Hati itu telah tumbuh pada musim yang kaku. Bukan kemarau, tak ada debu, tak juga semi benih. Salju meleleh di keningmu. Menjalari nadi, merambat dan mengikat denyut, hampir mati. Tapi aku tibatiba membaca diktat yang menjelaskan bahwa hati sejak semula tak punya denyut, jadi kematian itu adalah sebuah tipuan, dibuat semata agar aku teralih darimu.
Hati menjadi lentur, membenturbenturkan gema pada lorong gelap yang setia berjaga. Bernyanyi, menyeru untuk bangkit. Mengingat masa lalu, balok berwarna, lukisan istana, sepatu roda, berlarian di lorong bawah tanah, menelan jalan menuju jantung. Mencari denyut. Kau mencoba menyusun potongan kayu jadi belalang atau kupukupu. Aku membantumu, menghidupkan lampu di atas meja belajar yang tertimbun kertas ujian. Kita bernyanyi dengan tempo sedang.
Hati itu menjadi rimbun, meneduhkan cuaca yang terik, membakar setiap kaca, di setiap lantai. Kepalamu menjenguk, mencari sahabat yang rasanya baru saja terbang. Mencari tanah lapang yang berlarilari mengejar bola. Sebundar dunia, tembus pandang. Kulihat jantungmu berdenyut di sana. seharum sabun, selembut rambut ibu. Dari sebuah lubang di lantai kamar, aku menemukan sebarisan mimpi, berdesakan menumbuhkan hati.
Sebentar saja, tunggulah aku membangun istana dari balokbalok berwarna, mengenakan sepatu roda kita mengejar bola. Tanah lapang akan menyerah, membiarkan belalang dan kupukupu menggali lubang, menanam semua yang berdenyut. Menyambut tumbuhnya debu dengan sukacita. Debu yang akan merubahku jadi peri, terbang mengunjungi sebuah negeri dengan sepanjang tahun musim semi. Menanam benih pada setiap kaca*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar