Selasa, 23 Agustus 2011

tanpa judul

Perjalanan, aku terdiam memandang hitam di matamu, luasnya pekat. Janji ibu ketika menidurkan letih di balik selimut tipis, tak menghalangi dingin. Keheningan tak pernah memusuhi. Aku hanya tersedak mimpi buruk. Pohon berlari, sawah, ladang dan kebun berlari, rumah rumah berlari, tiang tiang besi berlari. Di kanan kiri mataku terpikat waktu. Hasrat tak menghitung jarak. Perjalanan menggetarkan sekujur tubuh, mengguncang lengan, di dadaku jantung berdetak, darah menghanyutkan kata, Mungkin kaubaca suatu hari ketika kau lewati kota yang belum mati. Kota yang menumbuhkan hijau ladang ladang tembakau dari puntung sigaret yang terbuang di sela percakapan, kepalaku di pundakmu*

kera sakti

Hari cerah, tersenyumlah. Sebab hadiahnya tak seharga diriku. Ambil saja untukmu yang membutuhkan harga diri, yang merasa sebutir nasi, yang menyesal jika gagal menyenangkan atau mengenyangkan, yang ingin dijilat sampai bersih. Aku mau tertawa mengejekmu hingga bisa terlihat jelek. Menjadi indah terlalu mudah, membosankan. Telah kumenangkan kemarahan segenap dewa yang kaupuja. Kadang kadang aku lupa di telingaku kusimpan tongkat penyangga dunia, tak kudengar suaramu manusia, membuka tutup mulutnya macam ikan ikan dijual mahal di pasar lelang*

Selasa, 16 Agustus 2011

untitled

Aku manusia bahagia, yang tak ingin mendengar dan melihat apa apa. Caraku memanjakan telinga dan mata. Silahkan tak percaya sampai kaulihat jernih menggenangi buta mataku dan rambut rambut basah menggelitik tuli telingaku. Seutuhnya milikmu, senyuman basah ketika kaubuka kosong di genggam tanganku. Semua sudah kuberi, segala yang ingin kaudengar dan lihat. Aku senang tak perlu bersaksi tentang segala yang tak ingin kumiliki*

skeptis


Dengar, mereka berdebat lagi dengan catatan kaki di bawah kolom penting. Di mana lagi bisa kunyalakan petasan untuk menulikan telinga. Agar tak kudengar bunyi deru mesin mesin di mulut manusia. Mereka memang berdebat hanya untuk menjadi hebat di antara ledakan dan percikan cahaya, atau agar layak meminta maaf kepada seisi dunia yang telah terseret hanyut kata kata di hari raya*

takabur


Aku tak ingin kematian pergi diam diam, menjadi pengecut di malam malam suka cita yang menyembunyikan air mata dalam selokan. Anak anakku adalah kebangganku yang kelak akan terbang lebih tinggi dari menara menara yang dibangun leluhurnya. Melewati tembok, merusak gembok, mendobrak pintu baja dengan hasrat menyala*

busa


Lampu di sini terlalu terang meredupkan mata. Aku harus membaca mantra yang takut cahaya. Kurasa salah satu kelebihanmu adalah sudut kelam di rongga mulutmu, di mana aku selalu rindu menghirup rahasia waktu dan dusta paling meriah tanpa pesta.

Sayang, aku terlalu mabuk untuk menulis kebenaran di puncak pinus. Dan mereka telah memasukkan hutan dalam sebuah kotak karton yang pengap. Dan tak boleh basah atau tak bisa menyala. Tapi hutan merindu hujan, bayang menanti gerak. Agar membaca masih ada kesadaran dari sebuah kepala kebanjiran berkah.

Kenapa kau begitu kental menyumbat darah, tengkuk tak tahu berpura pura gairah. Satu kedip lagi, mungkin kita akan berlayar merengkuh satu persatu benua yang tumbuh dari bibirmu*

ting


Kematian di matamu begitu mengundang, serangga berkerumun mendekat. Kucoba menghitung berapa pasang sayap sayap berserakan ketika kau akhirnya terpejam rapat, menutup lorong keemasan di ujung gelap, aku belum selesai. Sayap sayap patah melekat di kakiku. Lantai serupa langit, tubuh tubuh ngengat hilir mudik, mirip satelit mengapung, berputar putar di bumi yang terinjak kaki. Tak ada tangisan, sebab air mata akan mengacaukan sayap sayap patah, tubuh tubuh ngengat kehilangan sayap tak boleh basah. Kaki sebaiknya tak resah sebelum rebah menimpa jagad raya. Lantai, landai, dingin, hening*

pilu


Puisi, aku lapar pada caramu melupakan desing angin bertaring. Binatang buas di leherku lelah berburu. Masih lapar, dan nanar, sudah pasti meminta korban. Sekarang aku harus mulai lagi menggambar peta baru di jalan lama yang sedang menyamarkan erangan binatang buas di dalam leherku menjadi menara dan lonceng berdentang. Bergema gema, garang mencabik cabik urat nadi masih terhubung dan mengarah ke jantungmu, pilu. Langit menjatuhkan potongan laut ke dadaku*

ulang tahun


Bayi bayi seharusnya belajar melahirkan ibunya sendiri sebelum ngotot menerobos tulang pinggul perempuan manapun. Keluar dengan wajah lugu menatap ruang ruang berdinding putih teramat terang, langsung berdiri tegap dan berseru,”Aku kehilangan gelap,” kepada pintu. Kemudian mendekap ibu yang menggigil ngeri melihat darah, ibu yang bibirnya telah melupakan semua rasa*

lubang seruling


Jarak menciptakan rindu dari ngilu. Tempurung kepalaku.
Mabuk tanpa arak membuatku goblok. Datangtah golok.
Leherku kehausan. Siramilah api agar tumbuh amuk rindu.
Membadai di dada paling jurang. Mengarang bunyi bunyian pipih.
Biar sepi kemudian mati*