Kamis, 30 Desember 2010

memakan hati

Pada suatu pagi menjelang siang yang lenggang, seorang anak perempuan yang sangat lapar jadi tak sabar menunggu ibunya pulang. Hanya ada nasi basi di meja makan. Akibat terlampau lapar, sebuah ide cemerlang tumbuh dari lambungnya yang gersang, alangkah baiknya kalau aku menggoreng hatiku sebagai lauk makan siangku.

Dia hanya anak perempuan yang teramat lapar dan sedikit liar. Maka diambilnya pisau dapur, dibelahnya perutnya, dirogohnya hatinya sendiri. Segara ditarik keluar, di taruh di meja dapur. Hati itu begitu lezat nampaknya, lembut, merah dan hangat.

Dia memanaskan minyak dalam wajan. Setelah siap, segera digorengnya hatinya, tanpa bumbu, tanpa ragu. Harumnya semerbak sampai jauh. Tak lama hati itu matang, kecoklatan, berkilat, penuh lelehan minyak. Uap hangat menyebar, terasa sangat nikmat membuai benak. Membuat anak perempuan itu semakin lapar .

Nasi basi tak jadi soal, dengan lauk hati goreng yang masih mengepulkan uap ,semua tentu sedap adanya. Setelah melahap hati goreng lebih dari setengah bagian, gadis itu teringat ibunya. Ibuku pasti juga pulang dengan kelaparan, biasanya juga tak bisa langsung makan, mesti memasak dulu, menyiapkan apa yang mesti dimakan ibu dan anak perempuannya. Tentu ibu juga akan senang kalau kusisakan separuh hatiku buat ibu. Mungkin ibu akan menatap kagum hidangan hati gorengnya, memujinya atau mengatakan terima kasih, bahkan dia berharap ibu akan memeluknya erat, karena terlalu girang untuk kejutan sepotong hati goreng.

Setelah kenyang perutnya anak perempuan duduk di lantai rumahnya. Bermainmain dengan satusatunya boneka butut yang ada di rumah itu. Anak perempuan itu bercakapcakap dengan boneka berwajah murung dan berambut kusut di pangkuannya. “Kalau kau lapar dan bisa makan, aku juga akan memberimu sedikit hati gorengku, tahukah kau rasanya sungguh sedap. Apa kau tahu apa yang nanti mungkin akan dikatakan ibu di saat pulang dan melihat aku sudah menyiapkan makan siang ?”

Boneka butut itu hanya diam, menatap anak perempuan dengan biji mata yang sudah pecah.

“Kenapa sih, kau dilahirkan boneka, tak bisa bicara, bergerak, berjalan, bahkan tak bisa lapar dan tak bisa makan. Apa sih yang kaupikirkan, apa kau sungguh tak bisa mendengarku, kau punya telinga dan mulut, apa itu tak bisa membuatmu mengerti dan menjawabku. Tahukah kau kemana ibuku pergi, setiap malam, setelah meletakkanmu dalam pelukanku. Dan ini sudah terlalu siang, mestinya ibu sudah pulang. Jika aku belum makan, tentu aku sudah lapar sekarang. Tapi, aku sangat kangen pada ibuku, ingin ibu segera datang, aku tak sabar melihat ibu gembira menemukan kejutanku di meja makan.”

Boneka butut itu masih diam, menatap anak perempuan dengan biji mata yang sudah pecah.

Hari menjadi kian siang, merangkak petang, anak perempuan tertidur sambil memeluk boneka butut. Dan ibu belum juga pulang. Alihalih seekor kucing betina tibatiba memasuki rumah, mungkin tercium olehnya aroma hati goreng di atas meja yang terbawa angin. Kucing betina dengan tangkas memanjat meja makan, mencuri hati goreng. Boneka butut itu diam saja, memandang dengan biji matanya yang sudah pecah. Kucing betina membawa hati goreng itu ke dalam kerdus di ujung jalan, di mana anakanak kucing menyambut dengan suara eongan berisik. Jadilah anak beranak kucing itu mendapat berkah, menikmati makan sore dengan nikmat, lezat nian hati goreng anak perempuan itu.

Bertahuntahun rasanya mimpi siang itu berlangsung. Anak perempuan terbangun di sebuah tempat yang tak dapat diingatnya. Tapi itulah rumahnya. Boneka bututnya masih ada, masih diam, menatapnya dengan biji mata yang sudah pecah. Tibatiba anak perempuan teringat dengan hati goreng yang disiapkan untuk ibunya, yang diletakkannya di atas meja makan, yang telah hilang. Anak perempuan itu tak pernah tahu perihal kucing betina yang mencuri hatinya.

“Apakah ibuku pulang saat aku tertidur nyenyak, lalu memakan hati goreng yang kusisakan untuknya di meja makan?” Anak perempuan itu bertanya sambil menatap mata pecah boneka bututnya. “Mungkin setelah itu ibu pergi lagi karena sudah waktunya bagi ibu untuk pergi. Apa yang dikatakan ibu padaku, tentang hati gorengku ?”

Anak perempuan itu tak pernah tahu, bahwa ibu yang ditunggunya sesungguhnya telah dibunuh dan dimakannya sendiri ketika dia tak mampu menahan rasa lapar di sebuah siang yang lenggang. Anak perempuan itu telah mengeluarkan ibunya dari dadanya, menggorengnya dan memakannya sendiri. anak perempuan itu tak pernah tahu, bahwa selama ini dalam hatinyalah ibunya selalu pergi dan berdiam diri sepanjang hari.

Mungkin anak perempuan itu masih terlalu kecil untuk mengingat pesan ibunya sebelum meninggalkannya di ujung jalan sebuah komplek perumahan. Anak perempuan itu mestinya belum bisa menyimpan apaapa dalam ingatannya, ketika ibunya yang sekarat digerogoti panyakit gagal ginjal mendekapnya erat sebelum meninggalkan anak perempuan itu, membisikkan pesan,”Maafkan ibu, maafkan juga bapakmu. Ini yang terbaik yang bisa ibu berikan untukmu. Ibu akan selalu ada dihatimu, menjagamu dalam hatimu.” Ibunya mengatakan itu sambil mengusapkan wajahnya yang basah pada dada anak perempuan yang masih belum genap sebulan usianya. Hanya boneka butut itu yang bisa diberikan ibunya sebagai benda kenangan yang mungkin suatu hari kelak akan bisa menjalinkan kisah.

Hanya boneka butut itu yang mengetahui segalanya. Kegemparan seorang pemulung yang menemukan seorang bayi perempuan. Ibunya tentu sedih melihat anak perempuan itu dibawa pergi oleh seorang yang sama miskin dengan dirinya, tapi dia tak berdaya, hanya bisa memalingkan wajah bersimbah airmata, menatap anak perempuannya semakin berjarak, semakin jauh, sampai akhirnya menghilang dari pandangan. Bapaknya telah pergi sejak anak perempuan itu masih janin dalam rahim ibunya. Meninggalkan ibu dan anak perempuan itu, bersama boneka bututnya. Menghilang, mencari hidup yang entah. Tak genap satu bulan setelah terpisah, lebih tepat memisahkan diri dari anak perempuan dan boneka bututnya, ibunya meninggalkan dunia sepenuhnya, tak ada lagi di manamana. Hanya berdiam dan sembunyi dalam hati anak perempuannya sepanjang hari.

Anak perempuan itu juga tak tahu setiap kali hatinya terasa sakit, sebenarnya ibunya sedang meratap di sana, di dalam hatinya. Meratapi nasib anak perempuannya yang tumbuh di tempat kumuh, tak terurus, bahkan hampirhampir tak seperti manusia. Pemulung yang membawanya pulang hanya tahu membawa anak perempuan itu mengemis sejak bayi, mengajarinya mencuri. Dan yang terburuk adalah menjual anak perempuan itu kepada seorang pemabuk tua, sebelum umurnya genap sepuluh tahun. Di waktu sakit, diare atau demam, anak perempuan itu ditinggalkan sendiri di rumah, tanpa obat dan makanan. Hingga akhirnya anak perempuan itu tak bisa lagi menahan sakit dan lapar. Membelah dan mengeluarkan hatinya sendiri, menggorang dan memakannya sendiri.

Setidaknya anak perempuan itu bertahan hidup, dengan menyantap hati gorengnya sendiri, anak perempuan itu bertahan hidup. Walau dengan kemungkinan lebih buruk yang menanti di harihari mendatang, karena anak perempuan itu tanpa sadar telah melenyapkan ibunya, satusatunya jiwa yang menjaganya, yang berdiam dalam hatinya sendiri, yang telah digoreng dan dimakannya demi bertahan hidup. Anak perempuan itu makin tak mengerti, makin menanti, makin kehilangan segala yang tak pernah dimiliki.

Kini anak perempuan itu masih berjalanjalan sendiri, atau berdiam di rumahnya, tertidur sendiri di lantai yang keras dan dingin, seakan bumi ini sungguh sepi. Kota telah mati, juga katakata tak lagi bisa dimengerti, sejak hatinya tak ada lagi, dan ibu yang dinanti tak juga menampakkan diri. Hanya ada sebuah boneka butut yang menemani.

Boneka butut yang masih selalu diam, menatap anak perempuan dengan biji mata yang sudah pecah*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar