning dengan bintikbintik lebar berwarna coklat tua pada sekujur tubuh dan lehernya. Tanduk dan telinganya melengkung lucu, matanya seperti sedang melotot dengan bingung atau linglung ke arahku, yang paling menyenangkan selalu ada senyum di mulut jerapah, tulus dan ceria.

Aku segera duduk di bawah tempat tidurku, jerapah kecil yang baru mendecit  tadi masih kugenggam delam sebelah tangan, sedang tanganku yang satunya mulai menyentuh dan mengelus  puing reruntuhan.  Pada awalnya hanya sentuhan lembut, lamakelamaan jemari tanganku mulai mencengkeram puing dan pasir, membalikbalik serpihan dinding, seakan mencari sesuatu. Aku ingat aku tadi sempat melihat beberapa anak lain melakukan hal yang sama denganku, mencari sisasisa, entah apa. Dan aku menemukan banyak benda yang telah hilang dari balik puing, semuanya, yang pernah ada sesaat, lalu tiada, kembali ada, yang masih ada atau yang menjadi tak pernah ada. Semuanya bisa kutemukan di antara puing.

Aku semakin asyik, tenggelam dalam pekerjaanku mengacak puingpuing reruntuhan yang bisa terjangkau tanganku, jerapah kecil kuletakkan di pangkuanku, hingga aku punya sepasang tangan untuk mencari apa yang kuharapkan akan kutemukan pada puingpuing. Dan aku tak kecewa, banyak hal kudapatkan , aku tibatiba merasa yakin, tentang begitu banyak anakanak duduk di atas reruntuhan, dengan wajah tekun dan sungguhsungguh mencari ‘sesuatu’ dari debu dan serpihan dinding.

Aku semakin tenggelam dalam kesibukanku, duduk, menunduk, tak berhenti membalikbalik timbunan reruntuhan sejauh lenganku terulur. Aku menemukan wajah ayahku, tangan ibuku. Aku segera melahap dengan gembira waktu kutemukan potongan biskuit coklat berbentuk kelinci buatan ibuku, walaupun ekor dan telinganya sudah patah, masih terasa lezat dan hangat, manis dan coklat. Aku menemukan hadiah ulang tahunku yang pertama, sebuah papan bongkar pasang, jika bisa kutemukan semua kepingnya, aku bisa mnyusunnya kembali, menjadi gambar utuh, bamby, thumper dan flower, mungkin bisa kudengar teriakan senang ibuku sesudah itu. Aku terus menggali reruntuhan dengan jarijariku.

Aku menemukan sisir yang biasa dipakai ibuku, pulpen ayah yang biasa dipakai untuk menandatangani buku ulanganku, sikat gigiku yang pertama, sepasang kaos kaki kesukaanku saat aku kelas satu. Aku ingat ketika aku memakai kaos kaki itu ke sekolah, kepala sekolahku marah, seharusnya mematuhi peraturan tentang warna kaoskaki, katanya. Kepala sekolahku menyuruhku melepaskan sebelah kaos kakiku, mengambilnya, membuangnya ke tempat sampah. Aku ingat aku juga tak menangis waktu kelas satu. Aku marah, tak mau sekolah, sampai kepala sekolahku meminta maaf, tak bisa menemukan kembali sebelah kaos kakiku. Aku tak menangis, sampai kepala sekolahku menggendongku memasuki kamarnya, memberiku banyak permen dan gambar tempel segenap tokoh yang ada dalam kitab suci. Aku mulai ingin menangis.

Aku mulai ingin menangis untuk sebelah kaos kaki. Tak apa menangis kalau bukan karena sedih. Aku hanya ingin menangis karena bahagia, karena kini kaos kaki kesayanganku telah kembali menemukan pasangannya. Bisa kembali jadi sepasang kaos kaki, aku menaruh kaos kaki pada pangkuanku, di samping jerapah yang tidur nyenyak dengan mata terbuka.

Aku mulai bosan mencari, merasakan perih pada telapak tanganku. Aku mulai ingin menangis, seperti anak kecil yang letih bermain, ingin pulang, dan aku ingat rumahku kini telah jadi puing yang sedari tadi kutelusuri.  Aku mencoba berdiri, berpegangan pada tepian tempat tidurku dengan sebelah tangan, sambil menggenggam jerapah dan sepasang kaos kaki pada sebelah tangan yang lain. Aku duduk di atas tempat tidurku, memandang berkeliling, tak menemukan apapun atau siapapun. Aku mulai ingin manangis.

Angin berhembus mengantarkan hawa dingin, aku menggigil, teringat pada sepasang kaos kaki dalam genggam tanganku. Kucoba memakai kaos kakiku, tak muat pada kakiku. Aku mulai merasa ingin menagis, merasa menjadi cinderella yang kalah, terkunci dalam gudang ketika perdana mentri datang membawa sebelah sepatu kaca. Aku sangat ingin menangis, memanggil tikustikus yang mestinya segera menolongku, mencuri kunci gudang dari kantong celemek ibu tiriku. Aku tak ingat tadi menemukan bukunya di antara puing.

Sekarang aku sungguh ingin menangis, kupeluk eraterat  jerapah dan sepasang kaos kaki. Jerapah mendecit dalam lilitan sepasang kaos kaki. Aku sungguh ingin menangis, tapi tak bisa lagi aku menangis, tak akan pernah bisa menangis, sepasang mataku telah terjatuh tadi, ketika aku sedang asyik menggali puing. Sepasang mataku tanpa kusadari telah terjatuh, tak terlihat, tak bisa kutemukan di antara puingpuing. Aku baru saja menyadarinya, ketika aku tak bisa menangis, tak lagi bisa melihat jerapah dan sepasang kaos, tak bisa melihat puingpuing dan bentangan langit*


lebih perkasa dari neraka

Haruskah aku bertanya, kepada telinga yang sedang berebut menyentuh rambutmu. Belum sempurnakah angin mengantarkan pesan pagi pada sekuntum melati. Atau aku harus berjalan lagi, mengikuti aroma hujan. Pigura kosong tersenyum mengingat kisah kita. Berlarilari dari balik pohon yang satu ke pohon yang lain. Membuat tonggeret tertawa keras pada setiap pergantian musim. Tak bisa meredam, tak juga padam rindu dan majenun yang mendidih dibalik jaketmu. Aku tahu, aku selalu mendengar lagulagu yang mengalun di lubang telingamu, memanggil rambutku. Aku selalu percaya.

Angin menari untuk kita, lebih perkasa dari neraka*

rafllesia arnoldi

Ayahku sangat suka menanam bunga, segala jenis ditanamnya pada halaman rumah, pada jalanjalan yang pernah kami lewati, pada kebunkebun yang kami singgahi, bahkan ayahku juga menanam bunga di permukaan air, pada dinding, pada batubatu, juga pada dasar laut. Kau mungkin tak akan percaya, bahkan ayahku juga menanam bunga pada tubuhku, dan semua anakanaknya yang lain.

Bukan hanya menanam, ayahku juga merawat dengan sangat telaten semua yang ditanamnya, sungguh cermat dan teliti, sepenuh hati ayahku mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya untuk semua bunga yang pernah ditanamnya. Seperti layaknya tukang kebun sejati, wajah ayahku kerap berkilat oleh butirbutir keringat saat merawat tanamannya di bawah terik matahari. Sedang kaki dan lengannya berwarna coklat keemasan, juga terbakar terik matahari, beberapa gumpal lumpur selalu menempel pada lengan dan tungkainya pula, sebagai penanda bahwa dia baru saja bekerja keras demi bungabunga yang disayanginya.

Pernah terlintas dalam pikirku, bahwa lebih besar cinta ayahku kepada semua bunga yang ditanamnya daripada cinta ayah kepada anakanaknya. Itu yang menyebabkan ayahku menanam bunga pada tubuh anakanaknya, agar bisa mencurahkan cinta kepadaku ketika melihat bungabunga tumbuh di tubuhku.

Semakin lama aku semakin marasa yakin bahwa ayah memang mencintai bungabunganya melebihi ayah mencintaiku, anaknya.  Aku sedih pada saat mulai kusadari ayah menanam bunga pada tubuhku, bukan demi keindahanku, namun hanya demi kecintaannya pada bunga. Aku sangat terpukul dan sedih, sambil berusaha memahami dan mengerti. Ayahku tak pernah tahu betapa beratnya mengetahui kenyataan bahwa aku harus menumbuhkan bungabunga tercantik untuk mendapatkan cinta ayahku.

Waktu berlalu, sudah saatnya dan selayaknya memetik hasil dari segala yang pernah ditanam dan dirawat dengan sungguhsungguh. Tak ada yang siasia, setiap benih dan tanah selalu tahu diri, tahu apa yang pantas diberikan sebagai imbalan kepada yang bekerja dan berusaha dengan segenap daya. Matahari, awan dan angin juga bersimpati kepada yang mencintai dengan sepenuh hati. Bungabunga yang ditanam ayahku tumbuh dengan indah. Semuanya indah. Mawar, melati, bunga matahari dan teratai mulai menumbuhkan kuncup di  antara daun dan duri.

Masih banyak jenisjenis bunga lain yang tak kutahu namanya. Beraneka jenis dan warna, beragam bentuk dan ukuran. Bungabunga tumbuh di manamana. Pada semua tempat di mana ayah pernah menanam, pada halaman rumah, pada jalanjalan yang pernah kami lewati, pada kebunkebun yang kami singgahi, juga pada permukaan air, pada dinding, pada batubatu, di pada dasar laut. Bungabunga tumbuh indah dan wangi.

Begitu pula yang terjadi pada anakanaknya, bunga tumbuh dari tubuh anakanaknya dengan cantik dan wangi, pada kakakkakak dan adikadikku yang manis. Sungguh aku tak mengerti, hanya bungabunga yang ditanam ayah pada tubuhku yang tak tumbuh indah dan wangi.

Setiap hari, setiap orang yang kebetulan lewat dan melihat tanaman bungabunga ayahku pasti akan takjub, terheran dengan penuh rasa hormat, mengagumi keindahan dan keharuman bungabunga tanaman ayah. Mereka semua pasti akan terpesona, sebelum pada akhirnya mulai memujimuji bunga tanaman ayahku. Mereka semua berebut ingin menyampaikan rasa kagum dan pujian untuk ayahku. Beberapa di antaranya  malah meminta ayah agar bersedia menanamkan bungabunga di halaman rumah mereka, merawatnya, agar tumbuh secantik dan seharum semua bunga tanaman ayah di manamana. Tak sedikit yang menawarkan imbalan dan hadiah kalau ayah bersedia menanamkan bunga untuk halaman rumah mereka. Ayah nampak berseri, puas dan bahagia.

Aku turut senang setiap kali ayah menerima pujian, tapi ayah sepertinya tak suka melihatku. Pasti sebabnya karena bungabunga tak tumbuh indah dan wangi padaku. Tak macam anakanaknya yang lain, aku gagal menumbuhkan bunga yang cantik dan wangi untuk ayahku. Aku tak tahu kenapa begitu, kenapa tak tumbuh bungabunga indah dari tubuhku, serupa yang terjadi pada saudarasaudaraku. Mungkinkah karena aku seorang anak yang hanya mementingkan diriku sendiri, atau mungkin aku tak berjodoh dengan bunga manapun, hingga benihbenih bunga tak bisa tumbuh padaku.

Hanya ada titiktitik berwarna pudar pada tubuhku, bentuknya seperti luka dan memar, datar dan berpendar, tak ada kelopak indah berwarna cerah macam bungabunga pada anakanak ayah yang lain. Lagilagi aku hanya bisa memendam kesedihan dalam hati, setiap kali aku merasa sedih dan cemas warna dan bentukbentuk aneh semakin meluas pada tubuhku, samarsamar juga tercium aroma aneh dari setiap ronanya, sama sekali tak wangi.

Sementara itu keindahan dan keharuman bungabunga tanaman ayahku semakin tersebar ke seluruh penjuru. Semakin banyak yang berdatangan ingin melihat, menyampaikan pujian dan memohon ayahku untuk menanamkan bunga bagi mereka. Setiap kali ada yang datang berkunjung, ayah menyuruhku bersembunyi, ayah tak ingin ada satu orangpun yang melihat kegagalan ayah menanam bunga pada salah satu anaknya. Maka akupun selalu sembunyi di belakang rumah, menghindari bertemu dangan para pengunjung dan pengagum ayahku.

Aku jadi terbiasa, bersembunyi di balakang rumah sepanjang hari, sampai suatu hari ada beberapa anak dari para pengunjung yang bermain kejarkejaran, berlarilari sampai ke belakang rumah. Anakanak itu terkejut dan berteriak ketika melihatku. Menyebabkan orangorang berdatangan, mereka semua melihatku, dan sejak itu orangorang mulai mengetahui bahwa ayahku pernah gagal menanam bunga, hanya sekali saja,  tak berhasil menumbuhkan bunga yang ditanam padaku, seorang anaknya.

Aku sangat ketakutan ketika ayah begitu murka. Segera setelah semua pengunjung pergi meninggalkan rumah dan tanaman bungabunga, ayah berteriak kepadaku, mengusirku,”Pergilah kau jauhjauh, ke tengah hutan. Jangan pernah menampakkan diri kepada siapapun, sampai kau bisa menumbuhkan bunga paling megah dengan harum paling tajam.  Kelak jika sudah kautumbuhkan bunga itu, harus kaukatakan bahwa aku yang menanam bunga, yang tak pernah gagal, yang paling hebat. Pergilah sekarang juga!”

Aku tak tak sempat mengatakan apaapa, bahkan menatap wajah ayahpun tidak. Aku sangat ketakutan, tak pernah kuduga ayah akan begitu murka dan mengusirku. Aku berjalan cepatcepat, meninggalkan rumah di belakangku, makin lama makin jauh. Aku terus berjalan memasuki hutan, tak peduli pada apa atau siapapun yang kutemui sepanjang jalan. Lagipula tak ada yang mengusikku, mungkin karena aku buruk dan berbau sedikit busuk. Aku terus berjalan menembus belukar dan pohonpohon besar, semakin masuk ke dalam hutan, cahaya matahari kian samar. Aku tak lagi mengenali waktu, tak tau pagi atau malam, pun tak tak tahu arah. Hanya terus berjalan, semakin kedalam hutan. Sampai suatu ketika aku merasa tak mampu berjalan lagi, kurebahkan tubuhku pada tanah, berbaring dan memejamkan mata.

Aku tak tahu berapa lama waktu berlalu, ketika aku terjaga oleh suara ributribut percakapan yang terdengar asing pada telingaku. Saat kubuka mata, kulihat beberapa orang mengerumuniku dengan ragu, memandangiku dengan penuh minat, sambil mengernyitkan hidung. Aku sangat takut orangorang itu akan menyakitiku dengan sesuatu seperti senjata yang mereka bawa. Mereka terus saja berbicara ribut dan penuh desah tak percaya sambil memandangku, sesekali meraka menutup dan mengernyitkan hidung, aku menduga karena aroma tak sedap dariku yang menguar di udara.

Aku sungguh takut ketika beberapa dari mereka mendekatiku, tapi tak mampu aku bergerak, terasa ada yang berat sekali pada tubuhku. Mereka mendekat dan tibatiba menyentuhku, mulanya dengan ragu, dan mereka mengenakan pembungkus tangan. Aku tibatiba tersadar bahwa aku telah menumbuhkan bunga, sangat besar dan berbeda dengan segala bunga yang pernah ada. Dan orangorang sedang mengamati yang tumbuh dariku, menyentuh, membelai dan berkatakata dengan riuh, nada suara mereka penuh kekaguman, persis yang biasa kudengar dari pengunjung yang datang dan memuji bungabunga tanaman ayahku.

Pada akhirnya mereka membawaku pergi, aku tak tahu akan dibawa ke mana, atau apa yang akan terjadi padaku nantinya. Tapi orangorang itu nampaknya tak jahat, tak hendak menyakitiku, memperlakukan aku dengan lembut dan baik. Hatiku mulai merasa tenang.

Setelah sekian waktu perjalanan yang tak sebentar, tibalah aku dan orangorang yang membawaku ke sebuah taman. Mereka meletakkan aku pada tanah, membuatkan sebuah ruang untukku. Aku merasa aman dan nyaman saat kulihat banyak tanaman lain disekelilingku, pohonpohon tinggi beranaka jenis, meski sedikit yang berbunga, mereka semua menyapaku dengan ramah, ada pula yang bilang bahwa aku luar biasa.

Setelah beberapa waktu berselang, aku tahu bahwa taman itu terletak di sebuah tempat yang indah, cuacanya ramah, dan di depan sebuah istana. Banyak orang datang berkunjung, mengagumi tanamantanaman yang tumbuh di situ, dan mereka semua mengagumiku dengan sungguhsungguh, meski kadangkadang mereka harus menutup hidung karena bau busuk bungaku, tak sedikitpun berkurang kekaguman dan keramahan mereka padaku.

Setiap saat aku teringat pada ayah yang telah menanam bunga padaku, aku ingin sekali bisa pulang, sekedar untuk menemui ayah, membuat ayah gembira, menunjukkan bahwa ayah memang penanam bunga terhebat yang tak pernah gagal. Kini aku merasa orangorang yang datang ke kebun ini untuk mengaggumiku semakin bertambah, mungkin sudah lebih banyak daripada pengunjung tanaman bunga ayahku. Aku selalu berusaha mengatakan kepada setiap yang datang bahwa aku adalah salah satu bunga yang di tanam ayahku, seorang tukang bunga paling hebat, sayang sekali mereka di sini sepertinya tak ada yang mengerti bahasa bunga. Beberapa burung yang kerap hinggap di dahan pohon tinggi di sampingku berkata bahwa rumahku pasti sangat jauh. Setelah mendengar ceritaku, burungburung itu mengatakan kemungkinan besar rumahku bahkan berada di seberang lautan.

Aku tak pernah tahu apa burungburung itu benar, rumahku berada jauh di seberang lautan, tapi aku selalu teringat katakata terakhir ayahku, bahwa aku boleh pulang kalau sudah menumbuhkan bunga paling megah, dengan harum paling tajam. Semua ucapan ayah telah jadi nyata, mereka yang melihatku pasti akan terbelalak dan berkata bahwa aku bunga paling luar biasa, sambil menutup hidung karena tajamnya harumku. Akupun telah mengatakan pada mereka semua bahwa ayahlah yang menanam bunga padaku.  Sungguh sayang mereka di sini sepertinya tak mengerti bahasa bunga. Aku hanya bisa memohon burungburung untuk menyampaikan semua tentang aku yang sekarang pada ayahku. Bahwa aku telah menumbuhkan bunga termegah, dengan harum paling menusuk hidung, pada ayahku, hanya itu. Semoga ayah tahu. Semoga ayah sekarang menyayangiku*

ekspos

Seekor cicak baru saja menanggalkan ekornya demi menyelamatkan nyawanya dari kejaran seekor tikus. Cicak berlari terengahengah di dinding ruang rapat, mendekati burung garuda. Bersembunyi di belakang ekornya.

Burung garuda, menegur cicak dengan suara berat,”Tega sekali kau tinggalkan ekormu, demi menyelamatkan dirimu sendiri.”

Cicak berdecakdecak, masih terlalu gemetar untuk menjawab.

“Kau tahu semua yang sejenismu selalu pengecut, demi mencari selamat, mengorbankan ekor yang selalu setia menjagamu. Bukankah kadal juga melakukan hal yang sama. Apalagi bunglon itu, dengan seenaknya merubah warna kulitnya untuk menipu musuhnya. Kalian memang bangsa yang payah, reptil, golongan rendah, tak pernah mau menghadapi tantangan dengan cara terhormat.”

Cicak masih berdecakdecak, mengatur nafasnya.

Burung garuda sudah setengah membuka paruhnya untuk mencela cicak sekali lagi. Ketika sebuah suara muncul dari sebuah kotak, gemerisik bunyinya. Suara itu bercerita tentang sebuah tragedi yang menewaskan sekian manusia, demi menjaga perisai yang dipakai burung garuda untuk melindungi dadanya.

Cicak tak berhenti berdecak, ck.ck.ck*

makan siang dengan sahabat

Hujan berteduh dalam benakku, membungkus senapan rapatrapat agar tak terkena cucuran hujan. Siang kelabu, hidung buntu, kau menyodorkan sehelai saputangan. Saputangan tak perlu dibuang. aku mengeringkan senapan dengan saputangan, dia menggeliat, gelisah oleh peluru dalam rongga tubuhnya. Aku ingin muntah, begitu yang akan terucap tanpa kata oleh bibir senapan. Aku lapar. Mungkin kita harus pergi makan, menembus hujan mencari tempat makan. Siang kelabu, hidung buntu.

Bento ada di daftar menu, senapan dalam benakku menggeletar. Jangan makan bento. Sebab bento adalah nama pahlawan di negeri perempuan. Tapi tak ada pilihan. Bento satu, paling murah, gambarnya indah. Tak heran jika menunggu berabadabad bisa bikin senapan meradang, menunjuk keningku dari dalam. Kau membujuknya agar tak meledak. Anehnya juru masak membawa dapurnya ke depan, mungkin dapurnya ingin main hujanhujanan.

Ketika akhirnya bento itu datang, aku terpesona. Nasinya punel dan hangat, kau bilang nasinya terbuat dari campuran beras dan ketan. Sejumput pasrahan wortel dan kubis, empat potong chiken rollade. Saus pedas dan mayonaeis. Aku tak pernah menduga bento itu sungguh bego, berserakan dalam piring datar berwarna hitam, sepasang tongkat untuk menyuap. Kau tersenyum, melihat aku bingung. Lagilagi senapan dalam benakku menggeletar, hampir halilintar, mungkin tak sabar. Ini tak akan jadi sebentar, belajar menyuap dengan tongkat.

Siang kelabu, hidung buntu. Aku senyumsenyum. Bento menunggu. Dalam sekejap semua akan jadi indah. Bento berbaris, bersiap menerobos hidung buntu. Banjir melanda benakku, menenggelamkan senapan yang tak sabaran dan arogan. Hahaha…aku tak tahu apa yang kukatakan, apa itu arogan. Kau tertawa karena bento berkalikali terjatuh dari tongkat, tepat di bawah hidungku. Bento memang benar bento, tentu bukan karena aku arogan. Aku sungguh tak mengerti, kenapa menyiksa diri dengan sepasang tongkat mungil di sela jari. Tapi siksa sungguh terlalu indah. Hanya bento yang tak ikut tertawa*

di taman firdaus

Seorang lelaki tua mendatangiku suatu hari, bertanya siapa aku.
Aku merasa ada yang salah, seharusnya aku yang bertanya,
karena lelaki tua yang datang padaku. Lelaki tua tertawa.
“Aku tahu siapa aku, kau tak kenal dirimu.”

siang di kebun binatang

Ibuku pernah minta aku berjanji, untuk selalu mencuci kaki sebelum tidur siang. Aku mau menepati janjiku, mencuci kaki sebelum tidur siang, membersihkan sisasisa debu dari telapak kaki dan tungkai. Lumpur membasuh kakiku.  Lumpur melunturkan debu. Aku suka sentuhan lumpur pada kakiku, sampai lutut. Terasa lembut, aku ingin lebih. Tubuhku juga berdebu,  lumpur mahir membasuh debu.  Kubenamkan tubuhku. Lumpur naik ke punggungku. Aku ingin menyelam. Debu di kepalaku juga ingin lumpur. Aku menyelam. Aku menemukan kata berkubang. Aku senang. Suarasuara berseru, tangantangan menunjuk lumpur di tubuhku, lucu, lucu, anak kuda nil itu*

hipokrit

Malam ini aku tak tahu mesti menulis apa. Mungkin karena aku telah membaca terlalu banyak. Uap kopi sudah terbang meninggalkan ruang. Meninggalkanku. Laron beterbangan pada langitlangit, tak cemas sayapnya hendak patah. Dan sayapsayap patah dengan seenaknya berjatuhan ke dalam gelas kopi. Berenangrenang pada laut hitam, aku teringat punggung ikan terbang. Makin menjauhi jejakmu, mungkin tanpa sadar aku belajar dari laron, bagaimana cara punggungnya melupakan sayap begitu cepat. Terbang berkitar, mendekati cahaya, mengepakkan sayap dengan buruburu, seakan takut sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan itu memang terjadi, sayapsayap itu selalu patah, berjatuhan pada lantai, pada perabotan, bahkan pada gelas kopi. Dan tubuh laron akan kembali seperti sediakala, rayap. Sungguh mengherankan memang, bahwa segala yang bisa terbang selalu dianggap lebih mulia ketimbang yang berjalan. Laron telah kembali rayap ketika sayapnya patah, berjalan hilir mudik di lantai, tak akan bertahan, selalu ada alasan untuk cepatcepat mengakhiri yang tak sempuna, yang patah.

Bertapa, berjalan, terbang, menuju cahaya, patah, merayap, lepas.  Akhirnya aku toh menuliskanmu lagi. Menjadi tak mengerti lagi. Kau selalu sangat menawan, juga teramat kejam, membuatku menulis apa yang tak kupahami. Laronlaron terus terbang, bermunculan dari celah kayu. Langitlangit dan lampu riuh. Ikan terbang berloncatan dalam gelas kopi. Seekor domba keluar dari sebuah gambar di dinding kamar, mendekatiku, menengok layar komputerku, lalu nyengir dan berkata,” Hanya ini ?”
Aku merasa ngeri, dan bertanya,”Kau bisa membaca ?”


kutu buku

Setiap kali kepalaku gatal, aku teringat masa kecilku. Kepalaku penuh kutu, kutu yang selalu berlarilari riang di antara batangbatang rambutku. Seperti belalang pada padang ilalang, berloncatan. Kepalaku gatal, aku gelisah dan tak inginkan apaapa selain menggaruk kepalaku kuatkuat.

Aku iri kepada kera yang suka berbaris saling memetik kutu dari kepala temannya. Aku iri kepada kera yang punya temanteman baik, mau saling bantu membereskan kutu. Kutukutu di kepalaku membaca iri itu dalam otakku, terusmenerus. Kutukutu di kepalaku membaca bahwa iri itu lucu, mereka tertawa. Kutukutu berhenti menghisap darah ketika tertawa, melepaskan cengkeramannya pada kulit kepala, tanpa sadar kutukutu terjatuh waktu tertawa. Jatuh di atas sembarang buku yang sedang kubaca.

Temanteman sekelasku melihat kutukutu berjatuhan di atas buku, saling pandang sambil berbisik satu sama lain, banyak kutu jatuh di atas bukuku, sungguh banyak, tak terhitung. Kera juga melihat semuanya, melihat kutu berjatuhan di atas buku. Ibu guruku mengernyitkan wajah, menggaruk kepala, memandang ngeri pada kutukutu di atas bukuku.
Tapi aku senang, sekarang kepalaku tak lagi gatal, kutukutu telah berpindah di atas buku*

kau puisi

Kau selalu puisi,
tersaji di tepian gelasku

membaca jejak bibirmu
kalimatku tak pernah cukup*

terbenam pagi

Pagi yang membingungkan. Aku terbangun pada sebuah kamar yang seakan belum mengenalku. Meski pada dindingnya kutemukan coretancoretan yang serupa goresanku semalam. Kulihat awan berarak dari matamu yang terpejam. Kucing memang cantik, terlebih yang sedang tidur lelap, menyandarkan kepalanya pada lengan, mengenyahkan jarak. Tapi ini adalah hari yang lain dari kemarin, hari yang membuatku tak mengenal namaku, tanggal lahir dan alamat rumahku.

Kudengar kotak catur itu ribut di balik tutupnya. Tak tahukah mereka aku sudah bangun, sudah waktunya kerajaan dan pasukannya tidur. Aku tak yakin telah berbagi udara denganmu setiap pagi. Ataukah mimpi itu adalah sebuah dunia yang sebenarnya, nyata, bergeming, macam angin. Nyata dan tak pernah menampakkan wajah.

Aku terkejut, lantai kamarku mencair. Kakiku tenggelam menapak lelehan keramik, cair, wangi pudding, lembut pada telapak kaki, tungkai, paha, dada, leher, cairan mulai menggenangi lubang hidungku. Aku melihat matamu begitu biru, dipenuhi gelembung udara dan anak cumicumi, sewarna prisma di bawah cahaya, pendar, tak pudar. Tak pudar juga, ketika kepalaku telah terbenam penuh dalam lantai, rasa sejuk dalam paruparu. Rasa sejuk di sekujur tubuh, pelahan beku.

Aku melihatmu memasuki ruang, dari telapak kakimu aku melihat, melekat jejak pasir, timah, emas bercampur batubara. Aku mengetukngetuk permukaan lantai, tapi kau tak mendengarku. Berkeliling kamar menyebut namaku. Aku terus mengetukngetuk atapku yang lantaimu, kau masih tak mendengar. Matamu nampak letih, kau berbaring di tempat tidurku, menggaruk leher kucingku, dengkurnya malah terdengar seperti doa dan ucapan syukur. Aku masih mengetuk permukaan lantai yang beku. Kau kelihatan tertidur, tak terusik kucingku, begitu manja menggosokkan punggungnya pada pinggangmu. Kau tertidur, lelap dan indah*


selendang

Pada awalnya adalah hamparan biru, tanpa batas dan sekat, kauberikan untuk tempatku meluangkan waktu. Ketika waktu belum juga mengenalku. Kau tak ingin aku terlalu jenuh menunggu. Kau menderingkan alarm, tepat jam dua belas malam. Sedetik setelahnya untukku mulai menghitung waktu. Aku menyelam ke dasar samudra, menghitung jeda kerang membuka tutup cangkangnya, memetik mutiara. Kau senang dan bertanya,”Tahukah kau kisah perempuan di sebuah taman?”

Aku tak tahu apaapa, bukankah aku adalah satusatunya mahluk. Aku memandangmu, menunggu kau menganggukkan kepala. Kau mengangguk, menunjukkan sebuah lorong di balik bunga karang. Hitam, seakan tak berujung, tapi kau bilang di ujungnya bisa kutemukan laut.  Bukankah aku sedang berada dalam laut, kenapa masih harus menemui laut yang lain. Kau menuntunku berjalan dalam gelap yang panjang, tanpa cahaya. Hanya ada lenganmu bertengger di pundakku, seperti elang. Aku merasa segera menjelma ular.

Kau mencengkeram tubuhku lebih erat, membawaku terbang. Kulihat matamu terang, cakarmu tajam. Kau membawaku terbang.  Melintasi banyak laut, tak terhitung. Aku merasa bukan lagi diriku, pecah, juga indah. Menyelami laut bening di matamu, aroma garam, dan warna matahari yang tenggelam di kepak sayapmu. Kau membawaku terbang sangat jauh, kurasakan cakarmu menusuk lembut nadinadiku, kelopak mawar berjatuhan dari tubuhku, merah, hangat dan harum. Kau membuatku mekar, jadi betina tersayang.

Sungguh sempurna, kau mendarat di sebuah taman, di bawah sebatang pohon berbuah ranum. Segera kulihat perempuan yang telah kutinggalkan, lama berselang di dasar samudra.  Merenung dan dahaga menatapku.

“Ajari perempuan itu terbang,” Kau berbisik mesra. Tapi aku tak bersayap.

“Sayapmu akan tumbuh jika kau telah mengerjakan kebaikan,” Kau berkata, menatap buahbuah ranum dan bibir kering perempuan bergantian.

Aku segera paham, kupetikkan beberapa butir buah ranum dengan taringku, kuulurkan kepada perempuan. Mulanya perempuan menyusut, keningnya berkerut. Aku terus mengulurkan buah ranum, menganggukangguk, seolah berkata, tak apa. Perempuan itu terpesona melihat belahan pada lidahku, juga jejak laut pada mataku. Raguragu perempuan mengambil buah ranum dari rahangku, sekejap saja. Perempuan itu segara berlari ke balik semak.

“Perempuan akan membagikan buah ranum itu pada kekasihnya, seorang lelaki.” Kau tersenyum. Kulihat matamu menyala, terdengar seperti cinta.

Sesaat kemudian, sayap sungguh tumbuh di punggungku, kuat dan bergerigi. Kulihat kau sangat bahagia, memeluk pinggangku. Segera kau tarik tubuhku mendekat, saling dekap, kau dan aku berputar, makin tinggi, menari, makin tinggi. aku bisa menggigit bulan, kau mengibaskan bintangbintang, berputar dan terus menari.

Aku telah melupakan perempuan di taman selama berabadabad. Kalau saja sebuah suara merdu tak menyentak dadamu. Aku berhenti menari, memandang berkeliling, melihat semua yang terhampar berwarna merah, cuaca sehangat musim panas. Kulihat kau masih memandangku penuh sayang.

Aku mulai mengerti, aku dan kau akan abadi. Sepasang kekasih, phoenix dan naga dalam sehelai angkasa. Kau dan aku, akan selalu bersamasama menerbangkan buah hati, menggantungkan cinta di pundak perempuan. Kau selalu memandangku mesra setiap kali buah hati bersuara manja. Mutiara berjatuhan dari matanya, berserak bersama kelopak mawar dalam pelukan*

recite

Senja hampir tiba, atau masih lama, tak terdengar jawaban bumi. Ada yang sedang bercinta dengan luka. Ibu itu membaringkan anaknya di pangkuan, memohon kepada semua yang tajam supaya menikam, dalam, dalam, dalam, sedalam bejana magma, semerah darah. Mengaliri sungaisungai bawah tanah, hingga tak pernah bertemu muka dengan senja. Senja tak suka bertanya, tak satupun. Bibirbibir mengering, berjatuhan bagai musim gugur sepanjang tahun. Airmata memerah, berganti rupa dalam gelasgelas perjamuan kudus, meruah rindu pada helai segar daun mint. Hijau. Sejuk.
Aku merajuk meminta kau kembalikan doadoaku*

ladang kentang

Aduh sudah malam lagi. Padahal aku masih terkenang pagi. Pagi bening di mata anakanak yang mengetuk pintuku. Padahal pintu itu sedang meronta, kembali kayu. Aku mengeluh kepada tubuh yang tergilagila pada remang dalam gudang, suram, ingin meruntuhkan atapnya.

Sungguh, aku pernah berada di situ, memandang ladang kentang, liurku membuncah, aku sedang mendaki puncak, berenam dan sebagian bekalku tertinggal di pos perhentian pertama. Aku mengingatnya sebagai sebuah ibadah, perhentian pertama itu, serupa pengkhianatan. Bagian yang terindah adalah ketika aku merasa kau telah cukup mencintaiku, untuk membuatku berani menguji hatiku, dengan pengkhianatan.  Kau meninggalkan bagian yang paling kusuka, mentega, batang coklat dan sari buah. Dan hanya perlu sebuah pelukan, aku merelakan tubuhku pada kata maaf. Tak ada pengkhianat yang tak mencintai sepenuh hati. Kau pasti mengerti.

Bahwa, aku pernah jadi anakanak yang benarbenar kekanakan, menunggang kuda kayu di studio photo, kau memotretku. Kau salah, kalau kaupikir aku lupa. Saat aku belum bisa mencatat, aku telah mahir mengingat. Kau memotong bolu bulat jadi tiga bagian, besar, sedang, kecil, lalu menyusunnya jadi kue ulang tahun bertingkat, memetik bunga anggrek untuk hiasan. Boneka rusa dan hanya dua kurcaci yang dipinjamkan untuk kue ulang tahunku. Lalu sebuah angka menyala, tak perlu kusebutkan bilangannya. Biar kau selalu meragukan ingatanku. Biar kau selalu berpikir aku tak pernah mengingat kue ulang tahun itu dari belakang, berlubang, bukan berlubang, hanya sebuah lengkung kosong yang seperti menyusup dalam kacamatamu. Betapa sebuah kamera berjasa, membuat segalanya terlihat sempurna. Biar kau selalu meragukan ingatanku ketika memandang senyum dalam selembar kertas berkilat.

Begitu banyak kilatan cahaya menjamah mata. Sebanyak butir kerang yang kubuat dari gulungan kertas bekas. Kadangkadang aku begitu takjub akan guruku, mengajariku membuat bendabenda, seperti pencipta, seperti ayah. Ayah yang melarang aku main kejarkejaran di malam hari, nanti masuk angin, ayah selalu berkata. Besok pagi saja kita jalanjalan ke gembira loka, naik andong. Sekarang tidur saja, atau tokek akan datang dari celah atap, belang dan seram, giginya tajam, aku melihat bekas gigitannya di lengan ayah. Aku ingat semua katakata manis dan senyuman sebelum pagi.

Pagi selalu bening. Bubur beras merah, susu asam, buah pisang, datang bersama wangi melati di rambut ibu. Aku selalu ingin kembali dalam rongga perutnya, demi rasa aman dan aroma kamper pada bajunya. Ibuku suka warna coklat, hangat seperti tanah dan semua yang tumbuh dari dalamnya. Ibu ingin aku jadi dokter, agar selalu bisa menggantungkan alat pendengar degup jantung di dadaku. Menghitung nadi, menemukan nama yang indahindah untuk menyebut derita, dari daftar index di buku text. Aku suka cara ibu mengikat rambutku. Aku suka cara ibu memasak bubur, aku suka cara ibu memukul pahaku, membuatku takut dengan mengurungku dalam gudang. Karena gudang itu, aku jadi sayang tikus, merasa diriku upik abu, cantik dengan baju berdebu.

Debu yang kadangkadang jatuh dari langit, menerobos atap gudang yang bolong, cahaya juga jatuh dari sana.  Cahaya dari ujung tongkat nenek peri, menyihirku jadi semungil debu. Biar aku bisa terbang, melewati atap gudang, kembali ke ladang kentang. Menemui temantemanku sedang menggali, mencoba mencuri beberapa umbi. Tak apaapa, nenek peri menghiburku, petani tak akan kehilangan rejeki karena kau curi sedikit berkah dari ladangnya. Tapi cepatlah, sepertinya ada yang bergetar pada telapak kaki. Aku mendengarnya, segenap nada. Lindap. Ayahku memanggil dari tempat tidurnya, suaranya patah, membuatku terluka. Aku sangat ingin memeluk ayah, memeluk masa lalu, sebelum berlalu. Ibuku sudah lebih dulu berjalan pulang, sesudah sarapan. Ibu tak bisa mendengar debudebu gudang berseru. Ayah tak berdaya, hanya menatap rindu pada gambar dalam pigura, di balik sepasang angsa berpayung biru. Ayah, sesungguhnya aku ingin memelukmu, sebelum debu, sebelum menunggang kudakudaan kayu, sebelum kabur dari gudang bersama cahaya.

Cahaya membentang sepanjang ladang kentang, ketika aku mendengar ada yang berkata,” Aduh sudah malam lagi.” Tapi aku masih selalu terkenang pagi bening di mata anakanak dalam setiap gambar*

inquire

Siang sudah lewat, akhirnya kantuk itu tak berserah pada tidur. Hampir kuberanjak ketika kau bilang, sudah, jangan jadi pahlawan. Untukku yang seorang pecundang, membacamu adalah serupa berjalan menuju tiang gantungan, dan menemukan pada talitalinya terpasang papan ayunan. Kematian itu menghilang, bersama tenggelam matahari. Aku boleh bermain sampai petang, duduk pada sepotong papan, melambung ke udara. Menendang angin sekuat kaki. Sulursulur pohon anggur tumbuh bersama jatuh sinar bulan, mesra melilit tiang gantungan.  Aku terus berayun, bertahuntahun. Aku tersenyum membayangkan maut tersipu malu, melihatku berayun bersama daundaun anggur*

mencoba mengerti

Aku mengantuk sekali siang ini, tak ada yang seberat kelopak mata, merasakan udara mendekat hangat, pejamkan, pejamkan, seperti sebuah nyanyian merdu, berbisik lembut di keningku. Televisi merayu demamku, namanama, manamana, amanaman, tak begitu sebenarnya, tapi entah. Kenapa hanya dia yang kudekap eraterat. Apalah artinya bencana buat seorang perempuan yang jatuh cinta. Aku hanya ingat, pernah bahagia memandang sebuah gunung dari balik jendela kereta api. Gunung berlari mengikuti jalur kereta api, aku mengantuk, persis siang ini. Aku tak mendengar ada yang berteriak di sana, selain ejekan elang untuk monyet, dalam hutan di lereng gunung berapi. Gerak gerbong kereta api, api memercik di ujung korek api. Aku larut terbakar sunyi. Menggigil dalam hangat darahmu*

mata sapi

Pernah aku terhenti pada sebuah persimpangan, lampu merah. Masih berseragam putih merah. Duduk di  atas  sadel sepeda mini, kulihat seekor sapi berdiri di sampingku. Sapi dengan hidung berlubang tempat tali kekang. Sapi penarik gerobak pengangkut batangbatang bambu. Aku melihat mata sapi sangat cantik, bulu matanya lentik, kelopaknya berkedip halus, bola matanya basah dan redup. Aku sungguh terpesona, tak pernah menyangka sapi punya mata begitu indah, maka kusimpan rapi keindahan pada mata sapi dalam ingatanku.

Hari itu di sekolah, kelasku riang seperti biasa, kelas empat, duduk sebangku dengan pacarku, cinta pertamaku, betapa lucu. Kuceritakan pada sahabat sekaligus pacarku itu, bahwa tadi aku berdiri di sebelah seekor sapi ketika lampu merah menyala di simpang empat. Pacarku bertanya, “Terus kenapa, kamu takut?”

“Kok takut. Apa kamu pernah lihat mata sapi ?”

Pacarku mulai ingin tahu,”Memangnya kenapa dengan mata sapi ?”

“Mata sapi itu cantik. Aku baru tahu, sungguh cantik.”

Hahahahahahah…Dia tertawa keras, pacarku tertawa keras dan lama, hingga ibu guru melotot ke arah kami.

Aku menatap mata pacarku, setengah kesal, setengah geli. Kenapa mesti tertawa untuk sesuatu yang tak lucu sama sekali. Kuceritakan padanya betapa kulihat mata sapi sangat cantik, bulu matanya lentik, kelopaknya berkedip halus, bola matanya basah dan redup. Aku sungguh terpesona, tak pernah menyangka, kalau mata secantik itu milik seekor sapi.

Sapi yang bertubuh putih, besar, dengan wajah lebar dan lugu, hidung bulat berwarna hitam mengkilat, berlubang, ternyata punya mata begitu indah. Mungkin aku sedikit malu ditertawakan pacar kecilku, tapi aku sangat suka melihat dia tertawa, menciptakan sebuah lesung di pipinya. Sekali lagi kusimpan rapi, mata sapi dan tawa pacarku dalam ingatanku.

Setiap kali kusebutkan mata sapi, teringatlah olehku sesuatu yang cantik dan bikin pacar pertamaku tertawa keras. Telur mata sapi jadi terasa begitu lezat, juga indah. Lingkaran putih berkilau oleh minyak, dengan bulatan kuning padat di tengah, menyala terang. Aromanya sedap membangunkan semangat, setiap pagi sering kali membuat perutku hangat.

Sungguh menyenangkan bisa menyimpan sesuatu yang indah dalam ingatan. Bertahuntahun kemudian, ketika aku sudah duduk di bangku kuliah, pacarku yang keempat tibatiba memberiku sebuah tekateki saat kami berjalan bersisian, “Putih, besar, bego, lamban, bermata indah. Apakah itu ?”

Seketika aku cemberut, dengan suara merajuk kujawab pacarku yang senyumsenyum,”Iya sih, senangnya yang bisa ngejek.”

“Kok ngejek. Itu kan cuma tebakan, jawabannya sederhana, baru aja lewat.”

“Iya aku tahu, memang sih aku bego dan lamban…” Aku makin merajuk dan cemberut.

“Loh.?!” Hahahahahahah, pacar keempatku tibatiba tertawa, keras dan lama. Aku menatapnya sedikit kesal, setengah bingung, setengah senang.  Sekesal apapun, aku selalu senang melihat lesung di pipinya.

“Sapi beib, sapi yang barusan lewat. Putih, besar,  bego, lamban, bermata indah. Hahahahahahah…jangan geer donk, memangnya cuma kamu yang putih dan bermata indah. Lagian kamu kecil, walaupun, hmm… bego dan lamban, upz...!!” Pacarku berkata, memandang mataku dengan matanya yang berbinar, nakal, sangat cerah.

Hahahahahahah… Aku jadi tertawa keras, entah kenapa tibatiba merasa sungguh bahagia.

Aku dan pacarku tertawa bersama, keras dan lama, sampai keluar airmata.

“Aku senang ternyata pacarku yang bermata indah tahu diri, merasa bego dan lamban, merasa macam sapi. Huhuy…” Dia masih sempat menggoda di sela tawa yang seakan tak akan berakhir.

Malam harinya, ketika berbaring sendiri dalam kamar aku mengingat semua tawa yang terjadi hari itu. Juga tawa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Aku menatap langitlangit kamar, sepasang cicak berkejaran riang, berdecak gembira, dua ekor nyamuk terbang berputar di kepalaku, bunyi dengingnya terdengar merdu. Betapa anehnya hidup, betapa indah dan lucu. Mata sapi yang indah, telur mata sapi yang sedap. Pacar pertama dan terakhirku yang samasama berlesung pipi, samasama selalu mengejek dan mengetawaiku sesuka hati.

Aku bertanya sendiri, ada berapa pasang cicak dan nyamuk sedang bergembira malam ini. Berlari dan beterbangan bebas, bersuara manis.

Aku tak akan pernah tahu semua jawaban, semua rahasia sederhana yang tak berharga. Alangkah senangnya mengingat bahwa pernah kukatakan pada pacar pertamaku tentang mata sapi yang cantik.  Alangkah takjubnya hari di saat aku tahu bahwa pacar terakhirku juga tahu betapa cantiknya mata sapi. Mereka yang kusayangi, sapi bermata cantik dan dua lelaki yang samasama gemar mengejekku, samasama bisa tertawa begitu keras dan lama demi membuatku senang memandangi lesung yang tumbuh di pipi mereka. Dua lelaki yang samasama doyan telur mata sapi dan menyebut mataku seindah mata sapi*


keluarga beruang

“Tiga beruang ada di rumah.

Ayah dan ibu dan anaknya.

Ayah beruang gendut.

Ibu beruang langsing.

Anak beruang luculucu, tumbuhtumbuh membesar.”

Itu adalah syair lagu yang kupelajari di sekolah hari ini.

Bagus ya

Bagus ya, mungkin nama lagunya “Keluarga Beruang.”

Aku tak tahu nama lagunya, tak ada yang beritahu dan

Aku tak bertanya, tapi

Senang sekali bisa menyanyikan lagu yang bagus*

dalam sepatu

Siang hening.  Udara lembab dari dalam sepatu mengeluh, bunyibunyi yang sama merasuki otak. Petanyaan dungu, kenapa harus ada siang memanjang, memisahkan kaki dari lantai. Mengurung ceritacerita dalam kaos kaki, kulit sepatu merindukan otot dan denyut daging di masa lalu. Aku merindukan senda gurau di ruang yang hilang. Ruang yang lupa cara melukis bayang. Lampu terlelap, hening itu seakan memaksa sepatuku pergi mencari pintu rumahmu*

memakan hati

Pada suatu pagi menjelang siang yang lenggang, seorang anak perempuan yang sangat lapar jadi tak sabar menunggu ibunya pulang. Hanya ada nasi basi di meja makan. Akibat terlampau lapar, sebuah ide cemerlang tumbuh dari lambungnya yang gersang, alangkah baiknya kalau aku menggoreng hatiku sebagai lauk makan siangku.

Dia hanya anak perempuan yang teramat lapar dan sedikit liar. Maka diambilnya pisau dapur, dibelahnya perutnya, dirogohnya hatinya sendiri. Segara ditarik keluar, di taruh di meja dapur. Hati itu begitu lezat nampaknya, lembut, merah dan hangat.

Dia memanaskan minyak dalam wajan. Setelah siap, segera digorengnya hatinya, tanpa bumbu, tanpa ragu. Harumnya semerbak sampai jauh. Tak lama hati itu matang, kecoklatan, berkilat, penuh lelehan minyak. Uap hangat menyebar, terasa sangat nikmat membuai benak. Membuat anak perempuan itu semakin lapar .

Nasi basi tak jadi soal, dengan lauk hati goreng yang masih mengepulkan uap ,semua tentu sedap adanya. Setelah melahap hati goreng lebih dari setengah bagian, gadis itu teringat ibunya. Ibuku pasti juga pulang dengan kelaparan, biasanya juga tak bisa langsung makan, mesti memasak dulu, menyiapkan apa yang mesti dimakan ibu dan anak perempuannya. Tentu ibu juga akan senang kalau kusisakan separuh hatiku buat ibu. Mungkin ibu akan menatap kagum hidangan hati gorengnya, memujinya atau mengatakan terima kasih, bahkan dia berharap ibu akan memeluknya erat, karena terlalu girang untuk kejutan sepotong hati goreng.

Setelah kenyang perutnya anak perempuan duduk di lantai rumahnya. Bermainmain dengan satusatunya boneka butut yang ada di rumah itu. Anak perempuan itu bercakapcakap dengan boneka berwajah murung dan berambut kusut di pangkuannya. “Kalau kau lapar dan bisa makan, aku juga akan memberimu sedikit hati gorengku, tahukah kau rasanya sungguh sedap. Apa kau tahu apa yang nanti mungkin akan dikatakan ibu di saat pulang dan melihat aku sudah menyiapkan makan siang ?”

Boneka butut itu hanya diam, menatap anak perempuan dengan biji mata yang sudah pecah.

“Kenapa sih, kau dilahirkan boneka, tak bisa bicara, bergerak, berjalan, bahkan tak bisa lapar dan tak bisa makan. Apa sih yang kaupikirkan, apa kau sungguh tak bisa mendengarku, kau punya telinga dan mulut, apa itu tak bisa membuatmu mengerti dan menjawabku. Tahukah kau kemana ibuku pergi, setiap malam, setelah meletakkanmu dalam pelukanku. Dan ini sudah terlalu siang, mestinya ibu sudah pulang. Jika aku belum makan, tentu aku sudah lapar sekarang. Tapi, aku sangat kangen pada ibuku, ingin ibu segera datang, aku tak sabar melihat ibu gembira menemukan kejutanku di meja makan.”

Boneka butut itu masih diam, menatap anak perempuan dengan biji mata yang sudah pecah.

Hari menjadi kian siang, merangkak petang, anak perempuan tertidur sambil memeluk boneka butut. Dan ibu belum juga pulang. Alihalih seekor kucing betina tibatiba memasuki rumah, mungkin tercium olehnya aroma hati goreng di atas meja yang terbawa angin. Kucing betina dengan tangkas memanjat meja makan, mencuri hati goreng. Boneka butut itu diam saja, memandang dengan biji matanya yang sudah pecah. Kucing betina membawa hati goreng itu ke dalam kerdus di ujung jalan, di mana anakanak kucing menyambut dengan suara eongan berisik. Jadilah anak beranak kucing itu mendapat berkah, menikmati makan sore dengan nikmat, lezat nian hati goreng anak perempuan itu.

Bertahuntahun rasanya mimpi siang itu berlangsung. Anak perempuan terbangun di sebuah tempat yang tak dapat diingatnya. Tapi itulah rumahnya. Boneka bututnya masih ada, masih diam, menatapnya dengan biji mata yang sudah pecah. Tibatiba anak perempuan teringat dengan hati goreng yang disiapkan untuk ibunya, yang diletakkannya di atas meja makan, yang telah hilang. Anak perempuan itu tak pernah tahu perihal kucing betina yang mencuri hatinya.

“Apakah ibuku pulang saat aku tertidur nyenyak, lalu memakan hati goreng yang kusisakan untuknya di meja makan?” Anak perempuan itu bertanya sambil menatap mata pecah boneka bututnya. “Mungkin setelah itu ibu pergi lagi karena sudah waktunya bagi ibu untuk pergi. Apa yang dikatakan ibu padaku, tentang hati gorengku ?”

Anak perempuan itu tak pernah tahu, bahwa ibu yang ditunggunya sesungguhnya telah dibunuh dan dimakannya sendiri ketika dia tak mampu menahan rasa lapar di sebuah siang yang lenggang. Anak perempuan itu telah mengeluarkan ibunya dari dadanya, menggorengnya dan memakannya sendiri. anak perempuan itu tak pernah tahu, bahwa selama ini dalam hatinyalah ibunya selalu pergi dan berdiam diri sepanjang hari.

Mungkin anak perempuan itu masih terlalu kecil untuk mengingat pesan ibunya sebelum meninggalkannya di ujung jalan sebuah komplek perumahan. Anak perempuan itu mestinya belum bisa menyimpan apaapa dalam ingatannya, ketika ibunya yang sekarat digerogoti panyakit gagal ginjal mendekapnya erat sebelum meninggalkan anak perempuan itu, membisikkan pesan,”Maafkan ibu, maafkan juga bapakmu. Ini yang terbaik yang bisa ibu berikan untukmu. Ibu akan selalu ada dihatimu, menjagamu dalam hatimu.” Ibunya mengatakan itu sambil mengusapkan wajahnya yang basah pada dada anak perempuan yang masih belum genap sebulan usianya. Hanya boneka butut itu yang bisa diberikan ibunya sebagai benda kenangan yang mungkin suatu hari kelak akan bisa menjalinkan kisah.

Hanya boneka butut itu yang mengetahui segalanya. Kegemparan seorang pemulung yang menemukan seorang bayi perempuan. Ibunya tentu sedih melihat anak perempuan itu dibawa pergi oleh seorang yang sama miskin dengan dirinya, tapi dia tak berdaya, hanya bisa memalingkan wajah bersimbah airmata, menatap anak perempuannya semakin berjarak, semakin jauh, sampai akhirnya menghilang dari pandangan. Bapaknya telah pergi sejak anak perempuan itu masih janin dalam rahim ibunya. Meninggalkan ibu dan anak perempuan itu, bersama boneka bututnya. Menghilang, mencari hidup yang entah. Tak genap satu bulan setelah terpisah, lebih tepat memisahkan diri dari anak perempuan dan boneka bututnya, ibunya meninggalkan dunia sepenuhnya, tak ada lagi di manamana. Hanya berdiam dan sembunyi dalam hati anak perempuannya sepanjang hari.

Anak perempuan itu juga tak tahu setiap kali hatinya terasa sakit, sebenarnya ibunya sedang meratap di sana, di dalam hatinya. Meratapi nasib anak perempuannya yang tumbuh di tempat kumuh, tak terurus, bahkan hampirhampir tak seperti manusia. Pemulung yang membawanya pulang hanya tahu membawa anak perempuan itu mengemis sejak bayi, mengajarinya mencuri. Dan yang terburuk adalah menjual anak perempuan itu kepada seorang pemabuk tua, sebelum umurnya genap sepuluh tahun. Di waktu sakit, diare atau demam, anak perempuan itu ditinggalkan sendiri di rumah, tanpa obat dan makanan. Hingga akhirnya anak perempuan itu tak bisa lagi menahan sakit dan lapar. Membelah dan mengeluarkan hatinya sendiri, menggorang dan memakannya sendiri.

Setidaknya anak perempuan itu bertahan hidup, dengan menyantap hati gorengnya sendiri, anak perempuan itu bertahan hidup. Walau dengan kemungkinan lebih buruk yang menanti di harihari mendatang, karena anak perempuan itu tanpa sadar telah melenyapkan ibunya, satusatunya jiwa yang menjaganya, yang berdiam dalam hatinya sendiri, yang telah digoreng dan dimakannya demi bertahan hidup. Anak perempuan itu makin tak mengerti, makin menanti, makin kehilangan segala yang tak pernah dimiliki.

Kini anak perempuan itu masih berjalanjalan sendiri, atau berdiam di rumahnya, tertidur sendiri di lantai yang keras dan dingin, seakan bumi ini sungguh sepi. Kota telah mati, juga katakata tak lagi bisa dimengerti, sejak hatinya tak ada lagi, dan ibu yang dinanti tak juga menampakkan diri. Hanya ada sebuah boneka butut yang menemani.

Boneka butut yang masih selalu diam, menatap anak perempuan dengan biji mata yang sudah pecah*


sampai cinta menciumku

Mereka menulis, aku mulanya adalah debu. Maka aku menunggu angin mengangkat tubuhku, lama.

Aku kecewa, angin bisanya cuma memainkan rambutku. Mereka sok tahu atau berdusta, aku tak tahu.

Aku bertanya padamu. Kau membisu, malah berbisikbisik pada angin.Aku tak percaya kau tak tahu, angin tak suka menyimpan rahasia. Angin suka aroma buah apel, sehabis kucuci rambutku. Angin berkata,”Kau debu yang dikutuk jadi batu.”

Aku percaya pada angin. Angin tak bisa menerbangkan batu. Apa salahku.

“Kau terlalu ingin tahu." Aku minta kau kembalikan aku jadi debu.

“Tunggulah sampai cinta menciummu.”

kakek kurakura

Seorang lelaki tua duduk di depan sebuah toko swalayan, menghamparkan selembar plastik dan kertas pada kakinya. Sebuah kerdus bekas, berisi kepala dua bocah kembar dari negeri tetangga menatap takjub tanpa senyum, kuda plastik yang bisa berputar di ujung tongkat, kecoa dan kupukupu yang naikturun pada busur kawat, pistol kecil, pedang, juga beberapa ekor tokek, kurakura, katak dengan benang yang bisa ditarik ulur pada punggungnya, dan entah apalagi. Aku tak terlalu berani memandang. Lelaki tua memutarmutar kuda plastik di tangannya, suaranya berderit. Mengusikku, membuatku hampir menangis. Aku tak berani memandang, Aku tak tahu kenapa bisa mengenang yang tak berani kupandang. Kenangan keras kepala menusuk mata.

“Ketika kau tak bisa menahan jatuh airmata, berdirilah terbalik,” Aku teringat saran lelaki muda yang tampan dalam sebuah drama. Manakah yang lebih nyata, kenangan atau khayalan. Aku juga tak tahu. Aku juga tak bisa berdiri terbalik. Langit sungguh mendung. Putus asa, kubalikkan punggungku, berjalan mendekati lelaki tua, menyapa semua mahluk yang berserakan di sekitar kakinya, mengajak mereka semua pulang ke rumah masingmasing sebelum turun hujan. Tapi mereka semua menatapku dengan tulus,”Jangan khawatirkan kami, tak ada rumah yang cemas menunggu kami. Jika hujan turun kakek akan melindungi kami dari dingin dan basah.”
"Betul.betul.betul..!" Bocah kembar dari negeri tetangga riang berkata.

“Berteduhlah, wajahmu basah kuyup…” Kurakura berseru sambil membuka rumahnya. Aku berlari masuk. Merasakan hangat pada dada dan mata kian nyata. Lelaki tua menyelimuti kurakura dan semua yang lainnya, ketika hujan menderas. Bunyi guntur dan batuk kakek menggema nyaring di dinding rumah kurakura*


sepotong brownies

Seperti sediakala, aku memintamu berbagi sepotong brownies. Taburan kacang di atasnya bersorak senang, selalu ada manis coklat terselip di rahang malam. Pita biru, kemeja putih, blue jins, dan kerling mata, kau datang, membawa bunga yang kaupetik sendiri, dari taman hatiku sendiri. Kupukupu di sana terbang bingung, menanyakan, di mana putik dan benang sari, di mana madu menunggu, di mana wangi bungabunga itu?

Aku berjalan lurus, menerobos tulang rusukmu, masuk dalam bilik jantungmu, menyingkirkan semua bekas kemasan dan kertaskertas kumal, hingga terlihat seikat bunga, merunduk layu, tak ada harum meruap dari kelopaknya. Kubebaskan bunga dari himpitan benda, kudekap erat, kubenamkan wajah padanya,”Kekasihku…kekasihku…berserilah kembali.”

Kukirim terimakasih untuk setiap rintik gerimis yang dijatuhkan matahari, dan bunga layu merekah kembali, segar dan harum, meneteskan madu. Sayang kupukupu tak lagi bisa terbang, punggungnya berlubang, menancapkan paku pada dasar kotak, tak ada bercak darah pada lapisan satin putihnya, tak ada luka di tubuh dan sayap kupukupu. Sayap kupukupu terentang, pasrah, seolah bahagia, penuh gambar dan warna. Kupukupu tak lagi terbang, tak lagi mencari madu, tak bertanya di mana bungabunga. Kupukupu abadi membeku di balik kaca, anakanak sekolah akan senang memberinya nama, mempelajarinya baikbaik dalam kelas sains.

Seperti sediakala, aku setia memandang cahaya di wajahmu yang pulas, menunggu semua bungabunga mengering, agar segera kau petik lagi kuncupkuncup yang tak berhenti tumbuh dari sepotong brownies*  

gaduh

Pagi menjelma anakanak, berlari mendekat dengan sekotak mainan. Prajurit, meriam, senapan dan granat, semuanya kecil. Tak bisa berpikir, tak bisa bergerak sendiri. Aku letih, masih luas lantai mesti kubaca. Boneka prajurit keburu berbaris, meninggalkan jejak kacau, ketika anakanak itu menghilang begitu saja dalam perang. Tapi aku sedang dalam perjalanan menuju ladang tebu. Hari ini cinta gadis gembala biar rela, menunggu kekasih prajuritnya dengan siasia. Aku mau menangkap kepik saja, sangat ingin yang bersayap merah dengan bintik hitam. Warna biji saga, membawaku kembali pulang kepada nyanyian lesung, udara berbau cengkeh dan kapulaga. Seorang lelaki tua menatap gelisah,”Kau anak siapa.” Aku tak ingin mendengar, kecuali nyanyian lesung, bernyanyi bersamaku sambil mengunyah biji saga, yang katanya beracun.
Tengah hari, anakanak datang kembali, membawa peta dan surat cinta titipan gadis gembala, juga bekal makanan dan obatobatan, ketika itu, prajurit mainan sudah pingsan semuanya. Aku menutup wajahku dengan sebuah buku, kupejamkan mata rapatrapat, tak ingin ada yang bertanya*

kicauan murai

Pagi tadi, aku masih anak lakilaki, terbangun oleh seruan ibuku. Kupandangi bapak sedang merajut sebuah jala lebar, dan ibu mondarmandir di rumah mencari dinding. Rupanya semalam datang seorang yang terlalu mengantuk, sangat menginginkan pintu, tapi tak juga bertemu. Sebelum tidur, Ibu menyembuyikan pintu itu ke dalam lemari baju. Kalau sampai hilang kita tak bisa ke manamana.  Maka seorang yang mengantuk itu nekad menerobos dinding rumah, melubangi dinding dengan tanda tanya. Aku bisa melihat kamar mandi rumah sebelah lewat lubang di dinding rumah. Selama aku masih anak lakilaki, tak ada yang melarangku tertawa.

Anak lakilaki, aku mandi, mengguyur tubuhku dengan air dingin yang bawel. Sepanjang waktu mandi, aku telah banyak berdebat dengan gayung dan gelembung sabun. Kami bertaruh siapa yang akan mengajakku jalanjalan sore. Ini kan masih pagi, aku mendengar kamar mandi sebelah rumah menertawakan aku yang masih belum sikat gigi. Ini kan masih pagi.

Tidak lagi, anak lakilakipun harus patuh pada penunjuk waktu. Mengemasi seragam sekolah ke dalam tas, bukubuku menutup kemaluanku.
Aku belajar menerbangkan layanglayang lebih tinggi, mencari gawang, berdiri dengan kepala, menghormat bendera yang melambai. Kerbau di sepanjang jalan tertawa melihat aku memakai sepatu katak, berlarilari mengejar kapal terbang. Ini benar kapal terbang, dengan tiang dan cerobong asap. Dua jangkar berbaring di atas geladak, beberapa ekor katak meloncatloncat dengan kaki telanjang. Aku tak merasa bersalah, nilai nol untuk pelajaran bahasa.

Ini masih pagi, tapi halaman sekolah terlalu terik. Tak ada sebuah pohonpun tempat berteduh. Beberapa temanku kejangkejang. Temantemanku anak perempuan. Mereka lucu, menaruh buntut kuda pada kepalanya, memakai baju yang bisa merekah. Diamdiam aku telah jatuh hati pada salah satu yang matanya paling jernih. Sejak aku melihat kakinya seperti ibuku, aku tak bisa lamalama tak menatapnya. Kapal terbang menjadi murung, enggan berlayar sendirian di angkasa. Aku tak bisa menghibur siapasiapa, terlalu sibuk menghapal sejarah.

Aku tak mencegah pagi itu pergi, anak lakilaki dalam bajuku ingin cepatcepat pulang sekolah. Mengganti bukubuku dengan celana. Satusatunya celana pemberian sahabat ibuku, sebuah celana panjang yang dipotong jadi dua bagian, satu untukku, satunya lagi untuk anak sahabat ibuku. Begitulah yang kuingat tentang cinta. Aku tak pernah mengenal anak yang mengenakan setengah bagian dari celanaku. Yang terpenting aku sudah cukup berani memandang mata jernih teman perempuanku dari lubang celana baruku. Aku masih anak lakilaki, tidak seperti pagi yang menyerahkan dirinya kepada sudut dan parabola.

Pagi itu tentu bukan anak lakilaki, tak punya kaki bersepatu katak, tak bisa meloncatloncat. Bagusnya pagi akhirnya pergi, meninggalkan aku, anak lakilaki bersama katak di geladak kapal. Anak lakilaki bertanya tentang sebuah dunia yang tenggelam. Katak tak pernah ingat apaapa. Aku sedang memikirkan katakata bapak, apakah masuk akal, sebuah kapal sanggup memuat semua jenis hewan, meski masingmasing hanya sepasang. Aku tertawa, ternyata bapak tak hanya pintar menjala ikan.

Kami berlayar, di angkasa. Aku merasakan lumpur menempel sejuk pada tungkai dan jari kaki. Wajah anak perempuan itu bermunculan dari pantat kerbau, tak ada kuda di situ. Aku mau pulang dulu, kepada ibu, menghitung hasil curianku. Aku tak takut mereka bersedih kehilangan ingatan, semua sudah tertulis pada kitab ramalan, lama sebelum aku dilahirkan. Bahwa tak ada larangan menghisap madu semua bunga yang mekar di sepanjang jalan. Tak ada peraturan, tak ada petugas, dan tak ada penjara, juga tak ada kertas dan tinta yang akan mencatat kesalahan seorang anak lakilaki yang tak pernah membaca kitab suci.

Aku anak lakilaki,memakai celana pemberian sahabat ibuku, sudah bermain sambil mencuri sepanjang hari. Ibuku mendekat, lengannya menawarkan pelukan, aku merasa mesti menurunkan layanglayang sebelum malam, agar layanglayang tak bertabrakan dengan kapal terbang. Bapak menunggu, kapal terbang kembali mendarat, untuk berlayar di laut seperti yang seharusnya. Aku berlari keluar rumah, menarik benang layanglayang, memanggil kapal terbang. Kulihat anak perempuan menunggu di bawah pohon jambu, di pipinya ada purnama bermain mata. Aku ragu, aku kan belum dewasa. Aku masih ingin belajar bahasa jepang.

Aku anak lakilaki yang tak pintar menahan diri, seperti paku tertarik besi sembrani. Anak perempuan itu, pasti memakai ekor kuda sembrani pada kepalanya untuk menarik anakanak lakilaki berlengan besi. Kusentuh lukisan purnama di wajahnya, teratai yang mengapung di bibirnya, kudengar sepasang murai sedang berkicau di balik punggungnya. Marilah terbang, sebuah panah menembus leherku. Tanpa luka, tanpa darah, hanya sepi yang terkoyak, berjatuhan di atas rerumputan. Ibu mulai cemas, memanggilmanggil namaku. Anak perempuan itu telah menang. Aku merasa ringan, ketika sayapku terkembang. Anak perempuan naik ke punggungku, menarik tali kekang di leherku, kali ini kami sungguhsungguh terbang. Lebih tinggi dari pohon jambu.

Kulihat ibuku memandang ke atas, ke arah tubuhku yang menjauhi tanah. Lalu bapak berlarilari dari arah pantai, mengejarku. Aku berkata, sebentar ibu, teman perempuanku ini akan mengantarku jalanjalan sore. Teman perempuanku begitu bersemangat, memegang tali kekang di leherku kian erat. Jantungku bergetar hebat. Aku melihat kilat menunggu dengan senyum bersinar. Di sini, cepat, di sini rumah barumu, dindingnya utuh, dengan ruang yang tersekatsekat, kulkas, tempat tidur pegas, tirai, dispenser, dan televisi yang menyala. Ada ibu dan bapak di balik layar kaca, berpelukan penuh haru di rumah yang baru.

Aku senang sekaligus gamang, teman perempuanku tibatiba sudah jadi wanita dewasa, cantik dan bersahaja, membawa mikrofon di tangan, menanyai semua orang yang berkerumun di bawah pohon jambu. Anak lakilaki itu dipeluk ibunya yang tanpa henti mengucurkan airmata. Teman perempuanku berkatakata dari balik layar kaca,”Setelah sang suami menjadi korban dalam pertikaian antar nelayan seminggu yang lalu, kini sang ayah ditemukan menggantung diri di halaman rumahnya. Diduga kerena stress dan gangguan jiwa yang dideritanya. Menurut keterangan para tetangga, pria yang usianya sekitar 70 tahun tersebut sering bersikap aneh sejak anaknya meninggal.”

Aku melihat tubuhku berayunayun di dahan jambu, dengan leher terjerat pada tali rami, berserabut, kelabu kemerahan menyatu dalam kepangan. Warnanya seperti ekor kuda pada rambut teman perempuan anak lakilaki yang memandangku dengan mata bingung. Mata yang bertanya pada dinding rumah, siapakah dirinya, kenapa bisa ada dua, di atas tanah dan tergantung di dahan jambu.

Ini bukan pagi, aku bukan anak lakilaki. Matahari menjadi lingkaran merah pada bendera, lingkaran yang sudah pecah. Warna merahnya mengambang pada putih, berkibar di bawah langit. Tak lama datang orangorang gagah yang merobek langit dari bendera. Anak lakilaki itu akhirnya hanya tinggal punya merah dan putih saja, tulang dan darah. Ibu itu bukan ibuku, dan televisi itu berpindahpindah tempat, sambil terus menggumam, ini bukan sinetron.  Aku berkata dalam hati, semua pasti sudah sinting. Biar saja tubuhku terus tergantung di dahan jambu, selama burungburung murai masih berkicau di balik punggungmu* 


membangun mimpi

Hati itu telah tumbuh pada musim yang kaku. Bukan kemarau, tak ada debu, tak juga semi benih. Salju meleleh di keningmu. Menjalari nadi, merambat dan mengikat denyut, hampir mati. Tapi aku tibatiba membaca diktat yang menjelaskan bahwa hati sejak semula tak punya denyut, jadi kematian itu adalah sebuah tipuan, dibuat semata agar aku teralih darimu.

Hati menjadi lentur, membenturbenturkan gema pada lorong gelap yang setia berjaga. Bernyanyi, menyeru untuk bangkit. Mengingat masa lalu, balok berwarna, lukisan istana, sepatu roda, berlarian di lorong bawah tanah, menelan jalan menuju jantung. Mencari denyut. Kau mencoba menyusun potongan kayu jadi belalang atau kupukupu. Aku membantumu, menghidupkan lampu di atas meja belajar yang tertimbun kertas ujian. Kita bernyanyi dengan tempo sedang.

Hati itu menjadi rimbun, meneduhkan cuaca yang terik, membakar setiap kaca, di setiap lantai. Kepalamu menjenguk, mencari sahabat yang rasanya baru saja terbang. Mencari tanah lapang yang berlarilari mengejar bola. Sebundar dunia, tembus pandang. Kulihat jantungmu berdenyut di sana. seharum sabun, selembut rambut ibu. Dari sebuah lubang di lantai kamar, aku menemukan sebarisan mimpi, berdesakan menumbuhkan hati.

Sebentar saja, tunggulah aku membangun istana dari balokbalok berwarna, mengenakan sepatu roda kita mengejar bola. Tanah lapang akan menyerah, membiarkan belalang dan kupukupu menggali lubang, menanam semua yang berdenyut. Menyambut tumbuhnya debu dengan sukacita. Debu yang akan merubahku jadi peri, terbang mengunjungi sebuah negeri dengan sepanjang tahun musim semi. Menanam benih pada setiap kaca*

jump

Ciumanmu melumat surga, atau membakar neraka. Aku tak bertanya, hanya menimbangnimbang apa yang bakal tertulis dalam lembar tagihanku kelak. Harga yang harus kubayar untuk menghirup nafasmu. Berapapun tak masalah, aku tak ingin menghitung segala yang kunikmati. Aku hanya enggan mengulangi sesuatu yang tak bisa berhenti dalam sebait sajak, walau berantakan. Bimbang menata rindu dalam katakata yang tak pernah bisa mengatakan sebenarnya rasa, terpenggal.

Menciummu, adalah meramu selaut racun dalam segelas maut. Menerjunkan jiwa dari puncak tebing hingga dasar jurang terdalam, di setiap celah batu, kutemukan bibirmu merekah berjutajuta*


siang di atas bangku

Sebuah siang yang bukan milikku, kau adalah sebuah bangku, di bawah mendung, aku termenung, mengenang gununggunung yang pernah kau bawakan untukku. Aku harus duduk dan membaca buku untukmu, sebelum matahari terbenam di dasar kolam, anakanak katak berdatangan, ikanikan berenang berputar, melingkari jasad matahari. Tapi gununggunung itu masih tegar, menanti matahari pulang di lengkung lengannya. Gununggunung tak punya mata, sabar menunggu matahari meminjamkan mata untuk menggambar senja.

Aku berbaring di atas bangku, membisikkan namamu di bibir siang yang bukan milikku*

berbagi keheningan

Ibuku adalah perempuan hebat, macam orang bijak, sepanjang hari kerjanya duduk merenung dalam keheningan di tengah keramaian. Pada sudut tangga teratas sebuah pusat perbelanjaan. Ibuku duduk tenang sambil mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata. Hanya sedikit anggukan dan senyuman yang diberikannya pada semua orang.

Aku bisa membayangkan ibuku sebenarnya adalah pemilik tempat itu, pusat perbelanjaan megah, yang pintunya bisa membuka dan menutup sendiri saat ada yang hendak keluar atau masuk. Ibuku adalah pemiliknya yang sedang menyamar, duduk pada anak tangga teratas di sudut pintu yang cerdas. Karena ibuku ingin melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Memang begitulah adanya, ibuku selalu memandang dunia dengan sudut pandang yang berbeda, semua kisahnya disembunyikan dalam matanya yang kerap menolak bertemu pandang dengan siapapun, hanya menunduk, seolah di tungkainya dan pada lantai itu, ada sesuatu yang berkelip indah, macam bintang jatuh, atau gerhana matahari langka yang harus dipandangi sepenuh hati.

Dalam mata ibuku, tersimpan banyak buku, kerap dibacakannya satu untukku saat aku tak mudah terlelap di malammalam gelisah. Aku mendengar suara ibuku serupa nyanyian paling merdu. Sebuah lagu yang tak pernah bisa kubandingkan merdunya dengan nyanyian bidadari dalam mimpi sekalipun. Lengan dan dadanya selalu hangat jadi tempat bersandar. Dan ibuku terus membaca, aku merasa sedang hanyut dalam sungai beriak lembut, dengan suara jernih arusnya menyentuh batu.

“Jadilah sungai,” Ibuku pernah berkata. “Jadilah sungai, tak pernah letih mengalir. Tak perlu tangan dan kaki, untuk menangkap atau mengejar berkah. Jadilah sungai, riang, sejuk, selalu menerima semua yang ingin berbagi . Sampah atau berkah hanyalah prasangka.”

Aku percaya, meski tak mengerti.

Ibuku sebenarnya adalah pemilik semua tempat dan benda. Tak perlu membawa pulang semua yang kita punya, ibuku juga pernah berkata. “Pemilik tak perlu membeli dan ingin memiliki.” Maka aku tersenyum memandang semua orang yang lalulalang membawa banyak tas berisi belanjaan. Kasihan mereka semua, bagaimana mungkin mereka  bisa tak punya segalanya. Hanya beberapa lembar kertas dan beberapa keping logam bulat yang mereka punya. “Karena mereka sudah punya, maka mereka akan berbagi untuk kita.” Ibuku selalu benar. Mereka berbagi beberapa lembar kertas lusuh dan beberapa keping logam dengan ibuku yang mengulurkan tangan.

Suatu malam aku bertanya,” Jika mereka terusmenerus membawa pergi semua milik ibu , apakah suatu hari nanti tak akan habis semua milik ibu.”

Aku sangat gembira ketika ibu mendengar tanyaku, lalu berkata, seperti  menjawabku,“Tak akan ada yang habis jika dibagi. Kecuali dengan berhenti berbagi.”

Aku tak mengerti.

Belum sempat aku bertanya lagi, lampulampu meredup, padam satupersatu. Waktunya ibu berhenti mengulurkan tangan, bangkit dari duduknya, merapikan kusut pakaiannya. Lalu ibu menggendongku menuruni tangga, berjalan ke arah jalan. Semua lembar kertas dan keping logam dalam tangan ibu dijejalkan begitu saja ke saku mantelku.  Kami berjalan meninggalkan pintupintu yang tertutup.
Kami berjalan menyusuri malam, aku melihat bintangbintang bergantungan di puncak tiang. Ibuku bilang,”Lihatlah, ada bintangbintang yang mau turun, hinggap pada puncak tiang untuk menerangi jalan kita.”

Aku terus menempel pada dada ibuku, kudengar ada degup hangat dari balik dadanya, juga suara gemericik sungai dari perutnya.  Di sebuah warung nasi, kami singgah, ibu merogoh beberapa lembar kertas dan keping logam dari saku mantelku, menukarnya dangan sebungkus makanan dan minuman. Setelah menyimpan semua dalam tas lusuh di pundaknya, ibuku melanjutkan berjalan pulang, aku merasa nyaman dalam dekapan lengannya.

Mungkin aku sempat terlelap, tahutahu sudah sampai di rumah. Ibu memanggil namaku sampai aku terjaga, mendudukkanku pada sebuah balai bambu. Matanya masih penuh kisah, ibuku membuka bungkus nasi dan memindahkan teh dari plastik ke dalam gelas. Kami mulai makan. Ibu menyuapiku pelanpelan, mangantarkan rasa sedap pada lidah, mengalir nyaman ke sekujur tubuh. Aku dan ibu berbagi sebungkus nasi, seonggok tumis kangkung, sepotong tempe goreng, dan segelas teh.

Tak akan ada yang habis jika dibagi. Kecuali dengan berhenti berbagi. Aku tak mengerti. Nasi, tumis kangkung dan tempe goreng sudah tak bersisa. Sebentar lagi gelas teh juga akan kosong, sementara kami masih berbagi sunyi. Mata ibuku masih penuh kisah. Waktu tidur tiba. Ibu membasuh wajah, tangan dan kakiku dengan sedikit air dari ember di pojok rumah.

Saatsaat paling menyenangkan adalah saatsaat berbagi. Mata ibuku mulai berkisah, untuk mengantar tidurku, membuaiku dalam mimpi indah. Berbagi hati, berbagi mimpi, “Seperti ibu dan bapamu dulu berbagi balai bambu yang sama. Berbagi jalanan dan mimpimimpi malam. Berbagi suarasuara riang, denting gitar dan lagulagu cinta paling merdu. Sampai waktu enggan berbagi dengan kami, membawa bapa pergi. Meninggalkanmu untuk berbagi kesunyian dengan ibu.”

Aku selalu bertanya,”Kemana waktu membawa bapa pergi?” Tapi ibu tak pernah menjawab, mungkin ibu tak mendengarku, mungkin ibu tak tahu. Mungkin aku tak bertanya, bahkan tak pernah bersuara. Sama seperti aku yang tak pernah tahu seluruh kisah dalam mata ibuku.
Hanya ada saatsaat berbagi, yang jadi saatsaat paling menyenangkan untukku dan ibu. Berbagi kehangatan dan senyuman. Berbagi degup dalam dada, berbagi gemericik sungai yang mengalir di perutku dan perut ibuku.

Dari hari ke hari aku makin tahu, ibuku adalah perempuan hebat. Satusatunya perempuan di dunia yang pandai berbagi keheningan denganku. Tak akan ada yang habis jika dibagi, kecuali dengan berhenti berbagi. Tak akan pernah habis keheninganku, sampai waktu berhenti berbagi denganku dan ibuku. Mungkin setelah semua berlalu, akan ada suarasuara riang, denting gitar dan lagulagu cinta paling merdu yang berbagi dengan ibuku. Mata ibuku masih penuh kisah, tak akan pernah habis jika dibagi.

Aku tak mengerti, jika berbagi keheningan bisa begitu indah*