Rabu, 29 Juni 2011

kertas putih

by Dian Aza on Thursday, June 23, 2011 at 5:39am
Sulit sekali menjumpai selembar kertas putih belakangan ini. Semua kertas yang kutemui sudah terisi. Aku hanya ingin selembar kertas putih, tak pernah kusadari sebelumnya hanya itu bermakna seluas angkasa, biru hitam tegar membentang, putih berserakan, angin menerjang. Kutemukan berlembar lembar kertas melayang layang atau tergeletak di tepi jalan, penuh pesan, tidak putih, tidak kosong. Bahkan manusia manusia berambut dan berbaju putih tak memiliki selembar kertas putih. Waktu kutanyai, sambil mengelus dagunya yang licin manusia berbaju putih menggumam,”Kalau mau selembar kertas putih kau harus membeli.” Kukeraskan hati mengayun langkah, kubilang tidak, terima kasih, mungkin besok pagi, atau seribu tahun lagi, pasti akan kutemui selembar kertas putih yang berani jalan jalan sendiri*

figaro

by Dian Aza on Wednesday, June 22, 2011 at 4:58pm
Dia berkali kali melompat ke pangkuan, kukembalikan ke atas kursi dia segera melompat lagi, mencari lekukan paling nyaman untuk meletakkan tubuh, tidur siang. Aku menyerah, kubiarkan dia bersandar pada pangkal paha, kunikmati dengkurnya. Gemuruh berkejaran dalam tubuhnya, ingin kudekap dan kubisikkan, tak apa, aku cuma akan kesemutan saja, sangat menyentuh ketika ribuan semut bergerumbul menggigiti tulang dan sendi. Dia sudah pulas, bermimpi terjebak dalam sangkar emas penuh burung gereja bersayap sebelah*

bunga bakung

by Dian Aza on Sunday, June 19, 2011 at 2:05am
Di bawah hujan penghabisan kaki telanjang berlarian, menginjak debu yang kalah perang, berguguran bersama pakaian basah. Ini memang juni yang baik hati, yang menyerahkan diri pada puisi. Polisi tidur tidak terbangun untuk mengejar pencuri jemuran, burung burung bersiul kedinginan berkhayal merayakan tahun baru china di kutub utara.

Merdeka, merdeka, kata kata bergema di seluruh penjuru kota terlarang. Lelaki berbaju perempuan di tepi kolam menyanggul rambut seorang malaikat, “Bu, ini model kesukaan Tuhan.” Iblis segera menyesal belum sempat mendaftarkan tanduknya di dirjen hak milik intelektual.

Kriing, bel berdering nyaring, waktu menjenguk sudah habis, perempuan itu melangkah keluar dari surga, diiringi bunyi sangkakala. Seorang malaikat bertanduk mengejarnya, menggamit lengannya sambil berbisik, “Kau salah, lelaki itu yang mesti kembali ke bumi.”

Juni, juni, bapak memanggil namaku dari jauh, ini sudah jam satu, waktunya tidur siang. Tapi aku masih menunggu hujan mengembalikan pakaianku. Satu satunya warisan ibu yang diberikan sebelum lahar menjadi sungai, ikan ikan bermain barongsai.

Di kota terlarang dilarang melarang siapa siapa, Tuhankah yang bicara. Juni menanti Juli jam enam pagi ditemani sehelai tirai, putih berenda selalu melambai mendekati kepala, seperti ingin menghibur atau membesarkan dada.

Kalau punya lutut, ular juga ingin bersimpuh, kata ibu sambil menyetrika kostum anak gembala. Juni tertegun melihat anak laki laki berpakaian gembala menerbangkan merpati putih, selembar surat tergulung dalam tabung kecil tersemat pada kaki burung merpati tertera tulisan cakar ayam, ya tuhan berikanlah padang rumput berbunga bakung, biar kupetikkan satu bunga untuk ibu, satu bunga untuk bulan*

sesaat

by Dian Aza on Saturday, June 18, 2011 at 11:49pm
Tanah menumbuhkan batu batu dalam mimpiku, kaupetik sebongkah,
kaulemparkan ke telaga. Sesaat kemudian ikan bermunculan
bersama kuncup teratai, aku terjaga*

kaviar

by Dian Aza on Saturday, June 18, 2011 at 11:44pm
Kusebut kau cuaca di luar penanggalan. Tak tersemat di daftar menu, tak tersaji di piring dan mangkuk manapun. Tak akan kupesan dan kutawarkan, biar kau selalu berkeliaran dari meja ke maja, dan mereka semua menduga duga, pasangan mana sedang berbulan madu paling mewah*

norma sudah sepakat

by Dian Aza on Saturday, June 18, 2011 at 11:40pm
Akulah bulan congkak yang ditelan bayang bayang dunia, Norma memandang kedua bola matanya sendiri yang terpantul di kedua lensa mata Surya. Dua manusia sedang berbaring di keteduhan, di bawah bayang-bayang daun nyiur.  Pantai sungguh sepi, dunia seolah milik mereka berdua.

“Dunia milik kita,” bisik Surya, dari mulutnya semerbak bau campuran rempah dan tembakau dari sigaret kualitas terbaik, masih pula bercampur aroma anggur. Hangat pasir pantai meresap dari punggung, lengan dan pinggul dua manusia, meresap ke dalam nadi, aliran darah mengantar rasa hangat ke dalam dada, naik ke leher, dagu dan bibir. Lelaki pemilik dunia sekali lagi memagut bibir perempuan rembulan. Lebih hangat terasa di puncak kepala mereka ketika angin seolah tersentak, tiupannya menyibakkan sekilas batang dan daun nyiur yang jadi penghalang sinar mentari membelai rambut sepasang manusia.

“Aku tak ingin dunia,” perempuan bernama Norma mengatakannya dengan suara lembut namun cepat. Begitu cepat, tak ingin angin keburu berhembus kembali, mungkin angin bisa menerbangkan kalimatnya, begitu pikirnya. Norma belajar dari pengalaman bahwa sebuah kalimat penting mesti segera diucapkan sebelum lenyap terhapus entah.

“Oh ya…” Surya menarik tubuhnya sedikit menjauh agar dapat melihat wajah perempuan di dekatnya lebih jelas. “Yakin ?” Mata Surya bercahaya, baru kali ini ada yang bilang tak ingin dunia. Mungkin dia tak tahu dunia yang sebenarnya, seluas apa, setinggi apa, seindah apa, seterang apa. Tak tahu memang sebab pertama tak ingin, kalau dia juga tak ingin tahu apa yang tak diketahui menjadi tak butuh. Menarik sekali, kebalikan dari dirinya sendiri, tahu, menjadi ingin, menjadi butuh, mungkin kelak menjadi candu.

“Tidak.” Norma berkata singkat, melengos wajahnya.

“Sombong kali kau…”

“Biar !”

“Tak ingin dunia, ck, ck, ck.”

“Kenapa ?”

“Tak apa.”

“Tak apa kalau kukatakan sudah kutengok tasmu, isinya bukan laptop dan kertas kerja.”

Surya terperangah, seketika menegakkan tubuhnya, duduk di atas pasir menatap mata Norma, lurus dan tajam. “Lancang. Beraninya kau. Tak ingat dulu apa yang kukatakan akan kubuat kalau kau berani menyentuh barang barangku, anjing.”

“Hmm, aku juga tahu apa isi kopermu.” Norma membalas pandangan Surya dengan sorot mata mirip ombak yang menyeret segenap rasa di sekujur tubuh Surya, dia merasa tersedak dan mulai terbenam amarah.

Surya bangkit berdiri, menarik lengan Norma dengan kasar sekuat tenaga. Mereka berdua sudah berdiri, Surya terus menarik lengan Norma mengikuti arah langkahnya. Lengan itu terasa begitu kecil dan ringan dan pasrah, Surya seakan akan terhuyung sendiri ke depan. Tanpa menolak atau meronta Norma mengikuti ke mana langkah Surya menarik lengan dan tubuhnya. Sebentar saja sepasang manusia itu sudah tiba di ruang tamu pondok peristirahatan di mana mereka menginap, rencananya tiga malam. Baru semalam tadi mereka tiba, melewati dini hari dan pagi penuh bahagia.

Pintu pondok sengaja dibiarkan terbuka, setelah berada di dalam ruangan, tubuh perempuan dihempaskan keras ke atas sofa. Surya berbalik untuk menutup pintu, menguncinya, mencabut anak kunci dari lubangnya lalu memasukkan anak kunci ke saku belakang celana jeansnya. Norma masih dalam posisi semula, terhempas, duduk miring di atas sofa. Surya mendekat, suaranya bergetar ketika berkata,”Kenapa kau lancang, apa kau tak tahu akibatnya. Kau…”

“Tak usah teriak, aku tahu…”

“Perempuan brengsek, apa yang kautahu, enam tahun, enam tahun aku kenal dan percaya kau. Tak kupedulikan apa kata orang, tak kupedulikan diriku sendiri, cuma ini yang bisa kaukerjakan, kenapa, kenapaaa…”

“Aku tak ingin dunia.”

Prang! Jambangan kaca pecah berserakan di lantai, dua tangkai kembang plastik terjatuh, tergeletak di dekat kaki meja. Perempuan itu memar pipinya, matanya merah, pelipisnya membengkak berdenyut panas, tapi tatapannya meredup. Tubuhnya semakin miring bersandar pada sofa setelah sempat terjerembab keras.

Lelaki itu merasa seluruh dunianya runtuh, ambruk tak berbentuk. Kenapa tangannya terasa begitu sakit, atau bukan tangannya yang sakit, lantas apanya, mungkin perutnya, mungkin dadanya, lehernya atau kepalanya. Seingatnya baru kali ini Surya sangat marah sampai tak tahu harus melakukan apa. Tak ada yang sepintar Surya, tak ada yang sekuat Surya, tak ada yang setangguh Surya, tak ada yang secekatan Surya. Dunia milik Surya, nasib manusia ada di tangannya, dan sekarang lelaki itu merasa hampir sia sia, apa hanya karena seorang perempuan bodoh dan tak berharga telah berkata tak ingin dunia. Belum pernah Surya bertemu manusia yang begitu ringan dan jelas menyatakan apa yang tak diinginkannya, dunia, dan sepertinya perempuan itu sama seperti dirinya, tahu pasti apa inginnya, tak ingin dunia.

Seandainya Norma punya nyali ketika berhadapan dengan Surya, seperti saat Norma menghadapi empat lelaki lain yang bukan Surya, yang mulanya membujuk, merayu, menawarkan sampai akhirnya putus asa kemudian membentak dan mengancam. Surya beserta dunia milik lelaki itu yang jadi taruhannya. Satu satunya lelaki yang pernah membuat perempuan semacam Norma merasa pantas memiliki seluruh dunia. Hanya di hadapan Surya perempuan itu kehilangan dirinya, tersesat. Sejak berjumpa lelaki itu, seperti namanya serupa matahari baginya, pusat kehidupannya, tak mungkin dia bisa mengingkari dirinya sendiri, tanpa sinar matahari tak ada kehidupan, hanya gelap, padam, dan hampa. Norma punya firasat bahwa keempat lelaki yang bukan Surya kelak akan menguburkan jasadnya. Nalurinya juga tak seperti biasa, kali ini melarangnya menceritakan firasatnya kepada Surya. Tak apa, gelap, padam dan hampa harus ada dan ditelan perempuan bulan di siang hari, dunia milik matahari.

Tak ada suara teriakan, tak ada kesulitan sama sekali bagi lelaki sekuat Surya membereskan perempuan lemah macam dia. Norma, perempuan bodoh yang berani tak percaya padanya dan tak layak dipercaya sedikitpun. Surya tahu, dia masih yang terbaik seperti yang dikenal dunianya, dunia yang disimpannya di dalam tas kerja dan kopernya. Dunia yang tak diinginkan Norma. Sebenarnya bukan bagian dari dunia yang itu yang ditawarkannya pada Norma, perempuan itu salah sangka. Surya justru ingin memisahkan apa saja yang berada dalam tas kerja dan kopernya dari Norma, seandainya perempuan itu bisa lebih paham dan mengerti. Apa yang mungkin diinginkan perempuan macam itu. Kalau tak ingin, kenapa ingin tahu isi tas kerja dan kopernya. Apa ada yang menyuruh perempuan itu agar tak percaya padanya, memeriksa tas kerja dan kopernya, memikirkan tentang itu jantungnya berpacu lebih kencang, Surya merasa dadanya bisa meledak.

Segelas kopi sudah diseduh, membuat Surya sedikit lebih tenang. Duduk di ruang tamu di sofa persis di mana tubuh Norma tadi berada, sebelum diangkatnya, dipindahkan ke atas tempat tidur. Setidaknya tempat tidur lebih aman dari ruang tamu. Dan perempuan itu terlihat seperti sedang tertidur pulas, lubang di kepalanya nyaris tak nampak tertutup rambut, bercak darah sudah dibersihkan oleh Surya, entah kenapa tak banyak darah. Mata perempuan itu terpejam rapat, betul betul seperti tidur.

Surya memutuskan akan menelepon bosnya sebentar lagi, setelah dadanya lebih lapang dan matanya lebih sejuk, tak ada yang boleh melihat atau mendengarnya dalam keadaan gugup. Bosnya seorang lelaki setengah tua berpangkat letnan jendral, pasti senang bukan kepalang jika mendengar Surya akhirnya membereskan masalahnya dengan seorang perempuan. Bosnya selalu khawatir tentang Norma yang kata bosnya bisa membahayakan mereka semua. Berapa kalipun Surya meyakinkan bosnya bahwa Norma sama bodoh dan tak tahu apa apanya dengan puluhan perempuan lain yang pernah dikencaninya, bosnya tak bergeming, tetap yakin, tak berhenti pula berusaha meyakinkan Surya bahwa ada kemungkinan Norma tidak sesederhana nampaknya, terlalu rumit malah. Bosnya tak percaya Norma tak tahu siapa Surya sebenarnya, apa pekerjaannya, apa isi tas kerja dan kopernya yang tak lazim meski Surya terus menerus meyakinkan bosnya, bapak letnan jendral itu selalu berubah sangat gusar setiap kali tahu Surya baru bertemu dan menghabiskan waktu bersama Norma di tempat tempat rahasia yang dipercayakan bos padanya, salah satunya pondok peristirahatan ini, letaknya tersembunyi di sebuah teluk indah yang teramat lengang.

Tak ada yang sehebat Surya di mata bosnya, orang orang menyebut Surya sebagai tangan kanan, dan Surya menyukai kedudukan dan pekerjaannya maka secara spontan berjanjilah ia pada bosnya akan segera membereskan semua orang, siapa saja termasuk Norma yang melakukan tindakan sekecil apapun yang mungkin bisa berakibat buruk bagi dirinya dan pekerjaannya. Surya baru saja menepati janjinya.

Sebatang sigaret kualitas terbaik baru saja disulut, Surya meletakkan zipponya di samping telepon genggam. Seperti yang diduganya bos sangat bersemangat mendengar kabar Norma sudah sepakat. Sudah sepakat artinya sudah tak ada masalah apapun, tak ada masalah selamanya. Itu kalimat kebanggan Surya, bosnya tertawa lebar waktu pertama kali Surya selesai membereskan seseorang yang menjadi penghalang atau ancaman lalu mengatakan, tak ada lagi masalah, yang bersangkutan sudah sepakat. Yang bersangkutan sudah tak akan menghalangi langkah dan tak akan pernah berbeda pendapat, betapa baiknya saat tahu pasti semua manusia sudah sepakat selamanya. Bos berjanji akan segera mengirimkan apa saja untuk membantu Surya membereskan hasil kesepakatannya, begitulah yang biasanya terjadi. Bos sangat percaya dan mengandalkan Surya, melindungi dan menjaganya, seperti Norma. Tubuh Surya tiba tiba menegang, lehernya tiba tiba kaku, lidahnya mendadak pahit, asap terasa getir.

Tas kerja juga koper itu masih duduk manis pula di tempatnya, di atas sebuah sofa lain yang terletak di ruang tidur. Surya mengamatinya baik baik setelah membaringkan tubuh Norma di atas tempat tidur. Surya tak pernah meletakkan tas kerjanya di lantai, juga kopernya, selalu di atas sesuatu, tubuh, meja, kursi, bangku, sofa atau setidaknya karpet. Surya membuka tas kerjanya, mengamati isinya secermat cermatnya, terlihat baik dan aman. Kopernya juga masih terkunci, Surya ingat kombinasi angka angka pengamannya tak berubah, dia masih membukannya dengan putaran yang sama ke atas dan kebawah. Isi kopernya terlihat baik dan aman. Kenyataan itu justru membuat Surya merasa kurang baik dan aman.

Dipandangnya perempuan yang seperti sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya, sesaat Surya bergerak seakan hendak menghampiri, melihat dari dekat parasnya yang tenang. Seandainya mata itu tiba tiba terbuka, menatapnya dengan redup. Kenapa tadi perempuan itu memejamkan matanya, perempuan itu selalu tahu apa yang harus dikerjakannya untuk memudahkan segala yang mesti dikerjakan Surya. Perempuan itu tak memberontak sejak Surya menyeretnya dari pantai, tiba di pondok juga tak sekalipun meronta, tak bersuara gaduh, tak menjerit atau menangis, hanya mengucapkan beberapa patah kata, meredupkan mata yang akhirnya dipejamkannya rapat rapat. Surya tak bisa membayangkan seperti apa akhirnya jika yang terjadi tak demikian adanya. Surya juga tidak mengerti kenapa mesti repot repot memindahkan tubuh perempuan yang sebenarnya tidak sedang tidur ke tempat tidur, hati hati meletakkannya kepala perempuan itu di atas bantal seakan akan tak ingin membuatnya terjaga. Selanjutnya seharusnya tinggal menunggu utusan bos datang membantu sambil menikmati sigaret kualitas terbaik kadang kadang ada tambahan sebotol minuman. Tapi siang ini Surya tak ingin berpikir apa yang harus, tak bisa pula, dia hanya ingin tenang, mereka akan mengurus selebihnya.

Kenapa sigaret ini semakin buruk saja rasanya, Surya menghembuskan asap kuat kuat dari hidungnya, seakan akan semua gelisahnya bisa turut terhembus keluar, menggumpal di udara sebentar kemudian lenyap. Dunia macam apa yang dimilikinya, seorang lelaki sedang tak ingin memahami dirinya sendiri. Ini bukan apa apa, hanya sebuah kesepakatan yang telah ditentukan sedang berjalan. Seorang perempuan menelan gelap, padam dan hampa.

Di tepi pantai daun daun nyiur belum lelah melambai, memainkan sinar mentari dan bayangannya sendiri di atas pasir*

akhir pekan

by Dian Aza on Saturday, June 18, 2011 at 11:05pm
Di perutku engkau pernah mampir, menyingkirkan pesta pora dan genangan liur yang kutelan tak sengaja, lalu aku muntah. Kertas kertas basah di lantai dan lorong lorong berbau karbol berdebat tentang siapa yang menciptakan gol di babak kedua. Kau menangis mengira aku mengusirmu, tapi tidak, aku hanya tersedak tidur panjang para perajang daun tembakau, darah mengalir dari hidungku, punggungmu ditumbuhi laut yang menanti penghuni*

gerhana

by Dian Aza on Thursday, June 16, 2011 at 1:27am
Bulan bertekad bulat bikin matahari cemburu. Melotot terang dan bundar di hitam malam. Bumi gelisah menunggu matahari menerjang, merebut malam, meremukkan bulan. Anak anak manusia butuh belajar tata surya untuk tahu pemilik cahaya sebenarnya. Serumpun ilalang tak menghiraukan angkasa tetap berdansa ringan, hanya angin, hanya angin terus meniup dingin mengabarkan gigil, setia dalam semua hitungan genap maupun ganjil. Induk landak mengajari anak anaknya menegakkan duri seirama lolongan serigala.

Serupa bibir perempuan malam mengeja tuhan. Setan setan bersumpah mendengar doa bulan, ingin terang bukan pinjaman. Seperti bunyi ranjang berderit. Lelaki beringsut di balik selimut, meninggalkan selembar kertas kosong tersesat gelap. Lampu telah memadamkan pesan yang sejak semula ragu dituliskan. Matahari sesungguhnya tak tahu cemburu, mungkin hanya ingin manusia manusia kecil belajar sebenarnya pemilik cahaya, penjaga bumi siang malam, penyayang perempuan atau lelaki. Malam tak pandang bulu, menyukai semua mahluk berbulu, berduri, berbunga dan berbuah, bahkan mahluk yang tak tahu jenisnya sendiri. Semua yang tidur kemalaman atau bangun kesiangan, semua tawa atau air mata yang tak bisa membaca.

Pada pelajaran pertama esok pagi di sekolah ibu bapa guru berkata tegas, semalam itu cuma gerhana, sambil memutar mutar miniatur galaksi di depan kelas, memindahkan letak bulan bulanan, bumi bumian dan matahari mataharian dalam posisi sejajar, selurus garis. Hanya murid murid di baris terdepan melihat tak terhalang yang berada tepat di depan mata. Beberapa murid di barisan belakang saling berbisik tentang raksasa* 

selisih waktu

by Dian Aza on Thursday, June 16, 2011 at 12:07am
Satu jam yang lalu kau masih tertawa bersamaku. Kita bercerita tentang tulang belulang mahluk prasejarah, hutan belantara dan luar angkasa, suaramu sungguh renyah. Satu jam kemudian adalah sekarang, kupandang matamu tertutup rapat, bibirmu seranum semangka basah dan merah, dadamu bergelombang tenang. Satu jam dari sekarang aku mulai berharap sudah pula menutup mata, menciptakan pembatas tak bercelah dengan dinding rumah, bersampan di sebuah danau sambil meludahkan biji semangka, ikan emas berloncatan membuka mulutnya, sisiknya berkilau berjatuhan di geladak sampan. Kita kaya, kita kaya, aku berteriak, kau tertawa sangat keras sampai matamu basah*

sanding

by Dian Aza on Wednesday, June 15, 2011 at 11:36pm
Dia bertanya pada kehilangan bagaimana cara melupakan.

Kehilangan balas bertanya,"Siapa yang ingin kaulupakan."

"Kau," dia sigap menjawab,"Selain kau siapa lagi yang sanggup membunuh ingatan."

Kehilangan mencoba mengingat jurus maut yang dipakainya menikam bayangan. Cukup lama, hanya ada hening dan desir angin. Dengan suara pilu, kehilangan akhirnya berkata,"Maaf, aku tak ingat apapun ketika itu sudah tak terhitung berapa gelas arak kutenggak."

Dia menunduk lesu menatap gelasnya yang kosong sejenak, tangan kanannya bergerak mengangkat gelas, mengulurkan gelas kosong ke tangan kiri yang menggenggam botol.

Senapan angin diam di dekat lengan kanannya, sedikit di sebelah kanannya lagi delapan ekor bangau seperti menelan mimpi menikmati cacing, paruhnya setengah terbuka, sayapnya lunglai.

Kehilangan tersenyum tanpa terlihat, kepalanya dan delapan ekor kepala bangau sama sama terkulai. Mata angin mengerjap dikepung debu dari semua penjuru*

awan dan layang layang

by Dian Aza on Tuesday, June 14, 2011 at 12:37am
Tak sempat menjadi hujan, segumpal awan merasa bersalah, terbang mendekati layang layang. Menitipkan salam dan pesan permintaan maaf kepada sekawanan anak kecil di tanah lapang. Anak anak bersorak gembira, matahari bersinar cerah, angin bertiup kencang menerbangkan layang layang, menghalau awan kelabu berlalu semakin jauh*

antonim

by Dian Aza on Tuesday, June 14, 2011 at 12:05am
Tak ada yang lebih tegak dari pada kesedihan selalu menyangka aku lebih menyayanginya dibanding lawan katanya.  Berbahagialah yang percaya tanpa melihat, telah kukhianati sebutir air mata dengan tiga baris kata kata paling tajam, baru saja menyayat lidah, mengalir merah*

menunggu ajal

by Dian Aza on Monday, June 13, 2011 at 11:28pm
Cerita seribu satu malam tak pernah tamat terbaca, atau aku salah mendengar suara gaduh dinding putih tak berhenti mengguggat sekawanan serangga hitam kemerahan yang berjatuhan di atas buku tanpa bilangan penanda halaman.

Siapa suruh melubangi bongkah bongkah kayu dengan gigimu, mengunyah serpihan kayu, kalau punya lidah tidakkah rasanya sesepah serbuk gergaji yang melekat pada lengan pemahat paling bebal. Siapa menyarankan bertapa selama semusim penuh hanya demi terbang tak genap semalam menghampiri cahaya yang hanya tahu membakar sayap sayap rapuhmu.

Tapi dinding dinding tak berucap pun sepatah kata, laron laron tak mendengar andaipun bertelinga. Lagipula musim penghujan sudah lewat. Lampu terang sendirian menatap angkuh dari atap rumahku, mungkin diam, atau mencela. Cerita seribu satu malam belum selesai menunggu penggali kubur merampungkan sebuah lubang di sepetak tanah merah hitam sebelum menutup mata.

Kudengar lagi dinding dinding putih bersuara gaduh, kali ini tertuju kepada manusia sepertiku, hanya kematian kehilangan bayang bayang*

decak

by Dian Aza on Monday, June 13, 2011 at 11:16pm
Kau puncak gunung, aku lembah. Menujumu kutempuh lereng lereng terjal berkelok, batang batang dan daun pinus, ilalang, semak semak berduri beserta ular ular penghuni celah bebatuan menjadi tempat singgah. Berbagi bekal, menelan akal kemudian berdecak. Dari dasar lembah hingga puncak gunung hanya perjalanan selebar rentang sayap elang*

warna matahari

by Dian Aza on Monday, June 13, 2011 at 4:32pm
Seorang buta bertanya apa warna matahari kepada seorang tuli. Pohon pohon bernyanyi.

Para petani menanak jerami untuk mengisi perut, menebarkan butir butir beras ke atas tanah sebagai persembahan kepada burung burung gagak. Maut mencatat.

Seekor kerang menggadaikan cangkangnya kepada karang demi membeli sebutir mutiara. Lumba lumba bercerita.

Para malaikat meremas remas malam membentuk seperangkat dapur dan ruang makan lengkap dengan hidangan pembuka dan makanan penutup dari terbit matahari hingga terbenam. Iblis menangis.

Tidak ambil bagian dalam setiap peristiwa, aku terus menyilangkan benang mewarnai sepetak demi sepetak dari sehelai kain yang terkulai di pangkuanku. Menggambar tuhan dengan jarum dan benang. Seekor singa menjaga anak domba, berbaring berdekatan. Anak domba dan singa di antara rimbun bunga aneka warna. Berlatar belakang langit biru cerah, awan awan putih semakin teduh dikusamkan debu debu pertanda betapa lamban kerjaku.

Apa warna matahari anak anak petani bertanya kepada tiang tiang besi*

kerbau dan domba

by Dian Aza on Sunday, June 12, 2011 at 1:06am
Maria, kujatuh cinta pada putramu, jadikan aku menantu. Akan kubuatkan kau sepatu dari kulitku, agar ular ular tak mematuk kakimu.

Kau bukan kerbau, kenapa bisa begitu kacau bicaramu.

Begitulah jika sedang jatuh cinta, aku dan kerbau sama kerap ditunggangi manusia.

Putraku hanya penggembala domba.

Domba dan kerbau sama sama pemakan rumput ciptaan bapanya.

Kedua perempuan bernama maria saling pandang sesaat kemudian saling mendekat, bergandeng tangan, tertawa bersama*

jari jari

by Dian Aza on Sunday, June 12, 2011 at 12:45am
Dia sakit jiwa, telunjuk tangan kiri menunjuk kening sambil berbisik mengadu kepada ibu jari. Jari tengah mencuri dengar jadi bersemangat menjulur, tegas dan ngawur. Jari manis merasa tersisih, mendekati kelingking yang cuma bisa menyentuh sebutir demam yang terjatuh dari lubang hidung.

Jari jari tangan sebelah kanan kompak berteriak, bisakah kalian, wahai jari jari tangan kiri mengerjakan yang lebih berguna dari pada berdebat.

Tapi kami sedang mencoba mengalihkan perhatian lengan agar lupa keinginan mengayunkan pedang.

Kalau begitu kita harus bersatu untuk meremukkan kepala batu, ibu jari tangan kanan berkata bijak.

Tidak, biar batu batu tetap terkurung dalam kepalanya, dia sakit jiwa, ibu jari tangan kiri berkeras hati.

Kepala tiba tiba tertawa, hei jari jari, kalian tak punya bapak* 

kemesraan

by Dian Aza on Sunday, June 12, 2011 at 12:08am
Kutitipkan sadarku pada buaian api yang melepuhkan hanya lidah bekuku. Dengar racauan kacau dari paru paru, menggenang manis krim vanila bergarnis saus stroberi, manis kutelan kembali, agar tanah tak ternoda, hitam jernih dan diam seperti gelas gelas di atas meja sepanjang perjalanan yang kutinggalkan di belakang.

Adakalanya sakit menyembuhkan luka, mengenyangkan harapan. Aku dan berjuta virus saling memeluk mesra, bercakap dan bercanda sambil mengaduk ngaduk krim putih merah di rongga dada. Kami sepakat tak butuh obat. Kesembuhan terlalu bisu dan gagu, selengang kematian yang pengecut di hari penghakiman. Tak segagah berani virus menyerang tubuh, mencemari darah merah dan putih, menyumbat hidungku, menertawakan suara bising anjing galak yang tak berhenti menyalak dalam leherku. Makan saja tulang belakang yang gentar berperang, kuburkan sisanya dalam tanah untuk cadangan makanan di masa datang.

Api, virus, anjing, tulang marilah berpesta lagi, mungkin masih ada satu galon krim putih merah meriahkan malam, akan kutemani sampai kalian semua jatuh terlentang menindih kesadaran. Sesudah sunyi, menjelang pagi aku berencana bangkit diam diam menjerang secangkir air, kembali menyusuri jalan panjang di belakang menjemput hujan yang tertinggal, memunguti gelas gelas hitam. Air atau abu adalah wujud kesayanganku melekat di punggungmu*

berkaca

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 11:24pm
Matamu semula telaga di mana malam terjaga, nanar menelan langit seluas wajahku, memudarkan garis batas pasir dan gelombang. Duduk di tepinya aku terus menduga seutuh apa kaulesapkan sepi yang mengambang di bayang bulan.

Sampai pagi menyala, telaga di matamu membeku. Segera kuusap bibir waktu terjaga, berharap sempat kaucuri retak kataku semalam, kausimpan di bening kaca*

papan larangan

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 11:12pm
Di sebuah taman bermain aku berayun naik turun, bunyi derit engsel dan pipa besi berkarat yang kurang diminyaki mengingatkanku pada rintihan parau masa lalu. Aku terus berayun, mencoba membuat ayunan terbiasa bergerak, meluncur tinggi menjejak udara kubuang gamang masa depan. Tapi aku jadi sadar bersamaan tak paham kenapa hanya aku sendirian berayun di sebuah taman, padahal ini waktu liburan. Baru kemudian kubaca tulisan pada sebuah papan yang tegak menancap di dekat tiang ayunan, sedang dalam perbaikan. Sesaat kemudian ayunan berderak keras, patah.

Orang orang berdatangan sambil menggandeng tangan anak anaknya masing masing, memandangku yang terjatuh dengan tatapan iba dan berkata kepada anak anak mereka, makanya jangan melanggar yang tertulis di papan larangan. Kucoba berdiri dan berkata, aku tak melanggar apa apa. Papan itu seakan sengaja tak menampakkan diri lebih awal, berniat menjebakku dengan kalimat, sedang dalam perbaikan. Satu persatu dari mereka berlalu tanpa menjawabku. Kudekati papan di dekat ayunan, kesakitan dan kecewa melintaskan sebuah tanya, sedang dalam perbaikan apakah sama artinya dengan sedang dalam kerusakan.

Tak ada kebaikan ketika sedang dalam perbaikan, aku terkenang keramaian dan buram cahaya di luar taman. Masih ada rumput lembut mau menopang tubuhku di sini terpikir sebelum terlihat dan kubaca sebuah papan lagi bertuliskan, dilarang menginjak rumput. Pantas saja hanya aku sendiri bermain di taman ini*

samar

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 3:13am
Tak bertanya tentang masa lalu, hari ini atau esok pagi. Satu satunya yang ingin kutahu adalah tentang kau yang tak bisa membuatku berhenti mencatat. Kau mungkin tak pernah membaca, kudengar kauberkata,”Tuliskanlah, tuliskanlah, untuk kaubaca ketika tak ada lagi angka bisa kautambahkan untuk membayar uang sekolah.” Aku teringat buku buku dihanyut waktu, terseret deras arus sampai ke teras rumahku. Seseorang di masa yang hilang mengetuk kaca jendela dari dalam rumah ketika aku tersesat dan terluka, kawat kawat berduri menjalin kisahnya sendiri*

bengal

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 2:37am
Ini berlebihan tak termaafkan,
tapi siapa peduli, akar atau akal terbenam,
sembunyi, melihat dirinya sendiri berdekap lumpur,
berlumur tanah basah.
Bunga diam diam menyusun kelopaknya
mekar mewarnai udara*

simpang siur

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 2:31am
Di mana aku belajar menumbuhkan rindu. Tak kukenal aroma lain, kecuali udara kental senyumanmu, atau bayang bayang yang memahat tubuh dalam rongga kepala. Ruang hampa tersebar di setiap celah, tanpa salah, tak memilah mana candu yang membunuh atau memanjangkan usia. Aku penguasa waktu, katamu.

Aku percaya. Kulihat bunga warna warni tumbuh dari sepetak tanah merah. Juga angin yang selalu ingin memindah memindahkan awan tanpa sebab. Atau kau mau menceritakan ikan ikan di palung terdalam menyalakan lentera di ujung belalainya, kulihat di layar kaca. Aku tahu semua arah dan sudut bersinar, kaubilang.

Kulipat sayap dari kertas, sungguh sungguh terbang, menukik dari tangan kuangkat tinggi, mendarat di dekat kaki. Tak ada pembatas di udara, alangkah jenaka, kucingku tiba tiba menyembulkan kepada dari luar jendela, melangkah pulang waktu tengah malam, matanya berseri, tubuhnya hitam putih, lembut dan hangat melingkar di dekat lengan, seperti tersipu malu ketika kutanya, mana pacarmu. Aku kekasihmu, kaubisikkan.

Seekor cicak gemuk di samping lampu menatapku, menggerakkan kepala, kaulihat apa dari atap kamarku. Pundakku bergetar tanpa suara,  mata cicak kian dalam memandang, membaca gerak bibirku, kerut keningku. Aku sedang tertawa, kuberitahukan pada seekor cicak di dekat lampu, udara malam di luar pasti jernih, lebih manis dari setengah gelas teh di atas meja, banyak semut berenang di dalamnya. Aku tak bisa tenggelam. kaupercaya.

Oh, aku tergelak, telah salah duga, alangkah jenaka, cicak di atap kamar membelalakkan mata ke arah semut semut berenang dalam setengah gelas teh di atas meja. Kucingku merapat, dengkurnya gemuruh. Dengan telapak tangan kurasakan mimpinya menyelam ke dasar samudra, mengejar pendar lentera paling terang berayun riang di ujung belalai ikan. Aku tak akan padam, kaunyalakan*

tiang bendera

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 2:29am
Ini aku, tiang bendera berteriak kepada peserta upacara. Sepertinya tak ada yang peduli, semua memandang langit dan sehelai kain merah putih yang sibuk melambaikan badan menyambut penghormatan. Tangan tangan di sisi kepala yang mendongak masih terlalu muda untuk melupakan lengan dan pundak yang pernah mendukungnya. Bendera baru dibeli bapak kepala sekolah kemarin malam untuk menyambut tahun ajaran baru. Tak ada satu kepalapun di situ tahu sejak kapan tiang bendera menancap di tengah halaman sekolah, sungguh tak ada yang percaya tiang bendera bisa bicara*

jasa ayah

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 2:21am
Aku selalu ingat ayahku berkata, aku tak punya perasaan. Mungkin ayah benar, aku tak punya perasaan karena tak pernah menangis ketika mendengar semua makian dan kalimat kalimat yang dikatakan persis di depan wajah sambil melototkan mata. Bukankah itu sempuna, tak punya perasaan. Karena sejak lahir tak pernah disusui ibu, ayah melanjutkan kalimatnya sambil menerawang. Tak pernah disusui ibu sungguh indah, kalau itu penyebab aku tak punya perasaan, betapa bagusnya dunia.

Cuma orang udik dan melarat yang mesti repot menyusui anaknya, atau malah binatang. Orang orang kaya dan terpelajar tentu mampu memberi yang lebih hangat dan sehat daripada cairan yang mengalir dari payudaranya sendiri, cairan yang bahkan dia sendiri tak pernah tahu dan mencicipi rasanya. Tak diukur suhunya ketika diberikan kepada bayi, tak pakai wadah botol botol susu yang cantik, botol botol berharga mahal yang tak meleleh di titik didih. Dari banyak sudut pandang bisa dipahami semua yang tersirat bahwa air susu ibu tidak berkelas dan kampungan, juga rawan pelecehan. Sering kulihat perempuan perempuan telanjang dada di tempat umum dengan dalih menyusui anaknya, seperti tak kenal peradaban saja. Kupikir melecehkan diri sendiri lebih buruk daripada dilecehkan orang lain, dan itulah yang mereka kerjakan sesering mungkin, ibu ibu yang menyusui anaknya melecehkan diri sendiri dengan membuka bagian atas bajunya, menyodorkan payudara ke mulut anaknya kapan saja bayi yang tak tahu apa apa itu mulai resah. Sungguh memalukan dan tak enak dipandang.

Setidaknya aku tahu ibuku bukan perempuan kampungan, tak pernah membiasakan aku memaksanya berbuat tak sopan. Ibuku juga pasti sangat menyayangiku, mau bersusah payah memilihkan susu formula yang terbaik untukku. Ibuku pasti dengan cermat membaca tabel kandungan nilai gizi yang tercetak dengan tulisan kecil kecil pada setiap kaleng susu di supermarket. Masih pula harus mempertimbangkan rekomendasi dari banyak pihak tentang kualitas susu formula yang berjajar dan bertumpuk sangat banyak di atas rak, belum lagi pertimbangan ekonomis, pasti sangat sulit memutuskan susu formula terbaik yang harganya masuk akal, bisa dibeli dengan rutin, cukup untuk membuatku kenyang dan nyaman sepanjang hari hingga aku bisa makan nasi dengan lahap.

Belum lagi botol susunya, harus dicari yang sungguh sungguh bagus. Tahan banting, tak bikin tersedak ketika dihisap, tak berbau tak sedap, mudah dicuci, dalam arti sungguh sungguh dibersihkan hingga ada sebutannya sendiri yang lebih mengesankan jika dikatakan, disterilkan, dijadikan bebas kuman, padahal siapa yang sanggup menyingkirkan kuman yang bahkan tak terlihat dengan kaca pembesar. Setiap kali hendak digunakan botol susu mesti direbus atau disterilkan terlebih dahulu, bisa dibayangkan betapa jauh lebih rumit ketimbang kalau ibu memberiku air susunya sendiri.

Ayah pasti tak tahu menahu tentang semua kerepotan memilih susu formula itu, dengan ringan dan tak peduli mengatakan pendapatnya tentang ibu yang tak memberikan air susu ibu padaku. Perihal tak punya perasaan, seperti yang dikatakan ayah tentangku sungguh sempurna. Apa gunanya perasaan, tak bisa dimakan, tak bisa dijual pula, tak mengenyangkan dan hanya bikin tak nyaman. Tak ada yang bisa mengerjakan hal hal berguna dengan perasaan.

Aku terlanjur terbiasa menyangkut pautkan perasaan dengan sesuatu yang di pahit lidah, sesak di dada, panas lalu basah di mata, sebab itulah yang kerap terjadi ketika aku mulai tanpa sadar mengatakan bahwa aku merasa ini atau itu ketika baru saja melihat, mendengar atau menyentuh sesuatu. Begitu pula yang ditanamkan dalam benakku oleh orang orang di sekitarku, ayah yang terdekat setelah ibu wafat, selalu berkata aku tak punya perasaan pada saat aku tak merasakan pahit, pedih, panas dan basah setelah mendengar semua kalimat yang sudah diucapkan ayah lebih dulu sebelum mengatakan aku tak punya perasaan. Mungkin ayah tak tahu atau tak mau tahu tak kupersoalkan itu, kata katanya kemudian terbukti lebih berjasa padaku dibanding semua jerih payah dan pengorbanan ibu dalam hal tak memberi air susu ibu di masa awal hidupku.

Setelah bertahun tahun berlalu, kusadari betapa aku berhutang budi pada ayahku. Ayahku, orang yang paling menyayangiku, paling berjasa membesarkanku hingga tumbuh jadi manusia seutuhnya yang tak punya perasaan seperti sekarang. Dunia dan manusia tak pernah berubah, juga perempuan dan bayi bayi mereka, betapa indah dan berseri kudengar canda seorang sahabatku di sekolah menengah, aku tertawa keras ketika sahabatku Monik berkata dengan suara lantang hingga didengar seisi kelas, jangan salahkan bunda mengandung, salahkan bapak punya burung.

Betapa merdu dan nyaring denyut denyut kehidupan di masa muda bagi seseorang yang tak punya perasaan, seseorang yang tak perlu menutup telinga dan mata kapan saja mendengar bayi bayi menangis kuat, mungkin kelaparan di jalan jalan, di pasar pasar atau terminal, dan perempuan perempuan dengan sigap akan membuka bagian atas bajunya, menyumpalkan payudaranya ke mulut bayi bayi mereka yang segera redam tangisnya.   .

Aku hanya masih ragu, haruskah kuminta maaf kepada ibuku, karena gagal menjadi perempuan terhormat seperti ibuku dulu, walaupun tamat belajar di sekolah menengah umum, aku tak pernah mampu memilih dan memberikan susu formula untuk bayiku. Setelah menjadi ibu, semakin kuingat jasa ayahku, telah mengatakan dan meyakinkan sejak dulu kalau aku tak punya perasaan. Setiap kali bayiku menangis di waktu aku berada di warung kopiku, aku bersyukur telah menjadi perempuan yang benar benar tak punya perasaan, dengan cekatan kubuka dua kancing teratas dasterku lalu kujejalkan salah satu payudaraku ke mulut anakku. Bisa kudengar suara decak lidah dan kuamati gerak bibir mungil bayiku tanpa perasaan, nafasnya teratur dan tenang bersamaan dengan matanya hampir terpejam. Tak kuhiraukan tatapan tajam yang dilemparkan tepat ke arah dadaku oleh beberapa lelaki yang sedang meniup niup kopinya sambil bergunjing.

Tak punya perasaan membuatku baik baik saja di hari kematian ibuku, kemudian ayahku. Aku juga tak menangis ketika ayah bayiku meninggalkanku begitu saja hanya beberapa hari setelah anaknya lahir, dengan membawa barang barang berharga dan perhiasan peninggalan ibuku. Tak ada rasa pahit di lidah, aku juga masih bisa bernafas lega sesudah memastikan bayiku tak diterima sebagai cucu oleh orang tua ayahnya, sejak semula hubunganku dengan ayah bayiku memang tak direstui keluarganya. Bisa jadi karena mereka mengerti aku perempuan kampungan sekaligus tak punya perasaan. Tak masalah, tak punya perasaan membuatku tak jengah melecehkan diriku sendiri, tak ragu mengerjakan apa saja demi seorang bayi, menunggui warung kopi penuh pembeli lelaki sambil memberikan air susu ibu kepada bayiku*

ibu pasti tahu

by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 11:15pm
Langit tak pernah berkata, aku tinggi.
Ibu tahu pasti, anaknya
tak mengerti ketika bernyanyi,
“Ambilkan bulan Bu…” Setiap malam*

gelang kertas

by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 10:52pm
Lima puluh ribu rupiah ditukar gelang kertas. Setelah melekat pada pergelangan tangan ternyata sangat perkasa, seperti kisah animasi, gelang kertas membuat manusia biasa serba bisa. Mengelilingi dunia mengendarai tubuhku sendiri. Berjalan melewati ruang demi ruang yang mengurung setiap potong dunia di balik kaca. Waktu menundukkan kepala menyerahkan lorong lorongnya padaku. Mereka semua hanya mampu berkata, sayangilah bumi dan seisinya, sungguh syahdu kudengar lagunya sebelum gelembung gelembung bening melayang, hujan salju berjatuhan, kabut membentang menyelubungi kenyataan.

Hari ini, tak bisa kupungkiri, lima puluh ribu rupiah membuat segalanya meriah. Dari dasar laut sampai puncak gunung tersaji bersama sekotak nasi, hangat meski hanya pura pura menjadi nyata. Kurasa layak berterima kasih pada gelang kertas lima puluh ribu rupiah. Tak pernah kuduga begitu mempesona, hanya lima puluh ribu rupah. Angsa hitam itu sungguh sungguh nyata, berparuh merah, kulihat sepasang berenang anggun di dekat perahu sebelum memasuki terowongan penuh boneka cantik bernyanyi sambil mengangguk angguk dalam lambung kapal nabi nuh.

Kusempatkan berdoa semoga hanya hari ini saja waktuku bergembira, menjadi benar manusia pemilik gelang kertas berwarna merah. Gelang kertas tidak sama dengan sepatu kaca, berakhir jauh sebelum tengah malam, gelang kertas tak boleh terlepas dan tertinggal di anak tangga. Senja menandakan pesta usai, gelang kertas di pergelangan tangan kehabisan daya. Lima puluh ribu menjelma ingatan potongan apel dan wortel di bangku kereta, kusuapkan dengan tanganku sendiri ke dalam mulut seekor hewan langka, seekor onta berpunuk satu yang terus menerus ingin mencium pipiku*

sepasang batu

by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 9:40pm
Seseorang telah merobek bulan hingga koyak lingkarnya, tinggal selarik tipis melengkung bersudut lancip di angkasa malam. Seseorang hendak membuktikan tak ada gunanya bulan bersinar penuh jika kubilang tak bisa kulihat langit hitam tersenyum padaku. Bintang bintang segera berbaris membentuk rupa rupa lambang lambang yang biasa dipakai seseorang mengirimkan pesan untukku yang cuma sebongkah batu.

Aku terharu, sayang tak bisa menangis sendu. Betapapun seseorang yang sanggup menyabit bulan menyayangiku, aku tetap sebongkah batu. Bahkan jika ada ciuman ajaib untukku, aku tetap membatu. Sebongkah batu tak bisa bertanya kenapa tiba tiba ada sebongkah batu lain menempel padaku. Sebongkah batu tak tahu kalau seseorang yang baru menciumnya berubah pula jadi sebongkah batu. Bulan sabit menerang tawanya, bintang bintang behamburan mendekat, merayakan kehadiran sebongkah batu baru disisiku*

hilang ingatan

by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 2:07am
Setumpuk abu melupakan kayu di perapian.
Pohon pohon melupakan daun di musim gugur.
Burung burung melupakan petualangan di dalam sarang.
Aku tak melupakanmu di hilang ingatanku*

tak terjawab

by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 2:04am
Setinggi apa menjadi tanya kedua setelah dari mana yang pertama.
Tulangmu bisu melupa atau memang tak menumbuhkan yang semacamku.
Di atas luka jejak melingkar jalan tersayat tajam pecahan kaca.
Kau terbaca nada memarau suara sembab terbiasa menjawab tanpa sebab.
Kubenamkan bersama kau tenggelam pada tanya berikutnya di dalam apa*

baru terjaga

by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 2:00am
Segalas kopi harus bertarung lagi malam ini, bergumul sunyi. Segelas kopi mesti hitam sejati, menyekap terang, menggelar jarak antara aku dan waktu. Agar tersedia ruang untuk kau datang. Membawa musimmusim yang belum sempat kusematkan di  pundakmu. Segelas kopi harus membasuh resah, menggetar jantung, mengental darah, meruncing kata. Segelas kopi harus membunuh rindu, memenangkan sebait sajak untukmu*

kecerobohan tuhan

by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 1:57am
Keperawan adalah bukti kecerobohan tuhan. Seharusnya kaum perempuan memikirkan dan merenungkan itu sungguh sungguh. Kalau ada sesuatu yang paling rawan dalam hidup perempuan mungkin itu adalah keperawanan. Betapa banyak malapetaka dan kekacauan yang bisa ditimbulkan dari satu akar masalah, keperawanan. Atau selaput dara namanya, dari namanya saja sudah seperti menyembunyikan makna yang susah dijabarkan akal sehat. Dan tuhan telah dengan ceroboh meletakkan benda seabsurd itu di dalam tubuh perempuan.

Entah apa ini istilah kedokteran, sains, biologi atau antropologi atau sosiologi, bahkan jika penggunaan kata keterangan di belakang istilah itu tidak tepat, tetap saja kesalahanku tak sebesar kecerobohan tuhan yang meletakkan sesuatu yang begitu tidak wajar pada alat vital perempuan. JIka alat itu vital maka seharusnya dijauhkan dari segala macam hal yang ganjil dan abstrak, seharusnya dijadikan bersih dan aman dari segala hal yang mudah menimbulkan masalah. Sungguh tidak layak seseorang searif tuhan menaruh selaput dara pada alat vital perempuan.

Tuhan mungkin tak pernah salah. Salah tentu tak sama artinya dengan ceroboh. Salah adalah salah, tak ada pergeseran makna sedikitpun, sedangkan ceroboh bisa berarti lalai, tak cermat. Semua penyebab yang hadir tanpa sengaja membelokkan arah, maksud dan tujuan. Seperti sesuatu yang tak mudah dicerna pikiran atau logika. Kalau seorang perempuan menggunakan otaknya sepenuh kapasitas kerja otak manusia tentu sejak pertama mendengar istilah selaput dara, mengetahui definisi selaput dara, telah terbersit tanya, apa kiranya maksud dan tujuan tuhan menciptakan benda tersebut pada tubuh perempuan.

Sebenarnya tidak hanya perempuan berpendidikan pantas mempertanyakannya, tapi semua perempuan yang sadar benar bahwa dia perempuan dan mulai memahami dirinya, setiap bagian pada dirinya. Khususnya yang begitu unik dan aneh. Yang secara eksklusif hanya ada pada perempuan, siapakah yang tahu pasti ada jenis hewan berkelamin betina juga mempunyai selaput dara pada alat vitalnya. Ini sudah kelewatan, tak baik dilanjutkan, atau aku berani menghadapi resiko setara hukum rajam jika terus menghujat tuhan gara gara selaput dara, meski hanya dalam batok kepalaku saja.

Aku tersenyum sendiri membaca tulisan gila yang kutuliskan asal asalan, duapuluh tahun silam, kutuliskan ketika pertama kali kudengar desas desus gila itu. Entah setan mana yang membisikkannya pada perempuan perempuan lain yang kemudian membisikkannya kepadaku dangan mata bersinar lebih terang dibanding sorot lampu mercu suar kala purnama, suara mereka lebih gaduh dibanding teriakan teriakan kasar para makelar di pasar, “Suamimu baru saja membeli perawan.” Aku hanya bisa menanggapinya dengan tergagap, mulutku megap megap tanpa suara, serupa ikan kehabisan udara di geladak kapal. Perempuan perempuan itu semakin nyala matanya,”Tanya saja bu Dewi, dia tahu sendiri dari seorang kenalan yang temannya punya saudara angkat, kakaknya punya anak perawan, mereka butuh uang untuk biaya operasi kanker prostat ayahnya, kakak saudara angkat temannya kenalan bu Dewi itu.”

Lebih menakjubkan dari semua kenyataan yang terjadi saat itu, aku tidak pingsan di tengah perempuian perempuan yang matanya telah menjelma obor besar teracung dihadapanku, seakan siap membakarku hidup hidup. Tak bisa kuingat jelas kejadian setelah itu, bagaimana aku pulang, naik taxi atau mobilku sendiri. Tahu tahu aku sudah tiba di rumah, berjalan melintasi ruang tamu, melewati begitu saja kedua anak balitaku yang sedang makan malam disuapi pengasuhnya masing masing.

Di dalam kamar yang sengaja kugelapkan dapat kulihat dengan jelas wajah seorang gadis yang gamang sekali tatapan matanya. Mungkin gadis itu aku, atau gadis antah berantah yang baru menjual keperawanan, gadis pemilik selaput dara yang ayahnya mengidap kanker prostat yang dibicarakan perempuan perempuan di dekat telingaku dua jam yang lalu. Aku masih terjaga dengan tubuh tegang ketika suamiku datang, mengganti bajunya tanpa menyalakan lampu lalu rebah di sampingku. Sepertinya aku tertidur, bermimpi buruk dan bagus bergantian bersamaan dengan gelisah tubuhku, berkali kali merubah posisi tidur. Sungguh membingungkan bagaimana seseorang yang tertidur dan bermimpi bisa mengingat berapa kali membalik badan. Hingga malam berlalu aku tak terjaga.

Kurang lebih satu setengah jam yang lalu suara alarm membangunkan tidur panjangku, refleks tanganku bergerak ke samping, menyentuh pundak suamiku yang masih tidur lelap. Betapa lega dan damai rasanya, setelah sholat subuh. Seperti kebiasaanku, aku pindah ke ruang baca di samping kamar tidur, menghidupkan komputer, membaca dan menuliskan apa saja yang bisa kubaca dan kutulis hingga waktunya menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Aku dan suamiku hanya tinggal berdua di sebuah apartemen, di sebuah negara, malah benua yang terletak beribu mil jauhnya dari tempat perempuan perempuan yang dua puluh tahun silam membuatku nyaris hangus terbakar api neraka.

Udara sejuk dan keheningan dalam ruang baca membuatku bisa mengingat semuanya dengan baik sekarang, sangat baik dan tenang. Lima hari berselang kiriman itu sampai di tanganku. Lewat telepon sambungan langsung internasional kuminta seorang pengurus rumahku yang telah sejak lama kupercaya dan terbukti bisa diandalkan membereskan semua benda yang nampak penting dan berharga di rumah lamaku, buku buku, setumpuk compact disc, dan segenggam flash disc termasuk di dalam paket yang kusambut dengan antusia kedatangannya. Kebetulan ini flash disc ketiga yang kuperiksa dan kucermati tiap file yang tersimpan di dalamnya. Aku tersenyum lebar kembali untuk kesekian kali ketika membaca salah satu file tulisanku, kalimat pertamanya sungguh ngawur, setelah dua puluh tahun berselang aku masih berpendapat demikian.

Kelewatan sekali kutuliskan itu, keperawan adalah bukti kecerobohan tuhan, tapi tuhan bukanlah manusia yang kecerobohannya bisa menyebabkan bencana. Keperawananku misalnya, telah kujual sembarangan demi hasratku melampiaskan amarah kepada ibu yang meninggalkan ayah dan kedua adikku untuk menikah dengan seorang seniman eksentrik dari luar negeri, sama sekali tidak berakhir buruk bagiku. Awalnya memang serasa tak tertanggungkan, seperti terkena radang usus akut yang membuatku ingin muntah sepanjang waktu. Tapi pelahan segalanya membaik. Selaput dara memang berharga dan beruntung sekali tuhan menaruhnya pada alat vitalku, ayahku memperoleh modal untuk membuka usaha, menata kembali hidupnya, aku dan kedua adikku kembali melanjutkan sekolah tanpa hambatan, pendeknya kehidupan keluargaku membaik meski tak ada lagi ibu.

Makin ajaib ketika lelaki yang membeli selaput daraku akhirnya berniat hidup bersamaku, lelaki lajang yang mapan dalam segalanya. Kisahnya seperti mimpi, persis seperti tanah kelahiranku yang sering dipuja sebagai tanah impian, pulau dewata.  Masih kuingat pula betapa berita tentang selaput dara seorang gadis lain sempat membuatku terguncang, hampir hancur berantakan. Kenyataanya tak pernah sengeri yang kucemaskan. Waktu berlalu memudarkan noda, mengeringkan air mata, membawaku terbang ke tanah yang jauh, tak buruk juga meski namanya bukan pulau dewata. Kini aku seorang perempuan terpelajar dengan kedudukan dan pekerjaan cukup terpandang. Kedua anakku, perempuan dan lelaki juga telah tumbuh dewasa mendapatkan segala yang terbaik yang bisa diharapkan.

Tuhan memang tak pernah salah, kurasa inilah waktu yang tepat untuk meralat tulisanku. Tuhan sama sekali tidak ceroboh seperti yang kukira dan pernah kutuliskan pada masa lalu*

perjalanan

by Dian Aza on Tuesday, June 7, 2011 at 2:10pm
Kebahagiaan menyelinap diam diam di keramaian, meleleh bersama peluh, menggenang pada selaput yang berdenyut antara kelopak dan biji mata.

Aku memandang buram, menunggu kebahagiaan siap sedia sia sia, menjadi rapuh, ringan, melayang berjatuhan seacuh daun daun yang telah menempuh waktu. Daun daun yang genap menjalani musim musimnya, daun daun yang tak lagi hijau, tak bisa melambai gemulai, mengeras warna tembaga, jatuh pelan merebah di atas tanah pada celah rerumputan dan batu batu, tersangkut di rimbun semak semak, terhanyut di riak sungai.

Aku terus menunggu kebahagiaan menjadi bersahaja, berserah pada angin mengantarnya hijrah dari pucuk pucuk ketinggian ke tempat rendah, agar bisa kudengar suaranya gemeretak di telapak kaki kuda dan roda roda kereta yang menginjaknya dalam perjalanan pulang dari pasar ke ladang*

buku berharga

by Dian Aza on Tuesday, June 7, 2011 at 7:25am
Kau menjadi buku yang tak terbeli untukku, memanggil manggil hasratku untuk kembali mendatangi tempat tempat di mana tersedia buku buku yang tak terbeli untukku, kau satu buku di situ. Aku tak bisa membacamu, bukumu yang berharga terbungkus rapat, bersegel, berlabel, huruf dan angka angka memisahkan kita. Aku menyentuhmu ringan sebelum meninggalkan buku buku yang tak terbeli olehku, tersenyum sambil berkata pada diriku, kau bukan semua buku yang bisa kubeli dan kubaca, kau bukan buku buku yang kelak tua, kau tak pernah akan melapuk sia sia*

dini hari

by Dian Aza on Sunday, June 5, 2011 at 1:38am
Boneka kertas
membuka tutup mulut
menelan kabut

Aku terpaku
nyala bintang matamu
bernyanyi merdu

Malam berjalan
kurajut baju hangat
dalam mimpimu*

lalu lintas

by Dian Aza on Sunday, June 5, 2011 at 1:00am
Angin memilin lengan baja, memutari roda, seolah peziarah dahaga dan lelah dilumpuhkan doa. Seribu bangkai malam di jalan jalan bangkit berbisik, perjalanan sungguh indah, seperti punya tujuan, seperti kau bilang, punya tujuan. Mata mata di balik jendela terpejam, tersesat, seperti punya tujuan, alangkah murah harga tiketnya untuk membeli angin, debu, tatapan rindu. Hanya perjalanan punya tujuan, arah, nama jalan di persimpangan terselip di kerah dan lipatan lengan baju kerja. Bukan hiburan bukan liburan, bulan bulan berlumur madu di atas berjuta juta lampu*

asap di rongga dada

by Dian Aza on Sunday, June 5, 2011 at 12:24am
Hujan akhirnya datang setelah berhari hari gerah. Lelaki itu duduk sendiri di lantai rumahnya, hanya ditemani pemantik gas murahan, sebungkus sigaret tergeletak di dekat lututnya, saling menanti dengan bibir dan jemarinya untuk saling menyentuh. Lelaki itu tak perlu bergerak untuk tahu bahwa di luar hujan lebat sedang berjatuhan dengan keras memukuli atapnya. Atap yang kokoh melindungi tubuhnya dari basah dan gigil yang mengintai di luar rumahnya.

Aku tak harus memikirkan apa apa katanya tanpa suara, asap memenuhi rongga dadanya yang sebelumnya juga sudah dipenuhi lendir dan nanah, jika meleleh keluar lewat lubang hidung lendir dan nanah itu dinamai ingus, membuatnya harus sesering mungkin mengusapkan punggung tangannya di sekitar lubang hidungnya. Ini malam yang keberapa setelah dia melewati banyak hari yang membuatnya jadi seperti malam ini. Berada di sebuah tempat tanpa sebab dan alasan. Diam yang lebih panjang dari lintasan matahari dari terbit sampai tenggelam.

Tidak, aku tidak menyesal, bahkan aku tak tahu apa itu sesal. Dia tiba tiba ingat sebuah benda lembek yang menggumpal di dalam lubang hidungnya. Rasanya sedikit asin, kalau tak salah mirip bagian bawah sandal yang sering dijilatinya semasa balita. Bagaimana mungkin aku bisa masih ingat, kegiatan yang kulakukan di masa yang telah sangat silam, apa karena rasa pedas tamparan seorang lelaki besar mirip dirinya. Seorang lelaki besar di saat dia masih kecil yang tak suka melihat caranya bermain main. Seperti sandal, dia tak mengenal sesal, lelaki besar itu mestinya juga demikian, tak tahu artinya sesal. Lelaki katanya tak boleh menyesal. Cuma perempuan boleh menyesal. Ijin untuk menyesal itu yang kerap kali disalahgunakan perempuan. Hampir semua perempuan kerjanya hanya menyesal. Setiap hari ada saja yang disesalkan, terbukti kemudian kalau menyesal adalah pekerjaan yang sia sia, bahkan cenderung sangat berbahaya.

Ibunya, tentu saja seorang perempuan, seperti perempuan lainnya juga sangat gemar menyesal, menyebalkan. Menyesal hanya sebuah jalan untuk kembali pada kesalahan, bahkan lebih mengerikan seringkali menyesal dijadikan sebuah pembenaran. Satu satunya manusia yang dekat dengannya sejak lahir adalah ibunya, dan hanya menyesal itu saja yang selalu pula dikerjakan ibunya, bisa dibayangkan betapa memuakkan, tapi lelaki tak kenal menyesal, mungkin itu sebabnya dia gemar menjilati bagian bawah sandal, rasanya lebih sedap dari pada menyesal.

Bagian bawah sandal punya rasa yang tak bisa dijelaskan kata, begitu pula warna dan aromanya. Terlebih lagi jika sandal itu baru saja dipakai berjalan jalan di pasar pagi pagi setelah hujan lebat semalaman. Benar benar dahsyat, sebuah campuran begitu banyak zat yang terlarut pada lumpur dan genangan air di sepanjang jalanan pasar yang becek.

“Dasar geblek !” Lelaki besar mengatakannya dengan suara menggelegar, lalu kilat kilat melintas di wajahnya, bibirnya yang masih kecil menjadi merah dan basah, berkumur darah.

Perempuan itu ibunya, hanya bisa menyesal tak bisa mencegahnya menjilati bagian bawah sandal.

Perempuan kedua yang dekat dengannya tak berbeda jauh dengan ibunya, menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menyesal. Lelaki itu tak tahu apa perempuan kedua dalam hidupnya yang kemudian menjadi istrinya itu telah terbiasa menyesal sejak dulu, sejak mereka belum bertemu, atau penyesalan itu baru menjadi kegemarannya sejak mengenalnya dan berbagi waktu dengannya. Lelaki itu pernah memikirkannya sebentar, hanya sebentar.

Sebentar kemudian lelaki itu bertambah yakin bahwa sesal itu rasanya jauh lebih buruk dibanding bagian bawah sandalnya. Lelaki itu sungguh sungguh menyesal pernah sempat menyesal, memutuskan dangan mantap tak akan pernah lagi sudi merasakan sesal. Satu satunya keputusan terbaik dan berguna sepanjang hidupnya.

Lelaki itu tidak menyesal telah membuat istrinya yang baru dua minggu berada di rumah sepulangnya dari bekerja di luar negeri membunuh anaknya. Sebenarnya istrinya tak membunuh bocah lelaki berusia empat tahun itu, hanya tak sengaja menjatuhkannya dari gendongan ketika mengendarai motornya, hendak minggat dari rumah mereka, pergi menjauh darinya.

Kini istrinya terbaring di rumah sakit, patah lengannya, kehilangan akal sehatnya. Kecelakaan itu merenggut nyawa satu satunya anak mereka. Sorang lelaki muda lainnya juga sedang terbaring di rumah sakit yang sama, dengan luka bakar delapan puluh lima persen di sekujur tubuhnya, seorang bocah perempuan berusia sebelas tahun patah kakinya. Seorang tukang ojek tua juga luka parah. Entah bagaimana kejadian sebenarnya, lelaki itu hanya mendengar cerita bahwa motor yang dikemudikan istrinya sambil menggendong anaknya nyelonong menabrak sebuah warung di pinggir jalan, setelah oleng tak terkendali karena menghindari sebuah motor lain, sempat pula melintasi gundukan pasir di tepi jalan, begitu parah nampaknya bisa diduga kalau mendengar suara benturan dan pekik teriakan orang orang di sekitar tempat kejadian. Bensin, beras, tembakau dan aneka macam barang lainnya berserakan tak keruan, api berkobar sejenak. Semua saksi mata mengatakan betapa ngeri peristiwanya.

Tak ada seorangpun yang tahu apa yang terjadi sebelum istrinya pergi mengendarai motor sambil menggendong anaknya, hanya lelaki itu dan perempuan istrinya yang tahu tentang pertengkaran hebat di rumah mereka, seorang bocah berusia empat tahun pasti tak tahu apa apa selain menangis keras. Para tetangga mestinya menduga bocah itu menangis keras karena demamnya meninggi kembali. Sungguh sungguh tak ada yang tahu semua kekacauan yang pada intinya merupakan luapan penyesalan perempuan yang merasa telah menikahi seorang bajingan tak berakal

Akhirnya terbukti, Tuhan lebih menyayangi lelaki yang tak pernah menyesal itu, malaikat lebih melidungi dan menjaga keselamatan lelaki itu dibanding istri dan anaknya. Segala urusan tiba tiba menjadi begitu sederhana. Tanpa disangka sangka lelaki itu malah masih mendapat berkah, santunan asuransi dari jasa raharja, lumayan jumlahnya,  cukuplah kalau untuk beberapa malam bersenang senang, selalu tanpa penyesalan. Istrinya yang sekarang terbaring di rumah sakit setengah hidup setengah mati tentu tak bisa mengatakan apapun, bahkan mungkin tak akan pernah bisa mengatakan apapun sepanjang sisa hidupnya. Ada para kerabat yang akan mengurus perempuan malang itu, para kerabat yang dulu sempat ikut menikmati jerih payah perempuan itu semasa masih sehat dan waras, semasa perempuan itu giat bekerja sambil menyesal setiap waktu. Selain setengah hidup dan mati, perempuan itu kini setengah waras setengah gila. Menyesalpun tak lagi bisa dikerjakan perempuan itu, padahal dulu dia sangat mahir. Perempuan itu kini hanya bisa mengerang sepanjang hari, memperdengarkan gumaman aneh dari tenggorokannya, suara tanpa makna di antara liur yang juga kerap mengalir dari celah bibir setengah terbuka yang dulu begitu sering dilumat lelaki yang tak mengenal sesal sepanjang hidup. Lelaki itu juga tak sedikitpun menyesal pernah melumat bibir perempuan sekarat itu, perempuan yang mendadak menjelma pembawa bencana bagi banyak orang. Lelaki itu masih ingat dia juga pernah menjilati perempuan setengah mati setengah gila itu, lelaki itu tak menyesal melakukannya meskipun rasanya tak selezat bagian bawah sandal di masa kecilnya.

Sempat terpikir sebentar, benar benar hanya sebentar oleh lelaki itu, seandainya bocah lelaki berusia empat tahun itu tidak wafat mungkin akan segera bisa diajarinya menjilati bagian bawah sandal. Lelaki itu tak akan membentak bocah lelakinya jika ketahuan menjilati bagian bawah sandal, apalagi menggampar, pasti tak akan pernah. Lelaki itu justru akan merasa senang bercampur bangga mengetahui bocah lelaki itu akan tumbuh dewasa serupa dirinya, menjadi lelaki tangguh yang tak mengenal sesal, tidak barang sejengkal.

Sesaat setelah melontarkan puntung sigaretnya ke seberang ruang, dengan tenang lelaki itu meraih sebungkus sigaret di dekat lututnya. Masih tersisa banyak batang batang sigaret di dalam bungkusnya, setiap batang sigaret seperti berteriak berebut menarik perhatiaannya. Lelaki itu tak menghitung, tak acuh diambilnya sebatang sigaret untuk diselipkan ke celah bibirnya yang hitam. Dengan jari jarinya yang berkuku hitam lelaki itu menyalakan pemantik gasnya, menghisap ujung sigaret sekuat paru parunya. Segera saja rongga dada lelaki itu dipenuhi bergumpal gumpal asap, terasa sesak dan hangat*

kurasa

by Dian Aza on Friday, June 3, 2011 at 10:40pm
Kota berderit terinjak roda, kukira siapa membuat roda berderit, serupa gigi runcing mengunyah tangis, tenggelam, tenggelam aku dalam sayatan lelah demi lelah, melebar luka. Bak kendaraan mengangkut ayam dan sapi sapi malang, kusangka berpacu mendekati maut. Terbenam sangat asing dan pening kuingat waktu kau tak ada. Lenganmu seakan baru terjaga, bergetar di pundak, bersiap menyeberang jalan, meninggalkan ngilu di tulang punggungku. Deras hasrat berjatuhan membasahi rambutku, hitam pekat, menghanyut kau di urat nadi, semerah darah*

mata hati

by Dian Aza on Friday, June 3, 2011 at 10:01pm
Menatapmu mata hati serupa matahari bercahaya sendiri
kedua mata membuka jendela mengantar pagi pada tiap malam yang terjaga
mata hati mengikat mata kaki tak melangkah menjauhi jalanmu
mendekat sekarat menginjak nikmat matahari*

mitos

by Dian Aza on Friday, June 3, 2011 at 12:23am
Seekor katak dalam tempurung merasa sangat bahagia sepanjang waktu, tak kekurangan apapun. Hingga suatu hari seseorang berniat baik menyingkirkan tempurung  yang selama ini setia melingkupi seekor katak dari dunia. Memandang tempat tanpa batas, seekor katak menjadi geram, dendamnya menyala mengarah pada tempurung yang dulu membuatnya terus meringkuk, tempurung yang dulu pelindung kini menjelma pengurung dalam benak seekor katak yang telah terbebas, katak yang baru saja dilepaskan dari sekat oleh kebaikan*

pendar

by Dian Aza on Thursday, June 2, 2011 at 11:55pm
Betapa nyaman berdiam sepanjang hari di ruang gelap dan sempit dalam tubuhku sendiri. Kau ada di sana, selalu tak pernah beranjak, tak berjarak. Hanya di ruang gelap dan sempit aku merasa manusia pemilik dunia. Sungguh sungguh sebuah dunia seutuh bola, berpendar bundar, handal menggelinding kemana mana, tungkaimu riang mengejar, kiri kanan bergantian mendekat. Aku tak pernah tahu seluas apa ruang sempit, seterang apa gelap, pecah resah dihela nafas lega, menghembuskan hening di sekujur wajah, satu wajahmu, tak pudar, tak menyamar, tak menggenapi hitungan, bahkan tak saling mengenal, tak perlu persinggahan, mengusir penantian yang berdiri kaku di jalan keluar. Kukekalkan saja untukmu satu permainan tanpa akhir, tanpa wasit yang bertugas meniup peluit sebelum menyampaikan berita sia sia, keputusan salah benar. Di ruang sempit dan gelap dalam tubuhku, aku bebas menjadi tuhan atau hantu hanya untuk satu manusia yang menghidupkan surga sekaligus neraka cukup dengan sekedip mata, kau meninggi, menguasa, menerangi segenap alam semesta* 

serindai

by Dian Aza on Thursday, June 2, 2011 at 10:28pm
Hei bulan kemarilah, yuk berenang di gelas kopi.

Kalimat itu sudah basi, kau mendesis terlalu dekat telingaku hingga bisa kudengar hembus udara dari hidungmu. Bulan juga basi, kopi juga basi. Jadi kenapa pula risau kalau masih bisa dinikmati. Apa sih yang tidak basi hari ini. Seabad yang lalu bulan dan kopi mungkin juga sudah basi.

Ya, apa sih yang tidak basi hari ini, senang sekali kau mengatakannya sampai berulang kali. Apa sih yang tidak basi hari ini. Semoga nasi di meja makanku belum basi, masih bisa mengisi lambung yang perih tanpa was was terserang disentri. Hahaha…alangkah meriah dunia penuh prasangka. Aku masih punya yang tidak basi hari ini, tapi tak baik kukatakan padamu, bisa menjadi basi.

Bulan, apa tak mendengar ajakanku berenang di gelas kopi. Pasti jadi sangat eksotis kalau bulan, yang bulat putih berenang di hitam pekat kopi. Kenapa selalu puitis, kau bertanya sinis. Puitis itu amis, seperti bau nafasmu di bibirku, bau pasar ikan ketika para nelayan baru merapat. Bongkahan es batu dituangkan dalam wadah wadah, gemeretak bunyinya, bening dan jernih rupanya, dingin dan bengis serasa mengiris kulit jika disentuh. Ikan ikan ditumpahkan, saling bergumul, kelabu, biru kekuningan, perak keemasan bercampur bening dan jernih es batu. Tubuh ikan lembut, bongkah es batu keras dan tajam. Udara berbau amis mengundang kucing kucing liar datang, mondar mandir di antara kaki kaki manusia, menemukan tubuh tubuh ikan yang tercecer, ikan ikan yang meleset menempati wadah. Anak beranak kucing mendapatkan banyak berkah tanpa bekerja, kumis dan bulu kucing jadi berbau amis. Kucing kucing yang berbau amis tubuhnya adalah kucing kucing yang kenyang, baru saja pesta ikan di pasar ikan tanpa mengajak bulan.

Bulan belum datang, mungkin tak mendengar, atau sengaja mengacuhkan. Mungkin bulan takut hitam kopi menodai bulatnya yang putih. Belum puas juga mengucapkan segala yang basi bikin wajah pucat pasi gara gara lambung kian perih. Perut mengajak kaki mendekati nasi. Tangan sudah belajar memegang sendok sejak kecil, menyuapkan nasi ke dalam mulut yang tidak berbau amis. Hanya ada nasi di meja makan. Meja makanku letaknya jauh dari pasar ikan, tak terendus bau amis oleh hidungku, juga hidung kucingku. Kau malah tersenyum, rasakan saja makan nasi tanpa bau amis, tidak puitis. Tapi kalau kau mau mendudukkan aku di pangkuanmu, lalu tanganmu menyuapkan nasi ke dalam mulutku, kau akan tahu betapa manisnya nasi tanpa bau amis. Sehabis nasi, aku bisa jadi mirip kucing, bergulung rapat pada betismu.

Tiba tiba, plung…bulan akhirnya datang memenuhi ajakanku, berenang renang di dalam gelas kopi. Cairan hitam kopi sedikit meruah membasahi meja, hangat dan manis, mungkin bulan yang bicara dari dalam gelas kopi. Bulat putih, timbul tenggelam, mengapung, bersenandung. Tapi suara dengkurmu lebih merdu, kau berbisik terlalu dekat telingaku lagi, bisa kudengar hembus nafasmu menderu lebih kencang dari suara mesin mesin disel di buritan kapal nelayan.

Hampir fajar, aku harus pergi, bulan berkata lirih dari dalam gelas kopi, kelelahan setelah berenang semalaman. Jangan peduli, bisikmu. Bulan bisa mengurus dirinya sendiri. Apa sih yang tidak basi hari ini, aku sangat ingin mengatakannya untukmu tanpa menjadi basi. Mengajak bulan kembali berenang di dalam gelas kopi sampai matahari menanak nasi besok pagi*

sajak berantakan

by Dian Aza on Thursday, June 2, 2011 at 4:23pm
Coba kauberitahu bagaimana aku bisa menuliskan puisi dengan sungguh hati sementara kau selalu menggangguku. Salahkah kalau kubilang ini salahmu, hingga aku tak bisa bikin tulisan bagus lagi. Kau tak pernah letih mengusikku dari semua arah dan sudut, tersenyum, mengedipkan mata, mengulurkan tangan mengajak berdansa, tertawa, menjulurkan lidah, berlari agar kukejar. Kalaupun kau duduk atau berbaring sejenak suaramu yang meruntuhkanku. Membuyarkan setiap kalimat yang nyaris kususun indah, berantakan semua diksi dan metafora yang sudah siap kujadikan sajak.

“Haaa…apa kau bilang ?”

“Yang mana ?”

“Yang kaukatakan belakangan.”

“Kau bikin semua berantakan.”

“Bukan, yang kata katanya tak biasa.”

“Ahh…”

“Katakan lagi, ingin kudengar.”

“Mau kaujadikan bahan ejekan…”

“Haa…Tidaklah, hanya ingin dengar kau mengucapkan kata bermakna.”

Tentu saja kau langsung berlari menjauh dengan mata nakalmu yang baru saja kupelototi. Aku harus mengejarmu, memukul punggungmu atau mencubit lenganmu. Jadi kau sekarang mengerti kenapa aku jadi sulit sekali menulis puisi. Kau sangat jahil, curang dan mahir merampas seluruh kehendakku, seluruhnya hanya tertuju padamu.

“Memangnya sajak bisa menuliskan lebih panas dan pedas dari pukulan atau cubitan.”

“Tidak, sajak tak bermakna, kalau ciuman…”

“Haaa…”

Biar sebentar lagi jadi tambah berantakan*

langsir

by Dian Aza on Thursday, June 2, 2011 at 1:15am
Memang aku sembunyi dari pagi, menekuk lutut di bawah tempat tidur. Mungkin memang pengecut, mungkin justru aku takut pagi itu yang pengecut, segan datang kalau aku menghadang. Jadi aku mengalah saja, menyembunyikan diri demi bumi yang membutuhkan pagi. Anak anak harus sekolah, bapa ibu guru harus mengajar, kepala sekolah harus duduk di kantornya. Burung ingin berkicau, ayam jantan berkokok. Bendera berkibar, lampu lampu padam. Masih banyak hal, terlalu banyak untuk dituliskan bahwa pagi itu sudah seharusnya datang menyalakan terang di udara. Kalau udara bisa bicara tentu akan mendukung penuh pendapat setiap benda dan mahluk tentang betapa perlunya kehadiran sebuah pagi. Jika tak ada pagi, bisa bisa absensi di pabrik pabrik tak terisi, buruh buruh tak kerja, tak dapat gaji, tak bisa makan nasi, tak ada hasil produksi.  Kuharap ini cukup menjadi alasan untuk seluruh dunia mengerti kenapa seorang perempuan malam mesti merelakan diri sembunyi dari pagi.

Aku tidak takut, suara itu berkata jernih, aku mengangkat sedikit kepalaku, berharap suara itu terdengar lagi, aku ingin tahu siapa yang berkata, aku, perempuan di bawah tempat tidur atau pagi itu sendiri. Pokoknya aku tidak takut, suara itu berbunyi lagi, sedikit lebih hebat dari bunyi bunyi lain yang biasa kudengar, lebih hebat karena tak bisa kutebak dari mana bunyi itu berasal. Sesuatu yang datang tanpa diduga dan tak diketahui dari mana selalu berkesan lebih. Seperti warna merah pada darah, di bagian mana tepatnya di dalam tubuh warna merah itu pertama menyembur, aku tak tahu. Air mata kenapa jernih, tak pernah bisa kumengerti apa saja yang berdiam dan bergerak di dalam tubuhku sendiri. Namanya misteri kata seorang temanku yang suka berkhayal tentang monster besar aneka warna. Itu kebesaran ilahi kata teman lain yang gemar membaca kitab suci. Aku sendiri cuma bisa menggelengkan kepala jika ditanya mana yang benar. Pokoknya aku tidak takut terus berbunyi.

Pagi itu memang harus datang, mengakhiri malam. Tak ada yang betah terus menerus berada dalam gelap, lagi pula tagihan listrik sangat mahal. Pohon dan semak semak juga perlu cahaya untuk memasak makanan, menumbuhkan bunga, menghasilkan buah. Tak ada perusahaan listrik yang sanggup memberikan cahaya pengganti sinar matahari pagi bagi tanaman. Pantas saja nenek moyangku dulu menyembah pohon, sikap bijak memilih cahaya dari pohon dan semak semak tak pernah bisa dicontoh manusia hingga hari ini, tidak juga manusia yang disebut paling bijak oleh sesamanya.

Perempuan malam masih meragukan siapa yang berkata, aku tidak takut sambil terus sembunyi menekuk lutut di bawah tempat tidur. Pagi mesti datang dengan atau tanpa ditunggu. Aku tidak takut bisa jadi suara semut semut yang berbaris mendekati tetesan anggur di lantai kamar, merah ungu warnanya terlihat hitam ketika terpandang di ujung malam tanpa sinar lampu. Semut semut kecil dan hitam sekujur tubuhnya, barisannya meliuk panjang, jika tanpa cahaya akan nampak tak ada bedanya barisan semut atau sehelai rambut yang terjatuh dari kepala perempuan yang tertidur sambil memeluk lutut*   

barometer

by Dian Aza on Wednesday, June 1, 2011 at 10:24pm
Ini tentang kita, angin berbisik lembut di keningmu, memainkan rambutmu di bibirku. Mendung di langit hitam berwarna jingga, aku mengeja setiap kilometer di belakang kita, hanya ada kata keras kepala menghantam dada. Belah saja segala permukaan untuk percaya seberapa dangkal kukuburkan kematianku ke dalam selembar halaman buku yang tak pernah selesai menuliskan kisah. Jangan tentang cinta, tentang kita, kita yang gemar mencemooh cinta di lidah manusia, membandingkannya dengan cacing di paruh angsa tanpa sengaja mengorbankan hidup demi mahluk cantik penghias telaga.

Duduklah di pangkuanku selama kau masih tegak menunjuk angkasa, letakkan kepalamu di lenganku kalau lelah, adalah kalimat yang kucuri dengar dari bisikan tanah pada batang batang rumput di bukit bukit yang kaulukis untukku. Harus kuhabiskan segenap sisa hidupku mendengarmu mengatakan setiap makna tanpa suara, tanpa bahasa, hingga tak mungkin ada salah kata di antara kita. Ini tentang kita, merayakan kematian demi kematian tanpa sia sia menyerahkan hidup di padang rumput, di sudut ruang sempit berjeruji kelabu, di mega dan mendung, di rona senja, di ujung malam menjelang fajar. Di setiap ada kita saling berkaca*

mujarad

by Dian Aza on Wednesday, June 1, 2011 at 8:58pm
Seseorang terlambat datang pada sebuah acara lelang. Semua benda berharga sudah terbeli oleh penawar tertinggi. Wajah wajah tersenyum megah, tubuh tubuh berdiri gagah, tangan tangan menggenggam erat benda berharga miliknya masing masing. Seseorang yang terlambat datang menundukkan kepala, dengan kecewa melipat lipat surat undangan lelang dan lembar kertas daftar acara serupa pesawat terbang. Seseorang yang terlambat datang terkejut sesaat kemudian semua orang dalam gedung lelang menawarkan semua harta dan benda milik mereka untuk ditukar dengan karcis pesawat terbang.
Tidak dijual, kata seseorang yang terlambat datang, mendongakkan kepala, dadanya penuh rasa puas dan bangga. Semakin tinggi tawaran harga, semua orang nampaknya sangat ingin pulang cepat tanpa membawa apa apa selain deru kemenangan yang terbang berputar mengelilingi ruang*

Selasa, 28 Juni 2011

untuk pangeran kecil

Tidak Nak, jangan panggil Ibu kepadaku yang sering lupa bagaimana melahirkanmu, menyusui, menimang, mendongeng, menjadi lawanmu bermain layanglayang.
Jangan panggil aku Ibu setiap kali aku lupa cara mengejan, mendorong tubuhmu menemui ruangan terang di luar rahimku.
Jangan panggil Ibu ketika aku tak ingat saatsaat hangat mendekapmu di dalam lenganku, melekat di dadaku. Jangan panggil Ibu ketika aku membiarkan kau duduk di lantai sendirian sementara aku sibuk berbicara dengan orang asing yang bertanya berapa usiamu.
Jangan panggil Ibu pada saat aku berkata dengan nada datar menyuruh kau belajar padahal matahari sedang bersinar cerah dan awan berarak riang.
Jangan panggil Ibu kepadaku kapan saja aku terlalu lelah untuk menceritakan tentang negeri dongeng, pangeran tampan menunggang kuda terbang yang bertempur dengan seekor naga demi tuan putri di menara istana.

Jangan panggil Ibu kepada seorang perempuan yang tak bisa menjadikan masa kecilmu jauh lebih manis dari pada masa kecilnya sendiri.
Jangan panggil Ibu kepada seorang perempuan yang tak bisa menjadikan anaknya seorang pemimpi yang baik hati.
Jangan panggil Ibu kepada seorang perempuan yang tak berani bersujud di kakimu dan menyebutmu, pangeran kecil*

perempuan yang menyapaku

Perempuan bersujud di hadapanku, menemukan altar remang, wangi dupa dan buahbuah ranum untuk sesaji kepada sesuatu, mungkin dewa mungkin hanya seseorang yang punya sebuah tempat untuk disewanya meletakkan tubuh.

Aku memandang matanya lebam, berlubang, baru saja ada yang meledak di sana. Tapi perempuan itu diam, terus menekuk lutut, menundukkan kepala, bibirnya rapat. Dia sangat tabah menanggung kisahnya. Dan aku terus bertanya tidak kepada siapasiapa, kenapa seorang perempuan tabah harus bersujud di hadapanku, untuk merasa bahagia, atau sekedar diam, menjalankan peran.

Bukankah semua hutan telah ditempuh, dan aku sedang tak ingin kemana-mana. Perempuan itu tidak punya tempat lain untuk memanjatkan doa. Perempuan itu tak memberitahu nama atau apapun tentang dirinya. Aku hanya menebak waktu memanggilnya,"Bunda."

Perempuan itu tengadah, mengulurkan tangannya, suaranya sungguh halus ketika mengucapkan kata,"Nak." Aku bimbang menerima pemberiannya, selembar nyawa*

induk dan akar

Indukku berenang di telaga yang menelan badai, aku dikirim tibatiba terbaring di tanah landai. Rindang akarakar pohon membisikkan keteduhan di hari kelahiranku. Di sebuah telaga yang menelan badai indukku masih berenang gemulai. Tak ada satupun alasan bagi seekor induk untuk menengok ke arah yang telah berputar tanpa lelah.

Aku tumbuh menjadi pohon, indukku menyelam segesit ikan. Suatu hari mungkin akarku akan menjulur cukup panjang sampai telaga. Atau sepasang siripnya melebar, menguat, mengantar indukku menggapai dahan.

Hari itu hujan turun sangat lebat, telaga memuntahkan badai, akarakarku menggapai, indukku terhanyut bersamaku ke satu arah, kami menyebutnya muara, jika sempat saling bicara*

'yummy'

by Dian Aza on Wednesday, June 1, 2011 at 8:04am
Jangan bilang siapa siapa, bisikku pada selembar roti, satu sachet susu kental manis sedang menuliskan pesan rumit kepada jantung hati di atas roti. Terasa sungguh kental dan manis di lidahku, memandangmu mengunyah dengan mata berbinar, selembar roti berseri seri, ahh…sudah biasa kalau tiap pagi kau jatuh hati, kata kata roti membuatku tersipu malu, dengan gemas kusuruh gigi mengunyah lebih cepat saat kau lancang bertanya pula, kok senyum senyum sendiri. Kau pasti mengerti bahwa jantung hati bisa bikin roti bergunjing nakal mencium jejak coklat di bibirku, jawabku dalam hati. Kau tertawa, rasa manis meresap kental di serat roti terbaca rasa, aku suka, aku suka, ini enak sekali, jatuh hati pada pagi hari*

dalam catatan

by Dian Aza on Tuesday, May 31, 2011 at 9:40pm
Tak usah menghitung waktu, biar hening sempurna mengeringkan sayap kupu kupu. Kau dan aku sepasang hantu, berjalan jalan tanpa tubuh di lorong rindu, tak ada yang tahu ke mana air mengalir api merepih. Saling memandang tanpa mata, mengingat nama nama pudar tersapu warna langit berganti rupa. Memahami ingatan batu, membeku kelabu di ujung gemeretak langkah, sepatu kuda, lagu lagu riang bermukim dalam catatan*

laut dan karang

by Dian Aza on Tuesday, May 31, 2011 at 9:20pm
Pantai pantai sunyi di setiap ujung bumi bisa bersaksi, betapa kerap kukalahkan ombak dan gelombang. Hanya dengan satu jari mengukir namamu di atas pasir. Ombak mengoyak, gelombang mendera, namamu berantakan cepat kususun lagi, hanya dengan satu jari. Bukan kesombongan kalau kubilang hasratku padamu lebih gelora dibanding samudra. Dan kau, tak akan jadi keangkuhan jika kusebut paling teguh dan tajam dari semua karang. Biar laut yang sebenarnya marah, biar karang yang sebenarnya pecah, aku masih punya sepuluh jari untuk menuliskan namamu di atas pasir tak terhitung kali*

selalu

by Dian Aza on Tuesday, May 31, 2011 at 8:47pm
Di bawah sorot lampu yang riuh bicara tentang licin dan kilau aspal jalanan, sepi melangkah sendiri, menengadah menatap cahaya, jauh lebih redup dan samar dari sinar lampu. Berpendar, berpencar, saling menyapa dengan kedipan kedipan ringan. Sepasang matamu selalu tersenyum pada jalan buntu, batu batu dan debu di tubuhku*

di sini

by Dian Aza on Thursday, May 26, 2011 at 2:47pm
Karena di sini, mengerjakan ini, maka jadi begini. kalau di situ mengerjakan itu, maka jadi begitu. Ini dan itu, begini dan begitu. Kau dan aku mau ini dan itu, ingin begini dan begitu, bergerak gerak, kaku macam batang pohon, gemulai macam ilalang. Angin menyusun awan diam diam, anak anak bersorak memandang pesawat terbang, mata elang mengincar ular.

Kau di sana melihatku di sini memandangi langit langit kamar, jengah, seakan akan menjadi penengah, memutuskan perkara tanpa ketukan palu. Di sini bisa begitu ingin di situ. Kulihat dahan di luar jendela mengangguk angguk, daun daun berbisik, angin berhembus. Aku di sini menatap mendung di situ cahayamu menyusup lewat celah ranting, melukiskan teduh di dinding rumahku*

titik titik

by Dian Aza on Wednesday, May 25, 2011 at 10:02pm
Tanda tanya macam ular, ujung ekornya terlepas, terpisah letaknya di bawah lengkung tubuhnya. Di bawahnya lagi kepala bergerak gerak ragu, menggeleng atau mengangguk, di bawahnya lagi sebuah bibir mungkin tersenyum atau cemberut, mungkin ada yang terbatuk atau tersedak. Sebuah jawaban menggumpal asap di rongga dada.

Macam ular, tanda tanya meninggalkan ujung sekornya tergeletak di tanah, melesat ke angkasa, menemui titik titik terang tak terhitung melayang layang tenang tanpa wajah, berkedip riang, menyampaikan pesan, mungkin dari surga atau taman di mana perempuan pertama memetik buah untuk diberikan kepada lelaki pertama yang bertanya, bagaimana rasanya*

pasar ikan

by Dian Aza on Tuesday, May 24, 2011 at 11:06pm
Air mata buaya, kata ayah. Aku meringkuk di sudut mata, menjadi sangat gentar pada hewan liar melata yang merayap mendekati bibirku. Tangan tangan kecil mengeringkan semua yang basah di wajah juga tanah. Bibirku komat kamit seperti berdoa, meminta air bah segera datang, agar buaya buaya cepat naik ke geladak kapal, berlayar, agar aku bisa kembali menyelam ke dasar samudra tanpa takut ada ekor besar berduri mengelus kepala. Kulihat seekor ikan duyung sedang mencari sisir di jejak pasir.

Mengurai rambut sebelum tidur, kata ibu, tak mengikat mimpi buruk. Air mata buaya memerah, pertanda bahagia menjelang di ujung dermaga, semoga. Sebelum laut kembali pasang, harus sudah kutemukan sisir ibu, pantai sudah sangat panjang dan kusut bergantungan di tiang lampu. Buaya tak berair matanya ketika ayah menguliti tubuhnya. Duri duri ekornya dipasang pada laras senapan untuk membidik jantung burung dara.

Pasar ikan berteriak riuh pagi itu, buaya dan burung dara telah menjala banyak manusia*  

membunuh mimpi

by Dian Aza on Tuesday, May 24, 2011 at 10:13pm
Bukan hanya sekali kuingkari seringai dendam di wajahku sendiri. Kau selalu datang membawakan sapu tangan. Sapu tangan yang tak mahir menghapus jejakmu di tulang pipiku. Musim hujan terlampau panjang sekarang, katak bernyanyi terlalu riang, bikin kuterlena, tak juga membalik sehalaman buku. Kau kerjakan bagianmu, aku tak menunggu segarispun warna pelangi dari kerutan kening. Betapa naïf berharap pada sepotong wajah dalam cermin.

Cermin retak memandang bola mataku, apakah setajam pisau atau sekokoh batu. Hujan membuat segalanya basah. Kisahkisah mencoba menghiburku. Tapi aku hanya butuh kau saja, dalam diam yang tegar di tengah ruang. Kau yang memandang aku pecah berserakan oleh tikaman belati yang terhunus dari senyala api*

boneka

by Dian Aza on Tuesday, May 24, 2011 at 10:00pm
Nyeri benar bibirku menyebut namamu. Serupa gunting membentuk pola selembar kain, matamu menjahit luka, menusuk pandang, merangkai jubah. Untuk kukenakan di hari penasbihanku kelak. Akankah kausulam namamu di salah satu bagian tubuhku, kemudian kaupakaikan baju agar tak terbaca luka yang kausebut harga. Baiknya tak lagi meretakkan suara hanya demi sebuah nama, sebagus dan sesuci apa nama tak akan sanggup jadi mantra pelipur lara. Tidur saja Nak, di kegelapan bisa kaujumpai banyak wajah ramah ingin mengajakmu bercanda, boneka namanya, mereka semua sangat lembut hingga tak bisa terluka*

duabelas

by Dian Aza on Sunday, May 22, 2011 at 11:28pm
Aku hanya butuh dua belas botol arak untuk setiap putaran jarum tiga ratus enam puluh derajat. Tidak usah yang mahal dan berkelas, cukup seharga arloji yang sudah kautawar selusin kali di pedagang kaki lima jam tujuh malam tadi. Lalu kita bisa berbahagia dari malam sampai pagi, seperti sebuah langit hitam dengan dua belas bulan yang telah kita putari berulang kali*

satu satu

by Dian Aza on Sunday, May 22, 2011 at 11:25pm
Ada yang sedang berayun di basah rambutmu. Bau wangi itu menyimpan kenangan akan ruas ruas jariku. Ketika kau menggosokkan handuk di kepalamu, kenanganku berjatuhan di lehermu. Kuhitung denyut nadimu satu satu sambil mencoba meyakinkanmu, tak usah terburu buru, aku juga masih sibuk mengeringkan wajah di depan kaca*

manis

by Dian Aza on Sunday, May 22, 2011 at 4:03am
Semua kata kataku palsu, kau pasti tahu aku merasakanmu lebih dari segala yang bisa dituliskan kata. Tak apa, kata kata juga harus belajar menjadi sia sia, agar tak terus mencoba menerangkan setiap jalan, hanya ingin tinggal dalam kegelapan, menyimpan malam dalam lipatan sayap burung burung kertas. Sayap sayapnya bukan sayap sungguhan, tak bisa terbang, sepanjang waktu hinggap di atas meja, pura pura membaca pesan, benar benar ingin kukirimkan tepat ketika kaubuka genggam tanganmu setelah meremas waktu. Seolah olah salju, putih membeku, berjatuhan di alismu, ranting ranting pinus saling berbisik, manis* 

dua sisi

by Dian Aza on Friday, May 20, 2011 at 10:38pm
Dua mata untuk satu arah masih belum cukup mengurung pandangan.  Apa perlu pakai kaca mata kuda. Hanya menebak hampir saja yakin benar, kuda diberi dua mata untuk memandang dua arah, juga banyak mamalia selain manusia dengan dua mata untuk dua arah. Mamalia yang bisa menjaga rahasia, tak bisa bergunjing tentang kiri kepada kanan atau sebaliknya.
Ada tertulis dalam kitab tua, apa yang dikerjakan tangan kanan sebaiknya tak terlihat tangan kiri. Anjuran yang mestinya berlaku bagi manusia dengan dua mata menghadap ke depan. Manusia, satu satunya mamalia yang mahir bicara tentang kiri dan kanan. Bukan kuda , sapi, gajah atau apa saja yang punya dua mata pada dua sisi wajah berbeda. Kiri kanan kulihat saja kuda kuda berkaca mata menggelengkan kepala waktu kutanya hendak melangkah ke mana. Kiri kanan sama sama depan untuk wajahnya, sementara aku harus memutar leher dan wajah, menengok kanan kiri memilih depan setiap langkah*

tuhan atau hantu

by Dian Aza on Friday, May 20, 2011 at 10:36pm
Sejak mengenalmu mulai kuragukan kemanusiaanku. Sungguh suatu ketika aku merasa semut, selalu ingin merambat di lenganmu. Lain waktu aku seekor ular menelanmu bulatbulat. Atau predator ganas mencabik tubuhmu, bersama bekas garahamku tercecer di lantai, menikmati pelan pelan setiap serpihmu. Sering aku malah hantu, menguntitmu tanpa kau tahu kehadiranku, kau hanya bisa bertanya kepada dirimu sendiri mengapa tengkukmu terasa kaku, hangat oleh hembus nafasku.

Sejak mengenalmu aku kehilangan semua diriku, menjadi sesuatu, tak berhenti keluar masuk rongga kepalamu. Hidungku buntu, penuh lendir kuning, lelehan matahari berguguran dari rambutmu, asin. Aku ingin bertanya, di mana kita. Kau ada di dalam dada, di dalam dada mengoyak sekat sekat jantungku, bikin merah hitam darahku bercampur, tapi aku tidak mati, cuma tak kenal diriku sendiri*