Kamis, 30 Desember 2010

lima sajak di koran Suara Pembaharuan 17102010

Sajak-sajak Rose Widianingsih

Tak Ada Hujan Siang Ini
Seandainya ada hujan siang ini, mungkin aku bisa merelakan malam berlalu tanpa sebuah kisah. Aku terlalu kerap bercerita. Memaksa ruang kehilangan kehendak. Berandai-andai tentang badai, datang menyeret ribuan kali ketukan di pintu kamarku. Suara-suara dan wajah-wajah hanya sebuah khilaf yang berulang kali meminta maaf. Pada jembatan, pada ruas jalan, pada hujan, pada yang tanpa suara dan tanpa wajah.

Lalu aku melihatmu, bertanya apakah sebuah andai cukup meredakan badai. Siang atau malam, suara dan wajah yang sama menjenguk, menunduk, seperti ingin bertemu dengan ruang yang hilang. Menjahit sepatu, menambal baju, merekatkan bukubuku. Mencoba menghapus ingatan tentang bintangbintang jatuh di halaman rumahku. Bintangbintang terluka, tak mampu mengabulkan doadoa, hanya diam menunggu padam.

Hujan mungkin tak mendengar gemuruh suaranya sendiri, yang selalu kucuri diam-diam. Kusembunyikan di lengan, telapak tangan, bahu dan kepalaku, kusimpan dan kujaga sendiri dalam catatan dan ingatan. Untuk kubuka kembali. Kumainkan sendiri, ketika badai mengetuk pintu di sebuah siang yang landai. Siang yang tak suka berandaiandai. Siang yang mengembalikan rinai hujan kepada mata. Jembatan dan ruas jalan basah. Debudebu hanyut, daun-daun berseri, hijau sejernih permata.

Pasuruan, Agustus 2010


Semadi
pucuk-pucuk pinus punya kisah sendiri
tak pernah terbaca akar pemberi nafasnya
dan aku hanya pantas bertanya
nyanyian siapa yang sedang kudengar?

Pasuruan, Agustus 2010


Devoziby
Saat aku menyusun kembali patahan-patahan doa, kata-kata menjadi sangat marah. Dengan kepalan tangannya, dipecahkannya tabung penanda waktu yang menindih kertas-kertasku.
Tanganmu terluka, meneteskan jejak merah. Dan aku jadi kehilangan nyali, tak lagi ingin mengerti. Tak lagi ingin mengenalmu lebih karib daripada namanama di halaman surat kabar.  Aku pasti sudah mencoba sembunyi darimu, jika saja kau tak akan pernah menemukanku mencarimu kembali: Kau selalu bisa membuatku bertanya dan meragukan diriku sendiri.

Pasuruan, Agustus 2010


Buat Ibu
Kita mesti berpisah, aku akan lupa pada buaianmu.
Menyingkirkan masa lalu dari lemari baju.
Serupa benar dengan memotong
nadi penyambung hidupku.

Cuma sebentar saja aku
boleh menangis.
Meratapi sesuatu tentangmu, yang
terlupa dan tak pernah ada.

Pasuruan, Agustus 2010


Reporte
Kuberikan hatiku pada ular, agar dapat turut menari, seirama tiupan serulingmu. Guci ular tampak lebih lapang dari taman surga. Tapi kau marah dan mengataiku pandir. Aku terlanjur mendengar cuma dengan telinga buta. Telinga yang penuh lubang tindikan. Seribu giwang menancap, mengejek lidah yang memutih oleh jejak susu, berkilau tersepuh madu. Bersama-sama, semua tertawa, melata, merasa merdeka.

Aku mulai mengerti: hatiku sudah mati sejak kautiupkan nada pertama. Jauh sebelum ular, aku belajar berdiri, lebih tegak, lebih tinggi. Memecahkan guci ular, tubuhku mencari belati, demi hati yang sangat ingin menari. Aku terus mencari suaramu dari seteguk demi seteguk arak, kepada sehembus demi sehembus asap. Kau membuatku terkapar. Ketika tubuh ular melesap, kembali ke dalam guci, hatiku berserakan, berulangulang.

Tanah jadi begitu merah, ketika namaku tertera di sana.

Pasuruan, Agustus 2010


Suara Pembaharuan
Minggu, 17 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar