Kamis, 27 Oktober 2011

kursif


Surga yang kaubawa bawa, bolehlah kupinjam sejenak. Tubuhku yang memar tak akan kutinggalkan gambarnya di sana. Serupa gelas gelas melupakan cairan yang  pernah menjadikannya tempat singgah sebelum mengisi rongga dada. Kutenggak sendiri rasanya, tak akan kutumpahkan atau kusisakan untuk kaukenang ketika kau kembali terbang meninggi, mendaki jengkal jengkal putih yang kuciptakan dari gemuruh langitku oleh sentuhan petirmu.

Kuputuskan mengabaikan nasehat nasehat harum agar tak bersumpah demi seonggok sampah. Tapi kau, satu satunya yang kulihat membawa bawa surga mengitari tata surya ketika doaku baru terjaga terbentur suara suara dari puncak menara*

ribang


Kupahat ruang serupa logam, dengan kuku tajam menggurat biru.
Waktu membeku, menungguku menggenapi mimpi tiba di ujung kakimu.
Wangi jalan jalan mengingatmu mengalun satu satu, ragu, rindu, lagu.
Kulepaskan lenganku terbang mengejarmu, mengetuk kerah bajumu, hinggap di nadimu.
Kuhitung lagi waktu dan kepingan koin tua tak berkarat.
Menjerat napas, kulepaskan jantungku, kulontarkan kuat kuat ke dadamu.
Kau masih terlelap seteguh karang, aku masih gelombang.

Kupahat laut menyerupai maut dalam pelukmu*

rinai

Tiada yang hilang, sayang.
Aku hanya pulang kepada malam.
Membenamkan muka di hitam rambutmu.
Menyumbat bibir dengan angin merah muda dari celah matamu.
Berjalan di teduh bayangmu, kutemukan sayang terurai panjang.
Tiada yang hilang atau lekang, kucatat di sembarang jalan*

Sabtu, 22 Oktober 2011

pecahan piring

Dia membanting barang barang yang bukan miliknya. Seperti orang sinting. Jika diperhatikan lebih teliti ternyata dia masih memilih sebelum membanting, barang barang yang tidak pecah ketika dibanting. Jadi dia tidak sinting, hanya seperti sinting. Berdiri di hadapan setumpuk alat alat dapur kotor. Dia sedang mencuci piring. Sebenarnya bukan hanya piring yang dicuci, semua pernak pernik yang biasa berada di dapur, kotor dan bernoda sisa makanan. Itu yang seringkali kuingat tentang seorang perempuan. Muda, berkulit hitam, bermata dan berambut hitam, paras wajahnya manis kalau sedang tersenyum.  Senyumnya muncul sama kerap dengan kegemarannya membanting benda benda, khususnya alat dapur.

Suara benda benda berkelontangan terdengar cukup nyaring di pagi hari pada waktunya mencuci piring. Sudah kujelaskan bukan cuma piring, segala macam alat masak dan alat makan. Dia memilih membanting benda benda yang tak bisa pecah, bukan piring. Minta ampun berisiknya untuk telinga manusia beradab yang menyukai lamunan dan suasana tenang pagi hari. Adalah suatu misteri kenapa seseorang bisa melakukan hal hal kejam kepada benda benda tak berdosa. Dan anehnya aku tak ingin atau tak bisa mengganggu keasyikannya membuat keributan yang merendahkan martabat. Alih alih menegurnya aku malah tertarik untuk memikirkannya. Tentu saja aku tak bisa melihatnya membanting benda benda tanpa menegurnya, maka aku hanya mendengarkan suaranya dan berpura pura tak mendengar pula, karena sebab yang aneh itu, tak ingin mengganggunya. Aku punya rencana untuk membalas perbuatannya dengan cara lebih kejam, menceritakan tentangnya kepada dunia. Seandainya dia tahu aku bakal menceritakan segala yang kutahu tentang dia, mungkin dia akan berhenti membanting benda benda di dapurku. Aku tak mau itu. Lebih baik dia mengerjakan apa saja yang dikehendakinya agar aku boleh meneruskan ceritaku.

Aku ragu dari mana memulai ceritaku. Aku juga tak tahu pasti suara gaduh dari dapur mengganggu konsentrasiku atau malah memacu semangatku. Seharusnya tak penting lagi memikirkan yang lain selain misiku membalaskan rasa sakit sejumlah panci dan wajan kepada seorang perempuan muda yang kejam.

Kejam mungkin berlebihan untuk menggambarkan sifatnya, aku lebih kejam dengan ceritaku. Tapi ini bukan tentang aku, tapi dia. Dia perempuan muda yang mendapat sebutan perawan tua di desanya. Tunangannya menghilang sehari sebelum acara pernikahan yang telah direncanakan dengan baik digelar. Tak ada yang tahu ke mana perginya lelaki itu, apa sebab dan alasan lelaki itu menghilang. Tak ada yang tahu adalah hal terbaik untuk mencegah tragedi. Kalau boleh menduga aku bisa mengemukakan satu alasan paling masuk akal, lelaki tunangannya menyadari bahwa calon istrinya adalah perempuan yang seringkali bertingkah seperti orang sinting. Tak ada lelaki normal bersedia menikahi perempuan yang tampak seperti orang sinting yang gemar membanting benda benda. Dugaan ini sungguh tak berdasar sekaligus plin plan, mengingat sebelumnya aku juga pernah menduga perempuan itu tampak seperti sinting gara gara ditinggalkan tunangannya sehari sebelum acara pernikahannya. 

Tak jadi masalah besar untuk keseluruhan ceritaku, dugaan sudah selayaknya kalau tidak benar dan sama sekali berbeda dengan kenyataan. Aku merasa mempunyai hak menduga apa saja tentangnya, persis dia merasa bebas membanting semua benda di dapurku.

Ceritanya bisa teramat panjang dan ruwet untuk ukuran seseorang yang bukan siapa siapa seperti dia. Membingungkan sekali kenapa seorang perempuan muda yang tampak seperti sinting bisa memiliki banyak kisah dramatis. Seharusnya hanya orang orang yang dilahirkan untuk terkenal saja yang memiliki kisah kisah unik dan menarik (baca : tragis). Begitulah, kenyataan mahir mengejek logika. Apa gunanya menempuh banyak peristiwa kalau hanya untuk menjadi orang biasa. Apakah layak merancang takdir yang heboh bagi seorang perempuan muda biasa, hanya sebagai aspek psikologi tidak penting yang jadi latar belakang kegemarannya membanting benda benda. Atau mungkin akulah yang justru harus bertanggung jawab tentang dia dan kehidupannya karena akulah yang berniat menceritakan tentangnya.  Setiap orang pasti ingin cerita yang luar biasa.  Bunyi berdenting nyaring dari dapurku mengingatkanku untuk kembali pada ceritaku.

Dia anak bungsu dari lima bersaudara, dua lelaki, tiga perempuan. Dilahirkan di sebuah dusun yang sangat menakjubkan. Sebelum berkunjung ke rumahnya aku selalu terpesona oleh ceritanya. Untuk sampai ke dusunnya harus menempuh perjalanan panjang melewati ladang ladang tandus dan semak belukar. Perjalanan yang berbahaya jika ditempuh setelah matahari terbenam, jalannya curam dan berbatu batu besar, gelap gulita tanpa lampu jalan, yang paling menakutkan tentu saja segerombolan pembegal yang mengintai di balik pepohonan, bersiap merampok siapa saja yang cukup bodoh dan nekad untuk melintas di daerah mereka setelah gelap. Hal lain yang menakjubkan dusun tempat tinggalnya hanya berjarak kurang lebih tiga puluh  puluh kilometer dari dapurku yang aman, terang benderang dan sering gaduh di saat dia sedang mencuci piring. Seolah olah sejauh negeri antah berantah.

Belum usai keherananku segera kudengar ketakjuban berikutnya. Dusunnya sangat kering. Untuk mendapatkan air penghuni dusun harus mengambil dari sebuah sumur teramat dalam. Ditimba dengan galah, bambu paling panjang yang pernah kulihat. Satu satunya sumur air tawar untuk penduduk sedusun.
Perempuan muda itu harus berjalan sejauh hampir dua kilometer untuk menimba air, pulang pergi dari rumahnya ke sumur, paling sedikit sepuluh kali sehari, mengisi gentong air di dapurnya untuk minum dan memasak seisi rumah, dia tak bercerita bagaimana dia dan seisi rumahnya mandi saban hari. Banyak yang lebih penting dari urusan kebersihan badan, misalnya kewajiban memenuhi persediaan air bagi ternak mereka, sapi dan kambing kepunyaan orang orang kaya yang dipelihara orang orang miskin. Kebetulan perempuan muda yang kuceritakan termasuk orang miskin dan dusun itu terkenal sebagai penghasil susu. Sebelum tinggal di rumahku perempuan muda itu memelihara seekor sapi dan beberapa ekor kambing, demi hewan hewan itu dia mesti mondar mandir seharian membawa air, menyabit  dan memikul rumput. Selain semua pekerjaan melelahkan di dusun itu, masih ada urusan lain yang lebih mencengangkan. Aku merasa ceritaku harus lengkap, supaya tak ada yang menduga aku juga sinting membiarkan benda benda di dapurku dibanting beberapa kali sehari.

Walaupun sangat tidak wajar dan terkesan jorok, akan kuceritakan tentang cara perempuan muda itu membuang hajat di dusunnya. Bukan hanya dia, seluruh peghuni dusun akan memanggul cangkul di saat panggilan alam untuk buang air besar tak bisa dielak. Mereka harus berjalan ke tempat sepi yang lumayan jauh letaknya dari kawasan kecil rumah tempat tinggal mereka, menggali tanah kering berpasir, kemudian berjongkok di atas lubang yang baru dibuat untuk menuntaskan hasrat membuang kotoran, setelahnya lubang ditimbun kembali. Aku tak berani bertanya bagaimana cara mereka membasuh pantat. Sebelum mengunjungi rumahnya aku nyaris berpuasa, tak menelan makanan apapun sejak bangun pagi harinya. Mending aku kelaparan dari pada menanggung resiko terpaksa buang air besar dengan cara menggali lubang untuk tempat kotoran. Tanpa bermaksud menghinanya dan segenap penghuni dusun yang menakjubkan, terpikir olehku manusia dan anjing atau kucing bisa sangat mirip suatu ketika di suatu tempat.

Tentang satu hal, dusun itu sungguh menakjubkan dalam arti yang sebenarnya, menakjubkan sesuai standar. Pemandangannya sangat indah. Bukit bukit dan pepohonan, semak belukar tumbuh ranggas di tanah tandusnya, entah bagaimana akar tumbuhan bisa mendapatkan cukup air di sana. Musim hujan adalah berkah besar, penduduk dusun bisa menadah air hujan dan tak perlu berjalan jauh menyabit rumput. Ternak tumbuh lebih sehat dan bahagia di musim hujan. Berbanding terbalik dengan kemudahan membuang hajat manusianya, tanah berlumpr lebih susah dilewati dan digali, berjongkok di atas lumpur juga lebih tidak nyaman. Paling tidak mereka selalu bisa menikmati pemandangan indah sambil buang hajat, yang pasti tidak pernah terjadi di kamar kecilku. Kuakui dengan kecut hati, aku tak tertarik mencoba pengalaman buang hajat sambil menikmati pemandangan indah. Laut terlihat sangat biru, berkilau di celah lekukan bukit bukit kelabu kehijauan. Warna laut biru terang berlapis lapis, dibatasi segaris putih lembut dan samar dengan langit. Jika diamati tampak bergerak pelahan serupa lukisan tertiup semilir angin. Secantik gambar pemandangan latar belakang di atas panggung pada gedung gedung pertunjukan. Menakjubkan.

Kurasa cukup cerita tentang tempat asalnya. Keluarganya tak kalah menakjubkan. Sekali lagi aku punya dugaan kuat seluruh penghuni dusunnya menakjubkan. Tak mungkin kuceritakan semua, keluarganya saja, pasti sudah cukup membuat setiap orang mengerti kenapa suara gaduh di dapurku masih terdengar. Dia mungkin memang perempuan hebat yang kebetulan tidak dikenal.

Ibunya bertubuh kecil, tampak awet muda, gesit dan cekatan, rendah hati, menyenangkan, terlihat pandai dan berkarakter. Sejenis manusia yang selalu mampu melakukan yang terbaik dalam keadaan terburuk. Sosok ibu yang sempurna. Ayahnya sudah lama wafat, konon karena penyakit misterius, tak terobati secara medis. Diduga kuat kematian yang tidak wajar, karena perbuatan orang lain yang tak suka padanya. Bahasa gaulnya di sana biasa dikatakan mati disantet orang. Lagi lagi konon, pelakunya masih saudara dekat. Aku tak berminat bercerita panjang lebar tentang sesuatu yang absurd semacam ilmu hitam dan dendam antar saudara.

Kakak sulungnya, lelaki bermata tegas dan sangat santun ketika bertatap muka denganku. Kakak sulung lelaki selalu mampir saat belanja ke kota atau ikut rombongan pengajian setiap selasa malam. Hingga suatu hari surat kabar lokal memuat berita tentang pembunuhan dengan salah satu cara paling sadis yang pernah kubaca. Korban adalah petinggi di desa sebelah dusun menakjubkan dan masih ada hubungan kerabat jauh dengan perempuan seperti sinting di dapurku. Korban dibunuh setelah dianiaya, pada akhirnya dibakar hidup hidup hingga tewas. Beberapa minggu berselang kakak sulung  lelaki perempuan seperti sinting ditangkap dan ditahan polisi  sebagai salah satu dari empat tersangka pelaku pembunuhan dan penganiayaan.

Proses peradilan pidana yang panjang dan berbelit berlangsung setahun lebih, memutuskan terdakwa si kakak sulung lelaki bersalah dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara ditambah denda dan biaya perkara sekian juta rupiah. Sampai di sini, suara gaduh di dapurku tak terdengar lagi. Mestinya perempuan muda yang seperti sinting itu telah menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring, sehingga tak ada alasan baginya untuk membanting alat masak dan alat makan di dapurku. Dari semula sudah kukatakan perempuan muda itu hanya seperti sinting, tidak benar benar sinting. Wajar saja kalau dia masih membutuhkan alasan untuk membanting benda. Terlepas dari benar tidaknya perbuatannya membanting benda benda yang bukan miliknya dan mencemari pagi dengan suara gaduh, kurasa bukan perbuatannya atau suara bising dari dapurku yang bikin kepalaku pening. 

Tuhan yang maha adil mungkin membaca ceritaku, memang kacau, lebih kejam dari membanting piring sampai pecah berkeping keping. Di dapurku, cuma kucing yang biasanya tanpa sengaja menjatuhkan piring*

Jumat, 14 Oktober 2011

rona


Rasanya tak akan pernah usai, daun daun mematangkan diri di dekap matahari. Mereka berkata itu kering dan mati, kataku,”Dia memerah.”
Menggugurkan derap langkah yang diberati tubuh dan kegigihan arah, dia ingin lembut dan ringan, menyentuh rambutmu. Daun daun juga punya rasa, tak akan usai, seperti kita*

Sabtu, 08 Oktober 2011

segenggam tanganmu


Di tanganmu saja, kuletakkan segenggam yang tak pernah menguap.
Tak ada tanda tanda apapun untuk kautemukan namanya, segenggam tak ingin kaukenal.
Segenggam yang sangat nakal. Segenggam yang kekal.

Kau tak akan membuang segenggam tak berdaya, tak berniat meminta apa apa.
Segenggam yang telah menamatkan alkitab, melumatku tidak dengan api, menghanyutkanku tidak serupa air. Segenggam yang tidak bersarang, tak pernah kenyang.
Segenggam yang bersiul, segenggam yang masygul.

Di tanganmu saja, segenggam yang mirip jantungku, lebih liat, lebih hangat, lebih merah, lebih berdarah*

Kamis, 06 Oktober 2011

perempuan yang selalu datang

Perempuan itu datang setiap kali kubutuhkan. Dia bisa muncul dari mana saja, begitu saja, serupa lalat, semut, kecoa, kelelawar, burung gelatik, elang atau merak. Tiba tiba terbang melintas di atas kepala, kadang kadang hinggap di lengan, pundak atau rambutku. Kadang kadang membuatku menatap kagum, menjerit kaget, bergerak mengibaskan lengan atau menggoyangkan kepala dengan tempo cepat. Lalu diam mengamati setiap geraknya, meniup keras mengusirnya, termenung memandangnya. Satu satunya hal paling masuk akal yang mestinya kukerjakan malah selalu kulewatkan, bertanya siapa dia, dari mana datangnya dan kenapa.

Sama seperti semua orang, aku lebih sering tak menyadari kapan dan apa yang sebenarnya kubutuhkan pada suatu saat. Membuat kehadiran perempuan itu semakin tak bisa kuramalkan.

Sosoknya biasa saja, seperti perempuan kebanyakan, bisa tampil berbeda dengan bermacam macam gaya dan dandanan. Seperti serangga juga, lalat, semut dan kecoa adalah keluarga serangga dengan tampilan berbeda. Atau burung, banyak sekali rupa rupa mahluk termasuk jenis burung. Gelatik, berbeda dengan elang, merak malah lebih unik, ketiganya adalah jenis yang sama, burung. Dan masih ada beribu jenis lainnya serangga dan burung di bumi ini.

Perempuan itu pernah hadir dengan dandanan dan gaya busana penuh warna dari yang norak sampai berkelas. Perempuan hebat, ia bisa menjadi babu sekaligus ningrat tanpa kesulitan. Pernah pula muncul hanya dengan memakai jubah putih pendeta atau hanya mengenakan selembar kain putih lebar melilit tubuhnya, mengingatkanku kepada manusia manusia yang sedang menjalankan ibadah di tanah suci.

Dan aku masih hanya menatapnya atau bereaksi tanpa kata dengannya. Bahasa tubuh saja.

Perempuan itu tampaknya tidak keberatan dengan caraku menanggapi kedatangannya. Kupikir kalau ia tak suka tentu tak akan datang lagi di lain waktu. Perempuan itu ternyata masih kembali datang. Dia juga tak berkata kata, hanya bergerak dan melakukan apa saja seperti lazimnya mahluk mahluk lain sesuai wujudnya.

Lebih detilnya kalau lalat, ia terbang berdengung di dekat mulut dan telinga. Kalau semut ia merambat berputar, berkelok atau lurus seolah tahu arah, sesekali mendekati sebuah benda beraroma manis. Kalau kecoa, ia merayap di dinding atau lantai, terbang sejenak dengan getar sayap yang meninggalkan bau apak. Burung burung juga demikian. Gelatik yang terbang pendek dan ringan dari ranting ke ranting, atau dari kawat ke kawat, dari kabel ke kabel manapun yang menghubungkan tiang apa saja. Sebagai elang ia merentangkan anggun sayapnya lebar lebar, melayang tinggi dari awan ke awan. Merak juga demikian, wajar saja berdiri menegakkan leher tinggi tinggi, menatap dengan mata congkak dambil membuka tutup ekornya memamerkan pola dan warna pada bulu bulunya yang berbentuk kipas besar kepunyaan pemilik istana.

Aku gemar memakai hewan hewan sebagai perumpamaan untuk menghindari kesalah pahaman manusia. Khawatir kalau kukatakan perempuan itu serupa nona atau nyonya ini atau itu akan menyebabkan nona atau nyonya yang kumaksud menjadi tersinggung, lebih buruk lagi mungkin terluka hatinya. Tak baik menyinggung, apalagi melukai hati seorang perempuan lain yang tak tahu apa apa. Perempuan lain yang tak ada kaitannya dengan perempuan itu, yang selalu mendatangiku.

Kurasa tak ada yang bisa kuceritakan lagi tentang perempuan itu. Karena tak ada pertukaran kata di antara aku dengannya. Menceritakan sebuah percakapan mungkin melelahkan, tapi menuliskan keheningan aku tak tahu cara yang peling tepat. Aku hanya ingin segenap penghuni bumi tahu pasti aku tak pernah sendirian. Ada yang bersedia datang menemaniku kapanpun kubutuhkan.

Seseorang yang selalu hadir pada saat dibutuhkan adalah perisai terkuat untuk menangkal kegilaan. Itulah hal terpenting yang harus kuingat dan diingat setiap orang. Sekalipun aku menggunakan wujud hewan ketika mencoba menggambarkan sosoknya, ia tetaplah seorang perempuan yang istimewa. Perempuan yang membuatku percaya bahwa dunia tidak seacuh sangkaanku. Selalu ada yang peduli dan mau memberi apa yang kubutuhkan, kedatangan seorang perempuan hebat di waktu dan tempat yang tepat.

Seandainya suatu ketika aku dan perempuan itu akhirnya bertukar kata mungkin aku akan menyapanya dengan sebutan ibu, bunda, emak, mama, mum, mommy, mother, mutter, madre, atau sebutan lain bermakna sama. Tergantung saat itu perempuan itu dan aku sedang bicara menggunakan bahasa mana. Kubayangkan pasti pembicaraan ringan yang menyenangkan akan mengalir lancar. Aku selalu ingin menanyakan satu hal, entah kenapa, aku asal menebak perempuan itu tahu cara membuat empudang*

Minggu, 02 Oktober 2011

lagu wajib

Melupakan lapar dan dahaga, dibangunnya tugu dan prasasti di tiap persimpangan. Tanah air mengerti ucapan kayu dan besi, terus menggali membuang keruh demi keruh di ceruk waktu.Kau mungkin singgah, sempat menimbang, menebak berapa banyak endapan. Tapi ia terus menggali hingga lubangnya lebih tinggi, melebihi tingginya sendiri. Tidak berniat menjawab siapapun, tidak mendengar keluh, tidak menanam ragu.

Ia menggali. Semua harus lewat sini sebelum tiba di sebuah tempat yang layak dipuja. Kau keras kepala, malah bertanya, bagaimana kalau tak ingin pergi, aku menantinya menggosok mata. Sampai semua lampu padam. Cangkul melupakan kaul suci menyuburkan ladang. Suaranya lirih saat bertanya apakah kami semua sudah mengingat teriakan di hari kelahiran. Tak ada keresahan di sana, tak ada ingatan tentang bunyi detak pertama di dalam dada.Lubang di hati ibu lebar dan samar, menampung setiap serpih tanah, memenangkan setiap kekalahan, menelan lelah, lelah dan lelah sepenuh getar*

Sabtu, 01 Oktober 2011

untuk pemilik tangan, mata dan kata kata


Aku dilahirkan telanjang, tanpa pakaian, tanpa perhiasan, tanpa kecantikan.
Ada berapa pasang mata memandangku dengan rasa membuncah.
Mengulurkan tangan, membersihkan lendir dan darah,
menyelimuti dengan kelembutan dan kehangatan.

Pada hari kematianku kelak, ada tangan lain menelanjangiku,  
membersihkan debu, peluh, segala kotoran yang mungkin melekat menjelang ajal.
Tangan yang memandikan, mengurapi, menutupi ketelanjanganku
dengan wangi dan putih.

Tangan tangan lain menggali tanah, Mengangkat sebujur kaku tubuhku.
Mengantarku ke pelukan bumi. Jernih menggenangi matanya.
Menyusupkan harapan di gumpalan lumpur.
Menaburkan doa di antara kelopak bunga.

Aku tertidur di liang kubur tanpa mengingat satu namapun pemilik tangan dan mata dan kata kata. Mereka terhampar luas di sepanjang jalan, terserak atau terinjak, tak patah
menumbuhkan daun daun kecil di segala ranting*