Jumat, 26 November 2010

soulmate

seekor kupukupu terbang di jalan berdebu. sayapsayapnya mengepakkan tanya, tentang taman yang hilang, hangusnya ilalang , balok kayu dimata hari. lampu merah; mobil dan motor berhenti. kupukupu tak peduli. tukangparkir memaki tukang roti. ini pagi atau siang, mendung menutup cuaca dari pandangan satpol pp yang mengincar becak dan penjual rambutan. lampu hijau; semua berlari kembali. angin melaju menerbangkan duriduri mawar. aku membeku didepan pintu. kupukupu terbang ke arah tugu adipura di tengah perempatan jalan. dibawahnya seorang kusta tersenyum ulurkan tangan meminta madu. aku melihat tubuh kaku pada aspal, remuk pada tempurungnya. kau berlutut menyebutnyebut namaku, mengamuk dan tunduk. kupukupu mengecup telingaku," lama kali aku menunggumu." tak lama kemudian, aku terbang bersama kelopakkelopak mawar...

kuncup bunga plastik

Sudah setua apakah malam saat kau datang, sudahkah wajahnya dipenuhi kerutkerut tanda uzur tanpa akur kemana angin bertiup. Bunga di vas itu serasa selamanya akan kuncup mengejek waktu yang lewat dan berani tanyakan kenapa dia tak jua merekah. Bukankah kita harus paham tentang perbedaan antara hidup yang berjalan dan kematian yang menunggu dengan diam. Sebelum aku terlupa pada segala dongeng masa kecil, tentang kerajaan, putri cantik dan pangeran tampan, sudah selayaknya kau bisikkan lagi cerita itu dalam mimpi, agar kantuk dimataku tak lagi enggan kupeluk. Detikdetik berpacu dinadiku seirama nadanada riang gerimis musim semi di darahmu. Sudah sepantasnya kita bertemu tanpa ada tanya tentang waktu, karena begitulah menitmenit merajut selendang bagi anakanak kita kelak. Lalu jadi tak penting lagi batasbatas jam berjaga sebagai penghalang langkah niat mengikat ruang. Biar malam jadi terlalu rapuh di dadamu, atau siang berpengalaman merintang dilenganku. Bunga di vas masih kuncup menunggu sentuhan ajaib anakanak kita untuk mekar menyambut musim semi di jalanjalan yang akan kita lalui tanpa peduli hari, bulan, dan tahun masehi. Pun, tanpa peduli bumi dan matahari menyengat menggugah sekarat di loronglorong sesat dimana segenap istana megah menanti kau jadi pangeran dan aku permaisuri, pada dongeng abadi yang akan selalu dibaca berulang kali untuk anakanak masa depan, demi meraih mimpi tak pasti, mekarnya kuncup bunga plastik saat embun mengecup dini hari…

selamat pagi sikat gigi

Aku katakan selamat pagi pada sikat gigi. Dinginkah pasta gigi ditubuhmu subuh ini. Kau selalu pasrah menelusuri remahan katakata disetiap sudut jalanku, saat aku singgah menumpah hujat, puji dan pasrah, buram gigi demi nikmat segala noda dan cela, relakah kauhapus semua. Tebing rasaku, palung gundahku, busuknya serapah, perihnya luka, akankah kau ceritakan semua gairah sentuhmu. Kau mengoyak, bukan kau merepih dinding pembatas pintu dimana dia mengetuk. Dan kaubiarkan aku membasuh daki, lendir, pun anyir syairsayair yang terlahir dari perzinahan indah sebait doa saat terpikat pesona dosa. Lalu air yang kuguyurkan di tubuhmu segera sejukkan senyumku. Sesaat lagi kucium harum teras rumahku tersapu bersih, ikhlasmu sempurna hanyutkan jejak sajak dalam bungabunga chrysan sepanjang jalan pulang ke pintu nafasnya…

obat nyamuk (bukan judul)

Meringkuk di bawah dipan, diamdiam aku merekam tiap derit di malammalam yang pelit, tak mau berbagi eloknya purnama atau alunan suara nyanyian angin di sela bambu. Ruang sempit tanpa cahaya lampu mengurungku pilu, hanya sedikit pelita menyala ragu, kehausan minyak, dalam hati ingin kutawarkan tuak sebelum penaripenari didinding keburu mati. Begini sepikah dunia, pahit terjulur nafasku, ku ratapi takdirku, kenapa keharumanku mesti jadi pembunuh keji bagi satusatunya mahluk indah yang sempat kukenal. Mungil paruhnya merah secerah senja, sayapsayap kecil bergetar tanpa henti, mainkan musik eksotis tanpa nuansa sadis dipaha dan betis. Duh, apakah aku membunuhmu..maafkan aku, tapi tibatiba aku di ujung menatap aku yang pangkal, kian dekat. Tibatiba saja aku ketawa, ahh sahabat kecil, kita bersama mendekat ajal, dibalik dinding ini aku akan merengkuhmu dalam wangiku tulus, kita akan terbang bersama merayakan hilang nama dan suratan...

...

Aku menemukan senyummu di sebuah elevator. Merangkak mendaki kawatkawat baja, dinding serupa kaca memantulkan wajahwajah jadi sejuta, menarinari di dengung telingaku. Kulihat angka berganti, aku teringat pada mistar yang kupatahkan saat aku mendendam pada belaianmu. Tapi disini, tak ada langit atau awan yang membuat hati merintih, tak ada aroma hujan, tak ada laron atau cicak untuk diajak bicara. Hanya tungkai beraneka rupa menjepit angan di selangkangan. Rindu tak tau malu merayap ke puncak kepala. Pada angka yang seumur denganku pintu membuka, hamburkan penat, lantas sesat pada lorong bercabang. Aku lari sembunyi, takut terbawa hingga kepuncak, dulu kusangka ada neraka di atas sana, ternyata…

pengantar tidur

Kau datang tibatiba dari mimpi, duduk disamping tempat tidurku membawa kisah yang dulu dibacakan bunda menjelang tidurku. Kaubawa aku dalam lembah waktu menjajaki sepi sepanjang pagi. Aku belajar mengerti saat bunda menghilang tanpa pamit ketika aku lelap tertidur dalam pelukan sepenggal ceritamu…

doa

Tangantangan malam terjulur liar mengacak rambutku. Kutengadahkan wajah menatap selengkung senyum langit dibulan sabit. Gemeretak kesunyian mengunyah cahaya, lalu muntahkan kembali nyala yang tak sempat tertelan, mengotori langit. Penuh iba kuusap wajah malam dengan doa, hingga muntahan cahaya berseri kembali. Menerbitkan bintang dilangit malammu…

malaikat maut

Malam ini, akankah kau datang lagi dari dinding lembab rumahku. Seperti biasa kita akan bercakap dalam bahasa sunyi. Bertukar sapa di puncak hening. Dan aku terpesona mendengar setiap kisahmu. Kau telah singgah ke banyak rumah sebelumnya, hanya sekali saja. Tak seperti aku yang keras kepala, atau mungkin terlalu tinggi hati, belum juga terbujuk rayumu ikuti kau pergi, menyusuri lorong panjang berujung gua, tempat dimana jasad seorang nabi bersemayam. Tak apa, kau bilang, “masih ada banyak malam yang akan membuatmu geram, hingga akhirnya kau mau ikuti aku membalas dendam pada tubuh rapuhmu, meninggalkannya terbujur di pintu waktu.”

pertemuan

Seorang perempuan meniup seruling diujung jalan, merayu angin agar diam sejenak. Perempuan itu sedang memetik nadanada dari debu beterbangan dimatanya, ingin manatap wajah pucat seorang lelaki yang hilang ditelan kabut waktu nan jauh.
Sesosok malaikat tampan terpikat, lalu berjingkat kedekat pundaknya membisikkan sebuah lagu kematian…

gerabah

Segumpal tanah berputar mengitari angin meremas air
lengan dan jemari menarikan tarian unggas jantan dimusim kawin
birahi pada lempung merengkuh gairah padat
membuahi rahim periuk berwarna pucat
bakar adalah jalan kelahiran
periuk merah terlahir dari percintaan tak terelak antara yang terinjak dan yang tercurah
ditangan nasib yang tersingkir

jarak

Sepi itu kaudekap sangat dekat. Aku masih menunggu di ujung hari mengacuhkan sunyi. Dan rindu hanyalah kata tak bermakna yang pisahkan sepimu dan letihku. Lalu cinta serupa sentuhan angin, lembut mengusap tengkuk kapan saja kau menunduk pandangi jejak langkahmu di jalanku…

serupa malam

Aku mengaduk pekat malam bersama serpihan bintang dalam secangkir air panas, dari hujan yang terjerang resah. Kini tersaji kopi harum dimejaku, uapnya mengepul hangati jemari. Kentalnya melupa kesal, jauhkan sesal. Kureguk lambatlambat hangat malam dari cangkir semesta. Betapa nikmat, lezat menjerat hikmad .. mungkin subuh nanti akan ada banyak sajak tersangkut di lidah mimpi..

jalan kenangan

Ku tertegun pada malam tanpa bulan;
seorang lelaki meniup harmonika di gerbang kota, lagukan masalalu, meresapkan keluhan dalam tiangtiang lampu. Malam merunduk ke arah jalan, mengaduk remang kabut..
terduduk aku di trotoar, bertanyatanya kemana aku bisa pulang mengambil bulan; dulu telah disimpan ibu dalam syairsyair purnama curian ayahku…

labirin (entah apa, mungkin bukan puisi)

Andai aku tau kemana asap menghilang. Segala hal punya siklus dalam hidup, tapi nampaknya asap punya takdir berbeda. Menguap lenyap tanpa jejak. Mereka, yang katanya berotak cerdas tau banyak cerita tentang asap, asap kretek, sigaret, cerutu, candu, cendana, limbah, sampah, juga asap penggoda selera dari uap nasi jagung atau singkong rebus yang berdesakan di celah kayu dapur, bergulung dekat sumur. Mereka yang pintar, disebut ilmuwan, paham zatzat yang terkandung dalam tiap kepulan yang melayang searah angin, tak cukup tinggi tak jauh pula, sebentar menghilang, aku hanya bisa diam mencoba mengingat aroma syahdunya. Persetan dengan nama beragam zat dan istilah ilmiah, tak peduli aku pada segala macam proses dan reaksi kimia, bahkan aku tertawa geli dalam hati, sambil berbisik sinis; mereka yang merasa pintar, sesungguhnya hanya manusia sinting, sungguh malang mereka tak punya sesuatu yang cukup berharga untuk dikenang hingga kerjakan halhal tak berguna, lalu mencatatnya sebagai pengetahuan yang mesti dihapal anakanak sekolahan, tentu bukan aku, si badung, dan pemalas, kata guruku yang kurang ajar. Biar saja, biar akan kupastikan aku takkan pernah jadi pembaca dan pengikut mereka. Aku suka kegilaanku sendiri, aku pencipta imajinasiku sendiri, aku narcist tak tau diri. Aku punya kisahku sendiri, akan kuceritakan tentang asap, terutama asap yang sering lewat dan singgah pada nafasku. Aku jenius yang awam, hanya bisa pikirkan kesederhanaan kenyataan, saat kuhirup aroma mint bercampur pahit ke rongga dada sepertinya sekuat daya kubenamkan segala nikmat dalam hangat ingatan, ada pemberontakan tak tertahan dalam selsel otak dan aliran darah, mendobrak sekat jantung, menerobos bilikbiliknya, serupa peluk perjumpaan yang harus diulang dalam dekapan perpisahan, gejolak hasrat tak pernah sempurna tercatat, belum tuntas tercurah, tergerus sendunya rindu, kelabu, asap memaksa melesat terbang, tanpa belas kasihan tinggalkan rasa lezat seketika jadi angan sesat, tercabik, terbuang, berusaha bertahan riang, meriang sebelum meradang, terkekang ruang, terjerat detak.
Tak kutemui desir angin membawa asap pergi, tak ada panas cahaya merubah asap jadi uap digumpal awan. Tanpa alasan, tanpa penjelasan, mungkin ada sedikit kesan, atau pesan samar tertera dirongga hidung, pun di sudut mata pedih ini.
Asap hilang begitu saja, serupa waktu berlalu tanpa tau kemana menuju. Aku meratapi ruang, kehilangan harum asap segala kenangan dari waktu ke waktu.

kecup

Detik ini hanya titik awal sebuah lengkung panjang melingkar
mengantarku kembali ke waktumu
penuh..


samar

bulan menyala padamkan malam,
tersesat aku di kelok sajak, buntu awal , hilang asal,
menyusur jalanjalan harum jejaknya
kucoba merekat katakata, malah mengurai titiktitik

pilu kuratapi bayang bulan hanyut di sungai
terhempas cahaya pada arus mimpi
perih

pintu

Sebuah batas kebebasan. Ketika kubuka kulihat seberkas sinar, hangat memeluk tubuh layu subuh. Mungkin sedari tadi matahari menunggu, mencoba mengetuk hanya dengan cahaya. Matahari memang tak punya telapak tangan untuk mengepal dan mendobrak, pun tidak untuk menuliskan sajak. Aku masih lelap. Tuli oleh teriakan gelap. Sampai kau datang, muncul begitu saja dari dinding. Menyentuh dan mengecup lembut kedua mataku.
“matahari menunggu dibalik pintu," kaubisikkan di keningku..

ritual

Hitam pelanpelan memudar. Terusik garis cahaya ditepi bumi, terang mengoyak sajaksajak belum kelar diatas meja. Kuyu oleh asap, tertahan dalam detak jantung terpacu pahit kopi kental. Bantal masih utuh dan selicin malam, sebab kepala enggan menyerah pada kantuk. Selalu begitu, dini hari datang bergairah pada sekuncup mimpi siang hari. Suara pagi, erangan tubuh rapuh pemilik dengkur melahirkan tanya memuakkan, apa malam diciptakan lebih panjang dari siang, lalu kenapa jejaknya tak habis pula kususuri, belum berujung embun pada kawatkawat jemuran.
Menitmenit membisu, seakan tak paham bahasa, padahal dulu waktu yang ajari aku berkatakata, setelahnya tanpa rasa salah tinggalkan aku dalam ruang tak bersuara. Dusta macam apa yang nekad katakan bahwa mata mengenal rasa lelah, nikmati pejam panjang yang terpajang di mall, buka 24jam. Sebuah gelap demi sedikit lelap pun, tak tau mesti kubeli dimana. Tak ada iklan yang menawarkan ketenangan, selalu cuma riuh pertunjukkan melulu, yang mengikat jemu diantara jeda tawa dan tetes airmata. Permainan rasa yang sama.
Serupa mengulang satu bab selama berabadabad
Penat tak pernah lalai mencegat langkah melambat
Mestinya aku bisa terbang andai tak kuberikan sayapku sebagai mahar malammalam bersinar dulu, ketika aku jadi mempelai mimpi dalam sebuah puisi pagi..

riak

Senja mulai beranjak. Andai aku punya kail dan joran, akan kuumpankan sebuah isyarat bibir untuk memancing senja dimatamu. Kau sangat tau, coretanku selalu lapar pada rona langit barat sore hari, sering aku jadi hamba sahaya dari tatapanmu yang biaskan jingga sempurna di mataku. Begitu ngilu jiwaku oleh tumbukan rindu, ketika nalar dan rasa bertempur, menggugurkan beku waktu pada jam tanganmu. Kulihat nadimu berdenyut kencang saat umpan bertemu tangkapan. Lalu kita makin hanyut dalam lembayung langit, terbenam malam dalam catatan…

sungai

Aku akan coba pahami bagaimana kau melukis sungai di sepanjang lembah. Dengan riak dan arus tenang. Bermula dari sudut mata, menuruni tulang pipi menuju rahang dan dagu. Persis seperti jejak jemarimu di wajahku. Dimana kenangan paling sejuk tentang sentuhanmu akan mengalir sepanjang musim.
Sungai yang tak pernah mengering


cantik

Jika memang harus luka, maka biar segenap nanah dan darah mengalir deras, agar tak membengkak pembuluh darahmu, serupa jantungku membendung rindu. Menjerit akan buat kau merasa lega, sedang hanya rintih yang mampu terbisik disudut bibirku. Jangan tanyakan alasan untuk sebuah kerelaan, jika tak pernah terbayang dibenakmu sebuah jurang yang pisahkan hasrat sepasang domba. Juga tentang perjumpaan, jangan ragukan sahnya hati terpikat pada sosok kabur dalam jarak pandang namun menyatu dalam derakderak ranting patah tiap kali angan menyatukan sajak. Ya, kau tentu tak paham bahwa setiap malam diciptakan bagi langit untuk dikoyak bintang. Hanya kerena cemburu matahari, diutusnya begitu banyak teman kepercayaan untuk mengawasi bumi, kawatir bulan berhasil mencuri sebuah kecup dari sayup nafas tubuhtubuh yang terbujur, entah mati atau tidur. Bukannya melantur, setiap kata yang terulur menggapaimu, walau selalu kau bilang, maaf , demi kesalahan yang sama berulang, tetap tak sedikitpun terbesit niat untuk obati luka, karena warnanya tampak begitu indah. Atau karena kau sekarang mulai mengerti bahwa hanya pada sebuah lubang perih akan ada jalan masuk ke dunia tanpa logika dimana cinta bertahta. Dan disanalah takkan pernah lagi kau tanya kenapa. Luka itu telah bicara, lihat seratserat urat pada daging tanpa kulit ini, cantik bukan, tak seperti kulit yang selalu kelabu oleh debu, dan mengerut oleh waktu. Pada luka, bisa kau lihat daging dan darah masih merah. Semerah bara dijantungku, bara yang membakar hasratmu, meledakkan rasa jadi serpih bintang dilangit malam..

insanely

Sekarang aku makin tau, betapa kau pengecut. Purapura tak kau dengar tantanganku, padahal sangat lantang, berharap kau datang. Dengan parang tajam tikam beku jantungku yang sakau.
Atau mungkin kau sakarang terlalu sibuk, banyak kerjaan, begitu banyak bencana, celaka, pun petaka. Dan kau sungguh kampungan, hanya pada mereka para pecinta dan pemintaminta, kau berani mendekat, cuma untuk ledakkan keakuanmu ditiap tolakan beri sepakat tentang jalan pulang.

Ayatayat yasin dan tahlil mendengung iringi langkahmu
Mereka menangisi kedatanganmu
Aku mencaci keacuhanmu
Dia tersenyum untuk seekor buaya yang menelan anaknya

sekarat

Menyusuri lorong nadimu dengan gairah kental, begitu saja kau biarkan warnaku mengubah merah darahmu jadi kelabu. Susah payah kau jaga nafasmu dari dekap beku kabut, maka akan kulubangi jantungmu demi lega kau hirup udara. Lalu kita akan menari dengan gerakan yang tak mampu dimengerti keindahan. Meliuklah semua tiang penyangga usia, lupa akan selalu ada siasia. Sekarang kita berpeluk, berbagi peluh, sementara jenuh diamdiam menunggu di sudut pasi.

Jangan pernah terjaga, sebelum puas mimpi mengejek nyali

kumohon padamu...

Biarkan aku
bertemu ibuku
untuk letakkan
surgamu
di telapak kakinya...

sejarah

Anganmu terbang jadi burung,
melayanglayang sebagai malaikat dan segala bayangbayang.

Kepalaku menjalar memburu anganmu,
liar mengibadahi sunyi tanaman rambat.

Jiwaku memanjang memburu anganmu,
membelit dan menjerat bulan hingga lumpuh.

Ah, inilah liar semua akar, jiwa tanaman bersandar..

masih

Pagi adalah kedatangan berulang menantang mimpi
Saat kau pulang kesarang lama dimana banyak buku menunggu untuk kembali meneguhkan hati yang masih tertinggal di kerlip bintang.
Malammalam selalu kembali panjang memajang ruparupa yang ingin diraih pada etalase buram kesiasian, tak terbeli. Terngiang doadoa dan harap tertuju pada berkah, mengarah pada harihari sederhana yang tertinggal jauh dari angan,

dan kenangan, entah mana paling bersinar ;
Nasi telah tanak, uap hangatnya mengepul selimuti lapar membeku sesal
Bukubuku lusuh, terkemas dalam tas sekolah berwarna pudar seingin belajar
Cangkul, di pundak renta dimana semangat kerap mengalah pada lelah sebentar pasrah
Kakikaki kecil, berlari kencang sepanjang tanah lapang mengejar layanglayang yang terputus benang terbang bebas dalam buai angin

Sejenak lagi, kisah pagi akan terulang kembali
tenggelam dalam mimpi malam yang tak pernah jenuh mengayuh
waktu berlari kearah tak pernah pasti, masih

tangis

Hujan subuh ini, menggariskan sebentuk tangis diwajahmu, ku coba mendustai waktu agar berlalu kembali pada semula. Selalu;
mendung tak pernah bosan menyimpan terka apakah hujan akan pasti mengguyur menghapus ragu, atau hanya gerah lembab udara yang akan mengurungkan saat jumpa. Apakah kau sungguh paham, sederas apapun hujan takkan lunturkan kisah kita..

rumah kita

Rumah adalah dimana sepatu ditaruh didepan pintu, menanggalkan kenangan yang terbawa jejak lumpur kering berbau amis, kata mereka ya..
Adakah kau didalam sana berbaring dilantai menatap awan, rumah kita tak beratap ya..

Untuk apa atap, selain hanya jadi penghalang langit yang rindu menatap matamu
Dan pintu, hanya jadi pembatas dimana alas kaki harus dilepas, demi rasa bebas dari letih dan luka yang sempat terbaca sepanjang jalan pulang ; mestinya layak dikenang, kan..

Akan kubersihkan lantai, pasti kusimpan baikbaik setiap jejak lumpur yang berserak di rumah kita,
sesudahnya ; betapa nikmat bersantai melepas lelah menunggu kau datang,
tak kusangka, saat ku tengadah, ada kulihat segumpal awan menggodaku, mencoba
lukiskan senyummu pada wajah langit..

sia sia

Kau mengajariku membaca pagi yang tersirat dalam remahan roti yang mongering, kripik kentang , sisa lelehan gulagula kapas, dan tepian gelasgelas lengket yang berserakan dilantai. Kita lupakan saja malam hening kemarin, katamu, biar menguap serupa kabut saat beranjak siang. Bukankah akhir pekan adalah waktu sempurna untuk berkencan. Demi sebuah kencan yang nyaman harus ada beberapa sahabat, teman kencan dan banyak kudapan. Lihatlah, malam akan berlalu kencang dalam hentakan musik cadas. Dan kita akan tinggalkan lara itu terkunci dalam lemari, bersama redamnya keluhan angan memuakkan tentang masa depan.
Masih pula tersisa tetes asam didasar kaleng, mendengking lirih, nyaris penyok terinjak kakikaki limbung penyangga kepalakepala yang alpa menandai luka.

Bersama sinar bulan, kau mengintip dari celah jendela, sesosok angin ngawang mendekat. Kau angkat aku dalam buaian setengah sadar, kudengar suara gerimis berbisik,
“jangan menangis, hidup hanya kenangan, tidak lebih..”

embun

Butir embun menitik haru diujung malam. Seakan langit merestui senyum tulus lambaian pamit bulan sabit merelakan fajar. Merekahlah timur, mengusir segala yang suntuk dan remuk dari jantung bumi.
Sedang kantuk ini, akan mewujud rona resah matahari dini hari. Menepikan setiap kisah mimpi meringkuk dalam pelukmu, lalu mengabur dihambur kepak sayap kupukupu dihalaman bukumu.

Pagi kembali; untuk katupkan kelopak matamu yang menarinari membuka kuncup angan mengembang nada riuh menyahut rinduku.

ingatan

Dimanakah ingatan sembunyi malam ini
Akan kucari ditiap kelokan mimpi, di jejak sajaksajak usang, atau di ujung puisi yang terlupa hari. Harus kutemui ingatan itu untuk menikamnya hingga mati, agar bisa kau temukan kembali keheningan yang hilang dari kenangan masa kecil.

Ingatan sembunyi dalam hangat nyala api, dan akulah ngengat terpesona mendekat tak hirau hangus terbakar
Ingatan melesap senyap didinding kamar, dan kaulah rayap ditumbuhi sayap riang sekonyong terbang

Pecundang bukan ingatan itu, mencoba kelabui sesuap nikmat katakatamu, meramu jemu pada ruam demammu, mereka merupakannya sebagai senja dikulitmu, sempat aku terpesona oleh warnawarna marunnya, sebelum ingatanku tentangmu menjelmakan rindu jadi rintih pada gigil suhu tubuhku.

Ada yang mengetuk pintu
Ingatan datang bawakan talam penuh butiran embun serta seikat kembang, menarikku kedalam peluk, berbisik lirih ,”aku bertemu dengan dia yang kaucari semalam, dititipkannya untukmu semua ini agar kau masih mengingatnya saat aku sudah mati”

hujan pagi

sungguh, tak kusangka sepagi ini sudah kausapa lagi
merinai awali hari, akankah kau basahkan lagi mimpi yang nyaris mengering
semikan tanah, tangkai dan bunga

kau yang selalu air
pernah kubaca wujud lainmu, meluap dari mataair yang jauh
selalu saja sesuatu yang jatuh
bergemuruh
jenuh
luruh

seluruhnya hanyalah suara menyuruh berteduh
duh, betapa pengecutnya manusia
sedang kupukupu riang menari dibawah guyurmu

pun, mawar itu pelahan membuka kelopaknya menyambut tiap tetes rindumu

tubuh

Aku kehabisan waktu. Jam pasir ditanganku beku, lalu hidup, tak lagi patuh pada sentuhku. Mengepal telapak tanganku mencoba membalikkannya, berkeras dia pada tempatnya.

Aku kehabisan daya. Hanya ratap memetakan sisa harap yang kian senyap dibungkam hampa. Kau telah merejam luka yang selalu kupertanyakan dengan apa akan terhapus perihnya. Apakah aku mengeluh tentangmu, atau tentang waktu yang mematung lugu ditengah taman dimana kita terikat satu dipintu hati yang kita lukai.

Butir pasir waktu telah berkehendak menyadarkanku pada sepimu yang riang melagukan bunyi desah nafas dan hembus asap. Lesap tinggalkan ruang berdinding kertas dalam benakmu.
Aku sungguh kehabisan waktu saat kau bisikkan pada rohku, hanya jasad yang mampu balikkan kembali jam pasir itu. Aku tibatiba tau bukan waktu yang habis untukku, hanya tubuh yang luruh jadi abu.

Abu yang ingin kau buatkan wadah dalam tabung waktu.

tentang

Pagi menelan bintang dalam terang, mungkinkah mimpi terukir kembali di pasir pantai dimana kakimu langkahi jejak sunyiku. Bukankah harus kujaga ruang kosong dibenak demi sempurna kudengar tiap bunyi dan gema suaramu

tentang cahaya senyuman
tentang hangat dekapan
tentang perih tikaman

takkan kupertanyakan apapun; agar kau boleh selalu singgah di beranda rumahku
berbagi sigaret dan secangkir kopi, dan lihat; jejak asap itu buruburu berhambur ke arah langit membawa ingatan nafasmu pada nikmat tiap hela dan hembus udara, hilang tertiup harum bungamu dan aroma musim hujanku

biar saja semua bentuk mengutuk rasa ; percaya pada tulusnya dosa ; demi rindu, ingin kubaca setumpuk catatan berdebu disudut ruangmu, satupersatu, sebelum habis waktu; sebelum pahit empedu di lidahmu menyita manis katakata di ujung jarimu.

lalu; kita mejelma serangga saja, agar sebutir gula senilai permata
bisakah...

bunga

Suatu hari yang sejuk ku pandangi bungabunga bermekaran riang di padang, lalu iseng,
Ku tanya pada bunga kenapa kau mekar, bunga hanya diam
Ku tanya pada bunga untuk siapa kau mekar, bunga tetap diam
Makin lama diam bunga seakan kian mengusik fikirku, akhirnya aku tak tahan lagi,
Ku cibirkan bibir pada bunga, kulontarkan kalimat nyinyir; ”kau sih tak bisa berkatakata, bisamu Cuma membuka kelopak, tanpa tau sebab, tak tau alasan dan tak punya tujuan. Kau memang payah, Cuma mahluk indah tak berakal.”

Sekejap kemudian aku mendengar gema tawa membahana di angkasa

Mestinya angin sedang tertawakan bunga,
Mereka pasti riuh saling berbincang, bagaimana mungkin kerjakan sesuatu yang siasia;
Tumbuh, membuka kuncup, mekar, hingga layu dan kelopaknya gugur satu demi satu, tanpa pernah tau kenapa dan untuk siapa, apakah ada yang lebih menyedihkan dari kisah mekarnya sekuntum bunga; yah aku yakin itulah yang ditertawakan angin.

Sejenak kemudian tanah bergetar hebat, seluruh yang ada di atasnya tibatiba bergemuruh luruh dihempas sesuatu, begitu kuat menyeret segala, berputarputar dalam pendar liar
Aku terjatuh, lalu merasa terbang terbawa pusaran dahsyat ke arah entah, gelap dan kalap
Disela teriakanku dan segala kekacauan itu, kudengar bisikan lembut;
“aku mekar untukmu sayang, karena semenit yang lalu adalah terakhir kali kau bisa memandang setiap bunga yang mekar di atas bumi. Sesaat sebelum semua lenyap tanpa bekas diterjang gelora topan.”

Aku menangis dalam pelukan angin, pilu menyayat sekujur tubuh dan hati


cinta gombal

Kau bertanya;
Dengan apa bisa menuliskan tentang cinta, tinta begitu cepat mongering dan memudar, kapur dan pensil akan mudah terhapus oleh sentuhan bendabenda yang tak tau makna
Pada apa harus tuliskan tentang cinta, kertas akan lapuk oleh waktu, dinding kusam oleh debu dan cuaca, batang pohon kelak akan roboh diterpa badai, pasir pantai tiap detik tergerus ombak

Aku akan coba menjawab, maaf kalau terkesan gombal;
“tuliskan dengan bibirmu yang tersenyum di anganku, maka cinta takkan pernah terhapus oleh apapun, tidak oleh airmata, tidak juga oleh resah. Takkan terusik oleh waktu, bertahan dalam segala cuaca dan badai”

Gombal tibatiba nimbrung;
Apa salahku kalau cinta memilihku jadi sahabatnya, aku memang paling paham hasrathasratnya. Aku yang sederhana, ada dari sisasisa yang dibuang sayang.
Aku yang tak pernah pilihpilih orang, semua pantas menyentuhku, dari babu sampai tuan direktur (kalau kebetulan beliau perlu bersihkan meja kerjanya dari tumpahan kopi saat asyik merayu asisten kemayu). Tentu cinta merasa sepadan denganku yang akan bersihkan setiap noda pada meja, lantai, dinding, juga telapak tangan siapapun. Aku yang rela baktikan diri agar setiap permukaan bersih dan jernih.

Cinta ketawa;
Bukan aku kalau tak mampu menggombal, tak rela digombali, sekaligus jadi gombal sejati

kisah labalaba

Mungkin kau terlanjur menerjemahkan dengan salah segala yang tersurat di garis hidupku

Aku yang kecil dan tak berarti, mungkin pula aneh dan ganjil

Ku untai sarangku dengan jernih liurku, sarang yang istana dimata pejantanku, sarang yang neraka di tubuh mangsaku.

Aku jelas bukan arsitek, apalagi artis, mana bisa jadi sok baik dan pintar secara teknis

Cuma mahluk mungil bermata bengis dengan sejumlah kaki yang mengarah tepat ke delapan penjuru mata angin, kirakira itukah definisimu tentangku, aku paham tentu pula kau tak pernah tau;
Aku sabar menunggui bukan hanya mangsa, tapi juga ceritacerita untuk singgah terjerat disarangku, aku tak lelah merajut kembali tiap helai benangbenang terkoyak yang terentang antara dinding rumah dan semaksemak perdu berbunga ungu itu. Semaksemak di mana kekasih tampanmu bergelayut saat rindu menghanyutkan hasratnya begitu kuat untuk memagut bibirmu, tak peduli bertaruh maut. Semaksemak yang merasa terhormat bisa jadi saksi romantisme pilu sebuah cinta terhalang, kau pasti takkan pernah tau semaksemak itu diamdiam membantu, menguatkan dan memanjangkan sulursulur tebaiknya agar kekasihmu lebih mudah memanjat dinding untuk menjengukmu yang mulai lapuk oleh rindu berkarat.

Aku tau kalian saling mencintai dengan segala bentuk kenaifan usia muda, bersaing dengan bulan merebut singasana malam terlarang yang terlupakan oleh tuatua bijak karena terlalu sibuk berperang, ato sekedar mencari uang.

Kau putri cantik, sejak semula aku sudah menduga ceritamu akan jadi legenda abadi tanpa pernah mati, kau dan kekasihmu telah menebus harga cinta yang tak siasia. Kekasihmu telah rela membayar tunai setiap rindu menuntutnya datang berlutut dipangkuanmu. Dengan seluruh harga penawaran maut dan hidup, yang tak pernah berhenti memperebutkan cinta dalam jiwajiwa pemuja sejatinya.

Begitu indah. Begitu pasrah. Begitu hangat. Begitu nikmat.

Semua berawal dari sebuah malam seusai pesta yang hingarbingar, itulah saat pertama aku melihat wajahnya, muda, tampan, penuh pendar harap sekaligus guratan luka menggenangi tatapannya.

Itulah saat pertama dia jatuh cinta padamu; rupanya.

Malammalam berlalu dengan debar begitu hebat saat kekasihmu memanjat pagar, suara derak semak, desir angin, kicau burung, dan syairsyair cinta bergema di udara malam. Membuat segala yang rindu terpaku, wangi rambutmu terbawa angin saat dia kekasihmu menyibakkannya dari keningmu yang hendak dikecupnya. Aku kehilangan selera makan, seringkali kulepaskan begitu saja seekor ngengat yang ketakutan pada kematian disarangku.

Seakan tak pernah bosan kekasihmu merayu dan memujamu, mungkin bulan sungguhsungguh cemburu padamu. Begitu juga aku, tak kupedulikan jantanjantan yang lewat, bahkan kuusir dengan galak yang nekad singgah di sarangku. Pernah suatu hari aku berkata, “janganlah pernah mendekati sarangku, jika tak bisa merangkai katakata seperti mahluk tampan itu untuk kekasihnya!”. Semua yang mendengar katakataku terbahak, dan kudengar seekor kecoa berkata,”kau pasti betina sinting, takkan pernah ada pejantan yang akan membuahi telurmu sampai kapanpun”. Apa peduliku..

Harihari berjalan menanti malam, siang begitu lambat, malam begitu terang. Cinta yang menantang terusmenerus, menggerus rasa dan hasrat liar makin menguat, mengalahkan segala sekat dan batas. Syukurlah kau punya pengasuh yang berhati lembut, meski suaranya seringkali melengking memecahkan hening rahasia malam, semua hanya karena beliau wanita tua yang sayang pada putri cantiknya yang tengah terjerat asmara.

Entah apa yang terjadi kemudian, suatu malam yang nampak lebih gelap dari biasanya, kekasihmu datang dengan wajah pias dan tubuh kuyu, tercium bau keringat dan darah kering pada bajunya. Bercak airmata mengering disudut matanya, beradu resah dan cemas, juga hasrat disana, semoga kau tak sempat melihat luka dan sesal dihatinya. Karena belakangan ku dengar dari cerita burungburung dara dari menara gereja, bahwa hari itu telah terjadi sebuah berkah sekaligus tragedi. Kami semua yang ada turut pilu terbalut ragu, diamdiam ku panjatkan doa agar kau dan kekasihmu menemukan ruang dan waktu untuk saling manautkan rindu suci kalian.

Ternyata kemudian malam penuh gelisah itu adalah malam terakhir aku melihat wajah tampan kekasihmu, tak pernah lagi ada malammalam yang dipenuhi suara dan aroma rindu. Namun anganku selalu benderang memandang semua kenangan manisnya cumbu dan rayu kalian.
Semak perdu berbunga ungupun melayu, tak bergairah lagi tumbuhkan sulursulurnya ke arah puncak dinding. Segalanya begitu redup, juga bulan, tak lagi membara oleh sinar cemburunya. Kehilangan gairah, kisahmu ternyata begitu menyalakan segala.

Aku hanya bisa selalu bertanyatanya pada malam; berakhirkah kisah cintamu, kau yang cantik dan dia yang tampan, dengan hati yang selalu bercahaya. Banyak cerita simpang siur tentang kalian, terlebih tak lama kemudian putri cantik pemilik rumah juga menghilang, tak pernah pulang. Mata pengasuh tua sembab dan basah, duka membubung di angkasa

Beberapa hari berselang burungburung dara kembali hinggap di semak perdu, mereka mengumpulkan rantingranting untuk sarang bagi musim kawin ini, aku sempat mendengar pembicaraan mereka, tentang kisah cinta sejati, antara sepasang jiwa sehidup semati.

Sayang sekali aku hanya seekor labalaba betina, sekarang telah tua dan sebatang kara.
Tak ada telur yang sempat kutetaskan, tak ada anak labalaba yang tinggal di sarang untuk temani hari tuaku. Hanya kenangan indah tentang cerita cinta putri cantik dan kekasih tampannya yang selalu menghias angan dan kenanganku hingga hari ini.

Bersama kilau embun dan cahaya matahari, masih kuhias sarangku tiap pagi.

Tak pernah ada seguratpun sesalku;
telah habiskan seluruh waktu hidupku sebagai saksi cinta putri cantik dan kekasih tampannya, pun jika aku tak pernah tau akhir dari kisah kasih yang satu ini, dalam hatiku aku percaya putri cantik dan kekasih tampannya akan selalu saling cinta selamanya.

Atau, mungkin aku Cuma labalaba betina yang berlebihan memuja angan..

Entahlah, yang pasti aku telah sempat melihat cinta membara pada mata kekasih tampan sang putri cantik. Cinta yang takkan pernah membuatku menyesali takdir hidupku sebagai labalaba betina yang merentangkan sarang diantara dinding ini dan ranting perdu berbunga ungu itu..


siang

siang; begitu gerah menahan resah, dan semua kertas yang berhamburan di mejameja kosong kehilangan setiap baris kalimat ternoda peluh. sudah sekian lama tak kutemu teduh.
beritaberita masih tentang kehilangan jalan pulang
hilang rasa
hilang raga
hilang rupa
hilang ruang

ingkarnya laju waktu yang sembunyi di balik koran itu sungguh indah dan siasia
aku menunggumu di luar jendela
di bawah hujan

merintih bersama petir, mungkin segetir takdir
meloncat menyambar kilat, akankah sekuat hasrat
tak mampu menahan curah hujan, namun ada yang lebih deras ;
hempas katakatamu pada dinding hatiku

syukurlah,
siang akan segera terbenam, mengubur setiap 'titik' terangmu yang butakan 'katakata'ku

pagi

pagi; katakan selamat tinggal pada mimpi
yang sempat tercatat saat mata tertutup pandang ke arah nyata
katakan selamat berpisah sebelum melangkah
di mana jejak mesti menapak akan tertera sepotong tanya

bukankan tak ada bayangbayang tanpa terang,
jadi kenapa terang menyalahkan remang yang penyayang angan ?

ayolah tuan; nikmati dulu beberapa teguk kopi hitam ini selagi panas, percayalah, tiap regukannya takkan sepahit ingatan tentang tajam sudutsudut bintang mengoyak retina matahati para betina

mengapa bintang bukan lingkaran?
tanyakan pada malam ato bulan,
jangan pada pagi yang tertatih berlari tinggalkan mimpi !

hanya

bisakah aku jadi sajak dalam lembarlembar hidupmu, tak peduli lusuh, tak gentar menghadang tiap sendumu, menyair tiap nyanyi jiwamu
katamu kau telah jadi penyair yang selalu memuisikan perih, tak kupahami, memercik sepi, meramu syahdu semanis madu katakatamu

aku masih ingin tau dihutan mana kau sembunyikan setiap luka yang tak pernah terobati waktu
aku juga ingin kau tetap tak kenal sesal
pun, andai tubuh hancur lebur pada kehendak sekedar menjadi layak
pun, andai tulang remuk pada amuk yang teredam angguk

ketidak mengertianku adalah kepercayaan tanpa syarat yang akan selalu jadi sahabat bagi tiap kecewa yang kau pilih tuk mengalihkan pandanganmu dari cahaya sejati

maaf,
aku hanya sajak yang tak pernah sempurna menuang makna bagimu; penyair yang mencari arti cahaya di sela ranting pohonpohon keheningan dalam belantara tanpa nama

sajak dari penyair yang bukan siapasiapa

andai

andai aku bisa memaksa angin menderukan kejujuran, takkan bisa kuhitung betapa banyak bau anyir luka yang terkirim ke rongga dadamu. cerita apa yang kau mau dariku? tentang negosiasi rasa dan hati patah agar tak menuliskan sajak yang terlalu banyak mengeksploitasi kemalangan yang tak bisa kuterjamahkan dengan bahasa, karena bahasaku selalu pintar menghindari derita yang memang tak pernah jadi ilusi nyata, sekadar rasa kasihan pada anak manja yang merajuk disudut hati.

kau bilang aku purapura
lalu,purapura tak peduli padaku
yang katamu purapura peduli padamu

aku dan seribu wajahmu yang mengendap dalam tidur gelisah jiwajiwa berwajah suram
pagi ini aku akan bangun disebuah kasur penuh boneka dan bantal merah muda bertuliskan 'i lov u'
tentu, itu bukan aku, kau tak boleh tau dimana aku terbangun pagi itu
di emper jalan yang mana, di kolong jembatan mana, takkan ada di peta

andai aku bisa merayu angin menghembuskan mendung kelabu ke arah cahaya. mungkin akan segera tercurah hujan deras diteras rumahmu. lagu apa yang akan kaumainkan ? bisakah tentang rindu dan waktu pilu, semoga sempat bertemu demi meluruskan makna tentang doa dan harap terucap dalam pengap dunia. duniamu dan duniaku yang tak tersentuh, tak terpisah, tak terlukiskan. lebih dari semua tandatanda kandas terbenam masa.

aku bilang aku sungguhsungguh
saat kau sungguhsungguh ragu
sungguhsungguh ku butuhkanmu

kau dan seulas senyum diwajahmu yang merekah dalam mimpimimpi hati yang manis
malam ini kau akan tertidur lagi dalam hangat kamarmu yang bertirai indah
pasti, aku tau dimana aku akan terjaga mananti fajar
di taman mana, di bawah pohon mana, hanya ada dalam angan

hanya saja,
jangan pernah lagi kau cegah setiap kata mencari makna

andai saja,
cuma serupa sekotak coklat aneka rasa

cinta bertanya

cinta bertanya; "bolehkah aku ada", pada kebenaran
kebenaran mengangguk pasrah

cinta bertanya; "haruskah kau ada", pada kesalahan
kesalahan genit tertawa

cinta bertanya;"dimanakah kau berada", pada kebahagiaan
kebahagiaan meneteskan airmata

cinta bertanya;"dimanakah kau tak ada", pada kesedihan
kesedihan tersenyum lembut dan hangat

cinta bertanya;"kapankah kau datang", pada penantian
penantian memejamkan mata

cinta bertanya;"kemanakah kau bawa", pada langkah
langkah terhenti lelah

maka
cinta tak lagi bertanyatanya pada siapasiapa
saat aku beranikan diri bertanya;"apakah kau sungguh ada", pada cinta

cinta diam sejuta kata

daundaun gugur

Daundaun gugur, kau pasti tau bahwa bapak itu seorang penganggur, kerjanya duduk di sudut warung, bercakapcakap entah dengan siapa, berdiam diri entah demi apa

Daundaun gugur, kau pasti paham ibu itu setiap pagi berdiri tertegun dekat daun pintu yang tak pernah rapat tertutup, seakan menanti entah siapa, berkeras berjaga entah berharap apa

Daundaun gugur, kau pasti rasakan perih di hati perempuan yang selalu menatap langit dengan rasa hampa, mencari tandatanda pada awan dan bintang. Selalu menunggu keajaiban hinggap sebuah peluk hangat entah lengan siapa, entah dari arah mana

Daundaun gugur, kau pasti dengar rintih lapar anakanak jalanan. Betapa mereka bukan hanya rindu sesaji nasi dan lauk, namun lebihlebih pedih inginkan sentuhan lembut entah dari siapa, entah juga sebentuk apa

Daundaun gugur kau pasti maklum pada lakilaki yang menumpah serapah pada kakikaki gontai menendang tong sampah. Tak ada tegur berapapun banyak anggur yang sempat terteguk sebagai penawar luka entah karena siapa, entah bagaimana

Daundaun gugur, kau pasti mau maafkan dia yang bisu berdiam diri menjauh dari panggilan alam juga sapaan ramah manusia. Cuma bisa terpekur mengukur segala yang kabur dalam ingatan tentang hangat senyum entah milik siapa, entah semanis apa

Daundaun gugur, kau pasti bisa mengeja setiap baris cerita tertimbun tumpukan riuh debu juga batubatu, pun setumpuk catatan lapuk menumpuk di sudut tempat dia tertunduk entah siapa yang terpuruk, entah bagian mana yang terburuk

Daundaun gugur, kau yang paling mengerti aturan tempat dan waktu. Tulus ikuti angin bertiup, pasrah melepas segala tepat pada masanya. Tanpa sepatahpun kata tentang resah, tiada seserpih pilu sempat melagu. Entah serupa apa maknai layu, entah semacam apa meredam harap siasia

Daundaun gugur, kau yang mungkin kebetulan terbawa takdir mampir dipinggir jalan dimana kutuliskan beberapa bait tentangmu, maukah kau ajari aku bagaimana jadi selalu ringan saat terpisah dari kisah indah, melayang gamang kehilangan ruang, meredakan sembabnya rasa, mengeringkan mimpi bening sejuk embun dini hari. Entah dengan apa mampu kulukiskan warna emas ikhlasmu, entah nadanada mana yang layak iringi tarian riangmu mengalun seirama bayu

Sesaat sebelum kau, daundaun gugur, melayang jatuh untuk terinjak kakikaki letih yang berkeras mengejar serpihan mimpi yang lirih meraih pagi

subuh ini...

Subuh ini aku ingin bertemu denganmu yang bermata teduh
Rindu pada bisikan ranum dari bibirmu.
Ingatkah kau mawar yang kau tanam di bawah jendela kamarku?
Kau bilang waktu itu, kau ingin kupetik sendiri tiap kuntumnya yang mekar, jadikan pengikat sabar menanti angin membawa kabar darimu.
Yang terjadi kemudian mawarmu selalu mekar seiring liarnya anganku, duriduri merimbun pada tangkainya jadi penghalang bagi rinduku untuk memetiknya dengan jaritanganku. Aku mencoba menggunting setangkai mekarnya, jatuh ke tanah, kupungut hatihati, ku coba mengikatnya di pergelangan tanganku. Melingkar di pembuluh nadi, karena ku sangka ketidak sabaranku menantimu bergetar hebat di situ, tepat pada aliran darahku.
Taukah kau kemudian, bukan rindu yang mereda, malah jadi luka tertusuk duri. Darah mengalir menegaskan perih. Merah dan deras, pasrah terperas gelisah.
Adakah kau rasa semua?
Luka dan perih pada sekujur hati. Lelah tungkai berlari hindari bayangmu mengurung batas ruangku. Bernanah lengan pada luka sayat tiap duriduri ingkar membakar rasa.
Lalu hati mulai meleleh merah darah mengalir hingga sudut mata.
Kau tak ada
Kau dimana
Hanya mawar yang kautanam di bawah jendela kamarku

Sabtu, 20 November 2010

apa kau tahu

Apa kau tau, yang paling membangkitkan rindu
Embun bening di ujungujung perdu menjalar pada pagar rumahmu
Entah apa nama dan jenis rerumpun itu, berbunga kecil berwarna kuning
Kau kerap bersandar disitu seusai subuh, tunggu aku datang
Aku yang bahagia berlari menghampirimu, fajar sepertinya sudah tak sabar
Kadang ku lihat kau sempatkan petik sekuntum kembang, nanti diamdiam kausemat di rambutku. Pernah kembangmu terjatuh saat kita berlari, terinjak tanpa sengaja, aku terpaku dan berkata, “yaah..”.kau berhenti tertawa bertanya,”kenapa..”
“tak apaapa, nanti kupetikkan lagi, bukan cuma satu, sepuluh, mau..”

Apa kau tau, yang paling melekat dalam ingatan.
Jalanjalan berbatu di lereng bukit dimana langkah beriring menguntai waktu
Kau bersamaku, tak henti menarik lenganku sambil berkata,”ayoo..cepat, awan pekat sudah dekat.”
Kau ingin tiba di bawah pohon di lereng bukit sebelum hujan tercurah,
kau suka nikmati tetes hujan yang tak sempat tersangkut rimbunnya daun, saling pandang dan tertawa menghitung tiap titik air mendarat di wajah,”hidungmu”, “pipimu”,”alismu”
”keningmu”,’bibirmu”,begitu kita saling berkata menandai tiap kali hujan menitik.
“Aku akan menyentuhmu persis seperti hujan”,katamu dengan mata berbinar.
Aku hanya bisa terpana, terpenjara dalam istana hatimu yang berdinding dan berlantai sebening air.

Apa kau tau, yang paling mengikat hatiku padamu
Malammalam saat langit gelap begitu licin, hingga semua yang berniat memetik bintang jatuh tergelincir, bintangbintang jatuh menggelinding ke sagala arah, kerlip cahayanya bertebaran ke segenap sudut ruang angkasa.
“Kelak aku akan terbang naik roket melubangi langit, menembus atmosfir, mendarat di atap jagadraya, akan kuambilkan sebuah bintang paling terang untuk kuhadiahkan dihari istimewa kita”, kenapa hatiku begitu luluh mendengar katakatamu.
“Hari istimewaku adalah hari dimana aku ada dalam dekapmu nikmati bintangbintang yang jauh tak tersentuh”
“Tak ada hari apapun tanpa kau ada”
Air mata ini begitu nyata mengantar pergimu ke alam mimpi
Aku selalu menunggu disini, menunggu kau pulang atau datang entah darimana,
Sesungguhnya pernahkah kau pergi atau berangkat; tak tau aku

Aku tau kau akan berkata,”aku selalu ada, tidak dimanamana, aku selalu ada..”
Mengikat hatiku tak terurai waktu


syair dan bunga

Penyair menyusun katakata menata batu bata membangun pagar halangi nyata yang selalu sekedar ratarata
Bunga mekar diamdiam diluas padang bebaskan angan menyimpan rahasia jalin asmara antara air,tanah dan cahaya

Aku hanya bisa bertanyatanya
akankah pada suatu senja penyair akan menjelma sekuntum bunga mekar
dalam genggam sebuah bunga yang telah berubah wujud jadi penyair setelah kusentuh dengan kecup di ujung bibir*

kangen

Datanglah sayang
Sebelum hujan menderas
Hanyut angan terseret linang
Kelabu awan menjamur rindu

Ingatkah kau pernah bilang; langit cemburu padaku ;
Hanya karena hujan akan eratkan pelukku,
Atau karena basah dan gigil kuatkan hasratmu


impas

aku akan menggugat waktu demi kamu
akan ku ajukan dakwaan panjang pada ruang

"dengan pasal apa,
siapa penasehat hukumnya,
apa barang buktinya ?"

jawabku;
:pasal sesal dalam undangundang 'angan'
:malaikat sesat yang kebetulan lewat, mestinya lulusan harvard
:mata sembabku, luka hatiku, rasaku yang bernanah

ahh, tak sabar menunggu saat sidang digelar
apakah majelis hakimnya nanti bisa pula disuap ?

"bagaimana jika kau kalah?"

aku akan naik banding ke pengadilan tinggi

"jika keadilan masih tak berpihak padamu?"

aku akan lanjut hingga mahkamah agung

"kau akan tau bahwa semua siasia"

yaahh, tak mengapa
setidaknya aku akan sempat merasakan puas
menghadiri sidangsidang panjang dimana berkas perkaraku dibahas, ditimbang, dan diputuskan dengan seksama oleh mereka yang akan kelelahan; mereka yang selalu tak bisa mengerti dan tak mau peduli

bukankah nanti akan terbukti bahwa hati tak pernah layak diadili dan
rasa tak pernah pantas dipertanyakan

entah

sujud rinduku pada bayu
melukis senyummu dibayang senja
berderai layu jiwaku
menyatu kisah pada pasrah
luruh detikmu dipasir waktu dalam genggam tanganku

kemanakah hendak mimpiku kaubawa ?

aku mau...

Aku mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu
Bukannkah keputusanku tampak bebal dan fatal. Anehnya tak ada sejengkalpun sesal, walau aku merasa bermuka tebal. Seakan baru aku sadar, betapa nekadnya aku; memangnya sungguh aku bisa begitu?

Habisnya, dia sudah jadi bunga ditamanmu, dia yang lain jadi patung porselein di ruang tamumu, sudah pula ada dia yang jadi lukisan di ruang makanmu, dan dia,dia,dia, begitu banyak diadia yang sudah jadi ini dan itu bagimu, untuk kau letakkan disini dan disitu, di sembarang tempat di rumahmu.. Tapi, Cuma aku yang mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu, hmm, pasti segera terpikir olehmu betapa bodohnya aku

Yaah, aku mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu
Jangan ketawa kecut begitu, sayang, akan kukatakan mengapa aku bilang begitu, biar kamu tak lagi cemberut, aku mau dan ingin kau selalu tersenyum

Aku mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu
Karena dengan begitu kau akan selalu bisa miliki aku, tak peduli kau kaya atau miskin, kau akan selalu bisa miliki aku. Kau akan tetap butuhkan aku disaat kau beruntung, kau juga takkan mampu menggadaikan dan menjualku saat kau merugi dan jadi buntung, memangnya siapa yang mau terima gadai tempat sampah, apalagi beli bekas, siapa hayo..

Aku mau dan ingin jadi tempat sampah dirumahmu agar bisa kau taruh aku di segala ruangmu. Saat kau makan, saat kau bekerja, saat kau bersantai, bahkan saat kau mengulum sebutir permenpun kau akan mencariku untuk menampung setiap bungkus. Tiap waktu aku akan ikut rasakan tiap makna yang kaucerna. Ditiap kulit kacang dan bungkus permen yang kau buang, aku akan ikut mengecap tiap rasa yang kau nikmat, bukankah itu berkat teramat sangat; selalu bisa rasakan apa yang kau rasa, bahkan lukisan replika yang begitu megah itu Cuma bisa memandangku dengan iri di ruang makan tiap kali kau beri sebuah sisa untukku, dan aku takkan pernah takut penuh, karena kau akan mengosongkan aku tiap kali kau butuh, hingga aku akan selalu dapatkan yang baru dan beragam darimu, ahh, kenapa kau tak sadar; kau buat aku merasa istimewa..

Aku mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu, karena aku tau dengan begitu kau akan perlukan aku tiap waktu. Ketika kau begitu bersemangat lakukan segala hal, maka akan semakin banyak halhal tak penting yang kau titipkan padaku, halhal tak penting darimu yang jadi begitu penting untukku. Terutama dikala kau susah, merasa serba salah, gagal dan siasia, maka akan kau tumpahkan semua beban dan rasa sesak pada kertaskertas yang sesaat pasti akan kau serahkan padaku tanpa ragu. Mungkinkah kau duga aku tak paham semua ? Tak mengapa, lebih baik kau tak usah tau betapa aku membaca dan pahami tiap jejak rasa dan pikirmu. Kau takkan mampu sembunyikan apapun dari ikhlasku. Karena hanya aku yang mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu.

Aku mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu, dengan begitu kau akan selalu butuhkan aku sepanjang hidupmu, demi bersih dan rapi rumahmu. Kau pasti tak pernah mengerti betapa bahagia aku diamdiam menjaga kehormatan dan martabatmu dimata para tetangga dan taulan. Biarlah yang kotor dan terbuang kau serahkan padaku, hingga hanya ada bersih dan manfaat padamu. Dengan rela akan kudekap tiap sisasisa rasa dan serpih sedihmu yang tersembunyi. Kau mungkin tak pernah mengerti bahwa hanya aku yang akan mampu membuat rumahmu indah berseri, dan akan selalu begitulah aku, selalu menunggu kau beri aku arti, setiap kali tanganmu terulur sodorkan sesuatu, apapun itu. Pernahkah terpikir olehmu, aku begitu bahagia ditiap kali kau sekilas memberi pandangmu saat hendak membuang sesuatu, memindahkan apa yang telah kau sentuh dalam ruangku.

Aku mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu, biar kau bebas letakkan aku dimanapun yang kau mau. Dengan sebebasbebasmu kau bisa menaruhku sekehendak hatimu. Asalkan di rumahmu, kau bisa bawa aku ke ruang manapun dimana kau akan bisa gunakan aku sesuai kebutuhanmu. Seluruh keberadaanku adalah untuk menyenangkan hatimu. Kapan saja kau merasa harus membuang sesuatu kau bisa teringat padaku. Apa kau tau alangkah banyak yang mesti di buang agar segenap ruang jadi bersih, sehat dan terang. Segala yang tak kau suka di rumahmu, bawa saja padaku, agar kau nyaman selalu. Semua bentuk yang mengganggumu, serahkan padaku, akan kubuat kau lupakan semua yang membuatmu merasa lusuh. Semoga kau tau, alangkah lapangnya aku jadi tempat untuk menampung keluh kesahmu, tempat dimana kau bisa singkirkan setiap pernik yang membuatmu risih dan pantas kausisihkan agar rumahmu selalu wangi.
.
Aku mau dan ingin jadi tempat sampah di rumahmu, akan ku buat kau mengerti betapa aku hayati tiap makna yang kau beri dengan sepenuh hati. Tanpa pernah merasa siasia untuk terima sepenuhnya sisasisa. Karena apapun juga yang kau beri akan selalu jadikan aku merasa kau miliki.

Karena kau adalah kau
Karena aku adalah aku
Karena aku ingin selalu kau letakkan dalam sebuah ruang di rumahmu, tak peduli dimanapun ruangmu, juga rumahmu, tak peduli aku, dimanapun kau ada..
Karena aku mau kau selalu mengerti, tak peduli serupa apa pengertiaanmu
Karena aku ingin kau selalu punya tempat untuk membuang segala yang kau resahkan. Tanpa setitikpun terbersit ragu, gunakankah aku yang ada untuk menanti kapan saja ingin kau penuhi, atau kau kosongkan, untuk kau isi dan penuhi lagi, berulang kali

Karena kau adalah kau yang sungguh berarti..
Sejak dini aku temui kau, sampai nanti, entah kapan aku temani kau
Aku mau dan ingin; jadikanlah aku sebuah tempat untuk kau isi sesuka hati, biarkan aku diam di sembarang ruangmu, ada disetiap waktu selama kau inginkan hadirku;
Maka jadikanlah aku tempat sampah di rumahmu
Selalu, aku mau dan ingin aku bisa begitu


setara

Jika aku punya sebuah pagi dimana aku boleh memilih kesenangan atau kesedihan
Aku akan memilih kesedihan; karena kesenanganku adalah saat aku melupakanmu

Jika aku punya sebuah malam dimana aku bisa memilih tawa atau airmata
Aku akan memilih airmata; karena airmataku menitik saat aku merindukanmu

Bukannya aku memilih bersedih dipagi hari, atau tanpa tawa disaat malam
Aku hanya ingin selalu mengingatmu
Aku hanya mau selalu merindukanmu
Setiap waktu

Harusnya kau katai aku dungu dan lemah; agar boleh ku kecup kau tanpa tunggu dan jengah
Maka kau akan segera paham kenaifanku sungguh setara dengan kerinduanmu

rintih

Merintih hati
Tertatih mimpi
Tersendat sekat
Malam pekat
Mengikat erat

Di jalanjalan sunyi teredam bunyi diam
Bersenandung nada gundah
Bertahan melangkah pelan
Mengetuk pintumu
Merindu wujudmu

kenapa

Kenapa begitu susah mengurai kisah
Kenapa terlalu rumit mengukir syair
Kenapa begini sulit mengait mimpi

Padahal selalu kau pahami jua aku ditiap rasa
tanpa terwujud kata
tanpa ternoda dusta
diamlah resah
di ujung lidah
menari tinta
di ujung pena

nyalakan malam padamkan kelam

maaf

Celakalah aku yang tak pernah puas menenggak setiap tetes rahmat yang kau curah
Terlalu bebal menandai dinding tebal yang kau batas
Rantaskan tiap helai serat tali yang mengikat hasrat
Dahaga jiwaku selalu pada butiran embun didini hariku
Hentikanlah waktu

Bangaimana harus kubodohi kau kekasih, agar aku cukup pintar ucapkan ingkar

“sesungguhnya aku hanya ingin pulang..”

pelukis mimpi

wahai pelukis mimpi
yang selalu siaga dengan pensil runcing menanti lembar-lembar kosong menghampiri
semua lembar mampir penuh pinta dari dahaga melilit raga
datang dari segala penjuru angin
sebuah lorong panjang.tangga melingkar.
balkon dan tanaman rambat berbunga jingga dan ungu.
halimun kelabu. pinus tua.
hutan rimba. air terjun bertingkat tujuh.
labirin tiada akhir
melingkar dan menjulang

pelukis mimpi,itukah dirimu
datang menunggang kuda putih bersurai cahaya
baju zirah perak.pedang bertahta intan. sebuah kotak tembaga.
begitu bergegas membelah malam. menebas sulur-sulur ranggas
semua aral gagal mencegahmu.tak menghambat lajumu.

pelukis mimpi sesaat lagi dini hari
langkahmu terhenti tepat di gerbang istana, kau turun dari kuda.
sang putri,calon mempelaimu menunggu disana.
kau tak punya kunci,namun kau tau setiap pintu patuh pada titahmu
rumput hijau. rusa dan landak. burung-burung merak.
masih ada seekor naga yang baru terjaga,mungkin kau lalai mengucapkan mantra tidur untuknya

pelukis mimpi tak gentar,sebentar lagi fajar
pedang terlempar kibasan ekor naga.
bukannya geram.naga cuma tersentak,saat
terbuka tutup kotak tembaga,merpati putih terbang melesat.
ohh, rupanya naga terpesona,mungkin juga jatuh cinta. lucu sekali..
merpati putih terbang berputar lalu hinggap di tanduk naga berbisik lembut,”kau boleh menikahiku jika cerita ini usai.”
naga tersipu malu,bergegas terbang menyusul merpati pencuri hati.

pelukis mimpi,kau brilliant,kini jalanmu lapang.
tepat waktu.tak satupun lembar-lembar buram terlewat tanpa kauhias.
di beranda istana putrimu berdiri menanti.di tangannya sebuah sangkar emas.
merpati biru didalamnya penuh harap menatap kotak tembaga,menanti belahan jiwanya segera muncul genapi janji.

ahh, pelukis mimpi kisah apa akan kau ceritakan pada merpati biru tentang merpati putih belahan jiwanya yang kini jadi kekasih naga, agar sang putri tak patah hati, masih sedia jadi mempelaimu di ujung pagi

duhai, pelukis mimpi,
tak jerakah kau, dengan muslihatmu menjerat kata-kataku....


kill me...

Bagaimana mesti ku katakan apa yang kupikirkan, sedang untuk memikirkannya saja serasa tak habis sesalku.

Bagaimana bisa kujelaskan pada sahabatsahabatku, bahwa aku lebih membenci buahbuah ranum kebenaranku daripada bijibiji rasa salahku yang kering dan mati
Mungkinkah kau mengerti betapa aku marah pada setiap kata yang sempat kucatatkan sebagai jejak di jalanjalan yang ku lintasi, ya aku membenci mereka sepenuh hati, karena seringkali katakata itu akan melindungi wajahku dari senyuman malam, dengan banyak dalih katakataku mengingkari lirih nurani, dan aku tau; katakataku kelak akan menjelma pedang tajam yang menghasutku untuk menghunus jantung sahabatsahabatku sejati; sunyi, sepi, gelap, lindap, lelap..

Adakah kau akan paham, tentang kutukku pada nilainilai peradaban, nilainilai yang membuatku tak bisa mendaki setinggi awan hitam sesaat sebelum nyalakan halilintar, nilainilai itu benar serupa jeruji besi penutup lubang hitam pintu penghubung lorong rahasia langit

Apakah kau akan percaya, sungguh aku ingin menikam anakanak pikiran terang yang lahir dari perzinahanku dengan dia yang santun lagi pandai merayu dan mencumbu, dia yang bersuara merdu setia lantunkan nadanada suci lagulagu syahdu, dia alihkan pada bidang dadanya dan hangat lidahnya setiap jeda sendu rinduku pada belahan jiwa sejatiku yang belum juga punya nyali mengecup selain tepat pada pejam mataku

Jika tak dapat kau jawab semua bisu resahku, lantas apa harus ku kata saat kau tusukkan pedang pada nadi di leherku sambil berseru, “kau perempuan munafik dan najis, keturunan iblis, sekaranglah waktumu kembali ke naraka!”

Apakah kau sempat melihat senyum bahagiaku saat tajam pedang memutus nadi, semoga bisa kau dengar desah terima kasih yang kubisikkan setulus hati saat kau satukan jiwaku dengan belahannya sejati…

laron

Beraninya aku bicara ini itu
Tentang hidup, mati, cinta, apalagi kau

Senja ini baru ku mengerti betapa muak katakataku
Saat gemerisik sayapsayap laron terkibas menguak dinding kayu
Membubung bagai asap dupa sarat doa
Bulat tekad menerjang terang

Sedangkan aku masih sembunyikan wajah di balik buku
Menekuni kalimatkalimat tentang hakekat dan harkat yang terlalu sarat
Mencoba pahami makna sebuah nyali sebelum hikmad berkata amin
Akal budi mengundi jajal dan bebal silih berganti

Laronlaron mengerubung bingung
Takjubkah pada panjang pikirku
Mungkin geli pada pilin ragu hatiku
Lalu acuh tak butuh bijak ajaran bukubukuku

Mengapa laronlaron tak pernah bicara tentang makna
Yang lambat ku eja tiada jera
Tentang hidup, mati, cinta, apalagi kau
Hanya terus dan terus terbang ke arah bara
Tak peduli terbakar, hanya rindu terang
`
Penakutnya aku bicara tentang hidup, mati, cinta, apalagi kau
Tak tau malu pada laronlaron yang terbang lurus menembus panas lampu
Pahami rapuh sayapsayapnya yang cuma sessat
Sebelum berserah pada pesona jiwa sempurna membakar raga

Sekelebat saja nikmat, sejurus lagi hangus teramat bagus


kekasihku...

Duh hening betapa beningmu menelanjangi renungku. Akan kukatakan saja risauku, bahwa aku sungguh tak berguna, cuma serupa ulat yang belum mampu menenun sutra. Hanya geliat rasa menyesah resah, aku makin dahaga dan lapar pada segala yang cair dan padat, zat yang berasal darimu, yang selalu milikmu. Begitu sakit tajam rindu menjagal akal, tak tertahan perih inginku menyerpih hati. Pahit lidahku mengecap kenangan aroma nafasmu. Akankah kau bebaskan aku sekarang dari belenggu rantai ruang dan waktu, yang halangi aku ada disana bersamamu mengeja nikmat bersama tiap tenggak air sucimu yang sepanas api neraka.

Duh Gusti betapa diammu memabukkan katakataku. Akan kulunaskan saja setiap hutanghutangku pada pencatat dosa dan pahala. Aku yang bahkan belum janin. Hanya sesuatu yang lebih kecil dari debu. Sel telur, meringkuk resah mananti saat jumpa. Terlalu tumpul usulmu untuk menunggu, terlalu panas tanak hanguskan bulirbulir rasa. Getir dadaku mengenang hangat sentuhmu. Maukah kau renggut aku sejenak dari penjara ahlak dan dogma, yang mengikat sebagian nurani yang kubenci, yang membuatku terpuruk ambruk dilantai bilikku yang kusam dan masam menolak rebahku dalam dekapan haram yang mengkristal beku suhu tubuh sebelum melepuh.

Duh rindu betapa kau birahikan aku yang setia menjagamu dengan zikir, litani, doa, bahkan mantra, tak lupa; ayatayat kamasutra, juga zarathustra. Aku yang lebih kumal dan telanjang dari kaum baul yang tak henti meneriakkan sajaksajak pujian di setiap kelok jalan. Hina, merana dalam pujapuja digumul asap dupa murahan, lebih menjijikkan dari segala jenis uap rebusan racun yang membubung dari periuk dukundukun cabul. Bebaskan aku dari rasa sesak yang mengoyak sajaksajak cinta picisan; cuma mengisahkan cemburu dan ragu pada lagulagu, sama sekali jauh dari merdu. Jenuh terbelenggu tubuh rapuh.

Duh kekasihku, aku tau betapa kau akan tersenyum maklum, sebelum sekali lagi mengulum gulagula coklat yang meleleh lembut di dinding mulut. Tak ada sekeratpun laknat tega kau ucap demi tiap katakata sesat yang tersirat dalam benak sebelum tercatat dalam tiap ayat dan surat yang dilafal para pemuja ‘halal’.

Kau datang sekarang bentangkan tangan,”tidurlah sayang, dalam pelukku yang akan hapuskan muakmu pada detak jantungmu yang kau sangka berulah salah. Aku akan selimuti kau dengan jubahku yang tercabik di lereng kalvari. Kau hanya mengantuk hingga begitu suntuk lalu terantuk batu yang diletakkan sembarangan oleh sahabatku musa di jalanmu. Tak mengapa pejamkan saja mata, maka semua akan terlihat sempurna”.

Ahh..andai aku tau sejak semula..
Cintaku masih menggumpal padat, hanya untukkmu yang kekal.

doa

Setengah piring nasi masih mengepul harum. Tumis kangkung. Telur mata sapi. Sambal terasi. Sebagai pelengkap sekeping kerupuk ikan. Terbungkus kertas coklat. Ditambah segelas teh manis hangat dalam plastik terikat karet.
Siap tuk ku hantarkan pada seorang aki tua yang setia menunggu di halaman surau, saat temaram langit senja menghalau risau.
Semoga terasa sedap kau santap, nikmat, masih hangat saat menyentuh bibir, meresap gurih pada syaraf lidah. Lambat dan tenang merasuk rusuk, penuhi rongga perut, tercerna lembut dalam lambung.
Mengusir bingung, redakan resah, penyejuk dahaga.
Hapuskan lelah jiwa dan raga yang kelana, sepanjang perjalanan angan mencari ruang..

Terima kasih tak terkira aki tua, telah kau kosongkan gubukmu tuk kusinggahi letihku,
tuk setiap lapar dan dahagamu yang pulihkan hasrat ragaku.
Di dinding bambumu tadi, telah sempat kurekatkan sehelai surat cinta
penuh kalimat rindu jiwaku
pulang kembali padamu.


penjaga mimpi

Pagi ini, mungkin akan kau acuhkan lagi secangkir kopi yang kusiapkan di beranda rumah. Mungkin kau akan bilang terlalu panjang dan melelahkan perjalananmu semalam hingga tak sempat mampir demi seteguk cairan pemacu detak jantung yang kuseduhkan untukmu, sepulang aku dari jembatan sungai harapan.
Sudahlah tentu aku mengerti betapa banyak pekerjaanmu belakangan ini, terutama di masamasa cuaca seakan tak ramah, membuat ngilu hati tertusuk pilu.

Berapa panjang sungai sudah kau susuri malam tadi.
Tak pernah sempat menghitungnya seperti biasa. Terlalu banyak lenteralentera kertas terapung yang harus kau tangkap disela arus dan jeram, untuk kau baca namanama yang tertulis dengan tinta emas padanya, masih pula harus kau catat doadoa yang menyertainya dalam ingatanmu.

"Tak mengapa aku suka pekerjaanku", begitu katamu dulu.
Jawabku, "aku merasa kehilanganmu".

Ingatkah kau ketika pertama kali kita bertemu, aku masih begitu kecil dan rapuh.
Selalu kuhabiskan malammalamku sebelum mengenalmu, hanya duduk diam di pinggir sungai dimana kau sibuk meraih lenteralentera mimpi yang hanyut di antara arus sungai.

Kau mendekat bertanya, "sedang apa?"

Aku cuma bisa mengangkat bahu, sungguh tak tau.
Lagipula aku tak mengenalmu, tapi aku suka dan percaya padamu seketika itu.

"Apa tak kau hanyutkan mimpimu disini?"

"Apa itu mimpi?"

"Kau sungguh tak tau mimpi, tak punya mimpi, tak bisa mimpi?"

"Haruskah aku?"

"Tidak juga. Maukah kau temani aku mengumpulkan mimpi?"

"Bisakah?"

"Kalau kau mau.."

Malammalam selanjutnya, kita bersahabat dalam diam dan senyuman.
Bertemu dan berbagi cahaya bulan.
Baru tau aku ternyata kerjamu juga pembuat bintang.
Bintangbintang yang terbuat dari abu lenteralentera yang sudah terkumpul lalu kaubakar diatas bukit. Harum asapnya akan mendatangkan berjuta peri, masingmasing mendapat segenggam abu untuk disebar di atap langit, jadilah berjuta bintang kerlipkan malam.
Kau ajakku temani kau lakukan semua pekerjaanmu, betapa senangnya aku tiap malam menjelang kau datang.

Selepas matahari terbenam aku selalu menantimu di ujung jembatan, kau muncul dari kejauhan membawa keranjang besar, menggandeng tanganku menuruni tepian sungai pada bagian landai. Kauhamparkan sehelai permadani untukku duduk atau berbaring, sambil mengamatimu lakukan pekerjaanmu, menangkap setiap lentera mimpi yang lewat. Lenteralentera berwarna dengan aneka gambar dan katakata.
Sebentar saja nyaris penuh keranjangmu.
Kau tarik lenganku, berdiri beranjak, berjalan pelahan mandaki bukit, masih pula punguti lagi lentera mimpi yang datang belakangan mendekat.
Biasanya makin larut malam, makin besar lentera mimpi yang muncul.
Kau bilang, "semakin tua malam, makin senyap, makin lelap, makin besar dan terang lentera mimpi yang tercipta".

Suatu malam saat paginya aku baru belajar sains di sekolah aku jadi heran dan bertanya, "bagaimana sungai ini mengalir dari tempat rendah ke tempat tinggi, tidakkah itu tak aneh, tak seperti yang kupelajari di sekolah siang tadi ?"

Kau tersenyum, "akhirnya kau sadari itu, aku hampir putus asa menunggumu bertanya".

"Kenapa kau menungguku bertanya?"

"Karena hanya manusia yang sadar sepenuhnya yang akan bertanya. Aku sering bimbang apakah kau berjalan temani aku dalam tidurmu".

"Adaada saja kau ini", tapi begitulah aku tak peduli pada yang lain, hanya asyik pandangi tiap gerakmu. "Sekarang maukah kau katakan tentang sungai yang aneh ini".

"Yah ini bukan sembarang sungai, hanya ada sebuah sungai serupa ini di alam, namanya sungai harapan".
"Sungai ini beda dari sungai biasa; bermula dari samudra mengalir menuju mata air.
Berawal dari keruh berakhir dengan jernih.
Di sungai ini mimpimipi dilarung.
Tiap benak manusia mulai melukis mimpi, hasrat merupakannya jadi lentera, khayal menghias lentera mimpi dengan anaka warna, gambar dan kata.
Anganangan yang sudah sedari tadi asyik mengawasi akan mengantarkan lenteralentera mimpi ke tepi sungai harap ini, menghanyutkannya dengan senyum senang di wajahnya. Dan disinilah aku penjaga mimpi akan menangkap tiap lentera mimpi yang telah dilarungkan angan".

"Ahh, begitu rumit ternyata".

"Yah. Mereka yang tertidur dan bermimpi takkan mengerti perjalanan mimpi".

Sesampainya di atas bukit kau nyalakan api unggun besar dan satu persatu lentera kau lemparkan ke dalam bara, kau ijinkan aku membantumu, melemparkan lentera satu demi satu dalam nyala api.

Indah sekali

Setiap kali sebuah lentera terlempar terbakar, meletuplah sebuah lidah api warnawarni. Udara malam begitu harum dan hangat.
Sungguh harum, serupa asap gaharu.
Sehangat musim panas.

Periperi berdatangan dari segenap penjuru.
Periperi berambut warna emas dengan baju berkilau dan sayap tembus pandang.
Suatu ketika, seorang peri membiarkan aku yang ingin tau menyentuh sayapnya, ternyata sama sekali tak rapuh, seperti selembar tipis kaca, jernih tak terkira, dingin dan lentur. Saat jemariku menyentuh sayap itu, sejuk mengalir di sekujur tubuh.
Aduh, alangkah inginnya jadi peri.

Tak lama kemudian keranjangmu kosong, semua lentera mimipi telah terbakar habis.
Api unggun kian meredup nyalanya sebelum benarbenar padam.
Kau segera mendekati setumpuk abu berkilau di antara rerumputan yang tetap hijau dan segar, seakan tak pernah tersentuh panasnya bara api.

"Kesinilah, bantu aku".

Saat kusentuh dengan ragu gundukan abu berkilau itu, terheran pula aku, sedikitpun tak panas, ringan dan halus terasa di telapak tangan.

Periperi membuka kantung kain sutra mereka, dan kita semua yang ada disana mulai memasukkan segenggam demi segenggam serbuk abu berkilau ke dalam banyak sekali kantongkantong sutra.
Hingga tak ada sisa seserbuk abupun tersisa diatas rumput hijau.

Periperi satu persatu melambai, terbang ke atas menjauhi bukit ke arah langit, sekejap hilang dari pandangan.

Kau duduk disampingku, bersamasama pandangi langit hitam malam.
Sesaat kemudian tibatiba bermunculan kerlipkerlip bintang. Satu, sepuluh, seratus, sejuta, dan entah berapa, tak terhitung. Langit malam tak lagi hitam.

"Lihat, periperi itu sudah sampai di atap langit, mulai menabur serbukserbuk abu mimpi".

"Cantik sekali".

"Periperi pintar".

"Periperi hebat, begitu mungil dan ,mampu terbang hingga ke atap langit".

"Yah. Suatu hari aku ingin jadi peri".

"Tidak. Kau akan jadi penjaga mimpi, gantikan aku disini".

"Memangnya kau hendak kemana?"

"Aku tak kemanamana. Aku akan menjadi pagi, untukmu".

Aku masih duduk termangu di teras rumah, teringat semua tentangmu, sekian waktu yang lalu, begitu lama, entah kapan.

Hingga malam ini, tiap senja aku masih berdiri di ujung jembatan di atas sungai harapan, menanti kau muncul di ujung jalan.
Menjelang dini hari akan kuseduh secangkir kopi manis hangat untukmu.
Tiap pagi aku akan selalu menanti kau yang pernah katakan akan jadi pagi, untukku.

Apa aku harus mulai belajar bermimpi agar dapat ku jumpai kau kembali?

Kau penjaga mimpi, aku hanya bisa menjaga mimpimimpi yang takkan pernah kumiliki.

Kau tak kemanamana.
Selalu disini.
Kau akan menjadi pagi, untukku yang tak pernah bisa bermimpi.


matamu

Matamu serupa telaga
Ditepinya senantiasa aku terjaga
Pagi hingga petang
Senja bersama fajar
Tak ada warna tanpa cahaya
Mendung dan cerah
Pelangi juga bintangbintang
Berganti dalam bayangmu

Bagaimana bisa ada sebuah masa ketika langit begitu murah hati
Hadirkan bulan, matahari, bintang, dan pelangi pada satu sisi bumi

Kalau bukan demikian adanya,
Pasti telaga dimatamu menyimpan semua untuk kau biaskan padaku
Kapanpun rinduku merapat lembah luas dimana jernihmu menggenang tenang


mengaku aku

Aku adalah aku
Mengaku aku
Bukan aku
Memang aku

Aku adalah air
Mengalir aku
Beku aku
Mencair aku

Aku adalah debu
Menderu aku
Mengabu aku
Menyeru aku

Aku adalah tanah
Menginjak aku
Pasrah aku
Menjejak aku

Dan lihat sekarang siapa aku yang sombong pada kerendahan hatiku, congkak berlagak bijak. Siklus yang mencari kultus saat duduk buang hajat di kakus,husshh! Garis yang putusputus, kehilangan rumus, tapi setidaknya pahaku mulus, uuppz!

Aku air dengan anomali yang bikin air tertawa geli, melihatku maunya mengalir ke tempat tinggi
Aku debu berwarna dadu yang mengotori lantai kuilkuil suci, tak mampu disapu biarawan yang malah jatuh cinta padaku
Aku tanah hitam selalu rakus melahap tiap bongkah merah daging busuk tak berdaya, pasrah terbungkus putihnya kafan

Dan sekarang masih juga kau mau tau tentang aku. Apa sungguh kau akan paham, aku cuma sekumpulan selsel dengan aneka alamat DNA sesat tanpa jejak, gengen tak dikenal asal.
Selsel kelabu suram, rumit dan seram dalam tempurung kepala yang bergerak liar terjamahkan peta dan sejarah, juga sabda, tak apalah asal dadaku kencang, lancang! Aku anak terbuang yang gagal jadi perempuan jalang, hanya mampu sesekali melayang melintasi orbit bintang berlambang setan, biar saja toh aku bisa membuatmu merasa jantan, sialan!

Aku masih ingin jadi air sejati
Aku masih rindu jadi sungguh debu
Aku masih harap jadi benar tanah
Aku masih hendak jadi bukan aku

Semoga sekarang aku jenuh pada keluhku
Terlalu jauh terjatuh aku

Tunduk aku bila waktuku luluhkan aku padamu

v o i d

Aku bukan aku hanya menyangka aku sebagai aku memuja aku menginjak aku
Aku adalah aku mencari aku saat aku sebenarnya takut aku kehilangan aku

Aku bertanya pada malamku apakah aku sungguh telah pernah tertidur terhibur mimpiku
Malamku diam menatapku

Aku berharap pagi hadir untukku mengerti tentang arti setiap titik di akhir kalimatku
Pagi sepi mendekatiku

Aku bosan menjadi aku tanpa eksistensi pada setiap sisi hati yang kusangka aku miliki
Aku muak tanpa aku bisa menolak semua makna katakata yang kuduga layak aku tata

Hak.hak.hak…

Aku tertawakan aku yang coba tertawa

Hikz.hikz.hikz…

Aku tangisi aku yang menahan tangis

Tragis

Beginikah selalu akan berakhir ketika aku dengan keras hati merasa seolaholah semua yang hilang bisa aku ganti. Dengan segala milikku yang tak lebih dari ilusi.dengan denyut yang bukan dinadiku.dengan darah yang mengalir bukan dipembuluhdarahku.dengan detak yang bukan dijantungku.dengan udara yang terhela bukan didadaku.dengan rasa yang bukan dinuraniku.dengan pikir yang bukan dibenakku. Dengan semua yang kukira ada karena sungguh ada tanpa aku sempat mempertanyakan kebaradaannya, atau keberadaanku padanya.

Hanya ada aku yang bukan siapasiapa.tak jadi apaapa.tak punya apaapa.tak bisa apapa. Hampa

Kisah ini tak pernah terjadi
Aku tak pernah mengerti

Mimpi hanya mimpi
Ilusi selalu ilusi
Sampai mati

Aku takut maut tak bisa temukan aku yang kehilangan aku
Aku akan membunuh maut jika tak sanggup membunuh aku

Ahh, lihat; betapa angkuhnya aku, tapi aku bukan aku !

senyap

Kau taukan,
apa yang kuingkan, angin
diam.diam.diam.
biarkan awanawan kelabu tak beranjak
biarkan hujan membasahi jejak
biarkan basah mengoyak sajak

ingin sembunyi dari sunyi dalam kesunyian abadi

perih

Angin bertiup tajam
memisahkan reranting dan dedaunan
diamku berharap; tak ada sehelai daunpun menyesal karena belum sempat katakan selamat tinggal dengan mesra pada rantingnya
hatiku bertanya; kehilangan atau kebebasankah, yang kini dirasa reranting setelah tak ada daundaun yang mesti digenggam erat setiap saat
mataku melihat; hanya hampa
mati rasa; angin merebut semua rasa,
semoga diterbangkan kearahnya

Angin bertiup semakin gemuruh
"kelopakkelopak bungamukah ini, yang menghambur dirambutku"

Sebutir pasir menusuk mata, menderas bulirbulir air dipipi

arti

Apa yang kau cari di antara puingpuing sunyi, bunyi desir yang teredam dalam ingatan saat kausisir rambutkukah? Kau pernah bilang sesejuk angin lereng gunung yang mendesir lirih. Kau buatku tersipu, manis katamu.
Apa yang ku cari di hingarnya hari, rasa nyaman yang tertanam dalam sentuhan tanganmu di sela jarikukah? Aku bilang sehangat sinar pagi pada pasir pantai yang melekat hangat antara pelukan. Aku buatmu jengah, indah rasaku.

Bukankah selamanya lereng gunung selalu mampu mengurung agungnya janji suci sepasang hati?
Dan pantai selalu akan setia pantulkan indahnya gairah ufuk timur saat mentari tepati janji pagi pada bumi?

Tiada yang akan kehilangan semua kenangan yang tak pernah menghilang ataupun menjelma palang dalam segala dimensi mimpi tak bertepi.

Kau dan aku.
Aku denganmu
Kau denganku.
Akan bersama menjadi debu atau angin yang saling kangan pada erangan badaibadai disegala gunung dan pantai.

Apalah artinya seribu bait katakata berkait yang selalu ku ukir di dinding langit, hanya rangkaian imaji yang tak pernah mati, yang kilau riaknya riang menggenangi danaudanau dimana aku dan kau bersama bersampan menggapai angan, memecah gelombang ruang, mengacuhkan ombak waktu.

Aku tau; kau dan aku dalam satu perahu mengayuh rindu yang menderu biru


masih

Jangan pernah katakan ada yang siasia untuk semua yang pernah kita bagi. Semua cerita sederhana tentang angin dan daundaun kering. Selama belum bisa aku jadi seikhlas angin dan kau sepasrah daundaun kering. Atau mungkin pula sebaliknya, kau jadi angin yang perkasa, dan akulah bunga dandeline yang resah, berdebar tak tertahan saat kau bawa terbang.
Jangan pernah sesali musimmusim yang pernah membuat kita jadi begitu intim. Setiap kali kau serupa rinai kemilau yang merintik di hujanku, dan aku berseri seperti melati yang berteduh di bawah gerimismu. Atau ketika aku merasa jadi badai yang tergoda ingin merundukkanmu yang teratai.
Jangan pernah lupakan, tak ada sedikitpun aku gentar pada guntur mengelegar yang kauciptakan sebelum aku yang menjelma awan luruh meneteskan hujan. Tak ada sebuah malammu yang akan terabaikan saat ku jadi bintang. Takkan terlewatkan sebuah pagipun tanpa menyambutmu saat kau hadir layaknya matahari.

Andaipun tak pantas lagi aku jadi juwita dalam puji rayumu, atau tak cukup jelita lagi aku sebagai bunga mawarmu, takkan pernah aku merasa siasia. Takkan pernah ku nikmati satu masapun tanpa kau ada. Takkan pernah ku lupa betapa kau pernah jadikan aku serasa lebih indah dari semua keindahan yang mungkin bisa dibiaskan warnawarni pelangi dihampar biru langit, sehabis kau curahkan hujan sekejap penyejuk gerahku, sebelum kembali kau jadi matahari di ujung malamku.

Kau akan selalu matahari yang terbit menghalau petang
Aku masih selalu bintang yang terbenam menghanyut terang


cicak di dinding

Malam ini kulihat seekor cicak didinding kamar, matanya hitam berkilat. Mungkin karena hanya ada cicak ini, dan aku sendirian maka isengiseng ku ajak cicak berbincang. Mulamula kutanya padanya, apa arti decaknya. Cicak diam, mungkin ragu katakataku memang tertuju padanya., mata hitamnya menatapku nyalang, bulat, tanpa kelopak. Aku jadi ingin tau bilakah terpejam matanya saat ditikam kantuk, atau mungkin cicak tak pernah butuh tidur. Kalo memang begitu cicak dan aku senasib jadinya, tak peduli setua apa malam tak pernah mudah mata terpejam. Lantas kutanya lagi,
“gimana kalau kita sepakat melawan pekat? apakah kau juga tak paham rasa penat? Sepertinya kau selalu memanjat, merayap di dinding kamar mana saja. Adakah kau sempat mencatat kisahkisah yang terpahat?”

Cicak masih terdiam, namun kulihat gerak ekornya pelahan mulai bersirat jawab.
“Yah, jika kakikakimu bisa lengket begitu rapat, tentu kau sempat mencuri lihat ceritacerita rahasia yang meresap pada dinding diamdiam. Ayolah, jujur saja cicak, ku yakin kau mengerti apa yang ku mau, bagikan padaku sedikit rahasiarahasia perjalananmu. Tentang dinding kamar mana saja yang pernah kau panjat, apa saja yang pernah kaubaca disana?”.

Tibatiba cicak tersenyum nakal, berkata, “jangan sungkan dan berbelit begitu, katakan saja langsung bahwa kau ingin tau, kali saja suatu ketika aku pernah mampir marayap di dinding kamar dia yang kau sayang.”

“Duh, cicak kau buat ku tersipu, kau tau saja. Tebakanmu tepat. Aku akan jujur padamu, aku memang sangat ingin tau, pernahkah kau mampir di kamarnya?”
Cicak beredecak, sepertinya sedang terbahak, tertawakan aku yang jadi salah tingkah.

“Ayolah, hmm aku sudah jujur padamu, kenapa kau malah mengejekku”
Cicak sialan, keliatannya begitu riang, ”iya. Akan kukatakan, tapi ijinkan aku sejenak bersantai di lenganmu, sepertinya lembut dan hangat, dinding kamar ini rasanya terlalu keras dan dingin malam ini, boleh khan?”
Aku bimbang sesaat, lalu kupikir kenapa tidak, demi rasa ingin tauku tentangmu, aku setuju dan mengangguk lalu kusodorkan lenganku. Cicak segera meloncat kesana, telapak kakinya terasa begitu dingin, membuat aku jadi geli, tapi demi kamu..

“Nah, sekarang cepat ceritakan padaku, apa kau pernah singgah disana, apa yang kau tau tentang dindingdinding kamarnya?”

“Sabar sebentar, aku sedang nikmati lembutnya pijak kakiku diatas hangat lenganmu. Hmm, sekarang aku jadi tau kenapa dia sering berbisik pada dindingdinding hening kamarnya, tentang rindunya pada pelukmu. Ku duga semula dia mengadaada waktu katakan betapa hangat dan lembut lenganmu, makanya aku ingin buktikan sendiri,hihih”

“Benarkah?!ahh, terus apalagi?” aku sudah tak peduli walaupun cicak nampak asyik nyengir, hanya satu yang kuingin dengan sangat, cerita tentangmu, meskipun dari seekor cicak yang jail.

“Hmm, apa kau tau; dia menulis namamu dan namanya disitu, di dinding kamarnya, nama kalian berada dalam gambar berbentuk serupa daun waru tak bertangkai”
“Ohh,cicak itu bukan daun waru, itu pasti gambar jantung hati, lambang cinta kasih”

Cicak gerakkan bahu;”mana ku tau, setauku gambar itu mirip daun waru. Dan masih ada lagi yang ku tau..”

“Cepat katakan..”

“Dia sama sepertimu, sering diamdiam melewatkan malam panjang tanpa terpejam, menerawang menatap atap, kadang mendesah, kadang tersenyum sendiri, kadang hanya diam, tanpa suara, cuma hela nafasnya yang terdengar”

“Duh, apakah yang ada dalam pikirnya, apa yang dirasakannya saat itu?”

Cicak lagilagi bergerak seakan mengangkat bahu,”mana ku tau, dindingdinding juga kadang pelit, tak sudi berbagi rahasia bahasa sunyi, hanya dindingdinding hening itu yang mampu membaca dan paham bahasa rasa, sedang aku hanya tau sepi, tak bisa terjemahkan arti”

“Hmm, begitu ya..”

“Apa sekarang kau sudah puas?”

“Aku tak tau, mungkin cukup bagiku untuk merasa lega, setidaknya dia sempat tuliskan namaku di dinding kamarnya”

“Bagaimana kau bisa peduli padanya, padahal kau sendiri tak tuliskan namanya didinding kamarmu, mana, tak ada coretan apapun di dindingmu?”

“Cicak yang baik, aku memang tak tuliskan namanya didinding kamarku. Karena aku tak mau ada cicak macam dirimu yang baca tulisanku, lalu ceritakan padanya tentang coretanku. Tak boleh begitu..”

“Walaupun aku cuma seekor cicak, tapi tetap akan kukatakan bahwa kau tak bijak, kau senang saat tau dia tuliskan namanu didindingnya, sedang kau sendiri tak mau dia jadi senang karena kau tuliskan namanya di dindingmu. Bukankah itu namanya tidak adil. Apa manusia kebanyakan sepertimu, mau senang sendiri, tak sudi senangkan yang lain”

“Duh cicak, kau takkan mengerti, sulit jelaskan ini. Tapi jika suatu ketika kau sempat berbincang dengannya macam ini, kau boleh katakan padanya, bahwa aku tak bisa tuliskan namanya di dinding kamarku yang suram dan kelabu, aku merasa dia pantas mendapatkan yang lebih terhormat dari sekedar sebuah nama yang tertulis di dinding. Tapi, sstt, sudah ku tuliskan namanya di dinding hatiku..”

Cicak sepertinya terperanjat,”apakah hati itu, macam apakah dindingnya?”

“Kan sudah ku bilang tadi, sulit jelaskan ini. Hati itu letaknya didalam sini, hatilah yang berkatakata dalam bahasa sunyi. Dindingnya begitu halus dan luas, sedikit saja sentuhan yang tak tepat akan membuat goresan yang buruk dan dalam didinding hati. Tentu saja kau takkan pernah bisa merambat didinding hati dengan kaki. Mungkin kau bisa menyentuh dinding hati dengan hatimu..”

“Aku tak tau, apa aku juga punya hati?” cicak jadi bingung.

“Tentu kau tak tau. Tapi kau pasti punya hati. Tiap mahluk punya hati. Kalau kau pernah rasakan senang atau sedih itu tandanya kau punya hati”

“Hmm, aku senang berada di lenganmu..”

“Ahh, kau bisa genit juga rupanya,hihih..”

“Hihi..Tapi sekarang aku aku mau pergi, berburu nyamuk. Semoga sekarang kau bisa pejamkan mata”

“Apa kau sudah bosan bersantai di lenganku?”
“Takkan pernah bosan aku, disini hangat, tapi aku lapar”, huh, dasar cicak..

“Hahah..baiklah, selamat jalan cicak. Senang bisa bicara denganmu malam ini”

“Aku juga senang. Sampai jumpa..”. Dan cicak meloncat beranjak kembali ke dinding, bergerak cepat, sesaat saja sudah tak terlihat dalam gelapnya malam.

Dalam hati, aku sungguh berharap, semoga suatu hari kau juga sempat berjumpa dan bercakap dengan cicak tadi. Dan yang amat sangat ku harap pula, cicak jangan sampai terlupa sampaikan pesanku, bahwa telah kupahat namamu di dinding hatiku..
Ahh, semoga bisa membuatmu tersenyum senang..



duh...cinta

Inginku gelap malam segera menatap mataku kembali.
Kebutaan membuatku tak bisa melihat dengan mata.
Menjadikanku mampu melihat apa yang tak bisa kulihat dengan mata.
Bening dan terang bagai laut tanpa gelombang.
Kulihat awan bercanda melukis bentuk-bentuk berbeda tiap waktu,lalu saling menebak di antara mereka,serupa apa wajah sang kawan.
Kulihat bintang-bintang berebut tempat di angkasa, berlomba mengedip menggoda kerling.
Kulihat bulan termenung cemburu pada fajar, bersaing berebut kata dari para pujangga.
Kulihat butir-butir buih berlari berkejaran di antara gelora ombak.
Begitu lincah berganti rupa dan warna; Rinduku pada mimpimu.
Angan membuatku melayang terbang; Biru dan jauh melintasi batas ruang dan waktu.
Aku merasa sendu mimpikan kau datang bawa seikat kembang.
Aku merasa syahdu dengarkan gema riang nyanyianmu temani nadanada senduku
Duh cinta.. betapa ku selalu memuja kau yang datang bersama pagi
Duh rindu.. telah ku persembahkan di altarmu seluruh katakataku, juga malammalamku

antara kau dan aku

Seringkali aku ingin jadi pejantan biar bisa lantang melantunkan serapah pada setiap sumpah kutukan yang meledakkan hasrat. Jantan berekor buaya, bersayap elang, bermulut naga. Siap bertempur dalam peperangan paling panjang disegala padang gersang, juga di atas ranjang saat petang menantang. Akan kuayunkan duriduri ekorku tepat dimatamu agar tak lagi kau pandang aku sebagai binatang ganjil yang usil. Lalu terbang rentangkan sayap menyeret bintangbintang untuk kubawa jadi penerang liang dimana dulu indukku bersarang. Jika masih juga belum cukup merampas setiap kuncup agar meredup; kusembur saja kalian yang tertidur dengan lidah apiku yang terjulur, biar berhambur, hancur, lebur, meluncur, mengucur bagai sulursulur beracun dalam sunyi riuhnya malam di hutan terlarang. Sesudahnya, entah, akankah puas meresap mengendapkan beku nafasku pada lembut bibirmu.

Kadangkadang saja aku senang jadi betina bermata jingga yang cuma bisa sembunyi dalam kemilau senja. Menanti kau datang kapan saja ingin pulang kembali ke lubang luka yang tak pernah mengering pun oleh tiupan tajam angin musim dingin. Mahluk malang aku, setia menunggui gerbang berkarat dimana hujat bisa mendobrak kapan saja sesat melesat cepat. Dengan sapu ranting cemara tua harus kubersihkan tiap serpihan sampah sisa pesta pora tanpa tuntas yang tak pernah sukarela kaubagi. Dengan lembut tanganku kubasuh peluhpeluh dari gigil demammu. Tangan pemilik jarijari lentik yang kau fitnah sebagai sekutu setan ketika kusuapkan buah pengetahuan dalam mulutmu. Sungguh pengecut aku dihadapan ciut nyalimu. Selalu begitu, kau jadikan aku alas kaki, demi arah yang salah, menuju lembahlembah tercuram dimana hanya ada suram dan muram. Setelahnya, sudahkah kau puas memaki dan meludahi diri, hingga risih menjelma serpih, pedih, merintih, menyisir pesisir pantai paling panjang dan sepi, menjelang pagi mungkinkah kau terjaga dari mimpi sucimu yang menafikan rinduku pada hangat dadamu.

Aku ingin jadi jantan untuk merengkuh pejantanku yang rela jadi betina untukku, pun hanya demi sebait sajak sepahit arak yang tersaji pada dini hari kesekian kali ketika lagilagi kau jinakkan liar katakataku dengan lembut bisikanMu.

hanya kamu

Kamu lagi kamu lagi
Tak bosanbosan membayang angan
Tak bisakah kau temukan tempat lain yang lebih lapang dari benakku
Hingga tak kau relakan sejengkalpun ruang tuk ku mengenang yang lebih dari sekedar remang
Mestinya ku buang saja tiap jejak yang jadi jarak antara riakmu dan buihbuihku

Namun setelah ku timbang ulang kuputuskan tanpa gamang
Kamu memang harusnya lagilagi kembali
Layaknya aliran sungai mengarah pada muara
Kutunggu semua resahmu mengalun gairahku
Kunanti tenangmu redakan badai gundahku

Hanya kamu hanya kamu
Yang mampu selalu merupa rindu semirip laut biru di pantaiku

bukan itu

Aku dan hujan pasrah dalam basah
Tetesnya melesatkan nikmat rasa hangat
Tentunya bukan tentang musim atau masa yang tenggelam
Hanya tentang ceritacerita yang hanyut sebelum surut
Bersemi tanpa takut menyerat kian erat
Serupa perjalanan aliran sungai;
Berawal mata air, lembahlembah hingga muara lalu samudra
Berputar lepas dari pusar harap yang mungkin sasar
Menetes sampai ke telapak kaki yang gigil manahan panggil
Terus menari dan menari dalam diam tanpa henti bersama perih dan rintih
Sesaat lagi mungkin air bah akan menyapu musnah tiap gundukan sampah
Takkan tersisa sepotong jejakpun untuk menuntunmu temukan siasiaku
Hanya ada pelangi hiasi pagi di atas bukit dimana mata air mengalirkan air mata yang begitu jernih; selalu sejuk memeluk waktu yang lapuk..

bincang bincang saat kencan

“Cintaku, boleh donk kuminta alamat Fbmu, ato lebih bagus kalau kau mau kasih nomor Hpmu, biar ku tau mesti ku kirim kemana keluh kesahku”

“Sayangku, dirumahku ga ada listrik, ga kenal barangbarang elektronik, jadi aku ga punya laptop dan modem, buruburu alamat fb, atau nomor hp“

“Duh, kau sungguh payah. Apa susahnya jadikan semua itu ada di surga. Katanya kau maha bisa, masa fb ato nomor hp aja ga ada. Gimana kau bisa hidup macam jaman batu, tanpa pengetahuan dan teknologi, ga canggih, ga trendy. Apa kau juga ga tau konsep waktu. Janganjangan kau malah ga punya sepatu”

“Hahahah..tau aja kamu. Memang begitu adanya sayangku; kamu benar aku juga ga punya sepatu”

“Hah..kenapa bisa begitu?”

“Kenapa harus punya sesuatu yang ga ku butuh. Mungkin kau butuh sepatu supaya kakimu ga terluka garagara tertusuk duri ato terantuk batu. Tapi, disini ga ada duri dan batu. Sepatu hanya akan jadi halang bagi kakimu untuk rasakan lembut dan sejuknya awan yang terhampar jadi seluruh lantai dan jalanku”

“Sungguh?! Keliatnnya pasti menawan kalau bisa berjalan di atas awan. Ngomomgngomong, jadi ingat sesuatu, to the point aja ya, kebetulan nih sepatuku sudah butut, bikin aku jadi ngerasa ga patut jalanjalan ketemu siapapun. Itu sebabnya ku habiskan hampir semua waktuku di rumah aja, duduk manis di kursi, ga pakai alas kaki, nulisnulis puisi ga berisi yang pengen banget ku bagi sama orangorang suci, siapa tau mereka bisa ngerti, syukur kalau mau nanggapi”

“Hahahah..bisa aja kamu..”

“Aku baru tau kau suka ketawa, ingatkan aku pada seseorang lain yang ku sayang”

“Hahahah, ya begini adanya. Tapi, kau salah sayang. Orangorang suci ga suka puisi, mereka ga akan ngerti, ga mungkin bisa nanggapi. Orangorang suci taunya cuma sibuk nyuci. Coba deterjen dan pemutih segala merk dan jenis, ga pernah berhenti coba hilangkan nodanoda bandel yang nempel di mantel”

“Hihihih..masa sih?!

“Sayangku, ku senang akhirnya kau juga bisa ketawa”

“Iya, kau yang buatku geli. Tentang orangorang suci itu. Mereka pasti nyucinya pakai tangan ya, ga ada mesin cuci juga disana, kan? Apa mereka berhasil hilangkan semua noda? Memangnya mereka sudah coba pakai segala jenis deterjen dan pemutih yang dijual di bumi?”

“Hmm,,kenapa kau jadi tertarik pada orangorang suci? Tapi, okelah akan kuceritakan biar kau senang. Mereka nyuci pakai tangan sampai lecet dan mengepal telapaknya. Ntahlah, mungkin mereka belum temukan deterjen merk terbaik yang bisa lunturkan noda dengan sekali kucek sekaligus lembut ditangan. Duh, kenapa mesti buang waktu bicara tentang orang suci dan masalah cuci mencuci, sepertinya basi, ga asyik. Yukz bicara halhal yang menyenangkan saja”

“Apa kau ga tau, semua yang ada disini rasanya ga ada yang menyenangkan. Paling bagus cuma rasa kenyang, melayang, anganangan, kenangan. Apa yang asyik dan bisa menarik hatimu, kau sudah miliki segala yang ku punyai”

“Kau ga tau sayangku; kalau memang demikian seperti yang kau kira, tentu tak kan ku jadikan kau ada untukku. Jadikan kau kesayanganku, mengajakmu kencan dan berbincang seperti sekarang”

“Hah..?”

“Sayangku, kaulah yang menyenangkan untukku, kau kesenanganku. Bahkan bayangbayangmu yang memanjang saat siang beranjak senja, teduh, panjang dan riang mengikuti langkahmu. Kesukaanku adalah mengamati setiap gerakmu sepanjang waktu”

“Benarkah? Kalau begitu maukah kau kirimkan untukku sepasang sepatu baru, agar aku bisa jalanjalan lagi dengan riang. Agar aku bisa buat kau senang melihatku jalan, ato mungkin juga berlari. Aku ingin kau melihatku berlari kencang menghindari bayangbayang, mungkin bisa makin bertambah senangmu, aku ingin sekali menyenangkan hatimu”

“Sayangku, kau sungguh baik hati. Sungguh menyesal sekali tak bisa kukirimkan sepasang sepatu itu untukmu, bukannya apaapa, tentu kau juga paham bahwa di tempatku sini ga ada benda macam itu, jangankan sepasang, sebelahpun tak ada. Disini hanya ada sayap, berpasangpasang sayap dengan segala bentuk dan ukuran. Apa kau mau kukirimkan sepasang sayap untukmu, sebagai pengganti sepatu?”

“Ahh, kau serius?! Apa kau sungguh mau kirimkan sepasang sayap untukku. Aku mau. Aku sungguh mau. Taukah kau, sejak dulu aku ingin punya sayap dan bisa terbang, tapi aku selalu sungkan katakan padamu inginku yang satu ini. Kupikir hanya malaikat yang boleh punya sayap”

“Hahahah.. lagilagi kau tak mengerti aku. Kau salah sangka sayangku; katakan saja semua yang kau ingin dariku, jangan pernah sungkan, ga perlu bimbang, ga pakai ragu, apapun itu. Jika aku bisa dan punya apa yang kau pinta pasti kan ku berikan, apapun itu. Harusnya kau tau sayangku, apa sih yang engga buat kamu. Kamulah kesenanganku, kesayanganku. Sekarang pejamkan matamu, dan tahan nafasmu, akan segara kukirimkan sepasang sayap terindah untukmu. Segeralah terbang, aku menunggumu disini, di atas awan. Ahh sayangku aku ingin secepatnya menggandeng tanganmu, terbang menjelajah bintangbintang”

"Asyiikk..."