Kamis, 30 Desember 2010

ladang kentang

Aduh sudah malam lagi. Padahal aku masih terkenang pagi. Pagi bening di mata anakanak yang mengetuk pintuku. Padahal pintu itu sedang meronta, kembali kayu. Aku mengeluh kepada tubuh yang tergilagila pada remang dalam gudang, suram, ingin meruntuhkan atapnya.

Sungguh, aku pernah berada di situ, memandang ladang kentang, liurku membuncah, aku sedang mendaki puncak, berenam dan sebagian bekalku tertinggal di pos perhentian pertama. Aku mengingatnya sebagai sebuah ibadah, perhentian pertama itu, serupa pengkhianatan. Bagian yang terindah adalah ketika aku merasa kau telah cukup mencintaiku, untuk membuatku berani menguji hatiku, dengan pengkhianatan.  Kau meninggalkan bagian yang paling kusuka, mentega, batang coklat dan sari buah. Dan hanya perlu sebuah pelukan, aku merelakan tubuhku pada kata maaf. Tak ada pengkhianat yang tak mencintai sepenuh hati. Kau pasti mengerti.

Bahwa, aku pernah jadi anakanak yang benarbenar kekanakan, menunggang kuda kayu di studio photo, kau memotretku. Kau salah, kalau kaupikir aku lupa. Saat aku belum bisa mencatat, aku telah mahir mengingat. Kau memotong bolu bulat jadi tiga bagian, besar, sedang, kecil, lalu menyusunnya jadi kue ulang tahun bertingkat, memetik bunga anggrek untuk hiasan. Boneka rusa dan hanya dua kurcaci yang dipinjamkan untuk kue ulang tahunku. Lalu sebuah angka menyala, tak perlu kusebutkan bilangannya. Biar kau selalu meragukan ingatanku. Biar kau selalu berpikir aku tak pernah mengingat kue ulang tahun itu dari belakang, berlubang, bukan berlubang, hanya sebuah lengkung kosong yang seperti menyusup dalam kacamatamu. Betapa sebuah kamera berjasa, membuat segalanya terlihat sempurna. Biar kau selalu meragukan ingatanku ketika memandang senyum dalam selembar kertas berkilat.

Begitu banyak kilatan cahaya menjamah mata. Sebanyak butir kerang yang kubuat dari gulungan kertas bekas. Kadangkadang aku begitu takjub akan guruku, mengajariku membuat bendabenda, seperti pencipta, seperti ayah. Ayah yang melarang aku main kejarkejaran di malam hari, nanti masuk angin, ayah selalu berkata. Besok pagi saja kita jalanjalan ke gembira loka, naik andong. Sekarang tidur saja, atau tokek akan datang dari celah atap, belang dan seram, giginya tajam, aku melihat bekas gigitannya di lengan ayah. Aku ingat semua katakata manis dan senyuman sebelum pagi.

Pagi selalu bening. Bubur beras merah, susu asam, buah pisang, datang bersama wangi melati di rambut ibu. Aku selalu ingin kembali dalam rongga perutnya, demi rasa aman dan aroma kamper pada bajunya. Ibuku suka warna coklat, hangat seperti tanah dan semua yang tumbuh dari dalamnya. Ibu ingin aku jadi dokter, agar selalu bisa menggantungkan alat pendengar degup jantung di dadaku. Menghitung nadi, menemukan nama yang indahindah untuk menyebut derita, dari daftar index di buku text. Aku suka cara ibu mengikat rambutku. Aku suka cara ibu memasak bubur, aku suka cara ibu memukul pahaku, membuatku takut dengan mengurungku dalam gudang. Karena gudang itu, aku jadi sayang tikus, merasa diriku upik abu, cantik dengan baju berdebu.

Debu yang kadangkadang jatuh dari langit, menerobos atap gudang yang bolong, cahaya juga jatuh dari sana.  Cahaya dari ujung tongkat nenek peri, menyihirku jadi semungil debu. Biar aku bisa terbang, melewati atap gudang, kembali ke ladang kentang. Menemui temantemanku sedang menggali, mencoba mencuri beberapa umbi. Tak apaapa, nenek peri menghiburku, petani tak akan kehilangan rejeki karena kau curi sedikit berkah dari ladangnya. Tapi cepatlah, sepertinya ada yang bergetar pada telapak kaki. Aku mendengarnya, segenap nada. Lindap. Ayahku memanggil dari tempat tidurnya, suaranya patah, membuatku terluka. Aku sangat ingin memeluk ayah, memeluk masa lalu, sebelum berlalu. Ibuku sudah lebih dulu berjalan pulang, sesudah sarapan. Ibu tak bisa mendengar debudebu gudang berseru. Ayah tak berdaya, hanya menatap rindu pada gambar dalam pigura, di balik sepasang angsa berpayung biru. Ayah, sesungguhnya aku ingin memelukmu, sebelum debu, sebelum menunggang kudakudaan kayu, sebelum kabur dari gudang bersama cahaya.

Cahaya membentang sepanjang ladang kentang, ketika aku mendengar ada yang berkata,” Aduh sudah malam lagi.” Tapi aku masih selalu terkenang pagi bening di mata anakanak dalam setiap gambar*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar