Kamis, 23 Desember 2010

gunting batu kertas

Waktu itu gemar membodohi dirinya sendiri. Tak pernah tepat, selalu terlalu awal atau sudah terlambat.

Kulihat diriku di masa lalu, bermain petak umpet dengan temantemanku. Giliranku berjaga, menutup mata, menyandarkan kening pada sebuag dinding. Mulai menghitung dengan suara keras, satu sampai sepuluh, lalu berteriak,”Sudah belum.” Jika masih ada suara temanku menyahut, pastilah belum. Aku menunggu sesaat lagi, berteriak lagi, persis seperti tadi. Sampai tak ada lagi suara temanku menjawab. Waktunya aku membalikkan tubuh, membelakangi dinding, membuka mata. Tak ada siapasiapa, semua sudah berhamburan sembunyi, di sudut tembok, di balik pohon atau pintu, dalam lemari, di kolong meja atau ranjang.

Aku harus mencari. Lucunya, ketika pertama kutemukan seorang teman mertingkuk di suatu tempat, aku akan segera berpaling dan berlari kencang meninggalkan temanku, sesudah meneriakkan nama teman yang kucari dan baru kutemui. Aku harus secepatnya kembali ke dinding di mana aku tadi berjaga, tak boleh keduluan temanku. Kalau aku menang, maka teman yang lain boleh keluar dari tempat persembunyian masingmasing. Yang pertama kutemukan tadi ganti berjaga, menutup mata, menyandarkan kening pada dinding. Berhitung satu sampai sepuluh, kemudian berteriak,”Sudah belum.” Aku dan teman yang lain berhamburan mencari tempat sembunyi, dan akan menjawab, belum, pada temanku yang jaga, jika merasa belum sembunyi dengan aman dan nyaman.

Kejadian yang sama akan terulang berkalikali, hompimpa, jaga, menghadap dinding, menutup mata, berhitung, sembunyi, bertanya, mencari, menemukan, berlari, berlomba menyentuh dinding, bertukar posisi. Sampai habis waktu, sampai bel tanda masuk kelas berdering nyaring, atau sampai suara azan bergema megah memanggil kami pulang. Dan kami tak boleh sembunyi lagi. Mesti pulang atau kembali ke ruang kelas, karena waktu telah menemukan dan memanggil kami.

Curang, suatu hari aku berpikir dengan kesal. Dering bel dan azan dengan seenaknya memanggil aku dan temantemanku, tak seorangpun boleh menawar. Tak perlu bertanya dulu, sudah belum, semua harus menurut, yang jaga dan sembunyi harus segara berlari menuju tempat. Waktu yang sewenangwenang, dan selalu menang, tak macam temantemanku.

Aku semakin tahu, bahwa waktu sungguh menyebalkan ketika waktu tak mau menjawabku. Ketika aku berjaga, menunggu waktu menyembunyikan tempatku, sesudah aku berhitung satu sampai sepuluh, berteriak,”sudah belum,” kepada waktu. Waktu membisu. Purapura tak mendengarku, atau sengaja tak mau menjawab tanyaku.

Waktu tak menjawabku, tak hadir saat aku memanggil, tak mau menunggu saat aku belum selesai, tak mau pergi saat aku ingin sendiri. Adakah yang lebih menjengkelkan, selain waktu.

Waktu itu gemar membodohi dirinya sendiri. Tak pernah tepat, selalu terlalu awal atau sudah terlambat. Aku menuliskan waktu pada secarik kertas, lalu kulontarkan sekuat tenaga. Jatuh di atas batu. Seperti melayang dan ragu menyentuh batu.

Gunting batu kertas. Gunting batu kertas. Gunting batu kertas. Gunting diremuk batu. Batu dibekap kertas. Kertas digunting, jadi serpih. Dari waktu ke waktu tak ada pemenang. Waktu terus memimpin permainan. Menginjak batu, merapuh kertas, mengarat gunting.

Aku melihat diriku di masa lalu bermain petak umpet dengan temantemanku. Sampai waktu menemukanku, memaksaku kembali menatap layar monitor, berhitung, satu sampai sepuluh, bertanya,”Sudah belum.” Kepada tiada. Katakata berebut mencari tempatnya, sembunyi dalam paragrafparagraf, tak ingin terbaca.

Aku tak bisa sembunyi dari waktu dalam katakataku, selalu terlalu awal atau terlambat, tak pernah tepat. Mungkin aku sengaja menulis, mungkin cuma itu caraku membalas kecurangan waktu*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar