Kamis, 23 Desember 2010

lubuk

Menulis demi sesuap nasi, bukankah akan menumbuhkan putik hati, memohon angin mengantar serbuk dari benang sari mimpi. Jadi bakal buah setiap purnama. Mendorong mendung menerjang mata tuhan.

Tuhan terharu dan bersimpuh di pundakku. Menyelipkan jarum pada kepalan tangan,”Masukkan benang sebelum gelap.”
Lalu aku mulai belajar menyulam sebuah jalan berlumpur biru. Menjadi sabar, menunggu cahaya kembali, demi membaca katakata yang tersemat pada selimut ibu. Selimut pertama yang membalut tubuhku yang basah, sehabis berenangrenang dalam telaga di mana aku ingin tetap terjaga. Menggenggam api, menuliskan kembali benihbenih padi yang berjatuhan dari paruh burung pipit ke atas nyala jerami*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar