Aku tak pernah lelah mengejar dan memainkan bayangbayangmu yang setia mengikuti, persis anjing kecil bermainmain dengan ekornya sendiri. Kadangkadang aku terlalu bersemangat, tanpa sadar menyalak terlalu keras, membuat tikustikus ketakutan. Tapi anakanak berdatangan dari balik dinding bambu, tertawa sambil memegangi telinganya. Aku makin riang, merasa telah berbagi kesendirian di mangkok plastik. Surat kabar tua, kalengkaleng bekas dan kerdus lapuk menyempatkan memalingkan wajah dan tersenyum. Masih ada yang bisa bermain dengan diri sendiri di sudut kumuh, telah jadi sebuah kabar gembira, menggema di betonbeton kokoh. Lambat laun tikustikus tak lagi takut, ikut menatapku dengan mata dan seringai yang mencuatkan taring seputih gading. Aku merasa mendengar tikustikus berbincang di antara mereka, tentang seekor anjing tolol yang tak akan memangsa siapasiapa, karena terlalu sibuk mengejar ekornya sendiri. Setiap hari semakin banyak yang hadir melihatku berputarputar mengejar ekor. Aku dengan senang terus berputar, menciptakan puting beliung dari gerakku. Seorang perempuan anggun berdecak kagum, dari balik beton turut menonton putaranku, secantik penari cilik dari rusia katanya.
Aku terus berputar kalau tak sedang sangat lapar, tak pernah tidur kalau tak sangat mengantuk. Tanpa kusadari aku juga memutar waktu bersama bayangbayangmu. Anakanak beranjak dewasa, mulai lelah tertawa dan bertepuk tangan. Perempuan anggun pergi diamdiam, kembali ke balik dinding tinggi. Tubuh dan ekorkupun bertambah panjang, tapi aku masih suka bermainmain dengan bayangmu, menciptakan angin topan yang kian kencang menerjang tubuhku sendiri. Hingga menghempaskan semua yang diam di dekatku, bahkan lutut dan perutku sendiri serasa terbang, berputar mendekati awan. Mungkin aku akan terus bermain, sampai bayangbayangmu menghilang di sebuah hujan. Jatuh lalu meresap di celah pavingblock, atau menggenang di lubang jalan, sebelum hanyut ke selokan.
Dan kudapati suatu pagi, aku terjaga tanpa bayangbayangmu lagi. Seekor anjing yang cemas karena ekornya menghilang. Seekor anjing yang sangat sedih dan cemas kehilangan mainan yang setia membuatnya gembira. Dengan mata perih aku memandang tikustikus berlarian sambil menegakkan ekornya masingmasing. Tikustikus menatapku tak mengerti, juga surat kabar tua, kaleng bekas dan setumpuk kerdus lapuk tak memahami, kenapa aku murung dan bingung. Sayang aku tak bisa bicara bahasa tikus, tak bisa aku berbagi keluh, suaraku hanya akan bikin tikustikus jadi takut. Andai aku masih punya ekor, tentu bisa kuselipkan di sela kaki, agar semua mengerti aku sedang sedih. Mungkin anakanak mau melemparkan ranting untuk kutangkap, lantas memujiku anjing pintar. Atau perempuan anggun akan keluar dari beton kokohnya, sekedar untuk menepuknepuk keningku. Atau mungkin salah satu tikus menjadi iba hatinya, percaya dan mau meminjamkan ekornya untuk kumainkan sebentar. Mungkin kalau aku tabah dan tetap ramah, bayangbayangmu akan kembali datang, mengikutiku dengan setia, melekat pada punggung anjing lagi, jadi ekor paling lucu yang membuatku berputar mengejarnya sepanjang waktu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar