Aku mencintaimu dan anakmu. Maka senja itu aku menunggumu di depan mesjid. Senja yang selalu kaubikin sempurna. Deru motormu mendekat, jantungku melompat senang, aku rindu. Aku rindu bertemu denganmu. Kau lihatkah rindu itu, warnanya jingga, dan masih terus berwarna jingga dalam kelelahannya. Setegar papaya ketika menyentuh bibirmu, tak ragu memberi rasa segar dan manis di lidahmu, meski lumat di geraham, dan jingganya tak pudar sampai dalam rongga dada. Menggenangi lambungmu dengan rasa sejuk. Seperti kau dulu menyejukkan bara yang membakar kakiku, nyala yang kita sepakati bernama cinta.
Aku mencintaimu dan anakmu. Maka aku duduk dan memeluk pinggangmu. Bersenandung di tiupan angin, merelakan semua berkibar di udara. Seperti ilalang yang tetap tenang, ketika sabit mengayun di batangbatangnya. Kau mungkin tak mendengar pesan terakhir yang dibisikkan senja kepada dunia, tak mengerti nyanyian rumputrumput kering sebelum dinyalakan api. Tapi, kau mestinya mendengarku menyanyikan buaian untuk meredakan demam dan gigil di mimpi anak kita. Seperti kita pernah mendengar gema nyanyian doa dari sajadah di lantai kamar, ketika tangan ibu membelai rambutku.
Aku mencintaimu dan anakmu. Maka aku berbaring di atas tanah, menjadi penghubung lumpur dan jantungmu. Lalu sekali lagi diam dan menunggu beritaberita menemukan tubuhku, dan gambargambar mendengar pesan yang tak sempat kukata kepada malam. Kau tak ingin aku bicara pada siapasiapa, kaubuang telepon genggam yang kemudian mengkhianati kita.
Aku mencintaimu dan anakmu. Maka aku tak pernah mau mati. Hanya diam, menunggu hujan turun di jantungmu yang subur, di mana jejakku tumbuh jadi bungabunga berkelopak merah. Bungabunga yang pandai mengirimkan cinta, juga dusta, sampai ke beranda surga.
Aku mencintaimu dan anakmu. Maka aku selalu hidup. Menjelma pepaya jingga dan bungabunga merah di pesta pernikahan kita*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar