Kamis, 30 Desember 2010

ilusi

Aku dan temanku, siang ini berjumpa dengan penjual tirai. Lelaki muda, biasa saja, memanggul tirai pada bahunya. Yang istimewa tirainya bukan sembarang tirai, bukan tirai kain, bukan tirai kertas, bukan pula manikmanik plastik. Tapi, tirai kerang. Tirai kerang, satu ikat terdiri sepuluh untai, setiap untai satu setengah meter panjangnya. Hanya pada ujungujungnya senar terlihat, bening dan kuat, menguntai ratusan kerang. Besar dan kecil, seribu pola, mungkin lebih. Temanku membeli empat ikat, masingmasing sepuluh ribu rupiah, berisi empat kali sepuluh untai, sama dengan empat puluh untaian kerang. Dua puluh untai berwarna putih, dua puluh untai berwarna hitam. Semuanya indah, menyimpan bau laut jika disentuh hidung.

Empat puluh untai kerang dalam sebuah kantong plastik, menyimpan bau laut, jika kujengukkan kepala ke dalam kantong plastik, mungkin jika kudekatkan telinga bisa kudengar debur ombak. Tapi tidak kudengar dengan telingaku, hanya menyusup masuk ke dalam kepalaku. Agar lebih indah terdengar, akan kusebutkan: memenuhi benakku, debur ombak dan buih, ayunan sampan, bahkan teriakan camar, seakan keluar dari celah kulit kerang, berbondongbondong menyusup ke dalam benak, gemuruh, bagai sekelompok kijang sedang berlari menyeberangi sungai. Barisan buaya di tepinya, mengincar sebuah langkah yang salah. Ajal sedang memilahmilah, macam tirai akan menyekat ruang. Hanya saja temanku bisa memilih di mana hendak memilah rumahnya. Benakku berputar.

Lelaki muda itu tibatiba datang kembali, menawarkan dagangannya yang tersisa, temanku tak merasa kurang, aku tak ada uang. Maka tirai kerang tetap bersandar di bahu lelaki muda. Tak lama datang lagi seorang perempuan, temanku yang lain, kini kami bertiga dalam satu ruang pada sebuah siang, tertarik pada tirai kerang. Tiga perempuan mengamati empat puluh untai kulit kerang, menyentuh, mencium, menimangnimang, mematutmatut, mencoba menghitung, mengamati corak dan warna kulit kerang. Sepertinya kami sedang senang, membayangkan perjalanan kulit kerang dari dasar laut sampai teruntai bersama pada seutas senar. Dua teman perempuan dan aku, merasa antusias pada entah berapa ribu kerang yang terjalin pada senar.

“Betapa susahnya, pada mulanya tentu harus dicuci, biar kulit kerang bersih dari lumpur dan pasir.”

“Tapi, lebih dulu harus menangkap kerangnya, di tengah laut mungkin.”

“Setelah bersih, mestinya masih harus digosok dengan sesuatu agar benarbenar bersih dan cemerlamg warnanya.”

“Baru diuntai pada seutas senar, aku tak mau dibayar seharga sepuluh ribu untuk semua pekerjaan rumit itu, demi seikat tirai kerang berisi sepuluh utas untaian kerang.”

“Kau harus memasangnya berselang seling hitam dan putih, biar lebih matching. Tapi akan kaupasang di mana ?”

“Jika di pintu kamar, pasti akan terlihat eksotis.”

“Atau jadi serupa pintu kamar wanitawanita peramal.”

“Hahaha…”

Tiga perempuan jadi begitu asyik berbicara tentang untaian kulit kerang pada senar. Benarbenar terbenam dalam kisah perjalanan kulit kerang. Sampai jam satu siang, dan kami masingmasing harus pulang. Temanku berjalan pulang,  membawa tirai kulit kerang dalam kantong plastik. Begitu juga temanku yang yang satunya, dan akupun demikian. Tirai kulit kerang dibawa pulang temanku, tapi aroma laut, debur ombak dan buihnya telah kuambil diamdiam, kusimpan dalam benakku.

Sesampainya di rumah aku segera menggelar apa yang tadi sudah kusimpan dalam benakku. Laut, debur ombak dan buih. Burung camar dan sampan nelayan mulai berdatangan ke arah laut yang kugelar. Aku merasa senang mencium bau amis dari geladak sampan. Empat nelayan sedang menanak nasi sambil membakar ikan. Sungguh sedap aroma ikan bakar itu, membuatku jadi lapar. Ketika akhirnya keempat nelayan mulai makan, aku mendekat, berharap mendapat bagian. Tapi tak ada yang melihatku, tak seorangpun dari keempat nelayan itu mengetahui aku ada di sana. Aku sangat kecewa dan masih lapar. Aku jadi iba, teringat nasib seekor anjing yang selalu duduk di bawah meja ketika manusia bersantap, menjadi mahluk yang tidak dianggap ada. Sesaat kemudian burungburung camar terbang dan berseruseru di atas sampan, suaranya berisik, membuatku yang lapar sangat ingin jadi petir, menjatuhkan beberapa ekor camar untuk kusantap, kupikir rasanya pasti tak kalah sedap dengan ikan bakar.

Ternyata aku masih diam duduk di ujung sampan, memandang laut dan ombak yang terbelah oleh laju sampan, pantai kian dekat. Aku senang menyadari bahwa aku akan segera mendarat. Aku senang pantai itu tersedia begitu saja, seingatku tadi aku tak mengambil pantai dari untaian kulit kerang. Sampan merapat, aku berdiri ingin segara pergi. Belum sanggup melangkah ketika kulihat lelaki muda itu, penjual kulit kerang memeluk kerang yang baru turun dari sampan mendahuluiku. Lelaki itu memeluk ribuan kerang eraterat, menundukkan kepalanya selama kirakira sepuluh menit lamanya. Kemudian lelaki muda itu memindahkan kerangkerang ke atas bahunya. Aku menatap tak percaya, kerangkerang itu telah teruntai pada senar, diikat jadi satu bagian tiap sepuluh utas senar, kerangkerang yang telah sempurna teruntai  senar.

Aku mengerjapkan mata, tak percaya pada apa yang kulihat, kulit kerang dengan begitu saja telah jadi tirai kerang. Tak ada pekerjaan yang tadi kubicarakan dengan temantemanku, begitu mudah dan sederhana. Aku masih terus mengerjapkan mataku, terburuburu mengikuti langkahlangkah lelaki muda. Meninggalkan pantai, menyusuri dermaga, perkampungan nelayan, terus berjalan sampai ke jalan raya. Sekalisekali lelaki muda menawarkan tirai kulit kerang pada setiap orang yang ditemui sepanjang jalan, juga di terasteras rumah, di trotoar, di pintu keluar tokotoko. Lelaki itu terus berjalan sambil menawarkan tirai kerang. Aku mengikuti kemanapun lelaki muda penjual tirai kerang itu berjalan, ke arah manapun, aku terus berjalan mengikuti.

Hari mulai redup, aku merasa letih, tapi tak bisa aku meninggalkan lelaki muda penjual tirai kerang itu sendiri. aku tak mengerti, sungguh tak mengerti. Mungkinkah karena aku telah mengambil laut dari tirai kerang temanku, menyimpannya diamdiam dalam benakku. Mungkin akulah yang tengah mabuk aroma laut dan membiarkan aku diambil laut dari temantemanku. Laut itulah yang menyimpanku diamdiam dalam kulit kerang. Aku letih dan masih tak mengerti.

Aku mulai bertanya, manakah yang lebih bisa mengambil dan menyimpan, apakah laut atau aku. Manakah yang lebih mengelabui, manakah yang lebih kuat, aku ataukah laut dalam benakku. Aku berharap lelaki muda penjual tirai kerang akan bertemu kembali dengan temanku, menawarkan kembali tirai kerang, semoga temanku mau membeli tirai kerang lagi, agar aku bisa mengatakan pada temanku bahwa semua percakapan tentang tirai kerang tidaklah benar. Aku juga akan mengembalikan laut yang kusimpan dalam benakku pada tirai kerang kepunyaan temanku. Atau jika memang laut yang menyimpanku, biarlah temanku membebaskan aku dari laut itu. Diamdiam aku bernazar, tak akan pernah lagi aku bermainmain dengan yang lebih besar dan luas dari kepala, tak akan lagi berandaiandai dan ingin tahu apapun, kalau tidak biarlah aku dan laut selamanya saling menyimpan dalam untaian tirai kerang di pintu kamar wanita peramal*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar