Selasa, 31 Januari 2012

visi


Ikan ikan berenang di layar kaca. Atau mataku telah pecah, menjadi celah, mengalir basah. Ikan ikan berenang di sana. Di kolam yang terbuat dari layar kaca di dalam mata, ikan ikan berenang, mengejar titik titik makanan, jari tanganku menaburkan. Serupa hujan. Titik titik kesejukan bertebaran di layar kaca, ikan ikan menelan mata dan bahagia*

Senin, 16 Januari 2012

sebuah pagi

Sebuah pagi bersandar di lenganmu adalah beribu ribu malam terbenam dalam ingatan. Pasti datang. Harum lantai kayu, senandung hangat asap, mata setengah pejam. Ini hanya sesuatu yang tak usai, tak terurai, meski merangkum sekujur tubuh, menaungi seluruh lembah di balik tulang dada. Kita tak ingin ke mana mana.

Angin mengantar debu mengunjungi pusaraku serupa serangga mengerumuni cahaya. Aku tidak mati. Sendok dan mangkok berukir kembang musim semi tertata rapi, menanti bubur dan kaldu. Kauingat aku merona tersilaukan matamu. Dengung lalat memainkan opera, bersama detak jam tanganmu, gemuruh jantungku. Suatu ketika kita bertaruh, kicauan cacing dalam perut siapa lebih merdu.

Beribu ribu malam terbenam dalam ingatan dan bentang lenganmu setia menumbuhkan sebuah pagi paling berseri. Di pipiku, sungai sungai mengalir sejuk, jernih, membasuh wajah anak anak yang bakal datang berlepotan warna jingga. Anak anak yang berlarian menuruni bukit setelah membangunksn matahari*

Minggu, 15 Januari 2012

jatuh cinta

Tak ada pembunuh sanggup membunuh tanpa mencintai.
Tak ada kekasih ragu membunuh atau terbunuh demi si jantung hati.
Keadilan dan kebijaksanaan ternyata cuma bualan dan igauan pengecut yang sedang mendengkur.
Hanya suara gaduh mengalir bersama liur, membasahi wajah dengan bau tak sedap, Kebijaksanaan dan keadilan menetes dari celah celah bibir yang mahir berkelit ketika udara rindu bertukar tempat dalam pagutan mesra.
Kepada yang menuduh atau menduga aku gila, kutegaskan, aku jatuh cinta. Masih jatuh cinta. Selalu jatuh cinta.
Muaklah atau acuhkanlah lidah lidah api yang menari abadi di sini*

sayang,


Kau membuatku hilang dari ketiadaan. Belum menjadi jawaban. Jauh dari kebenaran.
Tapi cukup, malah terlalu baik menghiburku dari ejekan suara suara yang selalu bertanya
kenapa aku tak pernah resah tentang kau atau rasa yang menyumbat nadiku.
Kaujadikan segenap udara cemburu pada biru jantungku*

sayang,


Setelah menempuh jalanmu kakiku ditumbuhi paku.
Menancap dan melekat erat.
Jalan menjadi tempat.
Langkah bukan mencari arah.

Aku ingin berseru,”Aku pulang.” Dengan nada riang,
kalau saja lidahku tak ditumbuhi tulang,
atau telingamu tak disesaki kuntum bunga yang bermekaran
tanpa henti saat kubisikkan namamu di tiap langkahku*

sayang,

Aku tersenyum untukmu. Entah dari balik ranting dan dedaunan mana, akan kautemukan gerak angkasa. Bukan cahaya, mungkin tanpa warna, kutemukan selalu yang tak bisa padam.
Kaurekahkan bibirku menjelang yang akan datang, berulang ulang serupa pagi dan malam*

anak anak pintar

“Siapa suka kulit telur ?”
Ibu guru tak melihat satu jari telunjukpun terangkat, semua tangan berada di atas meja, di dekat dada kecil masing masing pemiliknya.
Anak anak pintar menatap dengan mata bundar berbinar.
Kuning telur kegemaran ayah.
Putih telur kesukaan bunda.
Anak anak bagusnya melahap semua bagian biar tambah pintar.
Telur mata sapi dengan alis dan senyuman, telur dadar melingkar lingkar mirip ular, sehat dan lezat semuanya.
Kulit telur selalu dikupas dan dibuang ke tempat sampah.
Anak anak pintar*