Kamis, 30 Desember 2010

sekepal jantungku

Hujan mengajariku menulis. Menjatuhkan katakata seirama rinai, menyengat punggung, lalu sejuk.  Membawa aroma tanah ke dalam kepala, kau menyergap, meringkus lenganku yang melambai. Aku tak pernah bertemu, aku tak ingin bertemu, agar selalu bisa menuliskan rindu sekokoh batu. Hujan mengasah batu di celah rambutmu, licin berkilau memanggilku.

Kulepas jantungku, mengusir ragu di sisi bantalmu. Kudengar dadamu gemuruh, penuh hujan masa lalu, gumpalan mendung, pelangi yang warnanya terceraiberai. Jantungku duduk menunggu, menunggu hujan reda, menunggu mendung meleleh habis, menunggu pelangi menyusun dirinya sendiri. Sebelum malam sekali lagi berlalu, membawa pergi kilau batu dari rambutmu, aku meminta waktu, sebelum pelangi utuh, jantungku menunggu. Tanpa lengan, tanpa tungkai, tanpa kepala. Cuma sekepal jantungku, berdetak senada rinai dalam dadamu*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar