Rabu, 30 November 2011

polaroid

Aku mencintaimu, satu satunya yang membutakan mataku dari warna kelabu.

Hidup menjadi tak sempurna, kurang satu warna. Hitam putih selalu terpisah. Tapi aku mencintaimu bukan karena kau satu satunya yang membutakan mataku, yang membuatku rindu mengaduk hitam putih.

Bintang bintang tak pernah larut di langit malam. Tersebar, berserakan, berhamburan. Aku mencintaimu tanpa kesempurnaan, sembarangan, sekacau letak bintang bintang. Tak kuhiraukan bila berjatuhan atau bergantungan. 

Kau satu satunya yang membutakan mata, membuatku riang memandang kecemburuan segenap terang*

menghias angkasa


Aku ingin menggambar lagi balon aneka warna di genggam tangan masa kecil yang tak penah pecah. Mereka hanya terbang teramat tinggi, teramat jauh, ke tempat di mana matahari dengan senang hati menggembirakan tangan tangan kecil, hinggap di atas selembar kertas, menjadi dataran bulat berwarna kuning dengan tangkai cahaya menjulur ke semua arah*  

ketika


Seringkali keindahan sembunyi terlalu pelik, entah di mana. Jemariku tak merabanya, mataku tak menatapnya, gambarku tak melukisnya. Keindahan tak terjamah menemaniku melangkah tanpa bunyi, tanpa warna, tanpa kata. Saat paling tepat untuk berharap kau tersenyum tanpa alasan, ketika keindahan tak menampakkan diri di manapun aku berdiri sendiri*

Rabu, 23 November 2011

wahyu

Kulihat kau menciptakan pinguin, juga angin.
Burung hitam putih bersayap mubazir.
Kasat mata yang menyapu bibir.

Kaubuat segumpal kelabu dalam kepalaku
tak bisa berhenti menggambar dataran putih
di ujung bumi yang belum pernah kukunjungi.

Kaujadikan ladang ladang keemasan
melukis tubuhku di atas kertas yang tekun berdoa
memohon angin menerbangkan pinguin
ke atas mahkota seorang raja maha bijaksana*

uzur


Aku segan mendekat ke arahmu. Hampir habis waktuku, kau masih sibuk menyusun gugatan, menyiapkan perdebatan. Aku kehilangan ingatan, atau berandai andai demikian. Bukankah kau juga enggan mencicipi suguhanku, campuran kebahagiaan dan ketidakmengertian dalam bingkai wajahku. Belum cukupkah kaunikmati kecengenganku. Kau selalu meminta lebih, seperti ayah ibuku yang telah mati terbunuh sepi yang diadopsinya sendiri dari nasi*

nasehat


Pada pelajaran menembak semua peserta didiknya harus mampu membidik sepasukan semut tanpa sisa sebelum dinyatakan lulus dan layak membawa bawa senapan untuk membidik otakku. Aku jadi lega waktu mendengar salah satu juru bicara yang mewakili tempat kaubelajar menggunakan senapan mengatakannya dalam sebuah parnyataan resmi yang bisa dipertanggung jawabkan.

Aku kenal baik dan berteman akrab dengan penduduk kepalaku sendiri. Lebih kecil dan kacau dari segerombolan pasukan semut yang hilir mudik di lantai rumah jompo. Banyak ceceran bubur sumsum dan lelehan gula merah di sana, semua penghuninya bermata lamur hingga tak akan sanggup menginjak seekor semutpun yang sedang bersuka ria pada ribuan pesta*

Selasa, 22 November 2011

simply

Kalau mau diakui sebagai kucing mesti mahir mengeong. Burung berkicau.
Kalau kuda mesti meringkik, kambing mengembik. Ayam jantan berkokok.
Tapi manusia? Apakah nama suaranya. Bagaimana caranya supaya aku boleh mengaku manusia.
Bangsa manusia tak sudi berbagi rahasia bunyi manusia. Aku sedih. Aku tertawa.
“Kau manusia,” kata sebuah suara, tapi aku tak percaya*

probabilitas


Tak ada yang sudi bertaruh dengannya. Tak ada yang bersedia selalu kalah. Maka dia duduk di sudut, tersisihkan dari permainan. Menatap pertaruhan demi pertahuran main curang, menuankan hamba hamba, menghambakan tuan tuan. Ia mulai berhasrat mempelajari cara bermain untuk mengalahkan dirinya sendiri.

Kalau bisa kubiarkan diriku kalah di setiap pertaruhan, mungkin mereka akan mau bertaruh lagi denganku.

Mungkin mereka tak akan menuduhnya gila ketika menjumpainya di perjalanan silih berganti saling menunggangi dengan dengan kepalanya sendiri. Di atas kaki atau kaki di atas adalah cara berjalan yang akan mengantarnya di persinggahan yang sama, yang selalu membuatnya tak memahami kemenangannnya sendiri atau kekalahan yang tak mau berkawan.

Jika saja aku semurah hati tuan tuan. Serendah hati hamba hamba. Mungkin segalanya akan lebih menyenangkan di atas kepala atau kepala di atas.

Dia hanya hampir menyerah*

mabuk


Mabuk tak butuh teman. Ia tangan tangan yang mencari tempat selapang jagad raya untuk membanting semua pigura, biar semua senyum saling memeluk, tak lagi berada di balik kaca. Mabuk mengukir jalan panjang di sekujur tubuh sampai di pintu rumahmu. Mengetuk dengan satu telapak tangan sejajar dada. Menyembunyikan di balik punggung telapak tangan yang menggenggam serangkaian bunga, balon kecil, lidi berujung coklat berbentuk jantung hati dan sepasang boneka monyet yang saling cinta.
Ketika kaubuka pintumu, mabuk menjelma pungguk yang menghambur ke pelukan purnama di kedua matamu. Mabuk tak peduli di sebalah mana purnama paling sempurna, yang mana saja. Dua biji mata bulanmu untuk memuaskan seekor pungguk yang menetas dari mabukku. Tak bisa lebih, mabuk telah menunjukmu melarikan kehendakku sampai batas langit.
Bayangmu terus kureguk demi mabuk menjadikanku pungguk yang merangkum dua bulan biji matamu. Aku belum puas, belum terpuruk di mata kakimu yang nanti menerbitkan matahari*
Hikz…