Sabtu, 14 Mei 2011

ayah

ayah

by Dian Aza on Tuesday, March 29, 2011 at 3:02pm

Kau bertiup ke wajahku bersama daundaun kuning berjatuhan di pundakmu
aku belajar menghidupkanmu dalam langkahku, menjejak angin
berjalan seiring ke arah barat sambil menggumamkan mantra, senja,
senja akan mempertemukan kita, sesudah kita memaafkan jalanjalan yang pernah
melupakan kita*

waktu makan siang

waktu makan siang

by Dian Aza on Tuesday, March 29, 2011 at 1:23pm

Kau memecah waktu di mataku, serupa perajin permata, kau mengasah peristiwa, pendarpendar berkejaran, berlomba pulang lewat hidung, lagulagu musim semi, salju mencair, telaga membuka lengannya, angsaangsa kembali menukik, menenggelamkan pelangi bersama tubuh ikan ke dalam lambungnya.

Waktunya makan siang sayang, lapar terhidang di meja makan, kutelan rindu demi sesuap, hasrathasrat menggelepar di ujung pisau, garpu bernyanyi merdu, tak sabar meneguk anggur, setitiksetitik jatuh dari ujung jariku tertusuk rambutmu.

Nikmati  saja tanya atau resah atau apa saja yang membelukar di kaki meja, aku tertawa mendengar kau bersendawa, sekali lagi memporakporanda waktu, seluruh waktu pada bulubulu angsa putih, merah dan berduri, melambai ke arah serumpun lavender tersipu malu di bawah kakimu*

suzhi

suzhi

by Dian Aza on Tuesday, March 29, 2011 at 9:20am

Ini malam, sayang, ketika bumi dan langit bercahaya tanpa lampu, Bermimpi tentang pagi, berlarian di bukitbukit hijau, menerbangkan kertas dan balon aneka warna dan rupa. Tiba di pasar, kutukar sajak dengan beras,  sayur, ikan dan daun pisang. Kembali pulang, menanak nasi, merebus sayur dalam periuk kaca, mengukus ikan yang berenang gembira di arus deras. Suarasuara tawa bergema memenuhi dapur, senyum tumbuh dari lantainya, cepat merambat, seirama gerak riang ekor anakanak kucing berkejaran.

Tikustikus mengintip dari celah pintu, melihat kita sarapan dengan menu lengkap, lezat juga hangat tergulung rapi, cantik dalam balutan daun pisang. Seseorang melemparkan seikat kertas penuh kalimat dan gambargambar cerah lewat jendela. Malam selalu indah, seperti layaknya satu malam dari dongeng seribu satu malam yang tak pernah habis dibaca. Saatnya mencintaii ramalan cuaca, menikmati film tentang perang, pengkhianatan, dan cinta pertama berakhir bahagia. Kemudian memejamkan mata, mencoba kembali bermimpi indah tentang sebuah pagi semanis  hamparan padi keemasan yang tumbuh berjenjang di kaki gunung, meninggi , menangkap awan.

Anakanak memetik mentari di halaman sekolah, menanamnya kembali dalam kertasnya masingmasing, mewarnainya sesuka hati. Kertaskertas, tarian padi, ikan bersayap dan lebahlebah terbang berputar meneteskan madu dari perutnya, senyum keemasan di bibirmu, meleleh membasahi bantal, jejaknya serupa peta pulaupulau rahasia, menyalakan jantung, harum dan merdu di tiap degup* 

malammalam yang gagal

malammalam yang gagal

by Dian Aza on Monday, March 28, 2011 at 10:46pm

Aku menulis surat malammalam bukan untukmu, tapi kepada malam itu sendiri.

Kuminta malam menyelubungimu dengan gelap, hingga kau tak terlihat. Jika tidak demikian tak bisa kupandang bulan, tak satupun bintang nampak, tertutup kau, kau yang menjelma siang di setiap malamku.

Tak lama malam mengirimkan jawaban, “Aku ingin membantu tapi sangat ragu, kemarin malam aku gagal mengerjakan pintanya, persis sama dengan yang kaupinta malam ini.”

Ahh, senangnya*

kranium

kranium

by Dian Aza on Monday, March 28, 2011 at 5:52pm

Mendung datang, tak istimewa, setiap sore mendung sering datang, lalu angin, lalu gerimis. Lalu menderas, dingin menampar kepalanya, menggetarkan tangannya.

Dia mencoba mnyusun kepingankepingan gambar yang pernah disobeknya penuh nafsu, mungkin gambar itu merindukannya, ingin melihat loronglorong dalam matanya yang berwarna tanah.

Aku bukan tanah, loronglorong itu berteriak, tanah tak bisa menyimpan wajahnya. Dia mulai menangisi sesuatu yang tak bisa dipahami. Dia tak punya cermin, sembarangan saja diusapnya wajahnya dengan jarijari berdarah.

Barusan kupecahkan semua cermin, mereka  semua penipu, menunjukkan segumpal daging terbalut kulit, rapuh. Segumpal bibir bergerak lincah, sepasang alis melengkung manis.  Sedih sekali rasanya didustai oleh sepotong cermin, alangkah baik jika mata bisa memandang ke dalam kepala. Melihat kerangka yang serupa di semua wajah, dia tak akan pernah lagi merasa sendirian dan kesepian di tengah keramaian.

Kulihat di balik wajahmu kerangka yang sama dengan kerangka ibuku dan anakku. Bahkan dengan kerangka dua kera kecil di pasar burung, terkurung, tak berinduk, berpelukan erat, mengharukan.  Dia berpikir dia akan bahagia kalau bisa dilihatnya kepastian di balik wajahnya. Secantik gading, putih, tak ada noda bekas sayatan, tak ada jejak telapak tangan, tak ada kerut dan pesanpesan sedih, kecewa atau marah, tak ada mata berwarna tanah yang dipenuhi loronglorong suram.

Cacingcacing tak suka memakan kerangka, atau tak bisa, Tibatiba merekah senyumnya, dia bahagia membayangkan akan selamanya saling mengenal dan saling mencintai wajahwajah yang sama dengan wajahnya sendiri*

doa

doa

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 10:23pm

Tangantangan malam terjulur liar mengacak rambutku. Kutengadahkan wajah menatap selengkung senyum langit di bulan sabit. Gemeretak kesunyian mengunyah cahaya, lalu muntahkan kembali nyala yang tak sempat tertelan, mengotori langit. Penuh iba kuusap wajah malam dengan doa, hingga muntahan cahaya berseri kembali. Menerbitkan bintang dilangit malammu*

banjir cinta

banjir cinta

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 4:33pm

Gambargambar itu hanya memudar pada kertas, masih terang di sore yang pekat oleh mendung. Bunyi langkahmu mendekati pintu, mengetuk. Masuk  bersama hembusan angin lembab, matamu masih sejernih air membasahi rambutku. Kau bertanya, belum tidur.

Aku baru saja bangun dari mimpi buruk. Tentang kau yang lama kutunggu tak datang juga. Hujan lebat mengirimkan pesan kau berteduh di pinggir jalan, menggigil, basah dan kedinginan.
Aku senang tak semua mimpi jadi nyata.

Kau membuat kenyataan serupa impian, bisa berpindah sekejap mata, ke tempat yang ingin kaubawa untuk kita. Istana boneka, puncak bianglala, borabora.

Sebentar lagi kita bisa ke venesia, kalau hujan tak segera reda*

perjalanan

perjalanan

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 3:12pm

Tak peduli pagi, mimpi masih berlari dikejar angan liar beterbangan. Hinggap di jendela flatflat, mencoba mengintip wajah kuyu dan ikanikan di akuarium yang tak pernah lesu berenang mengelilingi dunia sempit berdinding kaca, lupa pada laut. Mendekatlah kata perempuan itu dari balik buku, kepada ruang yang siap melahap sesak dadanya. Lalu dia bangkit menutup buku, melangkah ke beranda, menghirup bau perjalanan kapalkapal terbawa angin ke dalam lipatan tirai. Rindu serasa makin asin di lidah. Rintikrintik hujan mulai mengetuk lengannya, merayu meminta peluk, pernah suatu masa ketika dia tinggal di rumah tak bertangga, tak ada teras juga kebun, ibunya menyuruhnya membeli sekerat ikan di warung. Namun dia tersesat dalam sebuah gang kumuh, di mana ikanikan berenang bebas dalam genangan air di jalan berlubang. Maka diberikannya uangnya pada seorang pemintaminta tua, dan dibawanya genangan air, bersama ikanikannya di situ, ke dalam hatinya. Mimpinya masih serupa, kelak bunda akan singgah melepas penat bersamanya di muara*

lantai atas

lantai atas

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 2:57pm

Aku menemukan senyummu di sebuah elevator. Merangkak mendaki kawatkawat baja, dinding serupa kaca memantulkan wajahwajah jadi sejuta, menarinari di dengung telingaku. Kulihat angka berganti, aku teringat pada mistar yang kupatahkan saat aku mendendam pada belaianmu. Tapi di sini, tak ada langit atau awan yang membuat hati merintih, tak ada aroma hujan, tak ada laron atau cicak untuk diajak bicara. Hanya tungkai beraneka rupa menjepit angan di selangkangan. Rindu tak tahu malu merayap ke puncak kepala. Pada angka yang seumur denganku pintu membuka, hamburkan penat, lantas sesat pada lorong bercabang. Aku lari sembunyi, takut terbawa hingga ke puncak, dulu kusangka ada neraka di atas sana, ternyata*

gerabah

gerabah

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 2:47pm

Segumpal tanah berputar mengitari angin meremas air
lengan dan jemari menarikan tarian unggas jantan dimusim kawin
birahi pada lempung merengkuh gairah padat
membuahi rahim periuk berwarna pucat
bakar adalah jalan kelahiran
periuk merah terlahir dari percintaan tak terelak antara yang terinjak
dan yang tercurah di tangan nasib yang tersingkir*

jarak

jarak

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 2:44pm

Sepi itu kaudekap sangat dekat. Aku masih menunggu di ujung hari mengacuhkan sunyi. Dan rindu hanyalah kata tak bermakna yang pisahkan sepimu dan letihku. Lalu cinta serupa sentuhan angin, lembut mengusap tengkuk kapan saja kau menunduk pandangi jejak langkahmu di jalanku*

meraut hati

meraut hati

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 3:04am

kutajamkan ingatan di tiap putaran, sketsa wajahmu
berguguran bersama serat kayu seiring
meruncing kembali hasratku merupakan kau
pada sehampar kertas, licin dan putih
seluas padang salju, di sana anganku menari*

apatis

apatis

by Dian Aza on Sunday, March 27, 2011 at 12:07am

Kutitipkan tanya pada beberapa helai rambutku yang tersangkut di kancing bajumu. Bilakah kaudengar gemerisiknya, atau ruangmu terlalu gaduh untuk mendengar teriakan beberapa helai rambut. Suara mereka seperti orkestra di kepalaku, megah bergesekan udara.

Kau diam, mengacuhkan kancing bajumu yang terlilit beberapa helai rambutku. Bahkan mungkin kau tak tahu jumlah kancing bajumu, seacuh aku. Tak tahu jumlah kancing baju yang kusentuh untuk membuka dan menutup tubuh, menyelipkan bulatan kecil ke dalam celah kain di bagian lain. Di kiri atau kanan, kancing dan lubang, tak penting untuk diingat, bisa dikerjakan tanpa melihat.

Beberapa helai rambut tercabut siasia dari akarnya, tak terlihat pula lubang di kulit kepala, tak ada rasa perih seolah tak ada yang hilang atau berkurang. Musik masih berdenyut dengan nada yang sama, kudengar dengan mata  yang terlalu angkuh untuk memandang kancing baju. Mungkin cuma tangantangan udara kelak akan bertanya, ketika kembali menyentuh helai demi helai hitam di kepala. kemana raibnya beberapa helai yang paling rapuh, beberapa helai yang bersuara paling merdu.

Tanya yang siasia pula, di suatu pagi, beberapa helai yang tercabut dari kepalaku sedang berpegang erat pada kancing bajumu, beputarputar kencang dalam tabung mesin pencuci baju, timbul tenggelam sangat cepat, air sabun tak terasa pedih bagi beberapa helai rambut tak bermata, pun tak akan tercium wanginya oleh beberapa helai rambut tak berhidung. Dan kancing baju tak akan berpindah tempat, diam, sungguhsungguh diam terseret baju dalam pusaran, tak peduli lubang menjauh atau mendekat, tak peduli beberapa helai rambut lepas atau terikat erat*

kausa

kausa

by Dian Aza on Saturday, March 26, 2011 at 2:11pm

Harihari penuh rencana meninggalkan kau dengan semua gelasgelasmu di ruang tunggu. Aku bukan bagian dalam daftar alamat siapasiapa. Sudah kupatahkan berulang kali kakikaki kuda dan pegas kereta. Dan kau tertawa gembira, menyangka aku tak punya nyali mematahkan kakiku sendiri. Kau mungkin tak tahu apa saja yang sudah kupelajari dari balik mendung, bertubitubi raungan maut, aku tak takut. Rengekan anakanak di pematang sawah lebih menikam, burungburung hitam masih hinggap di batangbatang padi, mematuk benih.

Seperti ibuku percaya padaku, aku percaya pada kakikakiku yang benci memakai sepatu. Aku pasti kembali ke ladang itu, sendiri, menanam lagi hati, sendiri, sendiri bernyanyi, lagulagu masa lalu yang menunggu di balik bantalku. Aku masih mencintai sunyi, lebih dari kaukira aku mencintai mimpi. Sunyi, sunyi, sunyi, kusebut namanya di setiap mata air*

dia yang tersenyum

dia yang tersenyum

by Dian Aza on Saturday, March 26, 2011 at 12:53pm

Lelaki muda berjaket hitam, perempuan berpakaian rapi dengan tas tangan mahal, seorang ibu berambut pendek, bapak dengan kemeja harum, dua orang lelaki muda berseragam sekolah. mereka semua berdiri berbaris di depan pintu kaca, mengantri bersama, menunggu pintu terbuka, agar masingmasing bisa masuk bergantian mendapatkan beragam keinginan, menggenapkan hasrat dan niat yang berdiri di ujung jalan masingmasing.

Tapi dia datang begitu saja, seperti jatuh dari langit. Tubuhnya tegap dan indah, tak bisa kusebutkan jenis dan warna apa pakaian yang dikenakannya, kalau tak lebih pantas kukatakan dia setengah telanjang. Sobekan kain simpang siur tersampir di bahunya yang bidang. Entah apa warna kulitnya, debu terlalu tebal menutupi segenap tubuh dan wajahnya, dia tetap terlihat indah di mataku. Ahh..mata memang gemar mengajakku bercanda.

Dia tersenyum berjalan di antara motor yang berjejer. Tak bisa pula kulihat warna bibir dan giginya, dia setengah menunduk menatap selembar kertas. Dia membungkuk, sepertinya masih tersenyum, mengulurkan tangannya pada selembar kertas. Dia memungut selembar kertas putih, senyumnya semakin lebar, tak sempat kulihat matanya. Kemudian dia beranjak meninggalkan barisan motor, menjauhi deretan manusia yang berdiri dengan masingmasing rencana di balik bajunya.

Dan aku terus menatap punggungnya, mengenang senyumnya sambil main tebaktebakan dengan kepalaku sendiri. Barisan manusia datang dan pergi, keluar masuk ke ruang yang bisa mengabulkan keinginan, pintu kaca membuka tutup serupa kesempatan meninggalkan hembusan sejuk di wajahwajah yang masih menunggu giliran.  Dan aku masih terus menebaknebak alasan senyumnya, dia yang berjalan dengan senyum dan selembar kertas, manusia dengan tubuh berbalut debu, ke ujung jalan mana dia menuju*

suarasuara di udara

suarasuara di udara

by Dian Aza on Saturday, March 26, 2011 at 11:48am

Aku selalu mengetuk jendelamu setiap pagi. Sering ketika matamu masih terpejam, kuselipkan tanganku melewati lubang angin, kusentuh nafasmu yang sejuk, keluar masuk lewat hidung, Kau pasti tak tahu sering kali kuusap bibirmu, setengah terbuka selembut kelopak bunga. Tak sabar kutunggu kau terjaga, merenggangkan badan dan lenganmu, menghirup udara sepenuh paruparumu sambil mengerjapkan mata, ingin segera kupandangi jejak impian, tertinggal dalam matamu yang masih redup menyisakan kantuk.

Sangat kuhapal setiap gerakmu, mengangkat lengan ke udara, menggosok mata, menggaruk pipi dan tungkaimu yang kemerahan tergigit serangga. Kau pernah bilang waktu tidurmu adalah waktu pesta bagi mahluk kecil berkaki belang dan bermulut panjang, hebatnya mereka bisa terbang, biar mereka kenyang dan gemuk menghisap darahmu. Kutanya,”Kenapa ?” Kau cuma tertawa, kau tak mendengarku bertanya.

Kau juga tak pernah tahu, waktu tidurmu terasa sangat lama untukku. Bumi berputar lambat, bulan jadi satusatunya tempatku menitipkan rindu. Aku selalu berharap kau membaca pesan yang kukirimkan setiap malam, meski tak bisa kusertakan hangatku pada isyarat yang kuhantarkan lewat bulan. Setidaknya kau tersenyum ketika mendongakkan kepala, senyum yang sama yang selalu membuatku ingin segera tiba di sudut yang sama, di tempat di mana kaubisa kusapa dengan warnawarna mesra.  

Aku tak pernah tahu, bagaimana kau bisa memahamiku, tapi semua sarang labalaba di segenap penjuru rumahmu pasti telah sangat mengenalku. Sarang labalaba yang selalu ingin kaujaga tetap di tempatnya, tak peduli orangorang mengataimu aneh, malas berbenah, manusia tak jelas. Tak sedikitpun meresahkanmu atau aku. Cukup bagiku terbenam di matamu yang memandang manja ke arah senja sebelum terpejam. Ya, kau juga menyayangiku, aku tahu, kau sangat menyayangiku dengan caramu yang tak kaumengerti. Sarang labalaba juga tahu pasti*

present time

present time

by Dian Aza on Saturday, March 26, 2011 at 9:41am

Aku tak mau katakan ‘andai’, ‘jika’, ‘kalau’, itu perkataan bibirbibir gemetar yang merindukan salju ketika gandumgandum melambai gemulai menanti ayunan sabit. Kau sudah mengajariku membaca mata waktu, present time, artinya hadiah, waktu memberikan hadiah selalu untukku: kau. Dan untukmu setiap waktuku*

catatan merah muda

catatan merah muda

by Dian Aza on Friday, March 25, 2011 at 7:03pm

Ketika segalanya berjalan sederhana kita jatuh cinta. Tanyakan pada penjual es kelapa muda di dekat taman kota, betapa pendar cinta di wajah kita. Gulagula kapas merah muda menggumpal kian tebal seiring putaran roda sepeda penjualnya, kaubelikan satu, tak semanis bibirku, katamu. Hangat genggaman tangan, dorongdorongan, cubitan kecil di pinggang. Langit tersipu malu memandang binar senyumku, kautemukan galaksi baru di dalam mataku. Kau ingin terbang, merasakan angkasaku yang hampa udara. Kita meringankan tubuh, melayanglayang dalam ruangku yang belum pernah terisi, selain oleh mimpi.

Jika mungkin, aku ingin mengulang kembali, meski melelahkan, meski lucu atau malu, ingin kuulang saatsaat jatuh cinta. Saling menatap dari kejauhan, menunduk ketika berhadapan. Rasa jengah, sajaksajak buruk, sepiring rujak buah untuk berdua, berebut krupuk. Betapa tak terbeli, serupa langit, selalu terbentang di atas kepala, tanpa mampu disentuh. Serupa hati penuh tanpa membebani tubuh. Andai kaupandangi mataku sekali lagi, di sana masih berserakan jejakmu, berkejaran dan bermainmain bersama gerimis*

stuck on you

stuck on you

by Dian Aza on Friday, March 25, 2011 at 12:37am

Ruangruang berlari, tak ingin kutempati.

Malam berkata,"Ijinkan aku memasuki waktu. Tidakkah kau puas menikmati terang di saat siang, masih juga kau ingkari gelapku dengan cahaya lampu."

Aku hanya ingin menemukan bayangmu.

"Bayang hanya potongan gelap, aku punya yang lebih hitam, lebih sempurna."

Aku cuma manusia setengah, ketika harus berhadapan dengan dinding rumah*

puzzle 16

puzzle

by Dian Aza on Friday, March 25, 2011 at 12:09am

Pantai itu masih abadi. Meski boneka pasir kita sudah lama ambruk tersapu ombak. Kenapa kau membuat boneka, bukannya istana, seperti yang lazim dibangun dari pasir ?

“Karena kau sangat istimewa. Karena aku tak ingin mengingatmu duduk merenung sendiri di jendela sebuah puri. Seorang putri yang kesepian dan merana. Tak ada teman bermain, tak punya sesuatu untuk  untuk teman bermain.”
Kau selalu sangat pintar mengatakan semua yang menjadikan hatiku senang.

“Aku ingin mengingatmu sebagai seorang bocah riang, mempunyai seorang atau sesuatu yang bisa membuatmu tertawa gembira. Sebuah boneka jenaka.”

Jika malam menjatuhkan sebuah bintang, aku bisa melipat tangan, memejam mata, meminta agar boneka pasir kita hidup, bernyawa, bisa berlarian sepanjang pantai, bersamasama kita mengumpulkan kulit kerang dan bunga karang.  Boneka pasir itu akan kita beri sebuah nama ; mungkin goldie, atau honey. Kerena warna emas disekujur tubuh dan rambutnya begitu indah. Aku akan memakaikan sebuah baju berwarna cerah untuk honey, aku lebih suka menamainya honey. Seperti honey bunny, boneka kelinci hadiahmu, yang selalu menemani tidurku sebelum tenggelam terseret banjir.

Kita akan merangkai kulit kerang jadi hiasan, kalung, gelang, juga tiara. Kau bisa membuat dua, satu untukku, satu untuk honey, sahabatku, boneka pasir buatanmu. Bukankah segalanya begitu indah dan berseri, harihari di pantai itu. Betapa senangnya tinggal di sebuah negeri yang hanya ada musim panas sepanjang tahun. Tentu tak bisa bermainmain di pantai saat udara beku di musim dingin.

“Jangan kau sangka musim dingin itu suram dan buruk. Musim dingin sangat putih, berkilau dan cantik. Kita bisa memandang seluruh daratan berwarna putih kebiruan, cahaya matahari menyelimuti salju dengan kehangatan, dan di bayang matamu, bisa kaulihat titiktitik putih terus berjatuhan, seperti ribuan bintang, namun lebih halus dan lembut. Teriakan riang, lagulagu indah, aroma brownies dan mentega bermunculan dari jendelajendela rumah.”

Kau selalu pintar menceritakan segala yang membuatku terpana.
Tapi bisakah kau buatkan aku sebuah boneka pasir juga pada musim dingin ?

“Akan kubuatkan sebuah boneka salju untukmu. Dia sangat lucu, tubuhnya bulat, wajahnya juga bulat, tersenyum ceria. Kita akan menancapkan sebuah wortel sebagai hidungnya, dan ranting sebagai tangannya. Jika bisa kita temukan sebuah topi atau syall, bisa kita kenakan pada kepala dan bahunya. Kau akan melihatnya begitu lucu, dan dia juga sangat polos dan jujur, sungguh dia akan menjadi teman bermain yang menyenangkan.”

Boneka pasir di musim panas, boneka salju di musim dingin. Untuk musim semi, kau bisa membuat boneka bunga. Boneka daundaun kering untuk musim gugur, begitu kirakira.

“Musim semi dan musim gugur, tak perlu membuat boneka.”

Kenapa, apa tak ada waktu untuk bermain di musim semi dan musim gugur.

“Pasti selalu ada waktu bermain di semua musim. Musim semi terlalu indah untuk dihabiskan dengan bermain boneka. Pun musim gugur terlalu bersinar untuk dibagi dengan sebuah boneka. Kita bisa menyebut kedua musim itu pemberhentian."

Musim ketika keindahan berserakan di atas tanah, menghentikan kita di setiap langkah*

tangisan pertama

tangisan pertama

by Dian Aza on Thursday, March 24, 2011 at 11:53pm

Harihari terlalu panjang untuk menanti, sekaligus terlalu pendek untuk menapakkan jejak. Waktu, serupa kolomkolom berita atau suara renyah pembacanya di layar kaca, memilih kisah, yang mana hendak diurai atau dipenggal tanpa belas kasihan. Di antaranya anakanak manusia lahir, berkeras menantang dunia, tangisan pertama seolah berkata,”Selamat datang dunia.” Entah kepada siapa orok itu berteriak lantang, dinding bobrok rumahnya, perempuan tua yang sibuk mengurus tubuhnya, atau liang hangat yang baru saja ditinggalkannya. Sebab perempuan yang seharusnya mendengar dan menyambut tangisnya, pemilik rahim di mana beberapa saat yang lalu dia bernaung tak bisa lagi mendengar apapun, bahkan gelegar petir di luar tak akan pernah mengembalikan detak jantungnya. Orok itu terus menangis, perempuan tua membungkus tubuhnya dengan sehelai kebaya kumal, menggumamkan beberapa kata sambil menatap hujan dari balik jendela.

Kayu dan dinding bambu tak pernah mengeluh*

sepotong kisah

sepotong kisah

by Dian Aza on Thursday, March 24, 2011 at 11:50pm

Pernahkah kau dengar kisah tentang kupukupu pengintai waktu. Kupukupu bersayap ungu, terbang ringan dari satu jam tangan ke jam tangan yang lain. Terutama ketika jalanan begitu padat dan ramai, seperti di akhir pekan misalnya, kupukupu pengintai waktu beterbangan diamdiam, mengintai waktu yang menempel erat di pergelangan setiap orang. Bukan kupukupu biasa, kupukupu pengintai waktu lahir dari kepompong ulat yang tidak biasa. Ulat istimewa dari pohonpohon usia dan berkah*

teruskan

'teruskan'

by Dian Aza on Thursday, March 24, 2011 at 11:28pm

Keletihan, bencana, penyakit, kelaparan tak pernah bisa membunuh rindu. Mungkin karena tak pernah tahu di mana letak rindu sebenarmya. Rindu seperti di dalam tubuh, seperti di luar tubuh, terurai juga utuh. Hangat menikam, dingin membeku, liar menjalar, panjang terentang. Siang malam, tanpa jeda, segalanya berganti rupa menjadi satu, hadirmu. Seandainya kautahu rindu sangat gemar meronta mengacaukan segala, tapi tak akan kulepas. Lebih baik teruskan saja sampai waktu kita berjumpa*

jalanjalan siang

jalanjalan siang

by Dian Aza on Thursday, March 24, 2011 at 11:03pm

Siang menumbuhkan benalu di benakku. Mendung masih menggantung di langit, kelabu, seperti sekumpulan debu bersayap bergerombol terbang di angkasa. Apa yang kupahami tentang letih, hanyalah sekumpulan hati yang terlalu berhatihati memilih jalan, menghindari kerikil dan semaksemak berduri yang mungkin melukai kaki. Kaki memang tak berotak, hati yang harus terusmenerus menjaganya.

Kucoba menghitung berapa banyak sudah namamu kusebut sampai waktu ini, tak terhitung. Seorang pecundang yang tak sanggup memaafkan semua pasal dalam undangundang, semua nama pada daftar undangan pesta, begitulah aku memandang diriku sendiri saat siang hari, terang dengan lancang membeberkan setiap kenangan atau angan, tak menemukan ruang untuk sembunyi.

Untuk seorang perempuan sederhana, semestinya hidup bersikap ramah, tapi tidak juga. Hanya pengemis yang ingin rasa manis, seorang pejuang selamanya lebih suka pahit dan asam, tak ingin terbunuh rasa dahaga. Bagaimanapun ini siang melelahkan. Aku sangat berhasrat melemparkan semua benda tak berguna sembarangan, juga tubuh penatku. Aku tak tahu apa manfaat menyayangi tubuh penat milikku, kenapa pula aku harus membawanya kemana saja, macam kutukan saja.

Dan seakan semua belum lengkap sampai aku berada dalam toko buku. Sebuah tempat sesuai namanya, toko buku adalah ruangan dengan sejumlah banyak buku. Banyak di sini berarti sungguhsungguh banyak dalam nominal, jumlah dan judul, banyak buku. Deretan rak, meja rendah dan tinggi, lemari kaca, di manamana penuh buku. Aku suka buku, dari bunyi dan kata, sampai wujud nyata. Aku setuju dengan sebuah kalimat bijak, bahwa buku adalah sahabat terbaik, jendela dunia, gudang ilmu dan lainlain serupa itu. Masih pula kutambahkan dengan kalimat romantis milikku sendiri, buku adalah sayap kupukupu, akan hinggap di tanganku, jika tumbuh bunga di situ. Bunga berbentuk segiempat dengan deretan angka, abjad, sebuah wajah bersahaja, dan sepotong lukisan hewan atau pemandangan. Bunga, begitu manusia abad ini menyebutnya. Mereka menanamnya di manamana, di lembar kertas berstempel dalam gedungdegung bagus, menunggu waktu bunga tumbuh, memetik hasilnya. Betapa puitisnya, duit…

Toko buku , membuatku teringat tak ada bunga di tanganku, tak ada bunga yang bisa menyulap buku jadi kupukupu, lalu hinggap di tanganku. Sungguh tak enak mengingat hal itu. Maka aku melangkahkan kakiku kembali ke jalanan, merasa hampa dan bahagia.

Hampir sore, langit masih terang. Jika aku berjalan ke arah utara, aku akan tiba di depan pintu rumahku. Mungkin jauh, tergantung caraku menikmati udara, kebetulan udara siang ini terasa akrab. Aku berjalan sambil main injak. Begitulah caraku berjalan, main injak. Setiap kali kaki menjejak tanah kubayangkan ada yang terinjak di bawah langkahku. Aku punya daftar panjang tentang siapa dan apa yang bisa kuinjak agar aku bisa berjalan dengan riang.

Daftar itu sudah lama kubuat, sejak aku sering menggerutu ketika berjalan di bawah hujan, melewati jalanjalan berlumpur dengan tubuh menggigil kedinginan. Isi dalam daftar itu bisa diganti kapan saja kuinginkan, bisa kutambah atau kuhapus sekehendak hati. Pada baris teratas kutuliskan sebutanku untuk segala hal yang ingin kuinjak ketika berjalan, ‘musuh bebuyutan’, hahaha… Mungkin sedikit berlebihan, tapi tak ada yang berhak melarangku memberikan sebutan apa saja pada apa yang kubuat untuk diriku sendiri. Dengan menginjakinjak musuh bebuyutan, setiap perjalanan jadi sebuah permainan menyenangkan. Semakin jauh jarak mesti kutempuh, semakin banyak musuh bebuyutan yang kutaklukkan di setiap langkah. Betapa nikmatnya.

Hmm, sepertinya aku perempuan jahat, sungguh aneh, tibatiba tubuhku terasa jauh lebih ringan, rasa lelah dan penatpun pelanpelan memudar. Udara mendadak terasa sejuk, segar dan menyehatkan. Menjadi jahat ternyata sangat melegakan nafas*

main matahari

main matahari

by Dian Aza on Thursday, March 24, 2011 at 11:34am

Apa yang dipikirkan matahari, mau terus melototkan mata ke arah bumi. Tahukah matahari, panasnya bikin bumi mendidih, menerbangkan air ke udara. Dari menit ke menit, lapis ke lapis, semakin padat menggumpal. Menghalangi pandang.

Cahaya makan tuan, pandang matahari terhalang awan. Tak hilang akal, matahari merayu air yang mengeras, mendekatlah, mendekat untuk dilumat, pecah awan. Bumi basah, mendongakkan wajah. Ah matahari, matahari, bumi memanggil.

Matahari tersenyum kembali. Apa yang dipikirkan bumi, memandang langit warnawarni, ayolah, kita main mata lagi, berkalikali setiap hari*

untitled

untitled

by Dian Aza on Wednesday, March 23, 2011 at 4:38pm

Aku ingin menemuimu, tapi kausembunyi dalam hatiku. Aku tak tahu bagaimana kau bisa masuk ke situ, sedangkan aku tak pernah membukakan pintu untukmu.  Bahkan aku tak berani memasuki tempat itu, hatiku sendiri.  Aku sungguh-sungguh waktu kubilang akan kudatangi seluruh pelosok bumi untuk mencarimu. Pasti akan kutemukan kau sekalipun kau berada di dasar palung terdalam, di puncak gunung tertinggi, dalam kawah gunung berapi, dalam inti bumi, juga di bulan atau bintang-bintang. Di neraka atau surgapun tak ada bedanya, pasti akan kutemui kau.

Bagaimana kau tahu satusatunya tempat yang tak pernah kudatangi adalah hatiku sendiri. Aku tak cukup punya nyali. Aku bisa membaca dan melihar seisi dunia dan alam semesta dengan mataku, dari buku-buku, layar kaca, dan monitor komputerku. Neraka dan surga tertulis dengan detil pada ayat-ayat kitab suci, tak sedikit pula seniman mencoba merupakannya ke dalam karya, kata, gambar dan warna. Sedangkan apa yang berada dalam hatiku, tak ada yang tahu, tak ada yang bisa dengan jelas mengatakan macam apa ruang pada sebuah tempat tak berwujud dalam diriku yang bernama hati. Aku takut pada segala yang tak kutahu, meski itu adalah bagian diriku sendiri. Sejak dulu mereka berkata, dalamnya laut bisa diduga, dalamnya hati siapa tahu.

Di sanalah kau berada, di dalam hatiku. Aku hanya bisa menunggumu, suatu ketika kau mungkin akan keluar, menceritakan padaku apa saja yang kautemui, lihat dan dengar di dalam hatiku. Benarkah di sana ada bukit hijau dan teduh yang sering kulihat dalam mimpiku ketika kita bertemu ? Adakah di sana sebuah ngarai dengan air terjun deras, memercik pelangi di dinding udara, atau sungai beriak jernih ? Mungkin sebuah pantai landai berpasir putih, atau sebuah gunung berapi, lembah dan jurang bersemak yang dasarnya tak terlihat, padang rumput atau gurun pasir ? Adakah telaga biru kehijauan dengan angsa-angsanya ? Maaf, aku hanya menebak asal-asalan, hanya mencoba mereka-reka  segala yang kusukai dan kuingini berada di dalam hatiku, di mana kau berada, semua yang mungkin membuatmu tersenyum senang setiap saat. Kuharap kau tak pernah kekurangan suatu apa selama berdiam di dalamnya, kukatakn berulang kali.

Kukatakan, dengan sepenuh hati, tanpa tahu apa saja yang memenuhi hati, sebanyak apakah bila hati itu penuh. Kaulah yang mungkin bisa menjawab semua tanyaku, kau yang diam-diam memasuki hatiku dan tinggal di situ sepanjang waktu*  

ah, sudahlah

ah, sudahlah

by Dian Aza on Tuesday, March 22, 2011 at 12:16am

Botolbotol tak pernah haus, aku memindahkan semua telaga dalam kepala. Kurakura terbang menembus awan kelabu, mengusung laut di punggungnya. Bisu. Biru. selalu terantuk di menit yang sama, aku jatuh di jerat rambutmu. Bicara tentang kesadaran yang tak juga padam. Aku kan hanya anak perempuan meja yang berkalikali patah, tapi tangantangan di bawahnya mengepal, tegar berkata, hajar, hajar.

Mereka bertanya berapa umurku untuk setiap botol yang kubawa pulang. Peduli setan, tahu apa mereka tentang lumut dalam kepalaku, telah melembutkan berapa batu, masih terus tumbuh, hijau, berkilau, darinya aku belajar mengigau. Baju seragam berkata tak sabar, bayar, bayar. Kulemparkan sekantong pecahan kaca di wajahnya.

Jangan pernah berkata aku tak tahu jalan pulang, kini aku pemilik semua lorong. Dan gema suara itu, akan kitunggu sampai membiru, mencair dalam botol, sebelum kutelan, aku harus mengeringkan lumpur di lengan malam sebelum rebah. Kau masih punya berapa nada, botolbotol masih ingin berdansa. Anakanak datang membawa senapan, tembak, tembak. Timahtimah melesat, menabrak tembok, mendarat di dada meja.

Jalan pulang sudah datang, mari bersulang*

anak kelinci atau bidadari

anak kelinci atau bidadari

by Dian Aza on Monday, March 21, 2011 at 10:46pm

Siapakah yang menyimpan awan di waktu malam, katakan padaku, apa teman-temanku di sana tak takut gelap, tak ingin bertemu denganku, tak menyampaikan pesan, menitipkan salam, atau mungkin mereka semua sudah tidur nyenyak, bermimpi tentang bukit hijau di mana kita biasa berbaring dekat, menggigit batang ilalang.

Anak-anak kucingku berguling-guling, bercanda di atas selimut biru, mengingatkanku pada hari cerah ketika kau berjalan di sisiku, berdebat tentang anak-anak kelinci terbang di atas sayap elang. Kau berkeras mereka bukan anak kelinci, tapi bidadari yang sedang cemburu padaku*

sejenak memilih waktu

sejenak memilih waktu

by Dian Aza on Monday, March 21, 2011 at 10:12pm

Berada di dalam sebuah toko jam, dia seperti punya begitu banyak waktu. Seluruh dinding dan atalase dipenuhi angka dan jarum, terkurung di balik kaca, seakan-akan bisa diejeknya. Di dalam toko jam,dia bebas menggerakkan mata ke segala arah yang dikehendakinya, seakan-akan berkuasa menentukan peristiwa. Bahkan tak perlu memalingkan wajah, tak perlu menggerakkan otot lehernya, apalagi membalikkan badan, cukup hanya menggeser sedikit bola mata dalam tulang wajahnya dia seperti bisa berpindah tempat.

Bukan tempat yang merisaukan, tapi waktu. Tempat bisa dilihat setiap saat, bisa diinjak, didekati, dijauhi. Tapi waktu tak pernah menampakkan bentuk, bagaimana bisa menaklukkan sesuatu yang tak nampak. kecuali pada benda bernama jam.

Jam tangannya cuma satu, pun sudah sangat tua dan tak bisa diandalkan untuk selalu menunjukkan waktu denga tepat, namun selalu berhasil memerintahkan ini-itu kepadanya. Ketiga jarum dalam lingkaran berdinding kaca itu seolah-olah sungguh-sungguh mengikat lengannya. Serupa borgol, membelenggu langkahnya, selalu semena-mena memilih kejadian, tempat dan orang-orang yang harus ditemuinya, seperti atasan, sipir penjara, atau raja, perintahnya tak bisa ditawar, selalu berseru, segera !

Suatu hari segalanya berjalan begitu kacau, dia merasa sangat muak. Dengan amarah dan dendam yang meluap dia mencopot jam tangannya, menginjak-injaknya hingga remuk tak berbentuk. Sesaat kemudian dia menghela nafas, dengan rasa hampa dia membereskan puing-puing jam tangannya yang berserakan. Dadanya terasa begitu sesak ketika menatap serpihan jam tangan yang biasanya selalu setia melingkari lengannya. Dia ingin meminta maaf, tapi dia merasa itu akan membuatnya bertambah buruk. Pelan-pelan dia terus membersihkan lantai.

Ternyata menghancurkan jam tangan sama sekali tak sama dengan mengalahkan waktu. Tak ada yang berubah, justru keadaannya semakin parah dan merepotkan. Setiap kali dia terpaksa mencari-cari jam dinding untuk mengetahui waktu. Hal itu nyaris membuat kepalanya pecah. Untuk apa menghancurkan jam tangannya jika akhirnya dia malah harus bersusah payah mencari jam yang lain, yang tergantung di dinding atau tegak di atas meja.

Seperti prajurit berpangkat rendah yang harus selalu taat perintah, seperti anak-anak sekolah, seperti buruh, yang terburuk dia merasa macam tahanan, dia merasa harus selalu melapor, bertanya dan tunduk dengan angka-angka dan tiga jarum beda ukuran yang terkurung di balik kaca. Dia merasa tak ada yang lebih buruk dari pada nasibnya yang malang, menjadi budak waktu, seandainya manusia tak pernah menemukan alat yang bernama jam, alangkah baiknya, begitu dia sering bergumam dengan sangat gelisah, marah, juga lelah dan putus asa.

Akhirnya dia menyerah. Bagaimanapun mempunyai jam tangan lebih memudahkan hidupnya, meringankan kerjanya, tidak melelahkan pula, meski dia akan merasa muak hingga ingin meledak setiap kali melihat waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. Akal sehatnya memutuskan, memiliki jam tangan tetap lebih praktis ketimbang harus selalu mencari-cari jam dinding setiap kali dia hendak memulai atau menyelesaikan suatu pekerjaan.

Malam ini, dia memaksa kakinya melangkah menuju ke sebuah toko jam, dia berniat membeli sebuah jam tangan baru, pengganti jam tangannya yang dulu pernah diinjaknya sampai remuk, lalu dibuangnya ke tempat sampah. Maka di sinilah dia berada, di dalam sebuah toko jam paling besar di kota. Berpuluhpuluh, atau bahkan mungkin hingga ratusan jam beregantungan di seluruh ruang, dalam etalase juga terdapat banyak sekali jam meja dan jam tangan, aneka ukuran, model dan warna. Tiba-tiba terlihat olehnya letak jarum-jarum dalam banyak jam juga menunjuk ke arah berbeda, menunjuk ke angka-angka berbeda. Berarti menandai waktu berbeda pula. Dia tiba-tiba merasa gembira, memindah-mindahkan pandangannya ke setiap waktu yang ada dalam ruangan itu, matanya bergerak lincah.

Penjaga toko memandangnya, tersenyum ramah, sedikit menggangguk, dia balas tersenyum dan mengangguk. Kemudian melanjutkan keasyikannya memilih waktu yang ingin dipandanginya.

Jam empat pagi, dia merenggangkan otot lengan dan punggungnya seperti seekor kucing, menarik selimut, dan kembali memejamkan matanya dengan puas. Jam enam lebih tiga puluh menit, dia menikmati sarapannya, tenang dan nikmat, tak perlu tergesa-gesa seperti biasanya, dia masih punya cukup banyak waktu sebelum terlambat berangkat bekerja. Jam setengah satu siang, pekerjaannya sudah beres semua, dia menikmati makan siang dengan santai. Jam lima sore, dia bersiap meninggalkan ruang kerjanya, dia berencana akan mampir membeli makan malam lezat untuk merayakan harinya yang menyenangkan. Jam delapan malam dia sudah duduk di sofanya, bersih, hangat dan kenyang, bersiap menonton sesuatu yang menyenangkan di layar kaca, dan dia masih punya beberapa kaleng minuman dan makanan ringan yang akan membuat perasaannya semakin nyaman.

“Maaf, bisa saya bantu ?” Suara itu mengganggu, dia sedang mengunyah kripik sambil menikmati film favoritnya.

“Maaf mas, ingin mencari jam dinding, atau… ingin model atau merk yang bagaimana ?” Suara itu lagi. Dia terpaksa mengalihkan pandangan dari jam sembilan malam paling menyenangkan yang pernah ada dalam hidupnya.

Jalanan sudah sepi, hampir semua toko sudah menutup pintu*

tanya pagi pada mimpi

tanya pagi pada mimpi

by Dian Aza on Monday, March 21, 2011 at 7:19pm

Di manakah rumahmu. Sekali-sekali aku ingin mengunjungimu, bukannya menunggumu mengendap-endap datang di saat aku terlelap. Kusangka kau tak perlu begitu pengecut, apa yang ada di pikirmu kalau kau mendatangiku saat aku terjaga, kau takut aku akan menepiskanmu, atau justru beranjak meninggalkanmu. Katakan saja apa yang bikin kau hanya berani menghampiriku diam-diam dalam gelap. Kenapa kausembunyikan rahasia yang sudah kuberikan padamu tanpa syarat dan cuma-cuma.

Percayalah, akan kusimpan dan kujaga sepenuh hati semua tempat yang tak ingin kautunjukkan pada terang*

pesan dari neraka

pesan dari neraka

by Dian Aza on Monday, March 21, 2011 at 8:14am

Kau tahu apa yang ingin kusembunyikan darimu, kebahagiaan. Kebahagiaan seperti bajubaju tua membunuh kedalaman laut. Kita sedang berpesta di kebun anggur, meminum tuak yang terbuat dari liur serigala, supaya ikut mahir menjulurkan lidah, tak melulu tertawa. Terlalu banyak tawa di udara, hingga mengering rongga mulut. Belum juga temukan racun ampuh pembunuh tuhan. Dari semula aku cuma ingin mewarisi surga.

Menyembunyikan kebahagiaan itu bijaksana. Garagara melihat kebahagiaamu aku menderita, cemburu, terluka, membual, ingin sekali menguliti tubuhmu untuk membuktikan kebahagiaan itu palsu, cuma di lapisan luar luka. Di balik bola matamu, aku yakin akan kutemukan telaga yang sama persis merahnys dengan darah binatang di rumah jagal, menggelitik jamari dengan pengkhianatan. Purapura dipelihara dengan sayang untuk dimakan.

Bayibayi manusia terlahir dengan menangis, atau sejak lahir manusia sudah pandai berdusta, berlagak sedih melihat dunia.

Kalau kau masih keras kepala, ingin melihatku bahagia, gali saja makammu sendiri dengan lenganlenganku yang sudah kaupenggal. Kuburkan kepalakepala binatang di dalamnya bersama kaum miskin, manusiamanusia lanjut usia, dan perempuanperempuan yang gemar bermesra di kuburan. Biarkan aku belajar berperang tanpa lengan, membunuhmu dengan taringku yang tumpul, agar banyak waktuku membisikkan doa, sampai telingamu berdarah.

Kebahagiaan juga berwarna merah, asin, kental, menetes dari patahan lenganku mewarnai pundakmu, nyala*

cinta dalam sepotong bakpao

cinta dalam sepotong bakpao

by Dian Aza on Monday, March 21, 2011 at 12:11am
Cuma sepasang kekasih miskin yang bisa makan bulan hangat di pinggir jalan tengah malam, tak khawatir akan dirampok orang. Bulan istimewa, bisakah kau dengar kacang tanah berceloteh renyah di lidahku, mereka berkata jejak nafasmu seharum surga*

setengah salah

setengah salah

by Dian Aza on Sunday, March 20, 2011 at 11:46am
Aku lalai minta kau menjaga mimpimimpi burukku, hingga tangantangan jahil mencurinya. Tangantangan jahil berkuku hitam dan panjang, datang dari bawah tanah yang entah. Tangantangan jahil terbang menunggangi mimpimimpi burukku, memporakporandakan kota. Kau pasti tahu betapa perkasanya sayapsayap mimpi mengepak, bisa membakar surga.

Kelalaian kedua adalah milikmu, kau tak minta pertanggungan jawabku. Mungkin itu taktikmu agar aku tak menuntut, bahwa seharusnya kau mengurung setiap mimpi buruk meski yang tidur lupa meminta. Karena kau selalu lebih pintar dan cekatan, lebih cepat dan hebat. Tapi kini kau membuat orangorang tak bersalah menderita karena kelalaian kita berdua.

Semua sudah terjadi, sekarang aku cuma bertanya, masih bisakah aku tidur lagi*

kredo

kredo

by Dian Aza on Sunday, March 20, 2011 at 11:27am
Ada laut dalam tubuhku, gelombangnya mengalun merdu, berkilau menggoda pasir, batu karang, bahkan juga bulan. Kuambil segala warna, kutelan tanpa kenyang. Kuhamparkan untukmu, basah dan gurih, tenang dan ombak, pasang dan surut, selalu menanti kauselami.

Kalau kauingin badai, bisa kusuruh angin mengoyak kulit dan daging, meremukkan tulangtulangku. Badai selalu tinggal di dasar jantungku*

nada sumbang

nada sumbang

by Dian Aza on Sunday, March 20, 2011 at 11:12am
Bagaimana aku tahu bahwa aku hidup, kalau aku belum tahu apa-apa tentang kematian, kematianku. Tentang aku saja ya, itu lebih aman dibanding tentang kau, dia dan mereka. Tentang aku, aku, aku dan aku. Betapa senangnya boleh mengatakan aku berulang kali, sesering yang kusuka. Siapa sih yang tidak suka pada diri sendiri. Kurasa kesukaanku menulis tentang aku masih dalam batas wajar, normal. Rasanya menyenangkan untuk merasa bahwa diriku berada dalam zona aman dan benar. Hahaha, norak sekali ya. Seperti seseorang yang butuh mengkonsumsi obat saja, padahal tidak menyadari kalau sedang mengidap suatu penyakit. Tapi kalau dipikir-pikir siapa sih yang tidak sakit di jaman ini, hanya benda-benda yang kebal, sedangkan manusia, belum sempurna rasanya kalau sehat-sehat saja*

morning kisses

morning kisses

by Dian Aza on Sunday, March 20, 2011 at 8:07am
tenang tenang sayang, hujan abu semalam masih
melekat di rambutku, meninggalkan jejak usapan bulan. Jangan cemburu,
jarangjarang bulan cukup dekat menyentuhku, tak macam kau
yang setiap saat mendekam di leherku. Betapapun perkasanya
bulan tetap cuma berani mampir sebentar sampai
langit timur membuka mata, jingga, saatnya
bulan kembali tenggelam dalam keningmu*

pagi

pagi

by Dian Aza on Sunday, March 20, 2011 at 7:37am
Kau menulis surat cinta terindah dengan gelembung udara. Kubaca dalam rongga dada. Kita tak bertukar kata dengan cinta, tapi cinta memberi cumacuma segala yang belum sempat kupinta. Air mata hanyalah nyanyian gembira kemarau untuk hujan pertama. Lalu kita kembali menanam mimpi di wajah matahari*

dua paragraf

dua paragraf

by Dian Aza on Saturday, March 19, 2011 at 9:48pm

Kalau ingatan bisa memilih kenangan mana yang hendak dijabarkan, aku malah khawatir akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari dan memilah-milah kenangan, daripada waktu untuk menikmati indahnya. Tentang kau, tentu saja, tak perlu ragu tentang siapa yang selalu berdiam di anganku. Tapi tempat, peristiwa, waktu, mana yang paling tepat diingat. Ketika langit sungguh berseri malam ini, bulan merapat ke bumi, hujan sudah berhenti, dan senyummu lebih meriah dibanding nyanyian jangkrik yang sedang jatuh hati.

Aku berharap kaubisa membantuku. Memilih seruas jalan paling hangat dan lengang yang pernah jadi milik kita. Andai kau ada sedikit rindu dan waktu, temani aku melangkah sebentar, kembali menyusuri bau lembab tanah bertabur guguran akasia. Tiba-tiba aku teringat serpihan merah yang dulu biasa terhampar sepanjang jalan kita. Kau bilang sayangmu lebih banyak jumlahnya, bahkan jika ditambah dengan bunga-bunga yang masih melekat di ranting pohon. Aku tersenyum, kalau benar demikian, aku harus segera memakai mantelku lalu keluar mencarimu. Kau tak mungkin tega sembunyi dariku di saat purnama merekah begini indah*