Hujan berteduh dalam benakku, membungkus senapan rapatrapat agar tak terkena cucuran hujan. Siang kelabu, hidung buntu, kau menyodorkan sehelai saputangan. Saputangan tak perlu dibuang. aku mengeringkan senapan dengan saputangan, dia menggeliat, gelisah oleh peluru dalam rongga tubuhnya. Aku ingin muntah, begitu yang akan terucap tanpa kata oleh bibir senapan. Aku lapar. Mungkin kita harus pergi makan, menembus hujan mencari tempat makan. Siang kelabu, hidung buntu.
Bento ada di daftar menu, senapan dalam benakku menggeletar. Jangan makan bento. Sebab bento adalah nama pahlawan di negeri perempuan. Tapi tak ada pilihan. Bento satu, paling murah, gambarnya indah. Tak heran jika menunggu berabadabad bisa bikin senapan meradang, menunjuk keningku dari dalam. Kau membujuknya agar tak meledak. Anehnya juru masak membawa dapurnya ke depan, mungkin dapurnya ingin main hujanhujanan.
Ketika akhirnya bento itu datang, aku terpesona. Nasinya punel dan hangat, kau bilang nasinya terbuat dari campuran beras dan ketan. Sejumput pasrahan wortel dan kubis, empat potong chiken rollade. Saus pedas dan mayonaeis. Aku tak pernah menduga bento itu sungguh bego, berserakan dalam piring datar berwarna hitam, sepasang tongkat untuk menyuap. Kau tersenyum, melihat aku bingung. Lagilagi senapan dalam benakku menggeletar, hampir halilintar, mungkin tak sabar. Ini tak akan jadi sebentar, belajar menyuap dengan tongkat.
Siang kelabu, hidung buntu. Aku senyumsenyum. Bento menunggu. Dalam sekejap semua akan jadi indah. Bento berbaris, bersiap menerobos hidung buntu. Banjir melanda benakku, menenggelamkan senapan yang tak sabaran dan arogan. Hahaha…aku tak tahu apa yang kukatakan, apa itu arogan. Kau tertawa karena bento berkalikali terjatuh dari tongkat, tepat di bawah hidungku. Bento memang benar bento, tentu bukan karena aku arogan. Aku sungguh tak mengerti, kenapa menyiksa diri dengan sepasang tongkat mungil di sela jari. Tapi siksa sungguh terlalu indah. Hanya bento yang tak ikut tertawa*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar