Kamis, 30 Desember 2010

berbagi keheningan

Ibuku adalah perempuan hebat, macam orang bijak, sepanjang hari kerjanya duduk merenung dalam keheningan di tengah keramaian. Pada sudut tangga teratas sebuah pusat perbelanjaan. Ibuku duduk tenang sambil mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata. Hanya sedikit anggukan dan senyuman yang diberikannya pada semua orang.

Aku bisa membayangkan ibuku sebenarnya adalah pemilik tempat itu, pusat perbelanjaan megah, yang pintunya bisa membuka dan menutup sendiri saat ada yang hendak keluar atau masuk. Ibuku adalah pemiliknya yang sedang menyamar, duduk pada anak tangga teratas di sudut pintu yang cerdas. Karena ibuku ingin melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Memang begitulah adanya, ibuku selalu memandang dunia dengan sudut pandang yang berbeda, semua kisahnya disembunyikan dalam matanya yang kerap menolak bertemu pandang dengan siapapun, hanya menunduk, seolah di tungkainya dan pada lantai itu, ada sesuatu yang berkelip indah, macam bintang jatuh, atau gerhana matahari langka yang harus dipandangi sepenuh hati.

Dalam mata ibuku, tersimpan banyak buku, kerap dibacakannya satu untukku saat aku tak mudah terlelap di malammalam gelisah. Aku mendengar suara ibuku serupa nyanyian paling merdu. Sebuah lagu yang tak pernah bisa kubandingkan merdunya dengan nyanyian bidadari dalam mimpi sekalipun. Lengan dan dadanya selalu hangat jadi tempat bersandar. Dan ibuku terus membaca, aku merasa sedang hanyut dalam sungai beriak lembut, dengan suara jernih arusnya menyentuh batu.

“Jadilah sungai,” Ibuku pernah berkata. “Jadilah sungai, tak pernah letih mengalir. Tak perlu tangan dan kaki, untuk menangkap atau mengejar berkah. Jadilah sungai, riang, sejuk, selalu menerima semua yang ingin berbagi . Sampah atau berkah hanyalah prasangka.”

Aku percaya, meski tak mengerti.

Ibuku sebenarnya adalah pemilik semua tempat dan benda. Tak perlu membawa pulang semua yang kita punya, ibuku juga pernah berkata. “Pemilik tak perlu membeli dan ingin memiliki.” Maka aku tersenyum memandang semua orang yang lalulalang membawa banyak tas berisi belanjaan. Kasihan mereka semua, bagaimana mungkin mereka  bisa tak punya segalanya. Hanya beberapa lembar kertas dan beberapa keping logam bulat yang mereka punya. “Karena mereka sudah punya, maka mereka akan berbagi untuk kita.” Ibuku selalu benar. Mereka berbagi beberapa lembar kertas lusuh dan beberapa keping logam dengan ibuku yang mengulurkan tangan.

Suatu malam aku bertanya,” Jika mereka terusmenerus membawa pergi semua milik ibu , apakah suatu hari nanti tak akan habis semua milik ibu.”

Aku sangat gembira ketika ibu mendengar tanyaku, lalu berkata, seperti  menjawabku,“Tak akan ada yang habis jika dibagi. Kecuali dengan berhenti berbagi.”

Aku tak mengerti.

Belum sempat aku bertanya lagi, lampulampu meredup, padam satupersatu. Waktunya ibu berhenti mengulurkan tangan, bangkit dari duduknya, merapikan kusut pakaiannya. Lalu ibu menggendongku menuruni tangga, berjalan ke arah jalan. Semua lembar kertas dan keping logam dalam tangan ibu dijejalkan begitu saja ke saku mantelku.  Kami berjalan meninggalkan pintupintu yang tertutup.
Kami berjalan menyusuri malam, aku melihat bintangbintang bergantungan di puncak tiang. Ibuku bilang,”Lihatlah, ada bintangbintang yang mau turun, hinggap pada puncak tiang untuk menerangi jalan kita.”

Aku terus menempel pada dada ibuku, kudengar ada degup hangat dari balik dadanya, juga suara gemericik sungai dari perutnya.  Di sebuah warung nasi, kami singgah, ibu merogoh beberapa lembar kertas dan keping logam dari saku mantelku, menukarnya dangan sebungkus makanan dan minuman. Setelah menyimpan semua dalam tas lusuh di pundaknya, ibuku melanjutkan berjalan pulang, aku merasa nyaman dalam dekapan lengannya.

Mungkin aku sempat terlelap, tahutahu sudah sampai di rumah. Ibu memanggil namaku sampai aku terjaga, mendudukkanku pada sebuah balai bambu. Matanya masih penuh kisah, ibuku membuka bungkus nasi dan memindahkan teh dari plastik ke dalam gelas. Kami mulai makan. Ibu menyuapiku pelanpelan, mangantarkan rasa sedap pada lidah, mengalir nyaman ke sekujur tubuh. Aku dan ibu berbagi sebungkus nasi, seonggok tumis kangkung, sepotong tempe goreng, dan segelas teh.

Tak akan ada yang habis jika dibagi. Kecuali dengan berhenti berbagi. Aku tak mengerti. Nasi, tumis kangkung dan tempe goreng sudah tak bersisa. Sebentar lagi gelas teh juga akan kosong, sementara kami masih berbagi sunyi. Mata ibuku masih penuh kisah. Waktu tidur tiba. Ibu membasuh wajah, tangan dan kakiku dengan sedikit air dari ember di pojok rumah.

Saatsaat paling menyenangkan adalah saatsaat berbagi. Mata ibuku mulai berkisah, untuk mengantar tidurku, membuaiku dalam mimpi indah. Berbagi hati, berbagi mimpi, “Seperti ibu dan bapamu dulu berbagi balai bambu yang sama. Berbagi jalanan dan mimpimimpi malam. Berbagi suarasuara riang, denting gitar dan lagulagu cinta paling merdu. Sampai waktu enggan berbagi dengan kami, membawa bapa pergi. Meninggalkanmu untuk berbagi kesunyian dengan ibu.”

Aku selalu bertanya,”Kemana waktu membawa bapa pergi?” Tapi ibu tak pernah menjawab, mungkin ibu tak mendengarku, mungkin ibu tak tahu. Mungkin aku tak bertanya, bahkan tak pernah bersuara. Sama seperti aku yang tak pernah tahu seluruh kisah dalam mata ibuku.
Hanya ada saatsaat berbagi, yang jadi saatsaat paling menyenangkan untukku dan ibu. Berbagi kehangatan dan senyuman. Berbagi degup dalam dada, berbagi gemericik sungai yang mengalir di perutku dan perut ibuku.

Dari hari ke hari aku makin tahu, ibuku adalah perempuan hebat. Satusatunya perempuan di dunia yang pandai berbagi keheningan denganku. Tak akan ada yang habis jika dibagi, kecuali dengan berhenti berbagi. Tak akan pernah habis keheninganku, sampai waktu berhenti berbagi denganku dan ibuku. Mungkin setelah semua berlalu, akan ada suarasuara riang, denting gitar dan lagulagu cinta paling merdu yang berbagi dengan ibuku. Mata ibuku masih penuh kisah, tak akan pernah habis jika dibagi.

Aku tak mengerti, jika berbagi keheningan bisa begitu indah*     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar