Kamis, 30 Desember 2010

hipokrit

Malam ini aku tak tahu mesti menulis apa. Mungkin karena aku telah membaca terlalu banyak. Uap kopi sudah terbang meninggalkan ruang. Meninggalkanku. Laron beterbangan pada langitlangit, tak cemas sayapnya hendak patah. Dan sayapsayap patah dengan seenaknya berjatuhan ke dalam gelas kopi. Berenangrenang pada laut hitam, aku teringat punggung ikan terbang. Makin menjauhi jejakmu, mungkin tanpa sadar aku belajar dari laron, bagaimana cara punggungnya melupakan sayap begitu cepat. Terbang berkitar, mendekati cahaya, mengepakkan sayap dengan buruburu, seakan takut sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan itu memang terjadi, sayapsayap itu selalu patah, berjatuhan pada lantai, pada perabotan, bahkan pada gelas kopi. Dan tubuh laron akan kembali seperti sediakala, rayap. Sungguh mengherankan memang, bahwa segala yang bisa terbang selalu dianggap lebih mulia ketimbang yang berjalan. Laron telah kembali rayap ketika sayapnya patah, berjalan hilir mudik di lantai, tak akan bertahan, selalu ada alasan untuk cepatcepat mengakhiri yang tak sempuna, yang patah.

Bertapa, berjalan, terbang, menuju cahaya, patah, merayap, lepas.  Akhirnya aku toh menuliskanmu lagi. Menjadi tak mengerti lagi. Kau selalu sangat menawan, juga teramat kejam, membuatku menulis apa yang tak kupahami. Laronlaron terus terbang, bermunculan dari celah kayu. Langitlangit dan lampu riuh. Ikan terbang berloncatan dalam gelas kopi. Seekor domba keluar dari sebuah gambar di dinding kamar, mendekatiku, menengok layar komputerku, lalu nyengir dan berkata,” Hanya ini ?”
Aku merasa ngeri, dan bertanya,”Kau bisa membaca ?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar