Senin, 19 Desember 2011

inisial

Malam sama. Jalan sama.
Mencari tepi.
Di tiap tikungan dan bayangan
kau beterbangan mengulurkan tangan*

maqam


Badai mana yang tak indah dan tak gelora.
Hanya jemariku yang tak ingin mengatakan kebenaran.
Yang segan pada pengingkaran, yang gentar pada pemberontakan dan api abadi dari serpihan yang berjatuhan di atas mejamu. Akulah satu satunya pecundang, bukankah sangat layak dirayakan.
Mari bersulang untuk kekalahan*

Minggu, 04 Desember 2011

arsir


Kontes keindahan digelar di segala tempat. Memenangkan setiap peserta. Jurinya pasti pada buta. Seperti aku. Buta dan berseru lantang mengandalkan ujung pensil yang sama, yang menggambar aneka bentuk benda benda, wajah wajah, bayang bayang, tiang tiang, lingkaran lingkaran. Satu ujung pensil cukup melukis seluruh kenangan dan harapan, sebelum tanpa sengaja patah ketika kauajak bercanda. Dan kau punya perautnya, menyenangkan memutar tuasnya, meruncingkan ujung pensil yang sama. Kau selalu juara, aku selalu buta*

Rabu, 30 November 2011

polaroid

Aku mencintaimu, satu satunya yang membutakan mataku dari warna kelabu.

Hidup menjadi tak sempurna, kurang satu warna. Hitam putih selalu terpisah. Tapi aku mencintaimu bukan karena kau satu satunya yang membutakan mataku, yang membuatku rindu mengaduk hitam putih.

Bintang bintang tak pernah larut di langit malam. Tersebar, berserakan, berhamburan. Aku mencintaimu tanpa kesempurnaan, sembarangan, sekacau letak bintang bintang. Tak kuhiraukan bila berjatuhan atau bergantungan. 

Kau satu satunya yang membutakan mata, membuatku riang memandang kecemburuan segenap terang*

menghias angkasa


Aku ingin menggambar lagi balon aneka warna di genggam tangan masa kecil yang tak penah pecah. Mereka hanya terbang teramat tinggi, teramat jauh, ke tempat di mana matahari dengan senang hati menggembirakan tangan tangan kecil, hinggap di atas selembar kertas, menjadi dataran bulat berwarna kuning dengan tangkai cahaya menjulur ke semua arah*  

ketika


Seringkali keindahan sembunyi terlalu pelik, entah di mana. Jemariku tak merabanya, mataku tak menatapnya, gambarku tak melukisnya. Keindahan tak terjamah menemaniku melangkah tanpa bunyi, tanpa warna, tanpa kata. Saat paling tepat untuk berharap kau tersenyum tanpa alasan, ketika keindahan tak menampakkan diri di manapun aku berdiri sendiri*

Rabu, 23 November 2011

wahyu

Kulihat kau menciptakan pinguin, juga angin.
Burung hitam putih bersayap mubazir.
Kasat mata yang menyapu bibir.

Kaubuat segumpal kelabu dalam kepalaku
tak bisa berhenti menggambar dataran putih
di ujung bumi yang belum pernah kukunjungi.

Kaujadikan ladang ladang keemasan
melukis tubuhku di atas kertas yang tekun berdoa
memohon angin menerbangkan pinguin
ke atas mahkota seorang raja maha bijaksana*

uzur


Aku segan mendekat ke arahmu. Hampir habis waktuku, kau masih sibuk menyusun gugatan, menyiapkan perdebatan. Aku kehilangan ingatan, atau berandai andai demikian. Bukankah kau juga enggan mencicipi suguhanku, campuran kebahagiaan dan ketidakmengertian dalam bingkai wajahku. Belum cukupkah kaunikmati kecengenganku. Kau selalu meminta lebih, seperti ayah ibuku yang telah mati terbunuh sepi yang diadopsinya sendiri dari nasi*