Sesosok malam duduk sendiri di bangku taman. Di bawah cahaya lampu. Bayangbayangnya jatuh di sela rerumputan, berkejaran dengan ranting, daun kering dan beberapa ekor jangkrik. Aku mendekat dan duduk di sisinya, dengan suara lirih kubertanya,”Apakah kau sedang menunggu sesuatu?”
Malam diam, tak beranjak. Hanya diam, dan duduk seperti sebongkah batu hitam. Dari kejauhan aku melihat sebuah toko swalayan mendekat. Seikat ranting cemara di ujung kayu sedang menyapu lantai, menerbangkan sisasisa tawa, katakata, dan angkaangka ke pangkuan malam. Debu berhamburan di punggung dan wajahnya. Serupa gemeretak kayu pada api unggun. Aku terbatuk menghirup debu, terbatuk terus, karena debu masih terus berdatangan. Aku masih terbatuk, lama dan keras. Hingga menetes airmata. Mungkin peduli, malam itu tibatiba mengulurkan sehelai sapu tangan untukku, “Aku menunggumu menutup pintu.”
Tapi di depan pintu kubaca tulisan : buka 24 jam. Kulihat malam menundukkan kepala, mungkin kecewa, tubuhnya bergetar seperti kesakitan, rambutnya menyalakan debu, lepas beterbangan ditiup angin. Kuhapus debu dan air di wajahku, dengan sapu tangan pemberian malam. Mungkin sudah pagi. Tapi, malam itu diam dan membisu. Mungkin membeku. Selalu diam dan membisu di depan pintu. Diam dan membeku di bangku taman. Seperti sebongkah batu hitam. Mungkin menyesali semua mimpi yang belum terbeli*
Malam diam, tak beranjak. Hanya diam, dan duduk seperti sebongkah batu hitam. Dari kejauhan aku melihat sebuah toko swalayan mendekat. Seikat ranting cemara di ujung kayu sedang menyapu lantai, menerbangkan sisasisa tawa, katakata, dan angkaangka ke pangkuan malam. Debu berhamburan di punggung dan wajahnya. Serupa gemeretak kayu pada api unggun. Aku terbatuk menghirup debu, terbatuk terus, karena debu masih terus berdatangan. Aku masih terbatuk, lama dan keras. Hingga menetes airmata. Mungkin peduli, malam itu tibatiba mengulurkan sehelai sapu tangan untukku, “Aku menunggumu menutup pintu.”
Tapi di depan pintu kubaca tulisan : buka 24 jam. Kulihat malam menundukkan kepala, mungkin kecewa, tubuhnya bergetar seperti kesakitan, rambutnya menyalakan debu, lepas beterbangan ditiup angin. Kuhapus debu dan air di wajahku, dengan sapu tangan pemberian malam. Mungkin sudah pagi. Tapi, malam itu diam dan membisu. Mungkin membeku. Selalu diam dan membisu di depan pintu. Diam dan membeku di bangku taman. Seperti sebongkah batu hitam. Mungkin menyesali semua mimpi yang belum terbeli*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar