Kamis, 21 April 2011

satu paragraf

satu paragraf

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 8:37pm
Ini malam minggu kesekian yang kuhabiskan sendiri, santai di dalam kamar. Lampu mouse berkedip riang tiap detik berganti warna. Katanya rembulan di luar sana begitu dekat, terang dan bundar. Kubebaskan pikiranku mengembara jauh, ke tempat asing yang terasa serupa rumah sendiri. Sepi, senyap. Tanganku mengulur begitu saja ke arah sekotak sahabat. Dengan mata masih menerawang kuambil sebatang sigaret, menyelipkannya di sela bibir, menyulutnya dengan pemantik, menghisap dalam aroma hangatnya lalu kuhembuskan kembali keluar lewat hidung. Akhirnya kudapatkan juga sedikit rasa nyaman yang nyata. Hidup hanya persinggahan, sunyi, pengap, nikmat, kemudian semoga berakhir dengan lelap. Sempurna dan sederhana*

tulisan buku

tulisan buku

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 1:31pm
Selama ini kukira aku sudah cukup sabar memberimu pengertian tentang banyak hal. Kau juga pasti sudah tahu bahwa kesabaranpun berbatas adanya. Kuserahkan diriku utuh kepadamu, untuk kaubuka, kausentuh, kauraba, kaubaca, kaulelehi air ludah, kutumpahi isi kepala, kausumpah serapah. Aku pasrah. Kau masih pula membuncah resah, membolakbalik duniaku, entah mencari apa.

Sampai suatu hari ada yang mengerti artinya tak dicintai sepenuh hati. Kami berjumpa tak sengaja di sebuah sudut remang dalam ruang yang dindingnya tak ditempeli pertanda. Aku merasa senasib dengannya, dia menawarkan rencana bagus untuk membuatmu menjadi lebih peka. Bukan balas dendam yang kejam, hanya sebuah kejutan, semoga bisa membuatmu sejenak melupakan bahwa bukan hanya kau yang berakal. Bahwa dia dan aku juga ingin menjadi sesuatu yang lebih  daripada hanya si dungu yang dipuja dan selalu dibawabawa kutu buku.

Tibalah hari yang kita tunggutunggu, hari yang tak ingin mengingat dirinya sendiri, hari yang membenci cuaca, liburan dan acara berita. Dia melubangi tubuhku, mengeluarkan setiap katakata bijak dan sabar yang biasa kusimpan untukmu. Lalu memasukkan bendabenda asing ke dalam tubuhku sebagai pengganti segala yang dikeluarkannya dari tubuhku. Aku merasa lebih hidup, ada yang berdetak dalam diriku, seperti menghitung waktu, mengingatkanku pada sesuatu yang selama ini akrab kudengar : bunyi dari dalam dadamu yang menulikanku ketika kau tertidur dan membiarkan aku terkulai menunggumu.

Sesudah menjahit lubangku, dia membungkusku dengan rapi, mengantarku padamu.

Aku kembali menunggu sampai kau membuka pembungkusku. Ternyata kau cukup waspada, tak sepayah sangkaanku. Kau bisa tahu ada yang berbeda denganku, tak seperti biasa adanya aku.

Segalanya berlalu terlalu cepat dan samar, terlalu banyak wajah, tangan dan suarasuara di sekelilingku, air mengalir deras. Aku basah kuyup, detak dalam tubuhku semakin riuh. Tibatiba, duarr... Aku meledak, pecah berkepingkeping, sepertinya bersama sepasang tangan. Begitu banyak asap dan cahaya. Lalu segalanya terasa begitu kecil dan berkilau, melumat serpihan tubuhku. Rintihan kesakitan, ketakutan dan kemarahanmu lagi tak bisa kudengar, hanya bisa kubaca gerak bibirmu saja, yang tak juga berhenti, apakah di antara kita ada yang mati.

Ketika kau atau seseorang membaca ini, mestinya aku sudah tak ada lagi, dan kau sudah mengerti macam apa rasanya tak dicintai. Sedangkan dia, di manapun dia berada, aku ingin menyampaikan terima kasih, kini semua orang menyebut namaku dengan rasa segan dan khidmat. Aku merasa sama perkasa dengan malaikat pencabut nyawa, samasama tak terduga dan tak ingin kaubaca*

kopi pagi

kopi pagi

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 8:34am
Sepagi ini kudengar teriakanteriakan lagi, gaduh, mesin cuci tua berderak, mengocehkan busa, harum menggenangi lantai kamar mandi.  Kudengar denyutdenyut luka mencoba meredam dendam. Kita petaruh yang menang, serupa senar patah di tengah nada, menang dari kehendak bicara. Diam dalam gelas, tenang, hitam.

Bertaruh sekali lagi di pembuluh darah, siapa berkuasa memilih loronglorong yang harus dilalui kereta jenasah, hanya untuk tiba di sebuah tempat di mana tak ada lagi debat, tak ada cacat, tak ada teman atau kerabat. Masingmasing mendiami liang sempit, segelap saat datang, sehangat waktu pulang. Kutinggalkan selembar senyuman di dasar gelas, mengendap manis ketika hitam kausesap habis*

pesta kebun

pesta kebun

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 4:26am
Menemukanku di matamu adalah awal mula dunia. Mencoba memahami retak tanah, celoteh tiang lampu. Udara bergetar mendengar tawa anakanak sepulang sekolah, menendang bola dunia dengan sepatu berlubang. Langit menundukkan kepala, meminjam warna samudra, menggambar bajubaju lucu penghibur pesta.

Balonbalon tumbuh dari rumput, aneka warna, selamat ulang tahun dinyanyikan kepada setiap nama yang muncul bergantian di layar kaca. Marilah memanjangkan usia, sepanjang leher jerapah, naga atau ular tangga. Dadu berputar sangat keras hingga pudar titiktitiknya, tinggal kubus putih. Hingga badutbadut menyulapnya jadi merpati*

catatan embun

catatan embun

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 3:40am
Kupetik mimpi dari tidurmu, kemudian
berlari mendahului putaran bumi. Sebelum
fajar benderang  harus kutemui matahari,
hendak kutukar mimpimu dengan segenap pagiku* 

di tepi surga

di tepi surga

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 3:20am
Langit, langit bangkitkan malam dari reruntuhan. Menggandeng keraguan lampu menyusuri loronglorong kota dengan nyala matanya. Kuning dan redup, purnama begitu dekat, seakanakan bisa kusentuh, atau kutusuk dengan sebatang ilalang.

Jiwa, jiwa berjalan sendirian meninggalkan rebahnya dada, tumbang bersama badai yang baru singgah. Kini tinggal reda, serupa jeda. Mencoba menduga sampai ujung mana kesesatan mengantar resah, sampai malam ke berapa kau dan aku mengitari tata surya.

Kutunggu kau mengetuk tanah, biar kita bercengkrama lagi tentang manis kehidupan, masih tersisa serpihannya di celah gigi, meronta dari genggaman basah lumpur. Harum gunung berhamburan membangunkan ingatan tentang perang, saatsaat paling dekat, terikat kecintaan pada rumah, pada udara merah jambu di bawah hidungmu*

cerita cinta

cerita cinta

by Dian Aza on Friday, March 18, 2011 at 2:28pm
Ketika mencintaimu, kepalaku terasa terlalu kecil untuk menyimpan setiap kisah. Fajar, siang, senja dan malam jadi terlalu banyak bicara, lubang telingaku mengecil sebelah, seolah tak cukup mendengar, lebih sering melewatkan suarasuara. Tapi kau tak lelah, tak berhenti barang sejenak mengirimkan pesan. Lewat angin, ranting, matahari, awan, hujan, atau derit di pintu, juga denting sebutir koin yang jatuh, bahkan lewat detak jantungku sendiri.

Aku yakin pernah melihat kunangkunang, berpendar hijau kekuningan, tak bisa kuingat kapan atau di mana, aku hanya yakin pernah melihat. Mungkin kunangkunang datang setiap malam hingga tak bisa kuingat jelas satu persatu kehadirannya. Seperti bintangbintang, seperti embun, seperti pelangi, setia datang dan pergi dalam sebuah ruang dalam kepala, yang tak kutahu namanya. Mungkin hanya jejaknya di wajahku yang kauusap lembut. Mungkin hanya gemanya terasa bergetar hangat di lenganku yang terangkat ke angkasa.

Ketika mencintaimu, aku mulai menuliskan sesuatu yang sama selalu. Sesuatu yang kupeluk di tempat yang jauh, sesuatu yang mendekap tidurku. Sebuah catatan tak pernah tamat tentang perjalanan tanpa awal, tanpa tujuan. Langkahlangkah teramat ringan menapak, terlalu samar hingga tak mengusirdebu di tanah, tak mengganggu batubatu, tak meremukkan daun atau kelopak bunga yang terjatuh. Tak satupun kuingat berlalu, selain aliran darah dalam tubuhku.

Aku merasa selalu ada di mana kau ada. Melihat segala yang tak nampak di mata. Memandang awan berkejaran di bukitbukit hijau. Pohonpohon menari di langit biru. Matahari mengulurkan banyak lengannya menyentuh setiap atap rumah. Sungai mengalir dari mata air, membasahi telapak tangan, menjernihkan mata kaki, dingin menginjak jalanan beku memutih.

Ketika mencintaimu, aku menjadi petualang, mengunjungi tempattempat paling ajaib dalam tubuhku sendiri. Mencatat, berjalan, meloncat, berlari, menari, meraih dan menyentuh ruparupa benda dan mahluk ramah, semuanya mahir bercerita*

sajak arak

sajak arak

by Dian Aza on Thursday, March 17, 2011 at 9:47pm
Lidahku api, tak letih menari di jalanan kota. Tembok dan pagar menepi, takut kulumat jadi kerak. Jarijariku gergaji mematahkan sungai dan pohonpohon, jadi samudra dan sampan. Kakiku mendayung tanpa henti, menjauhkan kedua kutub bumi. Kalau aku mati tubuhku baru jadi tanah, tempatmu menyandarkan langkah.

Hahaha, kudengar seekor kadal tertawa sambil menyatukan kembali ekornya yang baru dipatahkannya sendiri, ketika berlari ketakutan dikejar anak kucingku yang belum bisa membaca.

Kuperintahkan sebatang sapu mengejar kadal sampai ke kolong meja. Lidahku masih api, jarijariku gergaji*

lubang hitam

lubang hitam

by Dian Aza on Thursday, March 17, 2011 at 9:10pm
Dunia hanya satu diciptakan untukku. Mata pena lahir, tumbuh, berlarilari, meliukliukkan tubuh pada selembar kertas. Sunyi tak perlu bunyi untuk menyanyikan semua nada, hingga peniup harmonica meniupkan udara pada sekeping logam. Katakata berguguran dari langit, atau tumbuh dari tanah, bayangbayang diamdiam terbang keliling ruang.

Sementara mataku terpejam, seseorang datang diamdiam dari bayangbayang, mempertemukan tinta dan kertas, mereka saling jatuh cinta. Aku terjaga dari lamunan oleh suarasuara yang memanggilku. “Ibu, ibu bacalah anakanakmu.” Tak ada angin mengantar masa depan, tak ada pintu menutup masa lalu. Suara anakanak yang memanggilku ibu sedang tidur lelap, bermimpi di rahim waktu*

mulut gelas

mulut gelas

by Dian Aza on Thursday, March 17, 2011 at 8:17pm
Ingin kuajak senja berbagi pertemuan di warung pojokan. Kopi hitam, aroma manis minyak di penggorengan, cabe tiduran di piring logam. Semua seperti menunggu seseorang yang biasa datang membawa cerita. Kebetulan bibirnya berwarna indah, kebanyakan kisah, mungkin pula kebanyakan gula.

Kutunggu dia yang bibirnya merekah, paham banyak jalan dan tikungan, aku bahkan tak punya kaki, tak punya tangan. Bisakah kau percaya, aku menunggu sinar lampu untuk segala warnawarni bibir, putih, merah, merah jambu, abuabu, ungu, hitam, serupa dadaku.  Sedang bibirku tak punya warna, menyurut dalam nafasmu.

Dan kau bisa menambahkan rasa sesukamu, pahit manis sesuai seleramu, aku hanya senang ketika kita bersentuhan sejenak di sela percakapan*

rahasia bunga

rahasia bunga

by Dian Aza on Thursday, March 17, 2011 at 8:04pm
Sesungguhnya sekuntum bunga tidak peduli
tentang cintaku padamu, atau cintamu padanya,
atau cintanya padaku.
Bunga hanya ingin mendengar semua bibir berkata,
wangi, setelah hidung mengendus bangkainya, sebelum
dicampakkan tangan ke tempat sampah, di sana
semutsemut tak berhenti bekerja, mengumpulkan makanan
untuk telurtelur di sarang*

ketika uburubur menari

ketika uburubur menari

by Dian Aza on Thursday, March 17, 2011 at 4:59pm
Petir, halilintar, kilat, manakah yang kaudengar sebagai bentakan ?
Atau keangkuhan ?
Pun retak tanah, raung laut, gemuruh gunung, semerdu nyanyian pipit kecil di telinga langit.
Awan bermoncong serigala, bertelinga kelelawar, berbulu domba, mengejarku, mengayunkan kipas ajaib, memutar arah, membalik tujuan, lampion biru berjatuhan.
Aku melihatmu berdiri di permukaan laut, terbang, cantik dan jernih di atas gelombang. Kau seharusnya menyengat kakiku segera sesudah kita menari.
Tak ada keajaiban lebih dari sekali, kecuali aku percaya sayapsayapmu tak akan membunuhku*

hari libur

hari libur

by Dian Aza on Thursday, March 17, 2011 at 1:05am
Berteriak kepada laut, ikanikan badut mengajakku tertawa keras, sebentar. Seperti mata belajar menjatuhkan air dari mendung. Biru akan kembali biru, putih akan kembali putih, seperti seragam sekolah yang dicuci ibu.

Buku selalu menulis kisahkisah baru. Dari jauh samarsamar guruh menderu, jangan lari, kita akan abadi di pantai, mencari kulit kerang yang mahir menghapus ingatan, pasir yang menelan air. Lumpur akan kering, jatuh, seperti seragam sekolah yang dicuci ibu. Anakanak tersenyum, tangannya melambailambai hangat digenggam cahaya*

neracaku

neracaku

by Dian Aza on Wednesday, March 16, 2011 at 11:58pm
Aku berhutang pada matahari, ketika kau memandangku di pagi hari.
Aku berhutang pada bulan dan bintangbintang, ketika kau mengingatku di gelapnya malam.
Aku berhutang pada angin dan bungabunga, ketika kauhirup wangi udara.
Aku berhutang pada kata, ketika kau tuliskan sajak.
Aku berhutang pada cinta, ketika senyummu tenggelam di mataku.
Aku berhutang kepada waktu, untuk setiap detak jantungmu.
Aku berhutang kepada tanah, untuk setiap jejak langkahmu.
Aku berhutang kepada surga, untuk setiap saat kau ada.

Biar kuhabiskan seluruh milikku untuk membayar semua tentangmu*

satu tubuh

satu tubuh

by Dian Aza on Wednesday, March 16, 2011 at 4:34pm
Dari balik kaca sesosok manekin cantik menatapku, dengan mataku sendiri. Kupandangi baju dan sepatunya sambil berharap,"Semoga kelak bisa jadi milikku."

Manekin cantik menggerakkan bibirnya dan berkata,"Bolehkah kita bertukar tubuh."

Aku mengerjapkan mata tak percaya,"Kau mau baju lusuh dan sandal jepitku."

Manekin cantik mencoba menggelengkan kepalanya dengan siasia, suaranya lirih, merdu bebisik,"Aku ingin tubuhmu, kau ingin bajuku. Betapa lucu."

Tibatiba, aku dan menekin cantik tertawa bersama, akhirnya kami berpelukan, meski dinding kaca masih tegak menjadi penghalang antara tubuh dan kakiku, dengan baju dan sepatunya*

kata anak lebah

kata anak lebah

by Dian Aza on Wednesday, March 16, 2011 at 2:24pm
Ibuku telur, pecah ketika melahirkan aku, pecah
agar aku keluar darinya untuk melihat cahaya.
Siapa bilang aku tak punya ibu, memangnya siapa mengajariku
terbang kalau bukan ibuku.
Bahkan burung murai yang kicaunya paling merdu mengaku
keturunan batu.
Wahai bungabunga, kalian harus percaya semua punya ibu,
setidaknya pernah punya ibu di suatu tempat,
di putaran waktu*

naga terbang

naga terbang

by Dian Aza on Wednesday, March 16, 2011 at 1:07pm
Seekor capung besar berwarna merah terbang di bebatuan. Sesekali ekornya menyentuh tanah seolah ingin meninggalkan jejak. Aku berlari mengikuti seperti bayangan mengejar kaki, dia tak terbang meninggi. Bisa kutangkap, kalau saja aku tak cemas dia sedang berlari menjauh dariku.

Aku cuma perempuan, tak ingin menakutnakuti miniatur legenda*

maktub

maktub

by Dian Aza on Tuesday, March 15, 2011 at 5:40pm
Kurasa cukup banyak sudah aku bicara, tentang semua yang ingin kukatakan padamu, seperti kebisuan pasar, keheningan angin, ketaatan kayu,  segunung sampah yang jenuh pada aroma tubuhku. Sudah berlebihan pula aku menggertak yang lewat, tapi kamu, kamu dan kamu masih juga tak acuh.

Hari ini, akhirnya kudapatkan septong kue megah. Menyebalkan, tak bisa di makan, hanya gulagula bunga dengan warna pudar membungkus sebongkah gabus, tak utuh, tak bagus, seikat mawar ada di sana, lilin patah, sumbunya terkulai, hitam, lelah, lapar menunggu api.

Seorang lelaki memberiku sekotak korek api ketika kudekati sambil  melotot dan menunjuk tangannya, kukuku tajam menakutkan.

Aku duduk bersila, tiangtiang dan pintu kayu menatapku, gunung sampah gelisah, lalat mendengung bingung, tapi kamu, kamu, dan kamu masih berjalan tenang, dari dan menuju arah berlawanan. Kamu, kamu dan kamu tak menoleh padaku, seolah aku tak ada di sana, seakanakan tak ada yang pernah berpapasan jalan dengan kelalaian. Tenang, tenang, kenang, kenang, dalam ingatanmu aku takkan pernah hilang.

Kamu, kamu dan kamu yang tak hilang ingatan tahu cara memaafkan. Aku tak bersalah, hanya karena menyalakan api sebesar pasar. Telah kulakukan tugasku dengan baik, purapura tak berakal untuk membakar pasar yang harus dibongkar. Tak ada yang tahu hari ini kebetulan hari ulang tahun ayahku. Hari paling tepat untuk berpesta.

Dari lidah api katakatamu mengalir jernih*

pesan patahan pisau

pesan patahan pisau

by Dian Aza on Tuesday, March 15, 2011 at 11:30am
Kupahat namamu di atas batu, yang tak bisa membaca,
tak bisa berkatakata, tak mengeluhkan luka, tak mengalirkan darah,
tak membesarbesarkan perkara.

Jika kaubaca, semoga tak membuatmu merasa bersalah*

boneka jerami dan petani

boneka jerami dan petani

by Dian Aza on Tuesday, March 15, 2011 at 7:49am
Suatu hari ketika terjaga dari mimpi,
kutemukan kedua matamu masih terpejam,
tubuhmu belum beranjak dari bawah pohon asam.
Secepatnya kuhapus ingatanku tentang nama
nama nabi dan ayatayat kitab suci. Tak peduli
mereka memanggil dan memohon berulangkali
padaku untuk kembali. Entah bagaimana,
aku merasa kita telah sangat tersesat, tak sengaja
tiba di surga yang berdosa,
surga yang dilempar ke tengah sawah*

sekolah pohon

sekolah pohon

by Dian Aza on Monday, March 14, 2011 at 3:53pm
Embun hanya singgah sebentar, agar aku belajar mencintai malam.

Tapi aku adalah daun yang selalu lapar, hanya cahaya matahari yang bisa memasakkan makanan, agar aku tumbuh segar dan lebar. Aku tak ingin malam singgah lama, dini hari segera berlalu, matahari cepat tinggi dan hangat.

Mungkinkah bintangbintang sedih dan terluka mendengar kupinta siang cepat datang. Bintangbintang mungkin menangis, meluruh, jatuh, butirbutirnya berkilau di sekujur tubuhku. Serupa selimut sejuk, menyentuh lembut. Aku tertidur.

Hari telah terang sempurna saat aku terjaga. Tak ada bintangbintang, pun tak ada butirbutir berkilau jernih di tubuhku. Hilang semua, tanpa jejak. Aku mencium bau bahan makanan yang dikirimkan akar lewat batang dan ranting. Tangantangan matahari tangkas memasak. Dalam sekejap terhidang makanan, kulahap sampai kenyang dan puas.

Kembali aku terlena, diayun semilir angin, kutatap angkasa, Seandainya bintangbintang ada di sana sekarang, seandainya langit menjatuhkan butirbutir jernih sekarang, betapa senangnya.

Mungkin kali ini awan yang mendengar keluhanku, wajah putih cerahnya segera berubah kusut dan kelabu. Langit sekan tersedu dengan suara keras, kemudian  butirbutir bening berjatuhan deras, teramat deras. Harus kupegang ranting eraterat agar aku tak terseret ikut luruh ke tanah. Butirbutir jernih terus berjatuhan, besar, deras dan lama. Aku meringkuk sambil terus mencengkeram ranting eraterat. Butirbutir jernih ini terlalu besar untukku, terlalu kencang hempasannya pada tubuhku, aku merasa seruanku tak terdengar ditelan gemuruh cairan yang jatuh.

Tepat ketika aku merasa sangat lelah berpegang, nyaris putus asa melepaskan ranting, segalanya berhenti, butirbutir bening tak lagi deras jatuhnya. Reda. Langit tenang. Tubuhku terkulai basah, seperti layu.

Angin berhembus, dan aku mulai kembali merasa lapar. Tapi matahari sudah tak hangat lagi, hampir rebah di cakrawala. Sebentar lagi gelap.

Aku berdebar menantikan bintangbintang mendatangi langit. Aku takut telah kubuat semua bintang menangis atau meleleh sampai habis kemarin malam dengan katakataku. Aku begitu kuyu saat ini, cemas, lapar dan sangat berharap tak lagi melakukan kesalahan*

pelangi di kamar mandi

pelangi di kamar mandi

by Dian Aza on Monday, March 14, 2011 at 2:05pm
Ketika pertama kita menemukan lengkung pelangi di kamar mandi,
tanganmu sibuk menunjuk hingga tak sengaja menusuk mataku.

Ketika mataku merah, perih dan berair, kau menatapku iba
dan berkata,”Padahal gelembung sabun tak punya sudut.”

jatuh cinta

jatuh cinta

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 3:20pm
Bahkan langit tak sanggup menghapus pelangi

ketika hujan terlanjur reda sebelum gelap.

Kau berdiri basah kuyup, aku tertawa memandang

sepasang payung terlipat di bawah bangku taman

berhimpit rapat di sela rerumputan*

balas jasa

balas jasa

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 2:33pm
Hanya dengan katakata aku bisa congkak

mendongakkan kepala

memerangkap keheningan dalam mata

agar tak tumpah membasahi sajak*

kabar gembira

kabar gembira

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 2:24pm
Air api memanggil siang dalam ombak, singgahlah ke dalam gelas, ada bibir menggigil merindu serpihan kertas dari bukubuku tua. Sebelum digelapkan malam yang masih panjang di kedaikedai arak. Di balik tirai sembunyi banyak bulan berbeda pada masingmasing jendela. Mata anakanak bersinar mendengarkan dongeng pengantar tidurnya, ke mana doa terarah hanya soal langkah. Tak pernah menjadi penting setiap garis bilangan, sebelum terbagi titik bertanda angka.

Kanan tak selalu bertambah, kiri tak akan habis. Yang mabuk mestinya tak bisa berhitung. Seperti ayam, babi , sapi dan burung onta, berjalan mondarmandir mengunyah rumput, sedang jariku sibuk menunjuk gambar sumur. Seperti itu pula hidup mesti berlangsung, memungut telur, daging, susu dan bulu ekor, sederhana, penuh berkah.

Mata biar terus merah, terus mengalirkan hangat untuk kalimatkalimat dahaga dalam segelas rasa muak. Kau mahir mengarak resah dalam tawa gelisah. Biar saja anakanak kita tak punya arah, tak usah mencari surga, neraka tak suka orangorang buta, tak pandai memilah emas dan kertas. Tapi ujung jari selalu bisa menyentuh setitik embun, tertinggal di batu karang, jembatan, atap gudang, pecahan kaca, roda sepeda, rumputrumput, terlindung selimut pinjaman kaum tuna wisma, jika sempat tertidur di tepi jalan saat ombak kiriman arak menerjang puncak kepala*

paradoks siang

paradoks siang

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 1:06pm
Agar senja rebah di setumpuk surat yang belum kaubaca, aku tekun menjahit jariku dengan jarum arloji hadiahmu. Titiktitik merah jatuh memecah kaca, membebaskan waktu dari lenganmu. Kau masih tekun bermimpi, kudengar kau berkata dalam tidurmu,”Tak akan pernah kubiarkan kau menunggu.”

Aku memohon lembah menjaga fajar jangan dulu terjaga, ketika kau masih memahat senja pada sebutir bola mata*

kabar angin

kabar angin

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 12:45pm
Lembah adalah setumpuk resah

menggali tanah basah

cekung dan dalam, menanti

kembali air kepada tanah

menjadi mata  yang tak lelah

menampung luka*

benih mimpi

benih mimpi

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 11:52am
Hujan menangkar dingin di pundakmu, kupetik satusatu, kutanam kembali di dada bumi. Kelak pohon tumbuh tinggi meneduhkan terik hari. Dan lolongan angin menjadi pengingat hangat yang kautinggalkan di musim tak bernama, milik kita*

catatan kaki

catatan kaki

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 11:47am
Di tikungan jalan kita saling menyapa, samasama menjadi pintu atau arah bagi hujan menemukan rumah.  Lalu kita berpisah arah, menyembunyikan wajah berkilau basah. Serupa genangan di lubang jalan berbeda, berhasrat menerbitkan pelangi untuk banyak mata kaki, dengan warna biru, ungu, hitam dari gigil dan beku waktu yang tak tentu*

riwayat sayap

riwayat sayap

by Dian Aza on Sunday, March 13, 2011 at 12:40am
Aku bukan anak siapasiapa, hanya jejak langkah yang ingin ditinggalkan para peziarah di gerbang surga. Batu yang bisa menangis tertusuk debu, embun keras kepala di tangkai bunga, aku berpegang. Mematahkan sejengkal demi sejengkal waktu di leher ulat yang tak bersekat.

Bunda bilang aku bukan anak siapasiapa ketika ayah mulai menguburkan kepalanya dalam jambangan bunga*

pusaran lapar

pusaran lapar

by Dian Aza on Thursday, March 10, 2011 at 9:19pm

Ya tuhan, lelehkan kursiku, mencair, menjadi laut berkadar garam paling tinggi, mereka menamainya laut mati, di riaknya aku bisa mengapung, bersenandung sambil  mencoretcoret kabut. Maukah kautiriskan juga gumpal awan, hingga kering, setipis kertas untukku menggambar.

Kuasah tajam ujung rambutku menusuk telunjuk, biar mengalir merah sekental amarah. Kugambar paruh angsa, terbang di selembar putih, menuju matahari, terbenam di mataku yang tak peduli.

Setelahnya kau boleh mengirimkan panas paling menyengat, menguapkan setiap butir air, tinggal tubuhku bersama setumpuk kristal gurih, mengawetkan mimpi ikan tentang penggorengan. Menjadi santapan bibirbibir pucat sehabis menyerahkan warnanya pada paruh angsa.

Ah tuhan, kau boleh tertawa, betapa muluk doaku, cuma demi sepotong ikan peda di meja makan yang pernah kulalaikan ketika aku terlalu sibuk bermain kata, atas nama cinta*

di jalan awan

di jalan awan

by Dian Aza on Monday, March 7, 2011 at 9:58pm
Angin berwarna warni kulihat dalam matamu yang pelangi. Jemariku beku, jangan salahkan aku jika tak bisa tuliskan namamu. Tapi kutahu kau mengerti di udara nafasku melukismu tanpa henti. Hujan atau badai cuma mendekap. Kau melaju menembus jantungku, tak hendak kujahit lubanglubang jejakmu*

sepetak saja

sepetak saja

Sunday, March 6, 2011 at 2:50am

Musim telah genap menanam penglihatan dalam liang jiwa. Kelak bersemi tunastunas buta bermata logam, mulia membaca jaman. Kita yang menanam boleh tersenyum, dalam kepekatan malam. Bulan bintang, bulan bintang memandang ladangladang di dada kita bersinar.

Semoga anakanak kita kelak menuai sajak tanpa jejak luka di bukubuku tangannya. Ya, ini doa, doa perempuan yang mengatupkan lumpur dan jalanjalan berlubang di telapak tangannya. Kotoran ternak di tungkainya mengeras menjaga lutut dari tetesan airmata ketika keningnya rindu menyentuh bumi, rindu berbagi mimpi dini hari.

Musim semi tak akan lama, esok pagi singgah, malam berkelana menziarahi lembah, tanah merah, daundaun keemasan, biarkan malam melupakan dendam dengan sederhana*