Cermin di dinding siapakah yang paling cantik malam ini, aku bertanya pada bayang mataku yang menyala di wajah cermin.
"Siapakah gerangan yang bertanya kali ini ; Putih salju atau Sri Ratu ?" Mata itu sungguh terbakar.
Aku, aku yang bertanya, bukan Putih salju atau Sri Ratu, ini hanya aku. Seorang perempuan yang tak puas diri sepanjang waktu.
"Hanya ada dua perempuan yang mengenalku sebagai cermin ajaib : Putih salju yang cantik dan baik hati, dan Sri Ratu yang ingin cantik dan pendengki. Tak ada yang lain. Tak juga Cinderalla atau princess Aurora. Begitulah seorang penulis menciptakan takdirku sebagai cermin ajaib dalam sebuah dongeng."
Aku tak tahu tentang takdirmu yang kauterima dari penciptamu. Aku sudah menemukanmu di sudut ruangku yang tak pernah kukunjungi hingga senja tadi, sudut paling berdebu dan terpencil. Karena aku menemukanmu bersandar sendiri di dinding, maka kuambil kau, kubersihkan debu di wajahmu, dan di sinilah kau sekarang, jadi milikku. Maka sudah selayaknya jika kaujawab tanyaku.
"Apa yang layak dan tak layak kaupinta dari sebuah cermin, selain memandangmu sepenuh hati, mengembalikan dongeng dan hikayat yang telah punah sejak kau belajar ilmu pasti dan geografi. Tak ada lagi waktu yang bisa kausebut sebagai 'pada jaman dahulu', tiada istana dan hutan terlarang yang pernah kausinggahi, tiada, pun hanya dalam mimpi. Kau perempuan malang yang tak punya kisah indah untuk dikenang."
Aku terbelalak, tak pernah kusangka, sebuah cermin bisa begitu brengsek, berlagak tahu segalanya. Sesaat kemudian kukepalkan tanganku, kutinju wajah cermin hingga pecah, memerah buku jarijariku. Namun aku jadi gundah, samarsamar kudengar nyanyian tujuh orang bajang yang pulang kerja. Aku teringat mereka membawa bongkahbongkah berlian dalam kantong kulit di saku bajunya. Berlian dengan karat terbesar. Aku mulai menyesal, andai masih utuh cermin ajaibku. Mungkin tujuh orang bajang akan muncul dari situ, kabarnya mereka murah hati, bisa kutemui salah satu dari mereka yang bernama si bijak yang ramah, atau si dungu yang selalu tertawa. Meminta sebutir kecil saja bongkah berlian untuk kutukar dengan karcis kereta api kelas utama, tujuan: negeri dongeng.
Diamdiam kusadari, bahwa cermin ajaib masih sama seperti pada jaman dahulu kala, mengatakan fakta. Aku memang perempuan malang tanpa istana, dan hutan terlarang sudah lama karam di panti asuhan*
"Siapakah gerangan yang bertanya kali ini ; Putih salju atau Sri Ratu ?" Mata itu sungguh terbakar.
Aku, aku yang bertanya, bukan Putih salju atau Sri Ratu, ini hanya aku. Seorang perempuan yang tak puas diri sepanjang waktu.
"Hanya ada dua perempuan yang mengenalku sebagai cermin ajaib : Putih salju yang cantik dan baik hati, dan Sri Ratu yang ingin cantik dan pendengki. Tak ada yang lain. Tak juga Cinderalla atau princess Aurora. Begitulah seorang penulis menciptakan takdirku sebagai cermin ajaib dalam sebuah dongeng."
Aku tak tahu tentang takdirmu yang kauterima dari penciptamu. Aku sudah menemukanmu di sudut ruangku yang tak pernah kukunjungi hingga senja tadi, sudut paling berdebu dan terpencil. Karena aku menemukanmu bersandar sendiri di dinding, maka kuambil kau, kubersihkan debu di wajahmu, dan di sinilah kau sekarang, jadi milikku. Maka sudah selayaknya jika kaujawab tanyaku.
"Apa yang layak dan tak layak kaupinta dari sebuah cermin, selain memandangmu sepenuh hati, mengembalikan dongeng dan hikayat yang telah punah sejak kau belajar ilmu pasti dan geografi. Tak ada lagi waktu yang bisa kausebut sebagai 'pada jaman dahulu', tiada istana dan hutan terlarang yang pernah kausinggahi, tiada, pun hanya dalam mimpi. Kau perempuan malang yang tak punya kisah indah untuk dikenang."
Aku terbelalak, tak pernah kusangka, sebuah cermin bisa begitu brengsek, berlagak tahu segalanya. Sesaat kemudian kukepalkan tanganku, kutinju wajah cermin hingga pecah, memerah buku jarijariku. Namun aku jadi gundah, samarsamar kudengar nyanyian tujuh orang bajang yang pulang kerja. Aku teringat mereka membawa bongkahbongkah berlian dalam kantong kulit di saku bajunya. Berlian dengan karat terbesar. Aku mulai menyesal, andai masih utuh cermin ajaibku. Mungkin tujuh orang bajang akan muncul dari situ, kabarnya mereka murah hati, bisa kutemui salah satu dari mereka yang bernama si bijak yang ramah, atau si dungu yang selalu tertawa. Meminta sebutir kecil saja bongkah berlian untuk kutukar dengan karcis kereta api kelas utama, tujuan: negeri dongeng.
Diamdiam kusadari, bahwa cermin ajaib masih sama seperti pada jaman dahulu kala, mengatakan fakta. Aku memang perempuan malang tanpa istana, dan hutan terlarang sudah lama karam di panti asuhan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar