Pagi tadi, aku masih anak lakilaki, terbangun oleh seruan ibuku. Kupandangi bapak sedang merajut sebuah jala lebar, dan ibu mondarmandir di rumah mencari dinding. Rupanya semalam datang seorang yang terlalu mengantuk, sangat menginginkan pintu, tapi tak juga bertemu. Sebelum tidur, Ibu menyembuyikan pintu itu ke dalam lemari baju. Kalau sampai hilang kita tak bisa ke manamana. Maka seorang yang mengantuk itu nekad menerobos dinding rumah, melubangi dinding dengan tanda tanya. Aku bisa melihat kamar mandi rumah sebelah lewat lubang di dinding rumah. Selama aku masih anak lakilaki, tak ada yang melarangku tertawa.
Anak lakilaki, aku mandi, mengguyur tubuhku dengan air dingin yang bawel. Sepanjang waktu mandi, aku telah banyak berdebat dengan gayung dan gelembung sabun. Kami bertaruh siapa yang akan mengajakku jalanjalan sore. Ini kan masih pagi, aku mendengar kamar mandi sebelah rumah menertawakan aku yang masih belum sikat gigi. Ini kan masih pagi.
Tidak lagi, anak lakilakipun harus patuh pada penunjuk waktu. Mengemasi seragam sekolah ke dalam tas, bukubuku menutup kemaluanku.
Aku belajar menerbangkan layanglayang lebih tinggi, mencari gawang, berdiri dengan kepala, menghormat bendera yang melambai. Kerbau di sepanjang jalan tertawa melihat aku memakai sepatu katak, berlarilari mengejar kapal terbang. Ini benar kapal terbang, dengan tiang dan cerobong asap. Dua jangkar berbaring di atas geladak, beberapa ekor katak meloncatloncat dengan kaki telanjang. Aku tak merasa bersalah, nilai nol untuk pelajaran bahasa.
Ini masih pagi, tapi halaman sekolah terlalu terik. Tak ada sebuah pohonpun tempat berteduh. Beberapa temanku kejangkejang. Temantemanku anak perempuan. Mereka lucu, menaruh buntut kuda pada kepalanya, memakai baju yang bisa merekah. Diamdiam aku telah jatuh hati pada salah satu yang matanya paling jernih. Sejak aku melihat kakinya seperti ibuku, aku tak bisa lamalama tak menatapnya. Kapal terbang menjadi murung, enggan berlayar sendirian di angkasa. Aku tak bisa menghibur siapasiapa, terlalu sibuk menghapal sejarah.
Aku tak mencegah pagi itu pergi, anak lakilaki dalam bajuku ingin cepatcepat pulang sekolah. Mengganti bukubuku dengan celana. Satusatunya celana pemberian sahabat ibuku, sebuah celana panjang yang dipotong jadi dua bagian, satu untukku, satunya lagi untuk anak sahabat ibuku. Begitulah yang kuingat tentang cinta. Aku tak pernah mengenal anak yang mengenakan setengah bagian dari celanaku. Yang terpenting aku sudah cukup berani memandang mata jernih teman perempuanku dari lubang celana baruku. Aku masih anak lakilaki, tidak seperti pagi yang menyerahkan dirinya kepada sudut dan parabola.
Pagi itu tentu bukan anak lakilaki, tak punya kaki bersepatu katak, tak bisa meloncatloncat. Bagusnya pagi akhirnya pergi, meninggalkan aku, anak lakilaki bersama katak di geladak kapal. Anak lakilaki bertanya tentang sebuah dunia yang tenggelam. Katak tak pernah ingat apaapa. Aku sedang memikirkan katakata bapak, apakah masuk akal, sebuah kapal sanggup memuat semua jenis hewan, meski masingmasing hanya sepasang. Aku tertawa, ternyata bapak tak hanya pintar menjala ikan.
Kami berlayar, di angkasa. Aku merasakan lumpur menempel sejuk pada tungkai dan jari kaki. Wajah anak perempuan itu bermunculan dari pantat kerbau, tak ada kuda di situ. Aku mau pulang dulu, kepada ibu, menghitung hasil curianku. Aku tak takut mereka bersedih kehilangan ingatan, semua sudah tertulis pada kitab ramalan, lama sebelum aku dilahirkan. Bahwa tak ada larangan menghisap madu semua bunga yang mekar di sepanjang jalan. Tak ada peraturan, tak ada petugas, dan tak ada penjara, juga tak ada kertas dan tinta yang akan mencatat kesalahan seorang anak lakilaki yang tak pernah membaca kitab suci.
Aku anak lakilaki,memakai celana pemberian sahabat ibuku, sudah bermain sambil mencuri sepanjang hari. Ibuku mendekat, lengannya menawarkan pelukan, aku merasa mesti menurunkan layanglayang sebelum malam, agar layanglayang tak bertabrakan dengan kapal terbang. Bapak menunggu, kapal terbang kembali mendarat, untuk berlayar di laut seperti yang seharusnya. Aku berlari keluar rumah, menarik benang layanglayang, memanggil kapal terbang. Kulihat anak perempuan menunggu di bawah pohon jambu, di pipinya ada purnama bermain mata. Aku ragu, aku kan belum dewasa. Aku masih ingin belajar bahasa jepang.
Aku anak lakilaki yang tak pintar menahan diri, seperti paku tertarik besi sembrani. Anak perempuan itu, pasti memakai ekor kuda sembrani pada kepalanya untuk menarik anakanak lakilaki berlengan besi. Kusentuh lukisan purnama di wajahnya, teratai yang mengapung di bibirnya, kudengar sepasang murai sedang berkicau di balik punggungnya. Marilah terbang, sebuah panah menembus leherku. Tanpa luka, tanpa darah, hanya sepi yang terkoyak, berjatuhan di atas rerumputan. Ibu mulai cemas, memanggilmanggil namaku. Anak perempuan itu telah menang. Aku merasa ringan, ketika sayapku terkembang. Anak perempuan naik ke punggungku, menarik tali kekang di leherku, kali ini kami sungguhsungguh terbang. Lebih tinggi dari pohon jambu.
Kulihat ibuku memandang ke atas, ke arah tubuhku yang menjauhi tanah. Lalu bapak berlarilari dari arah pantai, mengejarku. Aku berkata, sebentar ibu, teman perempuanku ini akan mengantarku jalanjalan sore. Teman perempuanku begitu bersemangat, memegang tali kekang di leherku kian erat. Jantungku bergetar hebat. Aku melihat kilat menunggu dengan senyum bersinar. Di sini, cepat, di sini rumah barumu, dindingnya utuh, dengan ruang yang tersekatsekat, kulkas, tempat tidur pegas, tirai, dispenser, dan televisi yang menyala. Ada ibu dan bapak di balik layar kaca, berpelukan penuh haru di rumah yang baru.
Aku senang sekaligus gamang, teman perempuanku tibatiba sudah jadi wanita dewasa, cantik dan bersahaja, membawa mikrofon di tangan, menanyai semua orang yang berkerumun di bawah pohon jambu. Anak lakilaki itu dipeluk ibunya yang tanpa henti mengucurkan airmata. Teman perempuanku berkatakata dari balik layar kaca,”Setelah sang suami menjadi korban dalam pertikaian antar nelayan seminggu yang lalu, kini sang ayah ditemukan menggantung diri di halaman rumahnya. Diduga kerena stress dan gangguan jiwa yang dideritanya. Menurut keterangan para tetangga, pria yang usianya sekitar 70 tahun tersebut sering bersikap aneh sejak anaknya meninggal.”
Aku melihat tubuhku berayunayun di dahan jambu, dengan leher terjerat pada tali rami, berserabut, kelabu kemerahan menyatu dalam kepangan. Warnanya seperti ekor kuda pada rambut teman perempuan anak lakilaki yang memandangku dengan mata bingung. Mata yang bertanya pada dinding rumah, siapakah dirinya, kenapa bisa ada dua, di atas tanah dan tergantung di dahan jambu.
Ini bukan pagi, aku bukan anak lakilaki. Matahari menjadi lingkaran merah pada bendera, lingkaran yang sudah pecah. Warna merahnya mengambang pada putih, berkibar di bawah langit. Tak lama datang orangorang gagah yang merobek langit dari bendera. Anak lakilaki itu akhirnya hanya tinggal punya merah dan putih saja, tulang dan darah. Ibu itu bukan ibuku, dan televisi itu berpindahpindah tempat, sambil terus menggumam, ini bukan sinetron. Aku berkata dalam hati, semua pasti sudah sinting. Biar saja tubuhku terus tergantung di dahan jambu, selama burungburung murai masih berkicau di balik punggungmu*
Anak lakilaki, aku mandi, mengguyur tubuhku dengan air dingin yang bawel. Sepanjang waktu mandi, aku telah banyak berdebat dengan gayung dan gelembung sabun. Kami bertaruh siapa yang akan mengajakku jalanjalan sore. Ini kan masih pagi, aku mendengar kamar mandi sebelah rumah menertawakan aku yang masih belum sikat gigi. Ini kan masih pagi.
Tidak lagi, anak lakilakipun harus patuh pada penunjuk waktu. Mengemasi seragam sekolah ke dalam tas, bukubuku menutup kemaluanku.
Aku belajar menerbangkan layanglayang lebih tinggi, mencari gawang, berdiri dengan kepala, menghormat bendera yang melambai. Kerbau di sepanjang jalan tertawa melihat aku memakai sepatu katak, berlarilari mengejar kapal terbang. Ini benar kapal terbang, dengan tiang dan cerobong asap. Dua jangkar berbaring di atas geladak, beberapa ekor katak meloncatloncat dengan kaki telanjang. Aku tak merasa bersalah, nilai nol untuk pelajaran bahasa.
Ini masih pagi, tapi halaman sekolah terlalu terik. Tak ada sebuah pohonpun tempat berteduh. Beberapa temanku kejangkejang. Temantemanku anak perempuan. Mereka lucu, menaruh buntut kuda pada kepalanya, memakai baju yang bisa merekah. Diamdiam aku telah jatuh hati pada salah satu yang matanya paling jernih. Sejak aku melihat kakinya seperti ibuku, aku tak bisa lamalama tak menatapnya. Kapal terbang menjadi murung, enggan berlayar sendirian di angkasa. Aku tak bisa menghibur siapasiapa, terlalu sibuk menghapal sejarah.
Aku tak mencegah pagi itu pergi, anak lakilaki dalam bajuku ingin cepatcepat pulang sekolah. Mengganti bukubuku dengan celana. Satusatunya celana pemberian sahabat ibuku, sebuah celana panjang yang dipotong jadi dua bagian, satu untukku, satunya lagi untuk anak sahabat ibuku. Begitulah yang kuingat tentang cinta. Aku tak pernah mengenal anak yang mengenakan setengah bagian dari celanaku. Yang terpenting aku sudah cukup berani memandang mata jernih teman perempuanku dari lubang celana baruku. Aku masih anak lakilaki, tidak seperti pagi yang menyerahkan dirinya kepada sudut dan parabola.
Pagi itu tentu bukan anak lakilaki, tak punya kaki bersepatu katak, tak bisa meloncatloncat. Bagusnya pagi akhirnya pergi, meninggalkan aku, anak lakilaki bersama katak di geladak kapal. Anak lakilaki bertanya tentang sebuah dunia yang tenggelam. Katak tak pernah ingat apaapa. Aku sedang memikirkan katakata bapak, apakah masuk akal, sebuah kapal sanggup memuat semua jenis hewan, meski masingmasing hanya sepasang. Aku tertawa, ternyata bapak tak hanya pintar menjala ikan.
Kami berlayar, di angkasa. Aku merasakan lumpur menempel sejuk pada tungkai dan jari kaki. Wajah anak perempuan itu bermunculan dari pantat kerbau, tak ada kuda di situ. Aku mau pulang dulu, kepada ibu, menghitung hasil curianku. Aku tak takut mereka bersedih kehilangan ingatan, semua sudah tertulis pada kitab ramalan, lama sebelum aku dilahirkan. Bahwa tak ada larangan menghisap madu semua bunga yang mekar di sepanjang jalan. Tak ada peraturan, tak ada petugas, dan tak ada penjara, juga tak ada kertas dan tinta yang akan mencatat kesalahan seorang anak lakilaki yang tak pernah membaca kitab suci.
Aku anak lakilaki,memakai celana pemberian sahabat ibuku, sudah bermain sambil mencuri sepanjang hari. Ibuku mendekat, lengannya menawarkan pelukan, aku merasa mesti menurunkan layanglayang sebelum malam, agar layanglayang tak bertabrakan dengan kapal terbang. Bapak menunggu, kapal terbang kembali mendarat, untuk berlayar di laut seperti yang seharusnya. Aku berlari keluar rumah, menarik benang layanglayang, memanggil kapal terbang. Kulihat anak perempuan menunggu di bawah pohon jambu, di pipinya ada purnama bermain mata. Aku ragu, aku kan belum dewasa. Aku masih ingin belajar bahasa jepang.
Aku anak lakilaki yang tak pintar menahan diri, seperti paku tertarik besi sembrani. Anak perempuan itu, pasti memakai ekor kuda sembrani pada kepalanya untuk menarik anakanak lakilaki berlengan besi. Kusentuh lukisan purnama di wajahnya, teratai yang mengapung di bibirnya, kudengar sepasang murai sedang berkicau di balik punggungnya. Marilah terbang, sebuah panah menembus leherku. Tanpa luka, tanpa darah, hanya sepi yang terkoyak, berjatuhan di atas rerumputan. Ibu mulai cemas, memanggilmanggil namaku. Anak perempuan itu telah menang. Aku merasa ringan, ketika sayapku terkembang. Anak perempuan naik ke punggungku, menarik tali kekang di leherku, kali ini kami sungguhsungguh terbang. Lebih tinggi dari pohon jambu.
Kulihat ibuku memandang ke atas, ke arah tubuhku yang menjauhi tanah. Lalu bapak berlarilari dari arah pantai, mengejarku. Aku berkata, sebentar ibu, teman perempuanku ini akan mengantarku jalanjalan sore. Teman perempuanku begitu bersemangat, memegang tali kekang di leherku kian erat. Jantungku bergetar hebat. Aku melihat kilat menunggu dengan senyum bersinar. Di sini, cepat, di sini rumah barumu, dindingnya utuh, dengan ruang yang tersekatsekat, kulkas, tempat tidur pegas, tirai, dispenser, dan televisi yang menyala. Ada ibu dan bapak di balik layar kaca, berpelukan penuh haru di rumah yang baru.
Aku senang sekaligus gamang, teman perempuanku tibatiba sudah jadi wanita dewasa, cantik dan bersahaja, membawa mikrofon di tangan, menanyai semua orang yang berkerumun di bawah pohon jambu. Anak lakilaki itu dipeluk ibunya yang tanpa henti mengucurkan airmata. Teman perempuanku berkatakata dari balik layar kaca,”Setelah sang suami menjadi korban dalam pertikaian antar nelayan seminggu yang lalu, kini sang ayah ditemukan menggantung diri di halaman rumahnya. Diduga kerena stress dan gangguan jiwa yang dideritanya. Menurut keterangan para tetangga, pria yang usianya sekitar 70 tahun tersebut sering bersikap aneh sejak anaknya meninggal.”
Aku melihat tubuhku berayunayun di dahan jambu, dengan leher terjerat pada tali rami, berserabut, kelabu kemerahan menyatu dalam kepangan. Warnanya seperti ekor kuda pada rambut teman perempuan anak lakilaki yang memandangku dengan mata bingung. Mata yang bertanya pada dinding rumah, siapakah dirinya, kenapa bisa ada dua, di atas tanah dan tergantung di dahan jambu.
Ini bukan pagi, aku bukan anak lakilaki. Matahari menjadi lingkaran merah pada bendera, lingkaran yang sudah pecah. Warna merahnya mengambang pada putih, berkibar di bawah langit. Tak lama datang orangorang gagah yang merobek langit dari bendera. Anak lakilaki itu akhirnya hanya tinggal punya merah dan putih saja, tulang dan darah. Ibu itu bukan ibuku, dan televisi itu berpindahpindah tempat, sambil terus menggumam, ini bukan sinetron. Aku berkata dalam hati, semua pasti sudah sinting. Biar saja tubuhku terus tergantung di dahan jambu, selama burungburung murai masih berkicau di balik punggungmu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar