Pernah aku terhenti pada sebuah persimpangan, lampu merah. Masih berseragam putih merah. Duduk di atas sadel sepeda mini, kulihat seekor sapi berdiri di sampingku. Sapi dengan hidung berlubang tempat tali kekang. Sapi penarik gerobak pengangkut batangbatang bambu. Aku melihat mata sapi sangat cantik, bulu matanya lentik, kelopaknya berkedip halus, bola matanya basah dan redup. Aku sungguh terpesona, tak pernah menyangka sapi punya mata begitu indah, maka kusimpan rapi keindahan pada mata sapi dalam ingatanku.
Hari itu di sekolah, kelasku riang seperti biasa, kelas empat, duduk sebangku dengan pacarku, cinta pertamaku, betapa lucu. Kuceritakan pada sahabat sekaligus pacarku itu, bahwa tadi aku berdiri di sebelah seekor sapi ketika lampu merah menyala di simpang empat. Pacarku bertanya, “Terus kenapa, kamu takut?”
“Kok takut. Apa kamu pernah lihat mata sapi ?”
Pacarku mulai ingin tahu,”Memangnya kenapa dengan mata sapi ?”
“Mata sapi itu cantik. Aku baru tahu, sungguh cantik.”
Hahahahahahah…Dia tertawa keras, pacarku tertawa keras dan lama, hingga ibu guru melotot ke arah kami.
Aku menatap mata pacarku, setengah kesal, setengah geli. Kenapa mesti tertawa untuk sesuatu yang tak lucu sama sekali. Kuceritakan padanya betapa kulihat mata sapi sangat cantik, bulu matanya lentik, kelopaknya berkedip halus, bola matanya basah dan redup. Aku sungguh terpesona, tak pernah menyangka, kalau mata secantik itu milik seekor sapi.
Sapi yang bertubuh putih, besar, dengan wajah lebar dan lugu, hidung bulat berwarna hitam mengkilat, berlubang, ternyata punya mata begitu indah. Mungkin aku sedikit malu ditertawakan pacar kecilku, tapi aku sangat suka melihat dia tertawa, menciptakan sebuah lesung di pipinya. Sekali lagi kusimpan rapi, mata sapi dan tawa pacarku dalam ingatanku.
Setiap kali kusebutkan mata sapi, teringatlah olehku sesuatu yang cantik dan bikin pacar pertamaku tertawa keras. Telur mata sapi jadi terasa begitu lezat, juga indah. Lingkaran putih berkilau oleh minyak, dengan bulatan kuning padat di tengah, menyala terang. Aromanya sedap membangunkan semangat, setiap pagi sering kali membuat perutku hangat.
Sungguh menyenangkan bisa menyimpan sesuatu yang indah dalam ingatan. Bertahuntahun kemudian, ketika aku sudah duduk di bangku kuliah, pacarku yang keempat tibatiba memberiku sebuah tekateki saat kami berjalan bersisian, “Putih, besar, bego, lamban, bermata indah. Apakah itu ?”
Seketika aku cemberut, dengan suara merajuk kujawab pacarku yang senyumsenyum,”Iya sih, senangnya yang bisa ngejek.”
“Kok ngejek. Itu kan cuma tebakan, jawabannya sederhana, baru aja lewat.”
“Iya aku tahu, memang sih aku bego dan lamban…” Aku makin merajuk dan cemberut.
“Loh.?!” Hahahahahahah, pacar keempatku tibatiba tertawa, keras dan lama. Aku menatapnya sedikit kesal, setengah bingung, setengah senang. Sekesal apapun, aku selalu senang melihat lesung di pipinya.
“Sapi beib, sapi yang barusan lewat. Putih, besar, bego, lamban, bermata indah. Hahahahahahah…jangan geer donk, memangnya cuma kamu yang putih dan bermata indah. Lagian kamu kecil, walaupun, hmm… bego dan lamban, upz...!!” Pacarku berkata, memandang mataku dengan matanya yang berbinar, nakal, sangat cerah.
Hahahahahahah… Aku jadi tertawa keras, entah kenapa tibatiba merasa sungguh bahagia.
Aku dan pacarku tertawa bersama, keras dan lama, sampai keluar airmata.
“Aku senang ternyata pacarku yang bermata indah tahu diri, merasa bego dan lamban, merasa macam sapi. Huhuy…” Dia masih sempat menggoda di sela tawa yang seakan tak akan berakhir.
Malam harinya, ketika berbaring sendiri dalam kamar aku mengingat semua tawa yang terjadi hari itu. Juga tawa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Aku menatap langitlangit kamar, sepasang cicak berkejaran riang, berdecak gembira, dua ekor nyamuk terbang berputar di kepalaku, bunyi dengingnya terdengar merdu. Betapa anehnya hidup, betapa indah dan lucu. Mata sapi yang indah, telur mata sapi yang sedap. Pacar pertama dan terakhirku yang samasama berlesung pipi, samasama selalu mengejek dan mengetawaiku sesuka hati.
Aku bertanya sendiri, ada berapa pasang cicak dan nyamuk sedang bergembira malam ini. Berlari dan beterbangan bebas, bersuara manis.
Aku tak akan pernah tahu semua jawaban, semua rahasia sederhana yang tak berharga. Alangkah senangnya mengingat bahwa pernah kukatakan pada pacar pertamaku tentang mata sapi yang cantik. Alangkah takjubnya hari di saat aku tahu bahwa pacar terakhirku juga tahu betapa cantiknya mata sapi. Mereka yang kusayangi, sapi bermata cantik dan dua lelaki yang samasama gemar mengejekku, samasama bisa tertawa begitu keras dan lama demi membuatku senang memandangi lesung yang tumbuh di pipi mereka. Dua lelaki yang samasama doyan telur mata sapi dan menyebut mataku seindah mata sapi*
Hari itu di sekolah, kelasku riang seperti biasa, kelas empat, duduk sebangku dengan pacarku, cinta pertamaku, betapa lucu. Kuceritakan pada sahabat sekaligus pacarku itu, bahwa tadi aku berdiri di sebelah seekor sapi ketika lampu merah menyala di simpang empat. Pacarku bertanya, “Terus kenapa, kamu takut?”
“Kok takut. Apa kamu pernah lihat mata sapi ?”
Pacarku mulai ingin tahu,”Memangnya kenapa dengan mata sapi ?”
“Mata sapi itu cantik. Aku baru tahu, sungguh cantik.”
Hahahahahahah…Dia tertawa keras, pacarku tertawa keras dan lama, hingga ibu guru melotot ke arah kami.
Aku menatap mata pacarku, setengah kesal, setengah geli. Kenapa mesti tertawa untuk sesuatu yang tak lucu sama sekali. Kuceritakan padanya betapa kulihat mata sapi sangat cantik, bulu matanya lentik, kelopaknya berkedip halus, bola matanya basah dan redup. Aku sungguh terpesona, tak pernah menyangka, kalau mata secantik itu milik seekor sapi.
Sapi yang bertubuh putih, besar, dengan wajah lebar dan lugu, hidung bulat berwarna hitam mengkilat, berlubang, ternyata punya mata begitu indah. Mungkin aku sedikit malu ditertawakan pacar kecilku, tapi aku sangat suka melihat dia tertawa, menciptakan sebuah lesung di pipinya. Sekali lagi kusimpan rapi, mata sapi dan tawa pacarku dalam ingatanku.
Setiap kali kusebutkan mata sapi, teringatlah olehku sesuatu yang cantik dan bikin pacar pertamaku tertawa keras. Telur mata sapi jadi terasa begitu lezat, juga indah. Lingkaran putih berkilau oleh minyak, dengan bulatan kuning padat di tengah, menyala terang. Aromanya sedap membangunkan semangat, setiap pagi sering kali membuat perutku hangat.
Sungguh menyenangkan bisa menyimpan sesuatu yang indah dalam ingatan. Bertahuntahun kemudian, ketika aku sudah duduk di bangku kuliah, pacarku yang keempat tibatiba memberiku sebuah tekateki saat kami berjalan bersisian, “Putih, besar, bego, lamban, bermata indah. Apakah itu ?”
Seketika aku cemberut, dengan suara merajuk kujawab pacarku yang senyumsenyum,”Iya sih, senangnya yang bisa ngejek.”
“Kok ngejek. Itu kan cuma tebakan, jawabannya sederhana, baru aja lewat.”
“Iya aku tahu, memang sih aku bego dan lamban…” Aku makin merajuk dan cemberut.
“Loh.?!” Hahahahahahah, pacar keempatku tibatiba tertawa, keras dan lama. Aku menatapnya sedikit kesal, setengah bingung, setengah senang. Sekesal apapun, aku selalu senang melihat lesung di pipinya.
“Sapi beib, sapi yang barusan lewat. Putih, besar, bego, lamban, bermata indah. Hahahahahahah…jangan geer donk, memangnya cuma kamu yang putih dan bermata indah. Lagian kamu kecil, walaupun, hmm… bego dan lamban, upz...!!” Pacarku berkata, memandang mataku dengan matanya yang berbinar, nakal, sangat cerah.
Hahahahahahah… Aku jadi tertawa keras, entah kenapa tibatiba merasa sungguh bahagia.
Aku dan pacarku tertawa bersama, keras dan lama, sampai keluar airmata.
“Aku senang ternyata pacarku yang bermata indah tahu diri, merasa bego dan lamban, merasa macam sapi. Huhuy…” Dia masih sempat menggoda di sela tawa yang seakan tak akan berakhir.
Malam harinya, ketika berbaring sendiri dalam kamar aku mengingat semua tawa yang terjadi hari itu. Juga tawa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Aku menatap langitlangit kamar, sepasang cicak berkejaran riang, berdecak gembira, dua ekor nyamuk terbang berputar di kepalaku, bunyi dengingnya terdengar merdu. Betapa anehnya hidup, betapa indah dan lucu. Mata sapi yang indah, telur mata sapi yang sedap. Pacar pertama dan terakhirku yang samasama berlesung pipi, samasama selalu mengejek dan mengetawaiku sesuka hati.
Aku bertanya sendiri, ada berapa pasang cicak dan nyamuk sedang bergembira malam ini. Berlari dan beterbangan bebas, bersuara manis.
Aku tak akan pernah tahu semua jawaban, semua rahasia sederhana yang tak berharga. Alangkah senangnya mengingat bahwa pernah kukatakan pada pacar pertamaku tentang mata sapi yang cantik. Alangkah takjubnya hari di saat aku tahu bahwa pacar terakhirku juga tahu betapa cantiknya mata sapi. Mereka yang kusayangi, sapi bermata cantik dan dua lelaki yang samasama gemar mengejekku, samasama bisa tertawa begitu keras dan lama demi membuatku senang memandangi lesung yang tumbuh di pipi mereka. Dua lelaki yang samasama doyan telur mata sapi dan menyebut mataku seindah mata sapi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar