Kebetulan aku bertemu denganmu lagi, di manamana. Dengan berbagai warna. Aku bertemu denganmu, kau berbaju biru, aku merah muda, seketika mata langit menjadi ungu. Aku bertanya, kenapa angkasa mengaduk warnawarna kita. Kau bilang itu kebetulan. Kebetulan, tak hendak menjadi kebenaran. Anggur itu berkecipak dalam gelasmu, kebenaran menjadi sebuah masa, datang kembali mengantarkanmu ke dalam lagu.
Lain waktu kebetulan mempertemukan kau denganku, tidak di manamana. Langit menjadi jingga, tak lama aku menatap kaos kakimu, kuning, aku memakai yang berwarna merah darah. Sepertinya bumi hendak mengenang langkahlangkah kita. Sepertinya benar demikian, kebetulan betul benar adanya. Kau mengulurkan tangan, aku berlari, mencengkeram lengan bajumu. Seperti dulu saat menuruni bukit, meningglkan langit jingga di pucuk pepohonan. Hilang dalam kicauan burung kutilang. Aku menenggak yang tersisa di dasar gelas.
Kebenaran menunggu kebetulan mempertemukan aku dan kau, lagi, di sebuah tempat, bukan dunia. Kau mengajariku menebas semak dengan pedang. Ular berlari menghindari mati. Kebetulan serupa tuhan atau hanya seekor ayam , kau tak mendengar. Warna kabut di matamu membutakanku. Kau bilang, tak apaapa, kebetulan tuhan menghembuskan nafas, kebenaran akan bertanya, lebih dulu mana telur atau ayam. Aku lebih sayang pada bayang tanganmu yang menerbangkan elang di dinding kamar.
Lilin hampir habis, kebetulan kau datang membawa balon udara. Aku benarbenar bisa terbang, setelah kaunyalakan api*
Lain waktu kebetulan mempertemukan kau denganku, tidak di manamana. Langit menjadi jingga, tak lama aku menatap kaos kakimu, kuning, aku memakai yang berwarna merah darah. Sepertinya bumi hendak mengenang langkahlangkah kita. Sepertinya benar demikian, kebetulan betul benar adanya. Kau mengulurkan tangan, aku berlari, mencengkeram lengan bajumu. Seperti dulu saat menuruni bukit, meningglkan langit jingga di pucuk pepohonan. Hilang dalam kicauan burung kutilang. Aku menenggak yang tersisa di dasar gelas.
Kebenaran menunggu kebetulan mempertemukan aku dan kau, lagi, di sebuah tempat, bukan dunia. Kau mengajariku menebas semak dengan pedang. Ular berlari menghindari mati. Kebetulan serupa tuhan atau hanya seekor ayam , kau tak mendengar. Warna kabut di matamu membutakanku. Kau bilang, tak apaapa, kebetulan tuhan menghembuskan nafas, kebenaran akan bertanya, lebih dulu mana telur atau ayam. Aku lebih sayang pada bayang tanganmu yang menerbangkan elang di dinding kamar.
Lilin hampir habis, kebetulan kau datang membawa balon udara. Aku benarbenar bisa terbang, setelah kaunyalakan api*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar