Kamis, 23 Desember 2010

langit itu punya kita

Serasa sudah berabadabad matahari terbit dengan cara yang sama. Bungabunga mekar dengan cara yang sama. Manusiamanusia lahir dan mati dengan cara yang sama. Dan aku merasa bisa merubah satu keping kecil bagian dari dunia. Mungkin seperti merasa bisa merubah warna seutas benang pada selembar kain tenun yang panjang dan lebar, yang bisa menyelimuti sekujur tubuh. Pantas saja kau tersenyum memandangku setiap malam tidur dengan mimpi buruk, dan setiap pagi terjaga dengan wajah letih.

Aku mengambil Koran pagi dan membaca peristiwaperistiwa, hanya membaca, dengan resah dan rasa tak puas yang juga sama, serasa berabad abad. Aku mulai berpikir, seorang vampire yang bijak pasti menyesali usianya yang tak habishabis, sementara seorang penyair yang jatuh cinta, atau entah rasa hebat apa yang merasuki jiwanya berseru, aku mau hidup seribu tahun lagi. Malangnya aku bukan keduanya, bukan vampire yang sadar diri atau penyair yang lupa daratan, jadi aku cuma bisa bengong dan bertanya, what’s going on ? Disusul dengan tanyatanya yang juga mungkin sama selama berabadabad. Separah itukah, dan  kau malah tertawa dan berkata, lebih parah lagi dari yang kuduga.

Separah apa ? Mungkin separah menikmati kopi tanpa sebatang rokok ? Separah pembunuhan yang dilakukan kepada seseorang yang belum dilahirkan ? Separah mempertanyakan selaput dara ? Separah kebutuhanku untuk menulis di facebook ? Kau mengangguk, separah seluruh sejarah yang terbentang dari masa lalu dan terus berulang menjerat masamasa yang akan datang.

Apakah itu sejarah ? Setiap tetas darah yang tumpah selama berabadabad dengan cara yang sama ? Ada banyak cara yang samasama menumpahkan darah selama berabadabad. Dan masih pula banyak darah yang akan tercurah dengan banyak cara selama berabadabad kemudian. Atau mungkin semua akan tamat di tahun duaribu duabelas.

Kau dan aku cuma bayangbayang yang sama, keluar dari cermin setiap pagi, untuk menemukan pagi yang sama selama berabadabad, dan masih setia berharap akan ada sekeping kecil cermin yang menangkap bayangbayang manusia dan peristiwa di suatu pagi yang bukan bagian dari abadabad yang pernah ada.

Sudahlah, jangan terlalu berharap pada cermin, aku mendengar nasehat yang sama dari wajahwajah yang berbeda. Sebab cerminpun sekarang pandai menyembunyikan bayangbayang, mungkin jenuh pada peristiwa dan wajah yang sama, yang datang ke hadapannya, berharap menemukan yang berbeda dari bayangan yang sama selama berabadabad.

Lebih baik menatap langit yang tak pernah mencatat wajah dan peristiwa selama berabadabad. Langit adalah langit. Dan akan selalu langit yang sama, meski berganti warna setiap pagi dan petang, untuk  melupakan wajah dan peristiwa yang selalu menatapnya, memohon pengertian dan belas kasihan selama berabadabad. Langit adalah langit, yang tak pernah mengenang wajah dan peristiwa. Dan langit tak punya sejarah, bukankah itu indah, langit tak punya sejarah.

Apa itu alasan yang bagus, kutanya kau, atau ada yang lebih bagus daripada berabadabad fajar dan senja yang datang dan pergi ? Akhirnya, setelah serasa berabadabad lamanya, kau bisa membuatku tersenyum, langit itu punya kita, tak ada sejarah yang akan merampasnya, tak akan ada darah tumpah di sana. Langit itu punya kita, berabadabad lamanya, langit itu punya kita*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar