Kamis, 30 Desember 2010

kakek kurakura

Seorang lelaki tua duduk di depan sebuah toko swalayan, menghamparkan selembar plastik dan kertas pada kakinya. Sebuah kerdus bekas, berisi kepala dua bocah kembar dari negeri tetangga menatap takjub tanpa senyum, kuda plastik yang bisa berputar di ujung tongkat, kecoa dan kupukupu yang naikturun pada busur kawat, pistol kecil, pedang, juga beberapa ekor tokek, kurakura, katak dengan benang yang bisa ditarik ulur pada punggungnya, dan entah apalagi. Aku tak terlalu berani memandang. Lelaki tua memutarmutar kuda plastik di tangannya, suaranya berderit. Mengusikku, membuatku hampir menangis. Aku tak berani memandang, Aku tak tahu kenapa bisa mengenang yang tak berani kupandang. Kenangan keras kepala menusuk mata.

“Ketika kau tak bisa menahan jatuh airmata, berdirilah terbalik,” Aku teringat saran lelaki muda yang tampan dalam sebuah drama. Manakah yang lebih nyata, kenangan atau khayalan. Aku juga tak tahu. Aku juga tak bisa berdiri terbalik. Langit sungguh mendung. Putus asa, kubalikkan punggungku, berjalan mendekati lelaki tua, menyapa semua mahluk yang berserakan di sekitar kakinya, mengajak mereka semua pulang ke rumah masingmasing sebelum turun hujan. Tapi mereka semua menatapku dengan tulus,”Jangan khawatirkan kami, tak ada rumah yang cemas menunggu kami. Jika hujan turun kakek akan melindungi kami dari dingin dan basah.”
"Betul.betul.betul..!" Bocah kembar dari negeri tetangga riang berkata.

“Berteduhlah, wajahmu basah kuyup…” Kurakura berseru sambil membuka rumahnya. Aku berlari masuk. Merasakan hangat pada dada dan mata kian nyata. Lelaki tua menyelimuti kurakura dan semua yang lainnya, ketika hujan menderas. Bunyi guntur dan batuk kakek menggema nyaring di dinding rumah kurakura*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar