Kamis, 30 Desember 2010

opera bahasa asing

Bukubuku ingin  membakar dirinya sendiri ketiika aku tak lagi bisa mengunjungi perpustakaan. Itu hanya sepanggal paragrap yang terjatuh dari hujan dan cuaca yang hampir dilupakan. Seperti malam ini, sejak sore hujan berjatuhan ke seluruh kota, menimpa atapatap rumah, menciptakan nadanada yang sahut menyahut tanpa henti. Aku sedang berada dalam sebuah gedung, duduk di sudut terbaik, di sampingmu, diterangi cahaya paling pilu, menonton manusiamanusia bernyanyi, bersahutan seperti hujan dan katak. Kau serasa begitu dekat, di dalam pekat, atau tepat di tengahtengah antara aku dan hujan,menerjemahkan setiap bunyi dan syair yang berjatuhan dari langit.

Adakah cinta, adakah cinta melambailambai pada lengan perempuan bergaun biru, sesungguhnya perempuan itu adalah biru yang sebenarbenarnya, aku melihat langit di balik atap gedung memutih, menjadi lantai pualam ketika perempuan itu mulai bernyanyi. Menelanjangi langit.

Airmata siapa yang tumpah, menjadi segenap hujan, tajam menusuknusuk jalanan. Aku menginjak setiap genangan, meninggalkan sekeping demi sekeping wajahmu. Tapi wajahmu tak habishabis, membuat jalanan berlubang, menjadi ceruk, menjadi laut, menjadi palung. Aku ingin bertanya, siapa yang mengajariku tenggelam, siapa yang mengajariku tenggelam, lebih dalam, makin dalam. Apakah kau, hujan atau tikaman ?

Lalu ada sejenak jeda, tirai diturunkan, menyembunyikan petir yang meragukan dirinya sendiri. kau mendekatkan wajahmu, mencari sisasisa kesedihan di rambutku. Tak akan kautemukan apaapa, selain harum musim semi, beberapa ulat bulu sedang melahap daundaun mawar. Giginya gemeretak. Jangan gelisah, tirainya pasti kembali terbuka, perempuan bergaun biru akan kembali mewarnai langit dan bernyanyi lagi, sambil memutar tubuhnya ke segala arah. Menyampaikan pesan untuk mata angin. Jangan lupakan langit pucat yang pernah membisikkan rindu di sekujur tubuhmu. Aku tak ingin tahu sedalam apa aku mau tenggelam, biar saja ikan lentera yang menghitung dalamnya palung, aku terlalu ngilu, terlalu banyak mengingatmu.

Tirai akhirnya terbuka kembali, merah marun itu menepi untuk perempuan bergaun biru yang akan kembali menyanyi. Hujan semakin megah kudengar. Perempuan langit kembali bernyanyi, dengan nada tinggi, lebih tinggi, melampaui pilarpilar, melewati tanggatangga berputar, tertahan di atap gedung. Ternyata masih bisa lebih tinggi lagi, nadanada menjelma sapi jantan bersayap, tanduknya panjang, kokoh menerjang atap, Hujan menerobos, seperti pasukan perang, menghujani perempuan bergaun biru dengan ribuan panah dan tombak. Aku berpegang erat pada lenganmu, kau terbelalak menatap rambutku, saat itu aku belum tahu kalau rambutku telah ditumbuhi hutan mawar, kupukupu beterbangan dengan sayapsayap basah, warnanya jadi lebih bersinar.

Musim semi adalah saat terindah untuk mati, tangantangan petir menangkap tubuh perempuan langit. Musik menjeritjerit, meneriakkan namamu, nama laut dan palung, nama para pemain biola dan piano, nama kupukupu. Namamu menjadi hantu, menjadi bayangbayang tubuhku. Aku menyerahkan hutan mawar kepada hujan. Aku melihat ribuah jarum turun dari hutan mawar. Menyuntikkan racun paling bisa ke dalam jantungku. Kau menarikku, memasuki bayangmu, kaurengkuh erat, aku sekarat dalam bisikkanmu, ini akan jadi syair paling indah. Syair tentang ciuman yang mengawali kutukan, kau mengecupku, menghirup massa tubuhku, pelanpelan hingga tak bersisa. Udara menjadi hampa. Perempuan itu masih bernyanyi, tak peduli telah memutih, menjadi serpihan syair yang bisa terbang. Kepada langit syair bertanya, akan punah dengan apa kutukan yang lahir dari ciuman di ujung nyawa. Langit tersipu, mengenakan kembali warna biru. Perempuan masih bernyanyi, dengan suara lebih jernih

Musim semi segera berbunga, aku tanah yang bahagia. Abu bukubuku bertaburan di bibirku, tanpa henti membaca tikasmu. Kutukan yang sempurna, hujan akan datang lagi, tanpa rasa perih, kau selalu akan memetik mawar dari rambutku. Langit biru membuai lelaki petirnya, tertidur pulas. Gemuruh tepuk tangan tak akan mengusik siapasiapa. Di luar hujan belum juga reda*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar