Aku tidak menangis pagi ini, ketika kutemukan rumahku telah jadi puing. Aku tak tahu kenapa aku tidak menangis, mungkin karena bukan hanya rumahku yang roboh semalam, bukan hanya rumahku yang serpihannya berserakan pagi ini. Hampir semua rumah telah runtuh semalam, bersamasama menjatuhkan diri, tak lagi berdiri. Aku tak tahu mengapa, mungkin karena rumah itu lelah, mungkin karena rumah itu resah, mungkin juga karena rumah itu ingin lepas dari belenggu dindingdindingnya. Mungkin juga rumah itu ingin membuatku bahagia. Dengan menjadi puing dan berserakan di atas tanah, rumahku jadi lebih lebar dan luas, hal yang selalu diharapkan semua manusia, sebuah ruang yang lebih luas untuk sekedar bernafas. Begitulah, aku masih tak mengerti kenapa rumahku menjadi puing pagi ini, dan kenapa aku tidak menangis.
Aku tidak menangis, hanya terkejut di saat pertama membuka mata, mendapati tempat tidurku penuh debu, pecahan batu, dan kepingkeping tembok reruntuhan rumah. Semuanya berserakan di atas tubuhku, sebagian debu segera jatuh ke dalam mataku saat pertama kubuka, maka mataku merah dan terasa pedih, tapi aku tidak menangis. Kulihat dinding kamar tidurku telah menghilang, sekalian juga atapnya, lampu, meja belajar, lemari baju dan rak buku. Semua benda tak ada lagi pada tempatnya. Sebagai gantinya kulihat hamparan tanah luas yang penuh dipenuhi puing dan sisasisa semua benda yang kukenal, bendabenda yang sepertinya pernah ada.
Aku tidak menangis, juga semua anakanak yang kulihat sedang berjalan, berlari, duduk atau merangkak di sekitarku, yang tertangkap pendangan mataku. Tak seorangpun menangis, anakanak itu, dengan berbagai jenis umur dan rupa, semuanya hanya sibuk berceloteh atau melakukan apa saja dengan dirinya dan reruntuhan, begitu sibuk dan sungguhsungguh, mana bisa menangis di saat sedang asyik.
Aku segera duduk di atas tempat tidurku, kemudian bangkit dari tempat tidurku, sekali lagi menatap sekelilingku, menapakkan kaki hatihati pada puing yang berserakan di bawah tempat tidurku. Sedikit terjengkat ketika ada suara mendecit dari bawah, tepatnya dari balik telapak kakiku. Aku membungkuk dan menemukan boneka karet mungil telah terinjak tanpa sengaja oleh kakiku. Aku memungut boneka karet itu, seekor jarapah, atau sebuah jerapah mungkin lebih tepat, dengan wajah ceria, kirakira duapuluh senti saja tingginya, dengan, panjang leher yang lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Kulitnya tebal, kenyal dan terasa dingin pada telapak tanganku, tubuhnya akan mengeluarkan suara decitan jika ditekan. Jerapah itu berwarna kuning dengan bintikbintik lebar berwarna coklat tua pada sekujur tubuh dan lehernya. Tanduk dan telinganya melengkung lucu, matanya seperti sedang melotot dengan bingung atau linglung ke arahku, yang paling menyenangkan selalu ada senyum di mulut jerapah, tulus dan ceria.
Aku segera duduk di bawah tempat tidurku, jerapah kecil yang baru mendecit tadi masih kugenggam delam sebelah tangan, sedang tanganku yang satunya mulai menyentuh dan mengelus puing reruntuhan. Pada awalnya hanya sentuhan lembut, lamakelamaan jemari tanganku mulai mencengkeram puing dan pasir, membalikbalik serpihan dinding, seakan mencari sesuatu. Aku ingat aku tadi sempat melihat beberapa anak lain melakukan hal yang sama denganku, mencari sisasisa, entah apa. Dan aku menemukan banyak benda yang telah hilang dari balik puing, semuanya, yang pernah ada sesaat, lalu tiada, kembali ada, yang masih ada atau yang menjadi tak pernah ada. Semuanya bisa kutemukan di antara puing.
Aku semakin asyik, tenggelam dalam pekerjaanku mengacak puingpuing reruntuhan yang bisa terjangkau tanganku, jerapah kecil kuletakkan di pangkuanku, hingga aku punya sepasang tangan untuk mencari apa yang kuharapkan akan kutemukan pada puingpuing. Dan aku tak kecewa, banyak hal kudapatkan , aku tibatiba merasa yakin, tentang begitu banyak anakanak duduk di atas reruntuhan, dengan wajah tekun dan sungguhsungguh mencari ‘sesuatu’ dari debu dan serpihan dinding.
Aku semakin tenggelam dalam kesibukanku, duduk, menunduk, tak berhenti membalikbalik timbunan reruntuhan sejauh lenganku terulur. Aku menemukan wajah ayahku, tangan ibuku. Aku segera melahap dengan gembira waktu kutemukan potongan biskuit coklat berbentuk kelinci buatan ibuku, walaupun ekor dan telinganya sudah patah, masih terasa lezat dan hangat, manis dan coklat. Aku menemukan hadiah ulang tahunku yang pertama, sebuah papan bongkar pasang, jika bisa kutemukan semua kepingnya, aku bisa mnyusunnya kembali, menjadi gambar utuh, bamby, thumper dan flower, mungkin bisa kudengar teriakan senang ibuku sesudah itu. Aku terus menggali reruntuhan dengan jarijariku.
Aku menemukan sisir yang biasa dipakai ibuku, pulpen ayah yang biasa dipakai untuk menandatangani buku ulanganku, sikat gigiku yang pertama, sepasang kaos kaki kesukaanku saat aku kelas satu. Aku ingat ketika aku memakai kaos kaki itu ke sekolah, kepala sekolahku marah, seharusnya mematuhi peraturan tentang warna kaoskaki, katanya. Kepala sekolahku menyuruhku melepaskan sebelah kaos kakiku, mengambilnya, membuangnya ke tempat sampah. Aku ingat aku juga tak menangis waktu kelas satu. Aku marah, tak mau sekolah, sampai kepala sekolahku meminta maaf, tak bisa menemukan kembali sebelah kaos kakiku. Aku tak menangis, sampai kepala sekolahku menggendongku memasuki kamarnya, memberiku banyak permen dan gambar tempel segenap tokoh yang ada dalam kitab suci. Aku mulai ingin menangis.
Aku mulai ingin menangis untuk sebelah kaos kaki. Tak apa menangis kalau bukan karena sedih. Aku hanya ingin menangis karena bahagia, karena kini kaos kaki kesayanganku telah kembali menemukan pasangannya. Bisa kembali jadi sepasang kaos kaki, aku menaruh kaos kaki pada pangkuanku, di samping jerapah yang tidur nyenyak dengan mata terbuka.
Aku mulai bosan mencari, merasakan perih pada telapak tanganku. Aku mulai ingin menangis, seperti anak kecil yang letih bermain, ingin pulang, dan aku ingat rumahku kini telah jadi puing yang sedari tadi kutelusuri. Aku mencoba berdiri, berpegangan pada tepian tempat tidurku dengan sebelah tangan, sambil menggenggam jerapah dan sepasang kaos kaki pada sebelah tangan yang lain. Aku duduk di atas tempat tidurku, memandang berkeliling, tak menemukan apapun atau siapapun. Aku mulai ingin manangis.
Angin berhembus mengantarkan hawa dingin, aku menggigil, teringat pada sepasang kaos kaki dalam genggam tanganku. Kucoba memakai kaos kakiku, tak muat pada kakiku. Aku mulai merasa ingin menagis, merasa menjadi cinderella yang kalah, terkunci dalam gudang ketika perdana mentri datang membawa sebelah sepatu kaca. Aku sangat ingin menangis, memanggil tikustikus yang mestinya segera menolongku, mencuri kunci gudang dari kantong celemek ibu tiriku. Aku tak ingat tadi menemukan bukunya di antara puing.
Sekarang aku sungguh ingin menangis, kupeluk eraterat jerapah dan sepasang kaos kaki. Jerapah mendecit dalam lilitan sepasang kaos kaki. Aku sungguh ingin menangis, tapi tak bisa lagi aku menangis, tak akan pernah bisa menangis, sepasang mataku telah terjatuh tadi, ketika aku sedang asyik menggali puing. Sepasang mataku tanpa kusadari telah terjatuh, tak terlihat, tak bisa kutemukan di antara puingpuing. Aku baru saja menyadarinya, ketika aku tak bisa menangis, tak lagi bisa melihat jerapah dan sepasang kaos, tak bisa melihat puingpuing dan bentangan langit*
Aku tidak menangis, hanya terkejut di saat pertama membuka mata, mendapati tempat tidurku penuh debu, pecahan batu, dan kepingkeping tembok reruntuhan rumah. Semuanya berserakan di atas tubuhku, sebagian debu segera jatuh ke dalam mataku saat pertama kubuka, maka mataku merah dan terasa pedih, tapi aku tidak menangis. Kulihat dinding kamar tidurku telah menghilang, sekalian juga atapnya, lampu, meja belajar, lemari baju dan rak buku. Semua benda tak ada lagi pada tempatnya. Sebagai gantinya kulihat hamparan tanah luas yang penuh dipenuhi puing dan sisasisa semua benda yang kukenal, bendabenda yang sepertinya pernah ada.
Aku tidak menangis, juga semua anakanak yang kulihat sedang berjalan, berlari, duduk atau merangkak di sekitarku, yang tertangkap pendangan mataku. Tak seorangpun menangis, anakanak itu, dengan berbagai jenis umur dan rupa, semuanya hanya sibuk berceloteh atau melakukan apa saja dengan dirinya dan reruntuhan, begitu sibuk dan sungguhsungguh, mana bisa menangis di saat sedang asyik.
Aku segera duduk di atas tempat tidurku, kemudian bangkit dari tempat tidurku, sekali lagi menatap sekelilingku, menapakkan kaki hatihati pada puing yang berserakan di bawah tempat tidurku. Sedikit terjengkat ketika ada suara mendecit dari bawah, tepatnya dari balik telapak kakiku. Aku membungkuk dan menemukan boneka karet mungil telah terinjak tanpa sengaja oleh kakiku. Aku memungut boneka karet itu, seekor jarapah, atau sebuah jerapah mungkin lebih tepat, dengan wajah ceria, kirakira duapuluh senti saja tingginya, dengan, panjang leher yang lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Kulitnya tebal, kenyal dan terasa dingin pada telapak tanganku, tubuhnya akan mengeluarkan suara decitan jika ditekan. Jerapah itu berwarna kuning dengan bintikbintik lebar berwarna coklat tua pada sekujur tubuh dan lehernya. Tanduk dan telinganya melengkung lucu, matanya seperti sedang melotot dengan bingung atau linglung ke arahku, yang paling menyenangkan selalu ada senyum di mulut jerapah, tulus dan ceria.
Aku segera duduk di bawah tempat tidurku, jerapah kecil yang baru mendecit tadi masih kugenggam delam sebelah tangan, sedang tanganku yang satunya mulai menyentuh dan mengelus puing reruntuhan. Pada awalnya hanya sentuhan lembut, lamakelamaan jemari tanganku mulai mencengkeram puing dan pasir, membalikbalik serpihan dinding, seakan mencari sesuatu. Aku ingat aku tadi sempat melihat beberapa anak lain melakukan hal yang sama denganku, mencari sisasisa, entah apa. Dan aku menemukan banyak benda yang telah hilang dari balik puing, semuanya, yang pernah ada sesaat, lalu tiada, kembali ada, yang masih ada atau yang menjadi tak pernah ada. Semuanya bisa kutemukan di antara puing.
Aku semakin asyik, tenggelam dalam pekerjaanku mengacak puingpuing reruntuhan yang bisa terjangkau tanganku, jerapah kecil kuletakkan di pangkuanku, hingga aku punya sepasang tangan untuk mencari apa yang kuharapkan akan kutemukan pada puingpuing. Dan aku tak kecewa, banyak hal kudapatkan , aku tibatiba merasa yakin, tentang begitu banyak anakanak duduk di atas reruntuhan, dengan wajah tekun dan sungguhsungguh mencari ‘sesuatu’ dari debu dan serpihan dinding.
Aku semakin tenggelam dalam kesibukanku, duduk, menunduk, tak berhenti membalikbalik timbunan reruntuhan sejauh lenganku terulur. Aku menemukan wajah ayahku, tangan ibuku. Aku segera melahap dengan gembira waktu kutemukan potongan biskuit coklat berbentuk kelinci buatan ibuku, walaupun ekor dan telinganya sudah patah, masih terasa lezat dan hangat, manis dan coklat. Aku menemukan hadiah ulang tahunku yang pertama, sebuah papan bongkar pasang, jika bisa kutemukan semua kepingnya, aku bisa mnyusunnya kembali, menjadi gambar utuh, bamby, thumper dan flower, mungkin bisa kudengar teriakan senang ibuku sesudah itu. Aku terus menggali reruntuhan dengan jarijariku.
Aku menemukan sisir yang biasa dipakai ibuku, pulpen ayah yang biasa dipakai untuk menandatangani buku ulanganku, sikat gigiku yang pertama, sepasang kaos kaki kesukaanku saat aku kelas satu. Aku ingat ketika aku memakai kaos kaki itu ke sekolah, kepala sekolahku marah, seharusnya mematuhi peraturan tentang warna kaoskaki, katanya. Kepala sekolahku menyuruhku melepaskan sebelah kaos kakiku, mengambilnya, membuangnya ke tempat sampah. Aku ingat aku juga tak menangis waktu kelas satu. Aku marah, tak mau sekolah, sampai kepala sekolahku meminta maaf, tak bisa menemukan kembali sebelah kaos kakiku. Aku tak menangis, sampai kepala sekolahku menggendongku memasuki kamarnya, memberiku banyak permen dan gambar tempel segenap tokoh yang ada dalam kitab suci. Aku mulai ingin menangis.
Aku mulai ingin menangis untuk sebelah kaos kaki. Tak apa menangis kalau bukan karena sedih. Aku hanya ingin menangis karena bahagia, karena kini kaos kaki kesayanganku telah kembali menemukan pasangannya. Bisa kembali jadi sepasang kaos kaki, aku menaruh kaos kaki pada pangkuanku, di samping jerapah yang tidur nyenyak dengan mata terbuka.
Aku mulai bosan mencari, merasakan perih pada telapak tanganku. Aku mulai ingin menangis, seperti anak kecil yang letih bermain, ingin pulang, dan aku ingat rumahku kini telah jadi puing yang sedari tadi kutelusuri. Aku mencoba berdiri, berpegangan pada tepian tempat tidurku dengan sebelah tangan, sambil menggenggam jerapah dan sepasang kaos kaki pada sebelah tangan yang lain. Aku duduk di atas tempat tidurku, memandang berkeliling, tak menemukan apapun atau siapapun. Aku mulai ingin manangis.
Angin berhembus mengantarkan hawa dingin, aku menggigil, teringat pada sepasang kaos kaki dalam genggam tanganku. Kucoba memakai kaos kakiku, tak muat pada kakiku. Aku mulai merasa ingin menagis, merasa menjadi cinderella yang kalah, terkunci dalam gudang ketika perdana mentri datang membawa sebelah sepatu kaca. Aku sangat ingin menangis, memanggil tikustikus yang mestinya segera menolongku, mencuri kunci gudang dari kantong celemek ibu tiriku. Aku tak ingat tadi menemukan bukunya di antara puing.
Sekarang aku sungguh ingin menangis, kupeluk eraterat jerapah dan sepasang kaos kaki. Jerapah mendecit dalam lilitan sepasang kaos kaki. Aku sungguh ingin menangis, tapi tak bisa lagi aku menangis, tak akan pernah bisa menangis, sepasang mataku telah terjatuh tadi, ketika aku sedang asyik menggali puing. Sepasang mataku tanpa kusadari telah terjatuh, tak terlihat, tak bisa kutemukan di antara puingpuing. Aku baru saja menyadarinya, ketika aku tak bisa menangis, tak lagi bisa melihat jerapah dan sepasang kaos, tak bisa melihat puingpuing dan bentangan langit*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar