Senin, 17 Januari 2011

ketika

Ketika diam kuberjalan,

ketika pejam kumelihat,

ketika bisu kubicara,

ketika hening kuberkata,

ketika tiada kau selalu ada*

papa

Suatu ketika, harus kulihat lagi retakan jalanjalan kota. Aku berharap ada wajahmu terselip di sana, dan memang kutemukan wajahmu di jejak roda truktruk pengangkut gelondong kayu, jejak sepatu kuda, dan lubanglubang bekas akar pohon. Semua sedang berandaiandai bersama seorang bocah yang mencari tangan bonekanya yang patah. Udara berwarna jingga, sebelum senja mengetuk pintu rumah.

Belum juga sampai, kucoba menyusun lagi balokbalok kayu di atas kertas, aku demam. Angin selatan memburuku, menyergap pundakku dengan kalimatkalimat tak kenal adat, tak tahu memilah jerat dan lezat. Kudakuda menderap, meninggalkan pecahan tingkap dari atap, kehilangan tiang penyangga. Hanya yang sedungu aku mendengar celoteh anakanak di hari minggu, rindu pada bajubaju boneka. Bendabenda menemui ajalnya di sini, di ruangruang tak bernama dalam jiwa, di goronggorong kota, berteman tikus dan kurakura. Tikus kerap mencobacoba, lekas lahir dan mati silih berganti, kurakura terlindung tempurungnya, hujan api dan abu tak mengusik bahunya.

Aku tak ada dalam sampan di sungai manapun, tak ada di semua gerbong kereta, tak duduk di setiap bis kota. Menyeberang hanya dengan kaki sendiri, telanjang, hilang tujuan. Terincangpincang, berjalan. Retakan jalan memanggil namaku. Baiknya aku mencangkul, bergumul dengan peluh di leherku sendiri, menanam jagung di ladangladang dalam ingatan sambil menunggu kau datang, membawa buah tangan, setandan pisang, sekeranjang tanda silang. Aku harus menandai jejakmu, jejak kampung dan gunung meletus, berharap iringiringan jenasah terpeleset atau tersandung, biar sunyi terbendung, kulit pisang dan tanda silang, aku sama dengan genangan hujan. Wajahmu menganga, retakan jalan meminta sedekah*

mimpi indah

Malam telah jadi ibu
dalam rahimnya aku menunggu
mimpi melahirkan pagi*

tiga lagi, buat kau besok pagi

gagap
kenapa kata selalu sembunyi
setiap kali kita berjumpa
aku tak ingin bertanya*


sweet surrender
hatiku laut tanpa pantai
menggulung badai
karam di jantungmu*


gemuruh angkasa
genderang menabuh dadanya
bendera melambai
layanglayang berperang*

rakyat kecil

Menjelang akhir tahun waktu seolah berjalan lebih cepat, seakan ingin segera menyelesaikan semua cerita. Sedang berusaha keras meninggalkan kenangan indah kepada semua pembaca waktu. Hujan juga turun lebih kerap, dan mendung lebih sering meneduhkan hari-hari dari terik. Udara lembab mengurung siang dengan kehangatan yang membuat punggung pekerja-pekerja yang tak bekerja dalam ruangan dengan pendingin udara menjadi basah oleh keringat. Selepas tengah hari, biasanya semua gerah berlalu, angin bertiup sedikit kencang, membawa kesejukan, membuat peluh mengering dan udara kota berwarna teduh dinaungi awan kelabu.

Begitulah yang selalu terjadi, dan seseorang yang sederhana seperti Soleh tak punya hak atau alasan untuk mengeluh tentang cuaca. Terik dan mendung telah jadi sesuatu yang tak perlu dipertanyakan. Jika berkeringat, akan diusapnya dengan sehelai handuk kecil made in china yang selalu tersampir di bahunya. Jika udara dingin, tak perlu mengenakan baju hangat yang memang tak dimilikinya. Bahkan hujanpun sering terhiraukan. Selalu saja hanya mondar mandir mengangkut apa yang perlu diangkut yang dikerjakannya sepanjang hari. Tapi mengangkut sesuatu adalah berkah bagi Soleh, semakin banyak yang bisa diangkutnya, berarti semakin banyak pula upah yang akan diterimanya. Dan upah itu tak ternilai harganya. Berapapun jumlahnya, upah adalah segala yang diperjuangkannya sepanjang waktu, setiap hari, dari tahun ke tahun.

Soleh adalah manusia biasa, yang sering diberi sebutan rakyat kecil di negerinya sendiri. Meski dia sendiri tak pernah merasa dirinya kecil. Tubuhnya cukup kekar dengan tinggi sekitar 170 cm, bahunya cukup bidang dan pangkal lengannya tampak berotot, walaupun tak pernah mengenal latihan olah tubuh, tapi semata-mata karena hampir sepanjang waktu harus menopang beban berat yang membuat otot-ototnya berkembang. Setiap hari selalu saja ada berkarung-karung barang yang mesti diangkutnya. Beragam isi, berat dan ukuran karung-karung tersebut. Beras, gula, kelapa, kentang, dan berjenis-jenis bahan makanan pernah diangkutnya, sampai semen dan batu kapur, pernah singgah di bahu dan lengannya.  Singkatnya itulah profesinya, tentu sudah pasti Soleh tak tahu arti kata profesi, lebih akrab dan sederhana Soleh adalah tukang angkut barang di sebuah pasar. Atau lebih singkatnya Soleh adalah kuli angkut.

Bukan sebuah pekerjaan yang pernah dicita-citakan seseorang, kuli angkut. Tak pernah ada anakanak yang bercita-cita hendak jadi kuli angkut jika dewasa, pun seandainya ayah atau kakeknya sekalipun telah sukses menggeluti pekerjaan angkut-mengangkut barang. Kemungkinan besar begitu pula yang terjadi dengan para orang tua, tak ada yang pernah mengangankan anak lelakinya kelak akan bekerja sebagai kuli angkut. Meski semua tahu, kuli angkut adalah pekerjaan halal yang hampir tanpa resiko berat. Tidak seperti  tentara atau polisi misalnya, yang sama-sama bertubuh kekar, masih ditambah dengan seragam licin yang penuh hiasan dan tulisan, masih pula terbayang penghasilan, tunjangan dan kemudahan yang bisa didapat, namun dibalik semua itu nyawa dan keselamatan selalu jadi taruhan yang harus siap dilepaskan kapanpun keadaan menuntut.  Dari segar bugar, bisa tiba-tiba terbujur meregang nyawa. Sementara seorang kuli hampir pasti tak akan mengalami keadaan serupa itu, resiko terburuk paling-paling adalah salah urat, pegal-pegal atau demam jika terlalu lelah bekerja. Terlepas dari fakta bahwa nasib dan umur manusia adalah rahasia Allah, kuli angkut tetap diyakini sebagai pekerjaan yang lebih aman dibanding beberapa profesi terhormat lainnya.

Hari ini, lima belas hari menjelang pergantian tahun, adalah hari yang sama persis seperti hari-hari yang lainnya selalu sama berat bagi Soleh, seberat beban yang sudah sempat dipikul dari subuh hingga menjelang sore. Berbeda sekali dengan perutnya yang terasa begitu ringan, kosong, hingga kadang terdengar suara-suara seperti gelegak air di ujung kran. Singkatnya Soleh memang lapar, meskipun dia berusaha keras menepis rasa perih di lambung dari pikirannya, tapi bunyi-bunyian dari perutnya tak bisa diredakan dengan pikiran dan ketabahannya menanggung lapar. Dari pagi hanya sepiring nasi yang mengisi perutnya, bukan nasi putih pula. Nasi jagung dengan kandungan gula dan karbohidrat lebih rendah, sedikit sambal dan ikan asin sebagai lauknya. Dan segelas besar kopi yang tadi dibelinya di warung langganannya. Bibir dan lidahnya juga terasa asam, merindukan aroma tembakau.

Namun Soleh bertahan, tak ingin menuruti semua hasratnya.  Tak ingin melepaskan selembarpun uang dalam saku celananya, upahnya mengangkut barang seharian. Seandainya ada seseorang yang menyadari betapa tabah dan tegarnya Soleh selama sebulan ini mengekang semua kesenangan dan keinginannya, mungkin akan terketuk hatinya untuk memberikan suatu bentuk penghargaan bagi keteguhan dan ketulusannya. Karena semua ketabahan itu bersumber dari rasa kasihnya kepada seorang perempuan sederhana yang setahun lalu dinikahinya, perempuan yang sekarang tengah mengandung anaknya.

Murni, nama perempuan itu, dikenalnya di pasar ini pula, dua tahun silam. Seorang perempuan yang sama-sama sederhana dan tabah seperti suaminya. Sebelum dinikahi Soleh dengan mas kawin seperangkat alat sholat, Murni yang yatim piatu bekerja sebagai pembantu di sebuah toko kelontong di mana Soleh sering mendapat order mengangkut barang. Seorang bibinya membawa Murni ke kota sejak Murni berumur lima belas tahun, setelah peringatan 40 hari kematian ayahnya di kampung. Ibunya telah bekerja ke luar negeri, sajak Murni bisa berjalan dan baru saja disapih.

Hanya di tahun pertama ibunya mengirim kabar, meminta ayahnya menjaga Murni baik-baik dan bersabar karena belum bisa mengirim gajinya, sesuai peraturan dan perjanjian, uang tersebut digunakan untuk melunasi hutang kepada agen tenaga kerja yang memberangkatkan ibu. Tapi malangnya di tahun berikutnya, masih tak ada uang yang datang, bahkan lebih buruk, tak ada kabar. Murni dan ayahnya mau tak mau harus menerima kenyataan kalau ibunya telah hilang tanpa jejak, bagai ditelan bumi. Agen tenaga kerja selalu memberikan jawaban yang berbelit dan tak bisa dipahami setiap kali ayah Murni atau kerabat lain menanyakan keberadaan ibunya. Seperti layaknya rakyat kecil, semuanya berakhir dengan kalimat, menerima takdir, dengan ikhlas, semuanya adalah nasib yang sudah digariskan oleh yang di atas. Untuk rakyat kecil hanya ada satu garis, tak ada pilihan selain mengikuti satu garis yang biasanya tak lurus, tak ada gugatan, dan hidup akan terus berlangsung seperti biasa.

Takdir itu yang dipercaya Soleh dan Murni ketika mereka pertama berjumpa, lalu saling jatuh cinta, hingga berujung ke pelaminan. Hanya takdir semata yang membuat Soleh dan Murni mampu bertahan, hidup berdua dalam segala haus dan lapar. Mas kawin yang diberikan Soleh telah benar-benar jadi benda paling berharga dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mungkin senilai emas, ketika Murni memakainya untuk bersujud, menggumamkan puji dan syukur atas semua rejeki yang mereka terima setiap harinya.

Disebut rakyat kecil, mungkin juga berarti selalu menginginkan yang kecil-kecil saja. Atau jika dibalik sudut pandangnya, semua yang kecil cukuplah untuk rakyat kecil. Mimpi dan harapan yang kecilpun cukuplah. Ketika Murni mulai mengandung, mereka juga menyambut dengan gembira, meski hanya mimpi dan harapan kecil yang bisa diberikan untuk si jabang bayi, yang kemungkinan juga akan terlahir dengan tubuh kecil karena kurang asupan gizi. Semoga saja tak begitu adanya.

Setiap hari Murni selalu menyelipkan doa agar kelak bayinya terlahir sehat. Solehpun tak henti berharap yang sama, ditambah dengan harapan agar proses persalinan berjalan lancar, hingga tak butuh biaya besar, kata besar selalu jadi menakutkan bagi rakyat kecil. Namun diam-diam Soleh punya harapan yang tak pernah dikatakan pada istrinya, semata karena tak ingin membuat Murni jadi kecewa jika nantinya tak terwujud. Seperti kebanyakan calon ayah lainnya, Soleh ingin agar anak pertamanya terlahir laki-laki, agar kelak dapat jadi kebanggaan sekaligus ikut menopang dan menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Seperti dirinya sendiri, anak lelaki sulung kebanggaan bapaknya, yang begitu lulus sekolah dasar telah bisa ikut bapak ke pasar, membantu bapak mencari uang demi ibu dan adik-adiknya.

Soleh tersenyum sendiri, sambil mengusap keningnya, mengkhayalkan bahwa rumah kontrakan kecilnya tak lama lagi akan jadi lebih ceria dengan kehadiran seorang bocah lelaki yang periang. Sesaat kemudian lamunannya segera terkoyak oleh teriakan panik bu Sri tetangga mereka,”Soleh…Soleh…! Istrimu, ketubannya barusan pecah.”

“Hah…?”

“Cepat ke puskesmas. Mamat dan Rini yang bawa ke sana, takut keburu lahir anakmu !”

Perjalanan dari pasar ke puskesmas bagai terbang, Soleh tak mampu mengingatnya, selain kakinya yang mengayuh pedal sepeda sekuat tenaga. Bahkan Soleh tak sadar bahwa bu Sri yang gemuk tadi hampir tertinggal di pasar, jika tak buru-buru meloncat ke boncengan sepedanya, membuat roda belakang sepedanya mengempis, hingga makin berat Soleh mesti mengayuh.

Beranda puskesmas lenggang di sore hari. Ada beberapa tetangga yang segera berdiri melihat kedatangannya, namun hanya ada wajah Murni di pelupuk mata Soleh. Dan suara tangis bayi menyentak jantungnya. Mbak Rini dengan nafas tersengal berkata ,“Sudah lahir barusan. Perempuan. Dua setengah kilo.”

“Alhamdullilah…” Bersamaan kata itu terlontar dari bibir Soleh dan bu Sri.

“Sebentar lagi juga sudah boleh pulang, sekarang bidan masih merawat istrimu.”

Mata Soleh berkaca-kaca, dalam hati dia berkata,” Tak apa-apa perempuan, yang penting selamat dan sehat. Lagipula kalau perempuan pasti kelak tak akan jadi kuli angkut macam bapaknya ini.” Soleh mengatur nafasnya dan mulai tersenyum lagi, membayangkan seorang anak perempuan manis yang akan meramaikan rumah kecilnya*


bermain kata

aku tanya matahari, apa itu pagi
dia bilang pagi itu datang
sesudah malam menghabiskan waktu
menungguku

aku minta bulan menelan malam dalam cahaya
bulan meminta maaf
harus segera pulang
sebelum kau tinggalkan

rupanya bulan dan matahari telah sepakat
bersamasama menyusun tekateki untuk bumi
jika tepat menebak, boleh kita bersua di angkasa*

untukmu, lima sajak cobacoba

membacamu
aku mesti purapura gila
demi mengeja lambanglambang
yang kausebut aksara*

penantian
di helai rambutmu
aku menabur bunga tak bernama
menunggu ingatanmu memutar bintangbintang*

naif
seekor kelinci memandang angkasa
ingin menukar telinga dengan sayap
sampai seekor elang menerbangkan semua harap*

untukmu
aku memilih jadi pisang
tanpa ranting dan duri
puas dengan satu musim semi*

nagaterbang
kolam bergelombang di ekor capung
tak gentar pun tak cemas
pada mata katak*

lagumu, sajaksajakku

kau adalah lagu yang menyanyikan rinduku

nadanadamu mengalun
di denyut nadi
syairmu menggema
di segala sunyi

lalu kucoba menuliskan sajak
berharap kau selalu berkenan
namamu tercatat di baris teratas*

kepada lampu

aku punya ruang

kau punya terang

bisakah kita bertemu di pintu malam ?

tentang

Kita selalu boleh bertemu, duduk bersama di bangkubangku taman yang hilang. Di bawah lampu yang melongok ingin tahu, kenapa kita tampak begitu bahagia. Kau tiupkan harmonika, semua lagulagu gubahan malam. Aku menebak liriknya satusatu. Setiap satu kalimat yang tepat, kauberi sebuah senyuman. Sebuah kecupan untuk setiap lirik yang tak bisa kutebak dengan benar. Kau curang, aku malah senang. Aku senang aku lebih banyak salah tebak, lebih banyak gelak tawa dan kecupan. Membuat lampu itu bersinar makin benderang, mengamati kita yang gembira*


sekar

Kujala malam dengan sajak,

kusimpan dalam ruang, kelak

kunangkunang akan datang,

menyalakan punggungnya, kubaca

saat bulan terjaga*

ordo

Ibuku perempuan paling hebat, aku tahu, aku percaya tanpa perlu bertemu, meski tak sepatah kata kudengar dari bibirnya, kubaca dari suratnya.

Aku percaya ibuku perempuan hebat, anakku yang bilang. Anakku, lelaki paling hebat yang pernah kukenal, katakatanya meremukkan semua prasasti, menikam hati.

Aku menggelepar, serupa ikan dalam perut elang*

lemau

Aku menulis dengan buruk, seburuk kepalaku, terpuruk di  kakimu, masih pula menampik sujud. Biar saja aku terus mabuk, berkerut, biar layak kauinjak kapan saja kausuka, biar pecah, berantakan, berserakan, biar tanah bersaksi, kau berdenyut di tiap serpih*

buta

Ini bukan apaapa, cuma katakata

Tak akan pernah bisa mengatakan cinta

Apalagi buat kita yang tak punya mata*

maka

rinduku gemuruh, ombak paling ganas, menghempas

kau karang paling tegar, tak pernah pecah

setia kukirim buih, memercik putih

cinta tak bisa mati*

padan

Aku akan mati kalau tak menulis, tentang kau dan matamu yang lebih luas dari samudra. Kucoba diam, diam, mengikat tangan dan jarijariku dengan kebekuan, memenuhi kepalaku dengan segenap gambar dan suarasuara setiap saat, membunuh rinduku entah dengan apa, tanganku terikat dan kepalaku penuh. Aku merasa kehilangan diriku, diriku yang selalu ingin menulis tentangmu.

Aku duduk di depan monitorku, menangkap beruang, mengumpulkan telur, bulu domba dan susu. Aku tak tahu siapa yang mengendurkan ikatan kebekuan di tanganku, jarijariku bisa bergerak. Tapi ada yang salah, kebekuan mencekik leherku. Aku tersengal menghirup udara, tibatiba isi kepalaku membuncah, tumpah, mengotori dinding dan lantai. Sementara aku sedang memanggang kue, sambil memintal selimut wol  dan membuat keju. Ini sangat memuakkan. Ikanikan membakar dirinya, keluar masuk kepala lewat mataku. Aku ingin berteriak dan menyudahi semua. Aku mulai mencari katakata yang bisa membuatku tertawa, tak ada apaapa. Aku tersesat sendiri di belantara yang tumbuh terlalu cepat dari telinga. Segera kuputuskan berlutut, komatkamit membaca mantra, kusebut doa, sederhana saja, hanya satu kata, biasanya membereskan masalah. Aku bernafas lebih lega, sedikit saja. Setetes samudra.

Kurasa aku bisa mati kalau tak menulis tentangmu, alangkah bodoh, aku bisa mati, pasti, kalau tak menulis tentangmu. Aku mulai merapikan lantai, menyingkirkan korankoran tua, sambil mencaricari katakata yang tumpah dari kepala. Ada kau di manamana, bersembunyi di balik pohonpohon yang sudah tumbang, berlarilari di halaman rumahrumah yang sudah terbenam. Kukumpul satu persatu tentangmu, kudekap erat di dadaku, kembali duduk di depan monitorku. Beruang mulai berjatuhan dari langit, bebek, domba dan sapi berteriakteriak. Aku bisa mati kalau tak menulis tentangmu. Cinta membunuh semua alasan, katamu. Kubunuh monitorku, kupandang matamu, lama, berharap mampu membunuh waktu di situ*

Minggu, 16 Januari 2011

toko buku

Sebuah tempat sesuai namanya, toko buku adalah ruangan dengan sejumlah banyak buku. Banyak berarti sungguhsungguh banyak dalam nominal, jumlah dan judul. Banyak buku. Deretan rak, meja rendah dan tinggi, lemari kaca, di manamana penuh buku. Aku suka buku, dari bunyi, kata, sampai wujud nyata. Aku setuju dengan kalimatkalimat bijak, buku sahabat terbaik, jendela dunia, gudang ilmu dan lainlain serupa itu. Kutambah lagi dengan kalimat romantis milikku sendiri, buku adalah sayap kupukupu, akan hinggap di tanganku, jika tumbuh bunga di situ. Bunga segiempat dengan deretan angka, abjad, sebuah wajah, dan sepotong lukisan. Bunga, begitu manusia abad ini menyebutnya. Mereka menanam bunga di manamana, di lembar kertas berstempel dalam gedungdegung bagus, menunggu waktu bunga tumbuh, memetik hasilnya. Betapa puitisnya, bungabunga, kupukupu, menetas dari kertas.

Toko buku,membuatku teringat tak ada bunga di tanganku, tak ada bunga menyulap buku jadi kupukupu, hinggap di tanganku. Tak ingin mengingat bunga dan kupukupu dari buku, aku melangkahkan kaki, kembali ke jalanan, bertemu kupukupu bukan dari buku, menunggu bungabunga tumbuh dari tanah, merasa hampa dan bahagia*

cinta tak bersyarat

Selembar seratus ribu rupiah, licin dan harum, baru keluar dari bank, asli, ikhlas dan halal, siapa mau silahkan angkat tangan?
Banyak tangan terangkat.

Nanti dulu, selembar seratus ribu rupiah dilipatlipat, diremasremas dalam telapak tangan, hingga lecek, lusuh, kusut, masih ada yang mau ?
Tangan sama banyak terangkat.

Wahh, tak kusangka, betapa senangnya. Bagaimana jika selembar seratus ribu rupiah diremas lagi, dibuang, diinjakinjak kaki dengan sepatu berlumpur. Selembar seratus ribu makin kusut, lusuh, kumal, hitam, agak basah, hanya utuh, tak terkoyak, masih tetap mau ?
Tangantangan yang sama masih setia terangkat.

Berbahagialah selembar seratus ribu rupiah, sungguh dicintai segenap hati, tanpa syarat, setia dan apa adanya*

kirai

Aku bertanya pada jalan, siapa mengeringkan jejak hujan di tubuhnya. Tunjukkan padaku, aku butuh mengeringkan jejakmu di basah rambutku.  Rodaroda, langkah kaki, teriknya hari, tarian angin, berebut menjawab. Kayuhlah waktu secepat kaubisa, berlarilah, berdirilah di tanah datar, duduk di atap rumah, memandang dunia berjalan. Kukerjakan semua, masih pula di tambah pejamkan mata, berteriak, purapura gila, jejakmu masih basah.

Kau hujan abadi, tak henti melukis pelangi, pun di musim kemarau paling kering, jejakmu tak berganti, wangi musim semi*

stigma

Kubelah dunia di dadaku, pulaupulau dan samudra tumpah di lantai, menenggelamkan kaki hingga kepala. Aku tenggelam, tenggelam dalam muara, bersama bangkai, sepatu butut, pecahan gelas dan jendela. Tak terluka, tak berdarah, hanya kehabisan udara. Pulaupulau dari dadaku berjalanjalan mencari tempat, kemudian diam, menanam benih di seluruh ruangnya, menjadi ladang dan bukitbukit berwarna perak, dengan bungabunga hitam putih, seperti gambar belum jadi*

sajak cinta

kau akan percaya ini sajak cinta, untukmu

tak boleh kutulis namamu pada setiap sajakku, aku tahu

ini sajak cinta jika kaubaca*

alpa

Pecahkan kaca, pecahkan kaca di matamu. Di sana aku sembunyi sepanjang waktu dari ledakan dan luka. Menjadi sebuah wajah, mungkin ramah, mungkin sehat, mungkin tak tahu arah. Berjalanjalan di lorong, kanan kiriku benda riuh bertaruh, siapa kau, penghuni telapak tanganku. Aku berjalan, aku hidup, bertanya siapa kau, setia mengikuti  langkah sambil tertawa. Mungkin aku lucu, serupa badut berpipi merah, kenyang menelan airmata, hingga bibirnya selalu muntahkan tawa, tawa sungguh merah. Lambung pintar mencerna airmata.

Kerduskerdus melukis banyak gambar tentang dunia, tentang seharusnya memperlakukan manusia, entah ide siapa. Cemerlang.

Jangan dibalik, jangan dibanting, jangan ditumpuk terlalu tinggi, jangan didekatkan pada api, jangan ditaruh di bawah terik. Peraturan untuk empat lusin air mineral kemasan. Mata mencintai air,mencintai segala yang mengalir. Kau tentu sangat paham, dua pertiga tubuh adalah air, selebihnya sekumpulan organorgan bersuara parau, kalau bisa baca, bukubuku akan bercerita.

Air mineral tertawa senang saat tangan mengantarnya ke dalam sebuah gedung, menjadi penting, berdiri di mejameja terhormat di mana tangantangan bersilang, mencoba bijak, katakata menyumbat rasa, aku orang dungu berbaju salju. Peringatan di kerdus air mineral kemasan membuatku mengerti, menguburku dalam darahmu.

Di jantungmu, waktuku beku. Asin darah membuatku dahaga.  Aku tak bisa minum air mineral kemasan yang kerdusnya rewel, banyak aturan, tak boleh ini, dilarang itu, seperti pasukan perang. Aku tak suka menembak, tak berminat melubangi  dunia.

Aku butuh setumpuk kartu untuk merubah nasibku. Kertas dan gelasgelas plastik, sahabat setia, berbisik semua akan berakhir baik, senyum untuk semua yang manis. Sekaleng kripik kentang, sebotol soda, kita berpesta. Untuk saling melupa. Aku menanyakan waktu di pergelangan tanganmu*

pepatah

Surga di telapak kaki ibuku pasti berdebu. Kubayangkan macam apa rasanya kalau aku jadi ibu, surga menempel di telapak kaki, mungkin lengket macam ampas permen karet, kenyal, berbau manis, berkilau, berwarna pucat, tak mau lepas. Membuatku sulit melangkah, sepatu saja bikin kakiku mengapal kasar, bagaimana dengan surga, terlalu mewah. Aku tak sanggup, betapa berat melangkah sambil membawa surga, kalau terinjak terlalu keras bagaimana, surga bisa pecah ? Tak apa kalau cuma surgaku saja yang pecah, aku pasrah, tapi betapa ngeri kalau sampai kupecahkan surga anakanakku. Dengan apa bisa kuutuhkan lagi. Kakiku pasti juga berdarahdarah, dinding surga mungkin sebening kaca.

Duh ibu, siapakah yang pertama menuliskan pepatah itu, surga di bawah telapak kaki ibu, aku terus berpikir dan bertanyatanya, sambil menggosok sepatu anakku, lumpur dan debu berjatuhan mengotori tanganku* 

latar

Angin mengelus rambutku, berceloteh tentang ceritacerita di bawah bantalku. Kutemukan setumpuk buku lama yang tertawa, bertanya, ke mana saja jiwa. Kubilang berkelana, ke tempat sampah, membakar gambargambar tua, surat cinta, sajaksajak yang kutulis sebelum kukenal  namanya. Biar angin kenyang menelan asapnya, membaca kisahnya, merasa  berharga. Kalau angin sedang senang mungkin mau ditiupkannya pesanpesannya yang tak sampai di mataku yang jelaga* 

topeng monyet

Hari ini berjalan lagi, menyusuri rantai di pinggangku. Aku memakai topi, payung, meniup seruling, membawa tas tangan, senapan, menjadi orang. Siapa bilang aku orang, kalian pandai mengarang, merangkai bunga, membuat bejana. Orang pergi ke pasar, ada yang menabuh gendang, berdendang, aku berjalan membawa tas tangan, memakai payung, seperti nona di kotakota. Aku juga tertawa.

Harmonika saja, kuminta kenangannya, suara sengaunya bikin aku merasa seputih dan seteguh bangau, berdiri dengan satu kaki di sela batang padi. Bukankah itu indah, jangkung, putih, bersayap, berparuh tajam. Angin bertiup kencang, mengguncang tubuhku, kubenamkan kakiku dalam lumpur, biar kelihatan tegar, angin boleh menampar, bangau tetap nanar, tegak tak bersandar. Lumpur akan menyimpan rahasia, betapa dalam kaki bangau meretakkan dadanya.

Layar diturunkan hujan, aku berganti peran, siapa paling suka hujan. Katak, aku melubangi dinding perut bangau, serupa anakanak bangau menetas dari cangkang telur, mataku bulat, menatap kulit bangau di bawah kakiku, terkoyak, lembut, putih, hangat, masih  berdenyut. Aku buruburu bernyanyi, sebelum hujan keburu berhenti. Aku bernyanyi terus sambil menimbangnimbang, musim apa segera menjelang.

Pohonpohon sunggub beruntung, tumbuh tinggi, mungkin bisa mengintip penghuni langit. Haruskah percaya langit di atas kepala, jika aku bukan orang, kepala bukan kepala, langit bukan di atas. Ada yang salah mengajariku berjalan, ibukah, ayahkah, aku tak kenal siapasiapa, selain harmonika. Bukan orang pasti menyenangkan. Berpurapura paham, menjulurkan lidah, menanti sesuatu tergiur nafasku, hinggap, lalu ditangkap, dilahap. Kutelan pelahan lekuklekuk mahluk yang jatuh cinta pada lidahku.

Suarasuara berseru marah, salah, salah. Tak boleh memangsa mahluk dengan cara pengecut, orangorang berkata. Aku masih bukan orang, tapi aku mendengar, ingin kututup telingaku, andai aku orang, bertelinga dan tahu di mana letaknya. Tapi aku bukan orang, tak tahu dengan apa aku mendengar.

Pohon berkata, seperti daun, pohonpohon juga tak tahu kalau punya daun, beriburibu lembar berkibar di satu dahan, bisa gemerisik dan melambailambai.

Aku tersentak, rantai di pinggangku mengencang, ayo jalan, ada orang berkata, orangorang sudah bubar. Aku masih tak tahu di mana letak telingaku.  Aku bertanya pada orang yang menarik rantai di pinggangku. Orang seperti tak mendengar. Kulihat telinganya, tak mirip daun, tak gemerisik pun tak melambailambai, telinga orang itu diam, mungkin telinga tak mendengar. Atau telinga orang tak paham kalimatku, aku bukan orang. Daundaun menganggukangguk, tanpa kepala* 

sungguh

Berjanjilah, berjanjilah untuk selalu berkata tak tahu, saat kutanya apa kau mencintaiku. Biar kau tak pernah tahu, kau mencintaiku. Serupa aku, tak mau tahu sebarapa aku mencintaimu.

Sungguh

Berjanjilah, berjanjilah untuk tak pernah berhenti  mengingkari, aku mencintaimu sepenuh hari. Biar aku bolah selalu merasa bersalah jika gagal membnuatmu tertawa. Serupa kau tak mengenalku, kecuali setitik airmata di puncak bahagia.

Sungguh

Berjanjilah, berjanjilah untuk selalu mengingatku sebagai penjarah hatimu. Biar aku jadi penjahat, terpenjara dalam tubuhku, merindumu tak bertepi.

Sungguh, berjanjilah, berjanjilah, untuk tak pernah lebih*

11 januari 2011 (11-1-11)

Malam telah larut, hampir fajar. Seorang lelaki mabuk berjalan terhuyunghuyung di tepi sebuah jalan. Dari mulutnya tercium bau harum anggur, sementara dia tak henti menggumamkan penggalan namanama dan serapah.  Langkahnya buruk sekali, tersandung berulang kali. Tapi, lelaki itu berjalan ke arah yang sama, tanpa ragu, dan dia tak terjatuh.

Seorang perempuan baru saja kembali ke sudut jalan, di mana dia biasa berdiri lagi, sesudah menyelesaikan mimpi. Perempuan itu merasa udara malam ini terlalu dingin, menusuk tulang iganya, membuatnya merasa mual. Betapa beruntungnya lelaki mabuk itu, bebas meracau sambil berjalan terseokseok, setidaknya mabuk menghangatkan tubuh. Perempuan itu juga sedang kehabisan sigaret, malam yang kacau, segelap langit.

Lelaki mabuk terus saja menggumamkan makian dengan suara parau. Andai aku bertemu dengan seorang perempuan yang tak muak melihatku saat ini, aku akan percaya bahwa hidup memang adil, selalu saja kalimat serupa itu yang memenuhi benaknya saat dia mulai menenggak anggur tak putusputus. Lelaki mabuk sengaja minum cukup banyak untuk bisa menyebutkan semua namanama dalam ingatannya, namun selalu saja nama itu tak bisa tersebut, suburuk apapun kalimatkalimatnya, sebanyak apaun namanama bisa disebutnya, selalu masih tertinggal satu, mungkin terkubur terlalu dalam di jiwanya.

Perempuan mengamati lelaki mabuk dengan matanya yang jeli, mata yang biasa dipakainya untuk menilai lelaki. Dia berkata dalam hati, dia lelaki yang baik dan menyenangkan, meski dalam keadaan mabuk berat, dia berjalan pulang sendirian, tak merepotkan siapasiapa, lagipula lelaki itu tak memuntahkan isi perutnya, sesekali lelaki itu seperti tersengal. tapi tak ada muntahan keluar dari mulutnya, tak juga dia ambruk dan terpuruk di trotoar. Sebaikbaiknya seorang pemabuk, adalah pemabuk yang bisa mengurus dirinya sendiri, tak perlu menyusahkan sesiapa untuk menopang tubuhnya.

Perempuan merasa sangat iba, menimbangnimbang kemungkinan menghabiskan sisa malam dengan lelaki tak dikenal yang berjalan sempoyongan, itu ide yang sangat ganjil, sepertinya sangat putus asa. Kenapa tidak, kalau ada saat yang tepat untuk merasa putus asa, inilah saatnya, waktu yang tepat, orang yang tepat, dan kabut yang turun menjelang dini hari akan jadi setting yang sempurna untuk sebuah drama. Tanpa benarbenar sadar, perempuan melangkah mendekati lelaki.

“Hey, mau kuantar pulang ?”

Lelaki itu memandangnya seolaholah perempuan itu bukan mahluk bumi, ya alien, begitu namanya. Alien, begitu anakanak dan orang dewasa menyebut mahluk yang berasal dari luar bumi, seandainya memang ada tempat lain untuk hidup selain bumi.  Perempuan itu merasa risih dipandang dengan begitu tajam, tapi tak menyerah, kalau seorang lelaki mabuk tak langsung menerkam dan merengkuh tubuhnya, itu satu lagi pertanda bagus. Perempuan  mengira lelaki mabuk tak mendengar kalimatnya, mengulangi sapanya, “Hey, boleh kuantar pulang ?”

Lelaki mabuk melontarkan beberapa makian, sebelum akhirnya berkata, “Kau tahu rumahku ?”

“Tidak.”

“Jadi bagaimana mau mengantar kalau tak tahu.”

“Kau akan memberitahu, atau menunjukkan jalannya.”

“Aku mabuk.”

“Aku tahu.”

“Aku mungkin tak tahu rumahku.”

“Kau tak cukup mabuk untuk berkata jujur.”

“Hahh…?”

“Kau tak cukup mabuk untuk membiarkan aku mengantarmu pulang.” Perempuan mengambil nafas sebentar, kemudian,“Kau tak cukup mabuk untuk membiarkan perempuan macam aku mengunjungi  rumahmu. Kau tak cukup mabuk untuk mengataiku pelacur. Kau…” Perempuan itu menyerang dengan katakatanya.

“Aarrghhh…sssttt…!!”  Lelaki mabuk memegang bahu perempuan ,“Ayolah, ikut aku.”

“Peluk aku.” Suara perempuan mendesis, macam bujukan iblis, tak bisa ditampik.

Lelaki mabuk memandang perempuan sejenak lagi , seakan ingin memastikan sesuatu, sebelum membuka lengannya. Perempuan merapatkan tubuhnya, meletakkan pinggangnya begitu pas pada lengan lelaki mabuk. Mereka berjalan berhimpitan. Lelaki mabuk kini diam, tak meracau, tak memaki atau menyebut namanama lagi. Sungguh diam dan sunyi, tak ada suara selain bunyi langkah bergesekan jalanan dini hari.

Lelaki dan perempuan itu berpelukan, berjalan pulang di sebuah malam.

Rumah itu sejuk, berdinding embun bercampur peluh dan airmata, jernih dan gurih tak terkira.  Fajar hampir datang, tanpa bisa ditunda, mengangkat rumah embun dan jiwajiwa yang tertidur gelisah dengan tanya yang tak pernah habis. Lelaki mabuk dan perempuan tak peduli, sungguhsungguh tak peduli, bahkan jika langit runtuh menimpa kepala.
Bagi lelaki mabuk dan perempuan, kepala remuk itu biarkan saja terkubur, toh sepanjang waktu kepala cuma bisa menyuruhnyuruh tubuh, ini itu yang tak ada arti. Berpikir, hanya itu guna kepala, kegiatan paling meresahkan ya berpikir, berpikir membuat lelaki ingin menenggak anggur terusmenerus, dan perempuanperempuan berdiri di sudut jalan sepanjang malam, melelahkan.

Pemabuk dan pelacur itu, mungkin sepasang malaikat yang sedang menyamar, mereka diutus tuhan demi syairsyair cinta paling getir. Syairsyair yang bikin tuantuan dan nyonyanyonya terhormat tersindir, memonyongkan bibir, mencibir, dan berbisik sinis,”Kami tak butuh syair, makan tuh syair!”  Tuhan juga suka tertawa mendengarnya, tuhan maha segalanya, pasti juga maha romantis, maha tragis, seharusnya tak lagi menangis setiap membaca bencana.

Fajar datang, selubung kabut menghilang, tepat seperti  yang dibayangkan perempuan, lelaki mabuk melayang terbang, tanpa sayap, masih memeluk pinggangnya. Perempuan tertawatawa, sangat bahagia, perempuan paling beruntung di jagad raya adalah perempuan yang boleh mengantarkan seorang malaikat pulang. Ahh, ada gunanya juga punya kepala, ternyata bisa berpikir indah, tertawa dan merasa bahagia. 

“Kirimi aku bintang nanti malam.” Katakata itu tepahat di tanah, dibawahnya anak kucing bahagia bermain cacing*

cinta siluman labalaba

berayunayun di liurku, aku

meloncat ke gemuruh tidurmu

jatuh di harum rambutmu

dari situ, aku merayap kekeningmu

mengecup matamu, jangan kaubuka

kudekati hidungmu, udara yang kauhela

kutangkap dengan delapan tangan

ketujuh warna bianglala ditambah

satu warna tak benama*

mozaik

Aku tak suka kata aku, seperti genta bising dari guagua asing.  Aku keluar masuk tubuhku, melupakan sopan santun, melupakan gugus bintangbintang dan ramalan. Aku kucing manja tuanku, naik ke meja makanku, mencuri ikan gorengku, mengotori piringpiringku, memecahkan gelasku, tak mampu marah dan membenciku. Setalah kenyang, aku melompat turun, berjalan anggun ke kamar tidur, mloncat ringan ke tempat tidur, memilih tempat paling hangat, mungkin di atas bantal yang menyimpan wangi rambut, aku berputar, merenggangkan tubuh, akhirnya bergelung, memejamkan mata. Aku tidur.

Aku tak tega membangunkan mahluk yang tidur pulas di atas bantalku, dia begitu manis. Maka aku duduk di kursi, mencoba mengingat saatsaat indah aku yang tertidur itu mondarmandir di kaki, menggosokkan punggung dan hidung pada tungkaiku. Aku tersenyum. Aku suka aku yang berbentuk kucing. Aku, kucing itu mahir menciptakan suarasuara merdu, giringgiring kereta luncur. Aku senang, mulai menggambar tempat ibadah dengan menaramenara permen, warnawarnanya cerah, sebuah kue tart raksasa. Ulang tahun tuanku. Aku mewarnai dengan krayon,gambargambarku.

Dinding kamarku bercahaya, lampu menyala, lalu tangantangan bertepuk. Seekor babi menari, diiringi musik klasik, bajunya sempit, penuh hiasan pita dan renda merah muda. Kucing terbangun. Ini baru bagian pertama, aku berkata pada kucing, tidurlah kembali, aku mengelus kepalanya,  kucing menunduk manja, merapatkan tubuhnya, aku menutup matanya. Aku ingin meminta bantalku, tapi tak ingin mengusir kucing. Lebih baik kucing tidur pulas di atas bantalku, daripada mondarmandir gelisah dalam tubuhku. Aku perlu istirahat dan menulis surat, mungkin membuat istana.

Kemarin, sudah kubeli sebungkus permen karet berhadiah istana, mulanya hanya sekeping plastik bergambar, harus dipisahkan dulu setiap keping bagiannya, baru dirangkai kembali jadi bangunan empat dimensi, istana mungil, sebuah menara di kota cinta. Begitu mudah dan sederhana membuatnya, menara cinta berdiri megah di atas layar monitorku, betapa senangnya. Aku mesti jadi semut untuk memanjatnya, kucing mestinya bisa jadi semut, tapi kucing masih tidur. Tak sabar menunggu kucing terbangun, aku mencaricari di remahan roti, aku ingin menemui semut penghuni lantai kamarku. Semutsemut yang biasa memanjat gelas tehku.

Pasti ada semut juga dalam tubuhku, semut yang akan memanjat menara di kota cinta buatanku. Aku pernah bertemu rusa, serigala, ayam, gajah, bahkan beruang kutub dan ikan paus dalam tubuhku. Tapi semut memang sulit terlihat mata, terlalu kecil, sampai semut menggigitku. Aku berharap semut sedang usil, mau menggigitku segera, aku ingin memanjat menara cinta di atas monitorku, tujuh keajaiban dunia. Ahh, kucing ternyata sudah sampai di pintu pyramid. Aku senang, lalu teringat aku juga burung merpati. Tak perlu semut susahsusah memanjat, biar burung merpati saja, terbang langsung ke puncak menara.

Aku hanya belajar menyukai gambargambar tuhan. Kau ingin mengantarku ke dokter jiwa, kau pasti lelah. Akan kuusir kucing dari bantalku, agar kau bisa tidur. Aku masih dalam perjalanan pulang. Nanti, akan kutunjukkan catatan perjalananku, setelah membacanya kau bisa mengerti kenapa aku sering senyumsenyum sendiri*

persetan cabe rawit

Aku bingung, ibuibu tak bahagia jika cabe rawit tak terbeli. Bagiku tak penting, apa menuku. Semua sama lezat, menumbuhkan hasrat. Pedas, asam, manis, asin, sempurna meriah di lidah, tepat tak terkira. Aku pasti makan lahap, selama ada bibirmu, hidangan pencuci mulutku*


bubur ayam

Minggu pagi, mengembalikan harihari di pintu rumahmu, terlena
dalam pelukan lagulagu. Lantun rindu, santun waktu,
buntu.

Satusatu hanyut di perut, tak susut, sahut menyahut berebut rasa*


ladung

kau di mataku pecah

pagi mencari jalan kembali

meringkuk dalam rahim malam

uban tumbuh sejak pecah ketuban

seputih bintang mengulang

ulang kematian demi

kematian berlampin awan lain

hari mengoceh di bibir bayi

merajuk minta matahari*

tunjung

Di kaki tugu kucoba melupakan namamu, menjadi air mancur, mendaki udara, menggenggam matamata letih pencari jernih. Sesaat terhempas, membasahi kakikaki paling dekat.

Di kaki tugu aku menjadi dungu, menjadi semen, besi dan keramik, membaca perjalanan singgah, sejenak memeluk sejuk. Menggenggam butiran air, memecah jantungmu, merebut kembali merah bibirku.

Di kaki tugu aku tak mampu, menjadi batu terhibur air mancur. Kau menenggelamkan kota, kata, lalu kita berselimut cahaya lampu. Aku layu, terbunuh nyanyianmu*


sawan

Melipat hutan lalu memasukkannya dalam tas. Pucukpucuk pinus menusuk punggungku, kicau burung, lengkingan beruk, teriakan tonggeret, angin mengaum di sela daun. Aku berjalan menggotong musim, terlalu panjang dan banyak suara. Hingar teredam, mengarah kepada gambargambar, sketsa mencari wajahmu.

Akar pohon menenggelamkan tubuhtubuh sepi yang tumbuh dipundakku.  Hutan semakin lebat, menggeliat dalam lipatan. Aku berjalan kian cepat, mencari bangunanbangunan tua dalam matamu, di sana hutan hendak kutanam. Sepasang burung gagak sudah kawin, perlu sarang menelurkan bunyi kematian.

Bukan sayang,  kita harus berbulan madu, hanya dengan lipatan hutan dan sepasang kaos kaki yang tersesat di musim semi. Rambutku meleleh, leherku meleleh membasahi lipatan hutan dalam tas punggung. Betapa gurih bungabunga cengkeh, sayatan kulit pohon kayu manis, beribu lembar daun salam berguguran. Handphoneku melesat, menabrak dinding, pecah berkepingkeping, kupungut hatihati, kuselipkan dalam lipatan hutan.

Malam sama panjang dengan malam yang sebenarnya malam di hutanhutan. Paruh gagak patah, pecahan handphone bertambah gusar, merapat dalam lipatan hutan*

nazar

Akhirnya aku bersendawa, membagi aroma hangat tuak dengan udara. Udara berbinar bahagia, mendekap residu paruparuku.  Sampah itu indah warnanya, aku percaya api mencintai setiap sampah yang sempat lumat dilidahnya. Bukankah bumi selalu murah hati, bagi tubuhtubuh yang mencintai tanah. Aku merasa harus selalu berakhir indah, ada senyummu di penutup sajakku.

Ya, aku tahu kau paham aku senaif burungburung nazar, hinggap di puncak tiang gantungan, menunggu mata terbelalak, menatap galak kematian. Sumpahku, memisahkan mata dari kelopaknya, kusangka semua pandang ingin terbang. Menarinari, mabuk bersama jejak sendawaku*

bulanbulanan

Aku sudah menjadi balon malam ini, warnawarni. Dulu balon hanya bulatan berwarna, sekarang balon punya banyak warna pada banyak wajah, semua wajah riang tertawa, kucing dan angsa, bis dan pesawat, spons kuning bercelana, berdasi pula. Betapa senang sempat menjadi balon sungguhan, dijajakan di pinggir jalan, ditawar, di bawa pulang, di sayangsayang.

Tangantangan kecil mahir menggelitik tubuhku, bikin aku meliukliuk senada tawa renyah bibirbibir tanpa pewarna. Menjadi balon sungguhan, betapa menyenangkan. Menjadi balon sungguhan serupa menjadi bulanbulanan, sinar lampu seterang matahari menghangatkan tubuhku*

sesat

Menjadi aku, bukanlah sebuah kemungkinan, enggan mencari kepastian.  Aku yang ingin menjadi tiang lampu, botolbotol obat, kapas, alkohol, syair dari lagulagumu. Menampik hidup adalah tabik ditangan seorang tua bertongkat di bawah jembatan. Ingin pula menjadi dahan, bahkan lahan menyemai firman, bukankah aku itu sangat berlebihan, tak tahu adat.

Di semaksemak aku harus sembunyi, menemani segala jenis primata, mengendapendap dalam gelap, menjadi gentar akan taring  ular. Seharusnya aku itu tahu, bisa akan menyempurnakan tubuhku di siluet waktu. Membuatku mau menjadi batangbatang jerami, merindukan kobaran api, sembari menghayati perjalanan bijibiji gandum menjadi roti.

Betapa aku keras kepala, meminta mata kepada kitabkitab buta*

duhai, mimpi

Duhai kau, yang tertidur di teras rumahku, jejak siapa kaumimpikan di situ. Beritahu aku, kapan saatnya aku boleh memenggal mimpimu.

Warnanya mungkin ungu , merah jambu, atau jingga, semua warna yang tak berdiri sendirian di cakrawala. Warna mimpi manusia kurasa sama, malam saja memetik di lembah berbeda.

Duhai kau, sampai kapan kau diam, pejamkan mata, tanpa isyarat menunjukkan tenggat, di mana sebarisan iklan diputar, menghentikan kisah sejenak. Aku sangat ragu menyentuh pundakmu, menebaknebak sinar matamu ketika kau terjaga memandang udara. Mimpi mungkin sedang berdansa.

Pakaiannya mungkin terkoyak pucukpucuk bintang, terlalu lincah berputarputar. Langit malam di kening sudah menipis, sebening nafas nabi*

riak waktu

Apa bedanya sekarang atau nanti, waktu, waktu menipuku dengan dengan namanama hari, jeda indah, penggalan kalimat, barisan semut merah dan botol tuak. Jadi siapa yang memaki tangantangan di halaman koran. Kenapa kau begitu kejam, menyayat jantungku dengan rasa pilu, garam dan air kelapa muda tak berdaya menjernihkan usus dari tulahmu.

Surga memakai jubah hitam berjalan di bawah lampu, seperti membawa kapak, seperti mengepakkan jarak, debudebu bergerak mengikuti langkahnya. Beri aku sedikit tuak lagi, akan kurayu surga melepaskan jubah hitamnya, menjatuhkan buahbuah anggur dari dadanya.

Sudah, usaikan semua nikmat, neraka punya penawarnya. Api selalu cerdik, cerdik, cerdik dan cantik. Detikdetik dalam jam dinding, cuma sejentik abu di lidah api. Aku itik buruk rupa, diayun telaga, waktu timbul tenggelam di kepalaku*


karam

Puisi tak mampu lagi menyanyikan sunyi. Ketika kukecap rasa asin dalam tumisan. Tak kudengar keluhan garam merindukan ombak dan buih. Aku geram pada matahari, memisahkan garam dari laut, memisahkan hari ini dan kemarin, memisahkan esok pagi dan hari ini. Lalu kau di mana, aku hilang dalam namanama tak dikenal. Tenggelam dalam samudra tak berdasar. Garam merekam maut dan kebangkitan bersama makan malam.

Garam bersoraksorak dalam remang lambung, tak sabar menelusuri usus dua belas jari, lebih banyak dibanding jemari tanganku, diakah yang memahat kotoran, jorokkah yang terjadi dalam tubuhku. Usus besar membawa harapan. Jalan pulang, garam, garam, geram, geram, karam, karam, matahari terbenam di pagi hari, puisi menggenangi lantai kamar mandi*

dongeng

Ini adalah kepergian yang kesekian, kepergian bertopi dan bermantel hitam. Serupa pesulap, membawa kartu, tali, tongkat dan kubus bertutup geser di kedua sisinya.

Dunia perlu sihir, dunia ingin lahir dari kaki bayi. Sepasang kaki montok menendang udara, titiktitik bintang bergolak di sekujur tubuhnya.

Awan bergulunggulung, naga menyemburkan api, mengincar bulan, untuk ditelan. Pertunjukan megah. Apakah itu dewi, duduk di  atas daun teratai yang tumbuh di kolam halaman sekolah. Atau hanya katak betina.  Bunga teratai mengangguk angguk, sayap capung menggetarkan air.

Aku harus pergi, untuk kesekian kali, mengalahkan naga, melindungi bulan, menjaga bintang. Tapi sebelumnya, aku harus jatuh cinta, menyulap lantai jadi permadani ajaib yang melahirkan musim semi di atap rumah. Musim mekar, musim bersinar, waktunya bangun tidur, mengucapkan mantra berulangulang. Melubangi dinding, seekor kuda putih bertanduk satu lahir dari buku.

Bayi sudah bisa berdiri, bermain dengan kuda putih bertanduk satu. Aku mengasah pedangku, sangat merindukanmu, teringat kelinci putih, dulu kaupetikkan untukku dari bulan kala purnama. Aku harus pergi, menemuimu di menara istana paling tinggi, kau pasti menanti, bersandar di ambang jendela sambil meniupkan gelembung sabun, berulang ulang mengharumkan semesta. Kubayangkan sebuah taman dan musim bunga, akan kusulap dari kartu, untukmu. Setelah kutikam naga, setelah api jatuh ke bumi, membakar malam*

lingkaran

Kulihat waktu di kota tua berbaju pemburu, menggotong senapan berbagai  jenis, angin, plastik, besi, baja. Beragam peluru tersedia, timah, batu, karet, air. Semua pilihan hina, setara telur busuk dalam saku bajuku. Aku berdiri sendiri, jauh dari yang lain, harus kujaga jarak dengan tubuh dan tembok yang berkeliaran di jalanjalan, atau telur busuk dalam saku bajuku akan tehimpit, pecah menodai  baju, memenuhi tempat dengan bau kematian paling laknat.

Kau tenangtenang menggambar, duduk dekat airmancur, seolah paham betul cara bersyukur. Kau tentu tak punya penggaris cukup panjang, tak mampu mengukur berapa jarak sudah kutempuh hanya untuk tiba pada kota tua. Kota tua, semua dindingnya berlubang, tiang dan tulang sama retak, menyangga bangunan dan punggung manusia. Lalat terbang berdengung keluar masuk dari rumah ke rumah lewat lubang dinding, bersama angin, bersama pening. Kau pasti punya sesuatu yang bisa membuatmu tahan tak menghujat tuhan.

Tuhan ternyata mendengarku, mungkin marah. Tibatiba tuhan melemparkan kertas, tak terhitung lembar. melayanglayang sebelum berserakan di tanah, sebagian mendarat di atas rumput dan batubatu, sebagian tersangkut di dahandahan pohon. Anakanak telanjang kaki berlarilari menangkap kertas, memunguti yang terbaring di tanah, batu dan rumput. Kau bangkit dan tersenyum, mengulurkan tangan meraih kertaskertas yang jatuh dalam jangkauan lenganmu. Waktu berbaju pemburu meletakkan senapannya masingmasing, turut pula menangkap dan memunguti kertaskertas putih.

Aku nyaris tak percaya pada mataku, kenapa kertaskertas bisa begitu banyak berjatuhan, mungkinkah langit menuliskan pesan pada kertas, menjatuhkannya serupa hujan, agar seisi dunia membaca. Tapi, saat kulihat lebih cermat hanya kertas kosong, putih, tak ada kata, pun tak satupun abjad atau angka tertera di atas kertas. Lalu untuk apa kertas sebanyak itu diturunkan siasia. Aku merasa bersalah dan kasihan kepada tuhan.

Kau sudah duduk kembali, dekat air mancur, kini dengan setumpuk kertas dipangkuanmu, kau bisa menggambar sepanjang waktu tanpa takut kehabisan kertas. Kertas sekarang sangat berharga, berkah, terutama di kota tua, kebanyakan kertas tak putih lagi, penuh coretan abjad dan angka tak bermakna, masih pula tercetak gambar seseorang yang pernah menang dan harus dikenang, kertaskertas dipotong pesegi, kecilkecil, untuk ditukar dengan beras dan air. Anakanak tak pernah bisa puas menggambar dan main origami, menerbitkan matahari, menciptakan burungburung dan pesawat terbang dari kertas.

Semua anak manusia, bersama waktu, terlihat bahagia dengan kertas dalam genggam tangannya. Waktu berbaju pemburu dudukduduk di bawah rindang pohon, sibuk dengan kertasnya masingmasing, tak ada yang cuma punya selembar kertas, semua mendapat berlembarlembar kertas cumacuma, sebanyak yang dibutuhkan, sepuas yang diinginkan. Anakanak mulai tertawatawa melipat burung dan pesawat terbang. Aku merasa ada yang bergerakgerak dalam saku bajuku. Beberapa ekor anak burung melongokkan kepala dari pecahan kulit telur, sesaat kemudian,  beberapa anak burung melepaskan diri, meninggalkan saku bajuku, terbang di  udara bersama burungburung dan pesawat terbang kertas.

Aku tak tahu bagaimana burungburung kecil bisa tumbuh secepat itu, tak ada induk burung dalam saku bajuku, yang memberi  makan dan mengajari anakanak burung terbang. Aku mulai menulis sesuatu, belum terbaca. Aku harus mendongak lagi, melihat banyak hal tumbuh dari kertaskertasmu, gunung dan matahari, awan dan pelangi, aku menuliskannya lagi, tak bisa lebih, kau menggambarkan kembali semua yang telah meninggalkan kertas putih. Waktu berbaju pemburu telah berganti baju, baju yang tumbuh dari kertas, entah siapa yang menggambar, mungkin kau atau aku, atau anakanak itu. Sekarang waktu mirip guru taman kanakkanakku, celana panjang, kaos lengan panjang berwarna merah muda, lengkap dengan topi bulat juru masak, warnanya juga merah muda.

Marilah kita berdoa, waktu berbaju guru taman kanakkanak melihatku dan berkata, melipat tangan, memejamkan mata. Kebetulan ada yang ingin kutanyakan pada tuhan, meski sangat kuragukan tuhan mau menjawab, tetap ingin kutanyakan.

Aku sudah bebas bergerak, tak lagi waswas terhimpit orang atau tembok, tak ada lagi telur busuk yang kuresahkan akan pecah sewaktuwaktu dalam saku baju. Waktu berbaju guru taman kanakkanak menggandeng tanganku, menuntunku berjalan, menginjak senapan yang sangat banyak tergeletak di jalanan. Tubuhnya membimbing pundakku, melangkah ke suatu tempat yang terasa akrab. Dari kejauhan kulihat seorang anak, mungkin perempuan, sedang duduk dekat api, mengulurkan lembar demi lembar kertas putih penuh tulisan. Udara beraroma hangat, bau rempahrempah membuat mataku pedih. Waktu berbaju guru taman kanakkanak menggenggam erat tanganku. Beberapa ekor burung kertas lipatan anakanak terbang berputar, menukik lincah dikejar burungburung sungguhan yang menetas dari dalam saku bajuku, berkejaran sambil berkicau riang.

Anak kecil masih ada di sana, duduk tenang, mengulurkan kertas lembar demi lembar kepada api. Di balik punggungku kertaskertas putih masih terus berjatuhan dari langit. Kau tekun menggambar di dekat airmancur, beberapa bunga teratai tumbuh dan mekar. Waktu berbaju guru taman kanakkanak berbisik, tentang hujan kertas, tanyakan saja pada anak kecil yang membakar kertas.

Aku berjalan mendekati anak kecil, ternyata memang anak perempuan, bayangan api menarikan warnawarna pada wajahnya. Masih tersisa setumpuk kertas untuk diserahkan kepada api, seperti tak pernah habis, aku tak ingat siang atau malam. Waktu berbaju guru taman kanakkanak tersenyum dan mengangguk dari jauh. Alihalih membuka mulut untuk bertanya, aku terjaga, mataku terbuka lebar, kutegakkan kepala dari selembar kertas di atas meja, putih dan kosong, sedikit lusuh, berkerut di sanasini, mungkin lelah menopang kepalaku tidur semalaman. Aku tak tahu pasti, kertas atau aku yang mengeluh, betapa sulitnya menulis catatan buat tuhan*


cerita ayah

Ceritakan tentang dongeng lama itu ayah, tentang seekor kucing yang mencuri biskuit untuk seorang gadis kecil. Aku ingin mendengarnya sekali lagi, berkalikali sampai aku lupa biskuitku habis. Aku memelihara beberapa ekor kucing, sayang sekali, semuanya tak bisa mencuri biskuit, tak bisa membalik kertas bertulis angka yang ditempelkan perempuan pelit pada kaleng biskuit. Atau mungkin perempuan itu tak menyimpan biskuitnya dalam kaleng lagi, malas berhitung dan menuliskan angka pada selembar kertas yang bisa dibolakbalik seekor kucing. Tapi perempuan pelit itu tak pernah punya bukti bahwa kucing mencuri dan membalik kertas angkaangkanya. Ayolah ayah, aku sudah mandi dan duduk manis, menanti kau membuatku bahagia dan tertawa tentang makanan lezat dan angkaangka.

Sepuluhjadi kosong satu, lima jadi dua, sembilan jadi enam, aku mendengar suara takjub dan tawa menggema dalam rongga kepala. Gadis kecil yang bahagia, disayangi seekor kucing pintar, selalu sabar mencarikan makan saat gadis kecil lapar. Ayah, katakan sekarang ya, siapa yang menceritakan kisah itu padamu, apakah ayah atau ibumu, aku ingin tahu. Aku ingin tahu tentang masa lalu yang tak tertulis di buku.

Bukubuku sejak dulu membuatku malu, tapi dongeng itu tak lekang waktu. Seperti tas sekolah yang kaujahit sendiri dari kain blacu, temanteman tertawa untuk tas sekolahku, aku senang bisa membuat temantemanku gembira. Sungguh, memang lucu, tas sekolah putih itu berhias kapal sedang berlayar. Kauijinkan aku menggunting laut dan langit dari sisasisa potongan kain peninggalan ibu. Kapal dengan layar terkembang bermotif batik, serpihan laut biru tua, gumpalan awan bitu muda, tiga ekor burung camar coklat tua. Aku merasa jadi seorang kapten setiap berangkat sekolah, dengan kapal dan laut menempel pada tas sekolahku.

Kucing cerdik dan kertaskertas bertuliskan angka dalam benakku. Ayah apa aku boleh menangis untuk sekaleng biskuit, kau diam saja. Aku menunggu ceritamu, ibu sudah tidur, mungkin terlalu lelah memasak banyak biskuit lezat yang selalu kuhabiskan terlalu cepat. Ibu tak pelit, tak pernah menghitung berapapun biskuit kumakan. Mungkin ibu yang baik bikin kucingkucingku tak cerdilk, tak belajar mencuri biskuit, tak tahu cara mebalik kertas bertuliskan angka. Tapi, ayah kenapa kau tak lagi bisa bercerita*

waktu paruparu mengetuk

Dini hari memenuhi keranjang sampah dengan kemasan, puntung rokok, kepingan beku nafas pohon. Paruparu mengetuk dadaku, menyuruhku bangun, mengajak sandal jalanjalan, sandal lebih setia dibanding hewan peliharaan, lebih pantas mengajak sandal jalanjalan, sandal tak minta makan, sandal tak kencing sembarangan, itu penting. Udara pagi begitu sekejap, selalu tak lengkap, tak pantas menodai udara pagi dengan air seni.

Air seni, betapa misteri namanya, air seni mengingatkanku pada kuas, warna, nada dan sajak. Saat kandung kemih berdenyut, waktunya ke kamar mandi, buang air kecil, aliran air seni di lantai seakan menuduhku menyianyiakan sesuatu. Air seni mungkin sedang menipu dengan warna perak dan emasnya. Pernah juga kubaca tentang terapi air seni. Jika hujan air yang bukan air seni bisa jadi begitu banyak mendatangkan imaji, tentu saja untukku, mungkin hanya untukku.

Bukan untukmu, bukan untuk ayah ibuku, bukan untuk temanteman dan kekasihku. Untuk mereka aku hanya ingin udara, sebuah senyuman disela percakapan, hanya sekalisekali bicara dengan sebuah benda yang cuma bisa menulis dan membaca kata. Aku tak suka mengingat saudarasaudara, terasa begitu formal mengatakan saudarasaudara mari mengheningkan cipta di pagi buta untuk ribuan laron yang gugur semalaman di bawah sinar lampu.

Sandal jelas tak berakal, tapi diantarnya kakiku menyeberangi medan perang, dari lantai rumahku sampai seluruh sudut kota. Sandal membawa kaki melangkah hatihati di antara tubuhtubuh tanpa nyawa, laron, kecoa, semut, kutukutu yang jatuh dari tubuh kucingku, kulit jeruk, angin laut, ceceran sampah di manamana. Aku berhutang banyak kebaikan pada sepasang sandal, terutama saat aku ke kamar mandi, sandal selalu kukenakan. Sandal sangat menngenal warnawarna air seni,  dengan teliti mencari arti dan isyarat dari pinggangku mengalir, kiri atau kanan yang terbuang. Asam air seni di punggung sandal  pelanpelan mengendap dalam sajak, tepat waktu paruparu mengetuk dadaku*

payung pelangi

Aku menanammu dalam mataku, kau tumbuh, rimbun, teduh, melindungi mata. Payung yang terbuat dari pelangi. Baru sekarang kutulis tentang payung pelangi, terbuat dari genangan air yang memercik sinar. Kuingat kalimatmu, meski kautuliskan di benam beribu malam dalam catatan hujan. Sudah begitu lama kusimpan. Mungkin kausangka tak akan pernah kutuliskan, saat kautanya, maukah kubuat puisi itu.

Aku sengaja menunggu malam tanpa hujan, untuk mengenakan payung pelangi yang kautanam dalam ingatan hujan, pagi basah berkilau, wangi bunga matahari, mungkin tak mengingatmu atau aku. Musim mudah melupakan. Aku mengingatmu ketika semua berlalu, saat hujan merapuh, genangan air hilang ditiup angin, lubang jalan mengering.

Waktu mendongakkan kepala, malam membentang terang, indah, lembut dan tembus pandang persis kaubilang, payung pelangi meneduhkan hati*

sepotong tahupun tahu

Aku menduga moyangku tahu bongkahan di meja makan itu sungguhsungguh tahu, tentang benih, tunas, tumbuh, dipetik, dibawa ke pabrik, bunyi mesinmesin, menjadi bongkah putih, terendam perih, garam dan bumbu dapur, minyak mendidih di penggorengan, menjadi matang. Terhidang di meja makan, hingga akhirnya, sentuhan bibir dan lumatan lidahku.

Maka dia diberi nama tahu, karena sungguhsungguh tahu tentang waktu. Tak ada yang begitu saja menjadi tahu, pun tidak sepotong tahu. Sudah bertahuntahun kukenal tahu, malangnya baru kusadari aku tak tahu banyak tentang tahu. Sampai malam ini ada yang berbisik, mungkin lidahku, tanyakan pada tahu, tentang waktu, tentang putih yang bisu, tentang semua yang selalu kuacuhkan, purapura tak tahu, betapa panjang perjalanan sepotong tahu demi  mengisi perutku.

Ditubuh bagian mana tahu menyimpan kenangan aroma tanah dan musim hujan, tentang daundaun yang tumbuh di ranting perdu, kulitnya semegah mantel bulu. Panen dan suka cita yang sebentar, perjalanan ke kota, tahu begitu mahir menyimpan kisahnya. Belum lagi deru bising mesin pabrik, memilah, memisahkan, mengolah, mengaduk, membentuk, mewarna, seakan ada terlalu banyak tuhan ingin menciptakan tahu, tuhantuhan kemudian melupakan semua yang mereka tahu. Aku ingin tahu apa sebutan tahu untukku, tuhan atau hantu.

Malam ini, sepotong tahu tersisa di meja makanku, matang, cantik, berkilat, serupa harta karun, emas berlumur minyak. Aku jatuh hati padanya. Aku jadi ragu memasukkan tahu dalam mulutku. Tahu yang baik hati, kuberikan kesempatan untukmu memilih takdir, aku ingin belajar adil.

Tapi tahu malah tertawa terbahakbahak,menatap sinis bibirku,”Sudah jangan sok tahu, aku cuma sepotong tahu.”

Duh, bahkan sepotong tahu tak percaya padaku, betapa pedihnya, tahu mungkin sungguhsungguh tahu betapa busuknya aku*


mata api

Malam sebantar lagi, senja singgah sebentar saja, menyalakan api.

Sudah cukup terikkah matahari, daundaun kering.  Kuatkah angin merontokkan, daundaun kering.  Waktu siapkah menyapu, daundaun kering.  Masih adakah minyak tanah, sepotong garing ranting, pemantik tersedia, menciptakan bara membakar, daundaun kering.

Para pejalan bermata hampa sibuk memunguti kelopakkelopak mata, menyambut malam, untuk menutup mata.  Ada yang lalai membubuhkan kelopak mata pada wajahwajah, serupa batu, mata tertanam di cekung tulang, tak pernah terpejam. Menyaksikan ular keluar dari layar kaca, sapisapi lahir dari jerami, ombak memahat ikan, hutan tumbuh dari sebutir apel.  Bibirbibir terbang, hinggap di lengan hujan, mengigil kedinginan, lagu lirih dinyanyikan, kampung halaman, rahim, setumpuk syair. Darah berbau anyir menjadi banjir yang dikirim batangbatang kayu di atap rumahku.

Waktunya keluar, bangkubangku dan meja berjalan meninggalkan ruang kelas. Lereng gunung terlalu memikat untuk diabaikan. Belajar tak perlu kelas. Mata tak berkelopak mahir merekam gambargambar indah. Aku terpesona, aku terpesona, beritaberita mengutip lirik lagu. Ketukanketukan memberi isyarat api unggun boleh dinyalakan. Daundaun kering telah menanti lama, rindu api, rindu arti, sesudah mati, mungkin masih banyak kematian menanti.

Api, semoga lekas membakar segala yang disaksikan mata, mengantar kelopak mata kembali, memejamkan mata. Tak terdengar apaapa, hanya gumam daundaun kering tak sabar menanti senja . Senja singgah di lereng gunung, membereskan meja, bangku dan bukubuku, sebelum menyalakan api*


udara...

Kau curang, bekedok pemberi nafas,kau keluar masuk dadaku sesuka hati. Kaucuri jiwaku, kau bawa pergi, aku bernafas tanpa rasa, tanpa jiwa. Kau terbangkan kemana jiwa, aku masih berdiri, berbaring, berpikir, bertanyatanya kemana jiwaku, pada siapa dan apa saja yang ada di dekatku, adakah yang tahu kemana jiwaku.

Kau terus keluar masuk sesukamu, bersilap seolaholah jiwaku masih ada. Aku terus bertanya. Suatu pagi sebatang rumput jatuh iba dan berkata, usah kautanya lagi, angin menerbangkan semua jiwa ke bukutbukit, menjatuhkan sebagian ke tanah, menumbuhkan ilalang, sisanya akan di tanam kemudian, selembar papan kayu akan tumbuh, menulis dan memanggilmu.

Aku menunggu*

burung dari buku

Malam selalu tentangmu tertulis di bukubuku, mengepakkan lembar demi lembar pengakuan. Genap ganjil hanya hitungan lupa bilangan, menunjuk pada halaman berapa, kata tamat mencatat riwayat tanah liat dalam bejana. Kubuka redup tutupnya dengan jarijari basah, baru berjabat tangan dengan hujan. Jauh, sungguh jauh air terbenam, tempurung lututku mencair sujud, mengeluh sebelum bersimpuh.

Sebelum bejana pecah, ada sekerat jiwa tak pernah utuh,  ingin tidur lelap dalam ringkuk tubuh bocahbocah yang letih melipat burungburung dari sobekan bukubuku*

di kolong jembatan

Bendera menyayat tipis lidah, tak lelah bernyanyi, lagulagu mengenang pahlawan. Jauh di tepian sungai asing. Perempuan menanam serpihan kertas, berharap tumbuh kincir angin, melarung airmata sampai atap rumah. Neraka menjelma surga dalam kenangan. Pulang, pulang, pengulangan tanpa jejak, jarak mengarak  sesak berbaris panjang, beku, kekal,memenggal kalimatkalimat dalam surat,kata membakar kertas, hangus di ujung subuh tanpa rukuh*

tanpa jeda

Abadabad setia berlari di atas batu berkalikali terpeleset rindu terjatuh dalam lemari baju wangi tubuhmu menunggu waktu cepatlah berkemas sebelum ngengat berdatangan melubangi dinding jantungku*

nisan

Ini puisi cinta yang ke sekian kutuliskan kepada nisan tak bertuan. Aku tak mengerti kenapa aku harus terus menulis, sementara tanah terus mendesis sinis. Matanya begitu merah membidik pena, seperti sangat bernafsu mencuri kata, tak sabar menungguku tertidur, menjatuhkan penaku, seperti  saat rapat dulu kau menertawaiku. Tanah sepertinya tahu nisan bakal gembira jika ada namaku tertulis padanya. Nisan macam anak kucing terbuang, terlantar menatap setiap jiwa dengan pandangan memelas, mengeong manja, jadilah majikan, jadilah majikan bagi kematian.

Aku ingin memanggil anak kucing terlantar, nisan, nisan, menggendongnya, mendekapnya di bawah reruntuhan kata*

amnesia

aku tak mengerti, tentang satu hal yang pasti. ketidak pastian yang mengerti semua yang tersembunyi di urat nadi. dirimu menatapku, mata polos kelabu. pelanpelan aku luruh menjadi debu, menunggu tanganmu menorehkan abu, mengembalikan ingatan di keningku*

gigi goyang

Gigi goyang, gigi goyang mengucap kata sayang, gigiku bergoyang. Ngilu pipiku merapal namamu di tiap sedotan, kau sangat kental, menggenang dalam gelas.

Kucari palu, berniat meremuk rahangku, biar hancur bersama ngiluku dan getar rindumu. Kalau memang demikian akan kupunguti serpihan tubuhmu bersama pecahan gelas dan patahan gigiku, menaruh semuanya di atas kertas, untuk dibaca malam*

renyah rindu

Udara melumat kesunyian dalam paruparuku, menjadi kepingkeping garing, renyah, kusiapkan minyak mendidih, menggorengnya, serupa krupuk, kuhidangkan untukmu. Penyedap menu makan siang, remahkan dengan gigimu, rasakan gurihnya. Kau akan tahu betapa nikmatnya menunggu, menuliskan ragu dengan tanda seru di semua ruang di mana aroma tubuhmu melayanglayang tak terpegang*

puisi cinta orang gila

Gigi malam menancap di tubuh kota, koyak, koyak, karang merobek lambung kapal. Di mana aku berdiri, geladak miring, ombak menjulurkan lidahnya. Anjing. Anjing, makian bersayap terbang, harum anggurmu hiasi tidurku. Aku kehilangan tubuh, senja menelanku.

Sebarisan katakata berteriak kepada huruf, meminta utuh. Tinta keburu mengering di rongga pena, terbakar waktu. Kembali dungu, badai mereda, menjauhi puingpuing kapal. Aku, aku lentera pecah mengiba genangan darah. Jingga abadi di rambutku, pelan tenggelam.

Jantungmu biru, tak ada warnaku di situ. Jantungmu biru, teduh merengkuh anakanak penyu, baru menetas di sebuah pantai yang menyembunyikanku dari matahari. Kuminta malam muntahkan serpihan tubuhku, aku terbangun, suarasuara teramat lantang memanggil bilangan, mundur. Mundur membenturku.

Sebuah pecahan botol meremuk kepalalu, namamu berserakan, sekali lagi untuk selamanya, aku ingin tidur. Berpelukan dengan seekor kucing yang baru mengacak tempat sampah, mencari ikan busuk untuk seorang bayi, menangis kelaparan di dekat selokan. Kotakota, pulanglah kepada kata, neraka sedang berburu berita.

Aku aku aku aku aku aku, ada di manamana, tertawatawa, membaca puisi cinta yang ditulis orang gila*

solusi

Kulihat kau tersenyum lebar di angkasa, akhirnya kau bisa memberiku alasan mempersiapkan pesta. Membuatku berpikir semua bekas luka terhapus malam, nanti, semua duri melarikan diri dari tangkai bunga, rasa pahit sembunyi dari lidah, matahari menerbitkan musim panas dalam mata. Apa aku harus purapura tersipu malu untuk semua kebaikanmu.

Siapkan saja guciguci anggur terbaikmu untuk memabukkanku, akan kubuat kau terkapar hanya dengan sesendok airmata. Jika saja kau tahu arti mencinta, tak perlu kau buangbuang waktu dan hartamu demi seteguk anggur. Memabukkan setengah bagian malam semudah memahat namamu di atas pasir, tak perlu pisau, cukup ujung jari, bisa dikerjakan berjuta kali bahkan lebih.  Dapatkan mabuk paling suntuk seumur waktu, semudah batu membidik lampu, hirup saja wangi tubuhku, ambil nafasku yang mencair hingga tetes terakhir.

Tak perlu membaca rasi bintang, bisa kupastikan wajahmu nanti sungguh bersinar, kembang bermekaran dari sepercik api. Penuh warna dan cahaya, memikat semua mata. Kau mungkin lupa, aku buta, sudah buta berabad lamanya, sejak pertama aku menatapmu. Kau berjanji memberiku sebuah boneka pemilik dunia dalam saku bajunya.  Kau tak menduga boneka itu pelit, mengacuhkanku saat sendirian, memamerkan dunia dalam saku bajunya dengan arogan, memalingkan wajah saat kuajak bicara.  Tapi peri biru telah mengabulkan doanya, boneka jadi manusia. Sudah berabad lamanya, kau masih saja tak mengerti, aku mencintaimu sepenuh hati.

Kali ini, aku akan bersikeras lagi, mengacuhkan angkaangka tertulis di atas meja, tergantung di dinding, dihitung semua bibir berwarna cerah dengan gerak indah. Tak ada solusi. Aku percaya matahari akan terbit dengan cara sama esok hari.
Kau mungkin masih tersenyum lebar di angkasa sampai pagi, berbisik mesra di setiap letupan kembang. “Ohh kekasihku yang malang, kekasihku yang bebal dan k eras kepala.” Kaupikir aku tak dengar, halilintar itu menggelegar. Aku buta, melihat dengan telinga, aku kekasihmu paling setia*


lensa mata

Kamera mungkin mau mengajariku mengabadikan dunia kalau aku tersenyum padanya. Ada banyak hal harus diingat untuk bisa melupakan beberapa saat. Ketika rasa lapar mengantarkan burung nazar terbang mengitari mayat, adalah saat terindah mengenang kehidupan.  Sejak awal seharusnya kamera sudah paham aku memilih  gambar yang tak tepat.

Setiap mata bebas memandang dengan caranya. Hanya satu jenis buah terlarang untuk dimakan, tapi perempuan tetap memberikannya kepada ayah dan kekasihnya. Tak ada guna tersedia banyak pilihan, dosa selalu yang terindah.

Kamera tertawa, semerdu kicau burung gagak, berderak merobek nalar.

Suatu hari, mungkin aku akan belajar dari kamera  untuk menyimpan kenangan tanpa dendam. Bukan dendam pada seseorang atau sesuatu yang bisa terbayar setelah pembalasan. Dendam kepada alasan dan sebab, selalu ingkar, pergi begitu saja setelah mencipta keonaran. Apa hebatnya mendendam kepada seorang pembunuh, bahkan pada seregu pasukan yang baru saja menyerbu, selalu karena ada sebab dan alasan, tak mau menampakkan diri.  Bagaimana bisa kuremukkan yang tanpa bentuk, hanya kamera bisa mengurungnya dalam beku.

Kamera menganggukkan kepala, mengggetarkan tubuhnya, serupa gerakan kerbau mengusir lalatlalat di punggung dan telinganya. Lalatlalat terbang mendekati mata.

Mata cekung, dengung lalat, nanah dan darah saling menunjuk dengan puingpuing kota. Kamera membidik keduanya, mengurungnya agar tak berjalan kemanamana, diam di balik kening yang dilubangi sengat lebah, disumpal jarring labalaba, persis gua purba, remang menyimpan bayangbayang. Entah hari keberapa kamera menunjukkan padaku tentang suarasuara yang teredam dada pemilik kata sendiri. Para pengecut tentu sudah menghilangkan setumpuk agenda kerja,  kamera tak sudi menatap wajahwajah gembira, wajahku, wajah pasukan berseragam menyerbu taman kota.

Kamera memejamkan matanya, sejenak, mungkin mengheningkan cipta atau sekedar silau oleh cahaya lampu dalam sebuah gedung dengan jendela kaca besarbesar yang sering membuat burung camar terbentur, jatuh, mungkin mati.

Berkacalah, berkacalah, dunia dalam matamu akan bicara, lensa kamera pecah setelah pesan terakhirnya terkata, begitu layaknya kamera biasa bercerita di layar kaca. Kamera terbaring lemah, antara hidup dan mati. Tibatiba teringat, mataku punya lensa, kupunya dua mata. Kuberikan satu lensa mataku pada kamera, selayaknya seorang teman. Kamera membuka matanya kembali, tesenyum manis sambil mengejapngejapkan lensa matanya yang baru.

Sejak itu aku setengah buta, hanya melihat dengan sebelah mata. Kamera ternyata tahu membalas jasa, selalu berbagi semua pandangannya. Hanya saja lensa mataku tak sebaik lensa kamera seperti semula. Lensa mata bisa lelah, berkeringat, basah, selalu butuh istirahat dalam waktu tertentu. Hingga sering melewatkan peristiwaperistiwa penting.

Bagaimanapun, kamera telah mengajariku mengabadikan dunia, dengan lensa mata yang suka tersenyum pada dunia. Lensa mata nakal, punya banyak akal, suka mencuri pandang, mencaricari alasan. Burungburung nazar hanya membebaskan derita mata, menerbangkan mata mencari makna dalam lambungnya yang hangat*

eksekusi

Suatu hari, aku ingin menulis puisi hanya dengan kaki. Biar tanganku terus mencengkeram tubuhmu.  Mataku menembus benakmu. Taringku merobek nadimu. Harus kutemukan kembali semua kalimatku yang tersesat, meremah dalam darahmu*

judas

Aku pernah bertemu kepala itu, bergantungan di tiang gantungan mengejek malam. Mungkin di sebuah malam lain yang tersesat di jantungmu. Bagai anak panah merengek kehilangan busurnya, aku kabur kembali dalam bilik tak berlampu di sebelah rusukmu. Tapi kau mampu membelah dadamu, menarik keluar jantungmu, menemukanku. Mengembalikanku jadi lembing di ujung tombakmu. Menikam anakanak rusa saat sedang menggali salju. Darahnya sungguh merah, lebih merah dan lebih hangat dari lidah matahari, membasahi dada bumi menjelang musim semi.

Anakanak rusa belum mati, menangis, menggigil menahan perih, aku berdoa. Semoga pak tua dan kereta luncurnya segera kembali. Semoga anakanak rusa sempat bertemu induknya sebelum terlambat. Induk rusa sedang mengantar pak tua membagibagikan hadiah untuk anakanak manusia.

Aku terus berdoa, memohon tuhan mengembalikan kepalaku ke tiang gantungan, aku hanya ingin berayun mengejek malam*

'atau'

Dengan apa harus kugenggam kau, selain hujan, senja dan sebuah nama yang menatap dari puncak ombak. Aku harus menuliskanmu selalu, caraku menyentuhmu. Dengan kalimatkalimat, menyuarakan hujan secara pelahan, dari halilintar hingga desir air tersapu angin, menerpa kepala, setelah hujan melewati atap rumahku. Sunyi kembali, sehening pasir berjatuhan dalam tabung waktu. Aku tak bisa tak kembali melukiskanmu, terkurung dalam rindu tak berpintu. Jika sebuah ruang, bisa kurobohkan dindingnya, meski jarijari memar, ruas tulang letak.

Tapi kau adalah padang, membentang, tak terukur panjang, aku terus berlarian di  hamparnya, menari, mengejar kelinci atau belalang di rerumputan. Kau tak lelah menjaga, tanpa lengan, tanpa tangan kau memegang. Menghempaskan ombak entah dari mana, menyentuh wajah, sejuk berkilau. Hujan pasir meneduhkan mata.

Hujan atau ombak, tak mencegah matahari tenggelam di pundak kirimu. Seluruh butir pasir telah jatuh, tertidur di dasar tabung, saatnya membalik waktu.  Aku rebah di atas tanah, membentangkan lengan untuk ombak atau hujan yang mungkin mengantar senjamu pulang*

zahir

Kugadaikan jiwaku pada maut, seharga semusim di matamu. Semusim untuk membaca berjuta buku. Tapi maut sudah terbunuh di bibirmu, saat sajakku pertama mengecup. Sejenak menyalakan ribuan malam.

Gelap menghisapku lenyap, tak peduli dekap atau sekap, tak berharap. Kutangkap saja tiap butir salju berjatuhan dari lengan bajumu, manis. Mengubur diri dalam beku di semua musimmu*

hujan di atas meja

Berikan aku satu kata, biar bisa kubuat sajak. Aku minta kepada meja. Meja berkaki empat berdada lebar.  Ada yang bernyanyi dalam layar monitor, tak ingin diganggu, tak ingin berhenti sebelum lagunya diulang seratus kali. Ini dunia tanpa vas bunga. Aku tersesat dalam tumpukan kertas, suaraku jadi serupa titiktitik debu di bola lampu, tak terdengar, tertelan ruang.  Kau mengetuk satu pintu yang sembunyi, bernyanyi dalam kamar mandi. Pintu mungkin gerah, ingin membasuh wajah, terlalu kerap diketuk para pejalan hilang ingatan.

Satu pintu terbuka, harum sehabis mencuci rambut, lalu kau mulai membacakan hujan. Hujan, mungkin terlalu sering jadi syair. Hujan adalah kebutuhan untuk mengenang penantian di tepi jalan.  Hujan tak ingin berhenti memberikan alasan demi jeda waktu tak menentu untuk menunggu tanpa merasa rapuh. Hujan baik hati seperti meja, Hujan runtuh,  kau datang membawa meja, untukku berteduh di bawah dadanya, mengeja petir yang kadang datang. Orangorang memandang meja, hujan memandang meja. Gundah dan tertawa. Hujan tak punya sepatah kata, tak bisa membaca* 

medusa

malam di dadamu terlalu terang, bumi dengan lebih dari satu matahari, masingmasing lengannya merajut langit, berlapislapis, menjadi ruang singgah bidadari mengantarkan doa pagi sesudah pelangi.

pagi berdiri, membuang malam, samudra tenggelam, bukubuku kehilangan kalimatnya membaca surga, mekar di telapak tanganmu, membatu kepala ular di rambutku, satu demi satu jatuh di paruh waktu*

berjalan

mengikutimu sampai ke ujung bumi

sampai salju tumbuh di rambutmu

sampai matahari tenggelam di mataku

sampai senja kehabisan warna melukis telaga*

kecoa terbang

Bunyi menggetarkan telinga dari kepak sayapnya membuatku teringat pohonpohon yang menangis. Bukan karena gergaji listrik atau kapakkapak menghantam tubuhnya. Pohon menangis karena tupai dan burungburung kehilangan rumah. Tak ada pohon pernah sekolah, tak pernah belajar cara menjadi walikota, tak bisa tabah mendengar berita tentang sungaisungai yang kelaparan memanjat meja makan, mengharukan, ikanikan saling berpelukan dengan handai taulan, menanyakan berapa potong tubuhnya telah jadi pahlawan.

Perempuan itu selalu berkelana di jalanjalan, saat tak ada hujan. Mendekati besibesi dan roda, meminta sedekah, membuatku marah. Bukan kepada perempuan tak kukenal. Marah pada alamat dan babbab yang hilang dari kitab usang yang mestinya mengajariku cara melahirkan bayibayi dari plastik. Bayibayi pintar beperut angin, tahan banting dan bisa tertawa, memanggilku mama dengan gembira saat kutinju dadanya.

Sayapsayap hitam, tak bisa kugambar jelas bentuknya, membuatku kesal. Tak berhenti berputar di langitlangit kamar, tak ada mata pada sosoknya. Tanpa mata, ada di manamana, udara, lantai, meja kerja, meja makan, pada setumpuk baju kotor di lorong dekat kamar mandi. Ada di manamana membuatku mengingat nama matamata buta. Mahluk pecinta sampah, mengingatkanku pada perempuan yang kubenci, perempuan jorok yang berlindung dalam dadaku sendiri. Betapa susah mesti mengingat yang harus terbuang, betapa pelik menyayangi pecundang yang memandangku dari dalam cermin.

Jam dinding dibuatnya pusing, angkaangka berjatuhan ke dasar lingkaran, ketiga jarumnya bingung kemana hendak menunjuk. Waktunya berbenah, menjadi serakah, memunguti butir beras yang tercecer, menghapus noda saus dan sambal di kening meja, di lengan bajuku. Menghapus kenangan tentang paha ayam dan kentang goreng dalam satu paket. Malam yang ganjil. Mahluk usil, mungkin menjadi teman baik sesudah lelah, jatuh terlentang, tak bisa menegakkan tubuhnya sendiri, macam sejarah. Membuatku terlalu resah, lalu pasrah dengan mata basah. Mungkin kau benar, aku harus belajar dari sayapsayap hitam, terbang tanpa mata, sampai terlentang di sajadah. Mematahkan punggung dalam doadoa*


hitam

Seharusnya aku diciptakan cumicumi raksasa, dengan kantong tinta besar menempel di perut.  Agar bisa kutulis sajak pada gelombang, tanpa jeda.  Aku terus menulis, menunggu badai mengamuk, mengaduk laut. Menjulangkan ombak tinggitinggi, memadamkan matahari. Dengan begitu mungkin kau akan berpaling, menyingkirkan teriakan kapalkapal ke daratan.

Tintaku menghitamkan laut. Hitam paling kelam. Lebih pekat dari malam ketika segenap bintang sebisu bangkai lampu, pecah berserakan di dermaga. Biar tak ada kapal berani berlayar. Samudra kosong membentang, hanya binar mataku mengapung, melayarkan rindu paling nanar, karam di karangmu paling tajam*

alpa

Malam ini kau mungkin paham betapa cinta menciptakan dusta. Karena cinta buta kepada bola, kakikaki dikhianati. Kaus kaki dan sepatu telah begitu letih menemani kaki, tanpa pamrih. Kaki tak peduli, malah mengejar bola yang berlari tak tentu arah. Seperti kegilaan pada puisi, hati rela merobek semua risalah, menjadi tak tahu diri, menyusun senja menjadi kata, matahari pecah.

Malam adalah hantu bijaksana, tak mencintai siapasiapa, tertawa genit mengejek kakikaki yang kalah, hati patah. Selembar surat cinta sedang mencoba menulis simpati kepada kaos kaki dan sepatu. Kaos kaki dan sepatu tak punya mata, tak pernah melihat dusta, hanya setia. Mungkin karena kaki mengajak jalanjalan kaos kaki dan sepatu, menjelajah dunia. Berlarilari di atas tanah basah yang menumbuhkan rumput tak bernama.

Rumput tak bernama tak pernah berlari menghindari kaki, kaos kaki, dan sepatu yang menginjak sebelum melupakan jejak*

musykil

Angin, aku ingin hening, diamlah sejenak, biar kudengar suara  udara keluar masuk di tubuhnya, mengisi paruparunya sesaat sebelum dihembuskan kembali kepada ruang. Harus kupastikan dia masih bernafas. Dengan paruparunya pula aku menghirup udara dan wangi musim semi di segala hari, dengan nafasnya hidupku berjalan melewati waktu dari pintu ke pintu.

Cukup sudah daundaun gugur mengingatkanku pada pergantian musim. Ketika saatnya dahan melepaskan helai demi helai daun, melambai pelan, melayanglayang, jatuh. Menjauh dari langit, daundaun hanya bisa menatap dahan, mengingat saatsaat erat berpegang, bersama melambaikan tangan ke arah tanah atau cahaya. Sesuka cuaca mengantar berkah.

Matahari boleh terbenam, boleh melukis langit seindah apa, boleh mengantar gelap ke semua celah. Tak akan mengusikku sedikitpun, tak akan membuatku lengah sekejap saja, tak akan kulepas pelukan baqa lengannya yang surga*

martabak

Pagi mana yang kuingin, aku bertanya pada diriku sendiri. Mimpi sudah bangun, mandi dan duduk manis di pinggir jalan depan taman, bersama gerobak dorongnya menjual pagi. Pagi aneka isi, coklat, keju, kacang dan masih banyak lagi, belum lagi macammacam pagi yang di pilahpilah setara harganya, pagi biasa, spesial dan istimewa.  Aku berjalan sambil berpikir pagi mana kiranya yang paling pas untuk kubeli, pagi dengan rasa lumayan sesuai selera dan isi dompetku.

Aku ingin pagi berisi coklat, sayang sekali tak mungkin terbeli. Begitupun pagi berisi stroberi, juga ditawarkan di situ. Aku tak terlalu berminat pada pagi rasa keju, kacang dan lainnya, terlalu berlemak, kalau sampai jerawatan bisa gawat, obat jerawat juga mahal. Benarbenar dilema dengan lebih dari dua masalah, multilema, aku menemukan istilah yang pas, setidaknya aku masih bisa berpikir beedebat dengan diriku sendiri. Meski semua jenis pagi nampaknya tak terbeli.

Seorang anak kecil berlarilari di dekatku, membawa balon berbentuk pesawat di satu tangan, tangan lainnya menggenggam gulagula kapas merah muda. Anak kecil sepertinya tak ingin membeli pagi, aku tak mengerti. Anak kecil terus berlari dan bermainmain dengan balon pasawatnya, sesekali menggigit gulagula kapas merah muda, kelihatan sangat lezat.

Aku tak bisa menahan diri tak bertanya,”Hey, kau tak ingin pagi ?”

“Pagi ?”

“Iya, itu yang dujual mimpi di sana.”

“Yang mana ?” Mata anak kecil itu berputar ke segala arah, mulutnya asyik mengecap gulagula kapas merah muda sambil bicara.

“itu yang di sana, rasa coklat, kornet, keju, kacang atau lainnya.”

“Itu ?” Tangan kecil yang menggenggam gulagula kapas merah muda menunjuk ke arah mimpi yang menjual pagi. Aku mengangguk, anak kecil  menatapku dengan mata penuh tanda tanya, Aku merasa telah membuat anak kecil bingung, tapi tak tahu kenapa dan bagaimana bisa begitu. Aku juga takjub, gulagula kapas merah muda bisa terlihat begitu lezat saat menyentuh bibir mungilnya

Anak kecil menatapku dan gerobak mimpi penjual pagi bergantian, bola matanya bergerak lincah. Tibatiba tatapan anak kecil diam, terpaku di mataku,”Itu, namanya terang bulan, itu makanan kan, apa itu pagi ?”

“Terang bulan ?”

“Iya, itu terang bulan, makanan, rasanya memang enak, tapi harganya mahal. Ibuku tak punya cukup uang untuk membeli terang bulan. Tak apaapa, gulagula kapas juga manis, lagian aku suka warna pink. Aku juga dibelikan balon pesawat.”

“Hmm... Namanya terang bulan, bukan pagi ? Masa sih, kusangka namanya pagi. Mungkin kau benar namanya terang bulan, karena mimpi yang menjualnya, harganya juga mahal.”

Aku merasa kepalaku mulai berputar, mulamula lambat, semakin cepat dan cepat, serupa balingbaling siap terbang. Kuarasa masih ada yang harus kukatakan pada anak kecil itu, sepertinya penting.Tibatiba, aku terjaga dari tidurku, mungkin terkejut mendengar bunyi perutku yang terlalu keras. Kulihat balon pesawat terbang di langitlangit kamar*


mimpi

Aku punya mimpi, kau punya mimpi.

Malam memimpikan bintang
Bintang memimpikan terang
Terang memimpikan mata
Mata memimpikan kita

Kau punya mimpi, aku punya mimpi*

sayang,

Kehilangan lebih cemerlang dari bintang

Kerinduan lebih membentang dari cakrawala

Serupa balon lepas dari tali pengikatnya

Mata tak bisa cepat merelakan terbangnya

Warnanya akan selalu terkenang*


terompet

Deretan terompet berbaris, macam prajurit gagah siap berperang. Mendatangi kota, jalanan membeku kelabu, meredam senyum dusun. Terompet membawa harapan dalam tiap tiupan. Jika ada bocah meminta keriangan di harihari mendung akhir tahun.

Lelaki pemikul terompet di punggung, mungkin tak pernah menyangka, terompet membawa serta doa perempuan dan anakanak di beranda rumahnya.  Peluh dan airmata menjelma kilau di tiap nyala warnanya. Aku bertanya kepada malam, sejauh apa gerimis bisa mengantar harapan pulang.

Lapar dan hujan menerpa, terompet berkerudung plastik, tak boleh terkena air, harus tetap tegak sampai detik terakhir yang akan dihitung waktu pergantian tahun. Aku ragu, jika doa tak sungguh teguh menyertai, mungkinkah terompet bisa bertahan,  mewujudkan mimpi baru di tahun berikut.

Kota butuh terompet, butuh lelaki dan perempuan yang mau menggunting dan merekat kertas bekas jadi kerucut kokoh berwarna cantik, mampu berbunyi nyaring, lebih dering dari bunyi  panggilan penting di semua saku, lebih genting dibanding suara petir yang mungkin menghadang pesta kemenangan di depan mata.

Aku menduga banyak kota seperti kita, tak tahu benar kalau butuh selama bisa didapat. Selama  terompet masih datang menumpang bahu dan punggung lelaki tak penting, kota dan kita tak akan pernah tahu terompet dan lelaki yang membawanya ke kota adalah penting. Itu sebabnya aku melihat segerombolan lelaki lain yang merasa dirinya penting di kotaku, mengusir lelaki pembawa terompet, menyingkirkan harapan yang digelar terompet di jalanjalan kota.

Peraturan, kata para lelaki pengusir terompet kepada para lelaki yang memikul terompet di punggungnya. Pengusir terompet mengendarai truk bertubuh tembaga, kusam dan asam dipandang. Mungkin truk merasa iri dan dengki pada terompet yang seksi, berwarna cerah, dan berumbairumbai. Aku hanya bisa melambai , tidak dengan tanganku, ketika para lelaki pembawa terompet lari berhamburan dari jalanjalan kota, sembunyi di ganggang dan tikungan. Seperti perempuan dan anakanak dusun, aku masih menaruh harapan pada terompet.

Seperti perempuan dan anakanak dusun, aku percaya terompet tak akan menyerah. Serupa prajurit paling tangguh, terompet akan kembali ke jalanjalan kota membawa harapan, menawarkan keriangan seharga lima ribu perak bagi yang siapa saja yang berani bergembira, meniupkan keriangan di penghujung waktu.

Setelah pesta kemenangan usai, tahun berganti, lelaki pembawa terompet kembali pulang kepada dusun, kepada perempuan dan anakanaknya. Tanpa terompet dipunggungnya tentu. Prajurit yang baik hanya akan pulang dengan kenangan, dan kemenangan yang siap ditukar dengan segala impian.

“Apa kau tahu, di pesta kemenangan, para lelaki pengusir terompet akan mencari lelaki pembawa terompet, bahkan rela menukar lima ribu peraknya dengan sebuah terompet untuk menyenangkan perempuan dan anakanaknya ?” tiang listrik tibatiba berbisik padaku, mengedipkan sinarnya sejenak, benar sejenak saja, segera tegak kembali menerangi jalanjalan kota*

vin de vous

Kausodorkan lagi gelas anggurmu ke depan bibirku, sama merah, sama basah. Serupa jalanjalan di mana kita pernah melangkah. Menggantungkan kisah di dahandahan pohon, menerbangkan tawa di udara.  Aku bukan malaikat, tak bisa terbang mengejar bahagia yang menguap lepas. Tapi, kau selalu menghembuskan hangat di tiap nafas, aku menghirup tak pernah cukup. Jantung bukan balon, tak bisa meledak meski terlalu banyak udara mengisi rongga dada. Tapi mata bukan bola kristal ajaib yang mahir membaca takdir. Biar bibir terus menenggak nikmat demi nikmat selagi sempat.  Rapatkan saja jendela, biar hujan tak lagi meminta cerita.

Seteguk anggur dari gelasmu seharum musim hujan sepanjang tahun*

tentang rindu

Kutunggu kau terlelap, baru aku akan terbang, hinggap di rambutmu, mengembalikan rindu, dulu pernah kucuri darimu. Dulu, segalanya begitu sederhana, sampai aku diajari membaca, sepuluh perintah membuka mata.

Mata melihat rindu curian menjelma lingkaran duri, kepalaku berdarah.Lantai memerah, aku tak menyerah, hanya mengembalikan apa yang pernah kucuri dari tidurmu.

Kali ini, kutunggu kau sampai terjaga, untuk kusembah, memohon kauberikan wangi rindu di rambutnu jadi milikku. Dengan ijinmu, mungkin akan jadi lingkaran bunga ketika rindu kukenakan di kepala.

Kepala menumbuhkan taman, memikat hujan. Langit mencurahkan air, lantai kembali bening, aku mengajakmu bermain, meloncati genangan air. Lantai lamalama menjelma sungai, menghanyutkan aku dan rindu ke tepi pantai*


satire

Jika aku kupukupu, bisa kutuntaskan rinduku pada madu di mulut bunga yang paling rekah. Jika aku semut, akan kuulurkan belalaiku meraih kristalkristal gula di dasar gelasmu. Jika aku cacing, kulumat saja tiap jengkal tubuhmu yang terbaring kaku dalam keabadian waktu.

Sungguh, kau mengejekku yang terperangkap dalam tubuh betina. Cantik namun dungu, tak peduli betapa pendar rinduku, tak pernah mampu kutaklukkan bulan. Bulan yang menyadap hitam dari batangbatang malam yang kausayat. Kauwadahi dalam botol, getah cahayanya. Kau coretkan di atas hampar kelabu sunyiku, syairsyirmu membutakan mata malamku.

Malam tak lagi butuh jalanjalan berlampu di mana aku biasa menyusuri jejak kebajikan. Sungguh aku betina cantik, namun dungu, tak lagi mampu membaca isyarat dan pesan bintangbintang. Tak lagi kudengar nyanyian hujan, tak bisa melukiskan lambaian ilalang kepada senja. Tak perlu menunggu waktu maut menikam, aku telah terbunuh.

Cintamu utuh, serupa kupukupu, semut dan cacing, mencintai yang manis dan berdenyut di tubuh waktu*

malam natal

Pohon cemara mahir berdandan, memasang hiasan cantik di sekujur tubuhnya, melingkarkan pita perak dan emas dari atas ke bawah. Bersinar cerah, anggun dan megah, seolah sedang tertawa bangga pada eloknya.

Sebuah kandang mainan beratap jerami berdiri di bawah pohon cemara cantik. Bintang besar benderang di atas atapnya. Dua patung malaikat berjaga. Di dalam kandang mainan patungpatung berdiri lugu, ayah dan ibu menatap bayi di atas palungan. Bayi berwajah cerah, berbaring di atas jerami, mengangkat tangan kecilnya sambil tersenyum manis. Beberapa ekor domba dan sapi berdiri dekat palungan. Beberapa sosok tanpa nama, penggembala domba dan sapi. Tiga ekor onta di pintu kandang, tiga patung raja berjubah megah memegang tali kekangnya, melongokkan kepalanya ke dalam kandang sambil membawa bingkisan, memandang patung bayi yang senyumnya tak pernah padam.

Lilin pada masingmasing tangan ratusan manusia, ruangan gelap, bagai malam diterbangi berjuta kunangkunang. Lagu merdu dan syahdu melayanglayang di udara.Wangi gaharu, percik air suci merambat sepanjang lantai, menyusup lewat celah pintu, menemui malam di balik dinding. Luas, remang, berasap, uap nafas bergumul resah. Menyapa temboktembok kotor, melenturkan tiangtiang lampu, serupa membelai ilalang, angin menyeret tiangtiang meliuk, merunduk, mirip nyiur di sepanjang boulevard, tak terlupakan.

Dermaga diam di ujung utara, kapalkapal bermimpi, lentera bergerak lamban diayun gelombang. Cakrawala melihat dengan mata setengah pejam, malam natal. Aku belum bertemu bintang yang sungguhsungguh bisa mengantarku ke pintu kandang. Mungkin aku dan natal pernah saling mencinta, natal selalu mengingatku, mengecup keningku, sentuhannya sedingin embun, tak mengusik semua yang sedang menyanyi sambil memegang lilin di sekeliling cemara cantik. Kandang itu hanya mainan, bintangnya terbuat dari kertas emas.

Aku berdiri sendiri, berteman hilang dan kupukupu malam. Sayapnya mengepak nakal di kelopak mata, suaranya semanis madu. Tunggulah kereta luncur terbang lewat, kakek santa akan membagikan hadiah. Sebuah dunia dalam gelembung udara, cemaracemara telanjang berlarian di sana, para gembala riang gembira, banyak kandang, domba gemuk dan sapi cantik tak terhitung. Tak perlu petunjuk bintang untuk sampai ke pintu kandang, melihat lelaki dan perempuan bahagia, memandang sayang seorang bayi. Hihihi...

Dentang lonceng terdengar dari kejauhan, serupa suara tawa ayah dan ibu ketika memandangku memasang pitapita perak di pohon cemara*


kesan

Kepada sebatang lilin aku bertanya, pernahkah merasa siasia.
Lilin bilang, bukan siasia, hanya kecewa,
semua orang selalu menanyakan hal yang sama.

Kepada jam dinding aku bertanya, pernahkah merasa lelah.
Jam dinding lugas berkata, kalau aku lelah, bisakah
jantungmu berdetak sendiri menghitung waktu.

Kepada hujan aku bertanya, apakah dia bahagia.
Hujan menyapa dengan sekilat cahaya, menggelegar,
berteriak lantang, menyala angkasa.

Kudengar angin bernyanyi kencang.
Daun, ranting dan dahandahan tertawa,
sepertinya tak ada yang siasia atau lelah,
sepertinya semua bahagia*

alur

Jika dinding jatuh cinta pada lantai, bolehkah merobohkan diri. Dahandahan pohon tentu ingin melihat keindahan di bawah atap.

Seandainya punya lengan akan dipetikkan sebuah kuncup bunga apa saja dari halaman, untuk dinding berikan kepada lantai. Seandainya mampu mengayunkan linggis, lantai pasti mengiris dadanya sendiri, biar dinding melihat loronglorong dalam tubuhnya. Gelap panjang menuju magma, menggelegak, bergetar kencang di perut bumi.

Hanya udara pengisi hampa, tak nampak, jarak berteriak, gema suaranya memantul di sudutsudut. Terdengar bagai deru kereta api raksasa di telinga serangga. Rayap kian beringas melahap tiangtiang kayu penyangga jendela dan daun pintu. Berharap suatu ketika meruntuhkan sekeping dinding untuk lantai yang setia bedoa.

Langkah kaki tak pernah mengerti kisah di balik dinding, tak pernah mendengar rintihan rindu yang terinjak selalu. Tak ada yang tahu siapa yang mengajari rayap melakukan pekerjaan mulia.

Sinar lampu saksi bisu segala peristiwa, tersembunyi dari mata. Pesanpesan cinta berhembus kental dalam ruang. Tak menghitung detak jam dinding, tak mendengar suara. Cuma degup jantung mungkin, ketika pemiliknya pulas, membaca cerita. Bias warna, menggambar angan, untuk lenyap saat terjaga. Kaos kaki menyebutnya mimpi, mengirimkan kembali ceritacerita dari kaki kepada lantai.

Kelak di sebuah petang, sekeping dinding rumahku jatuh berserak di lantai. Aku bertanya pada sinar lampu, siapa menghadiahkan sayapsayap kepada rayap.

Dewi venus, kubaca namanya dari sobekan sebuah buku, tergeletak di lantai. Aku tak pernah tahu siapa menerbangkan lembarlembar sajakku kepada lantai, saat kulihat bayangbayang rayap bersayap terbang dekat sinar lampu, serupa puting beliung. Berputar, terbang ke atas, membentur atap, lalu rebah layaknya jenasah*  

ingkar

Jadi dibalik tirai mana kausembunyi siang ini. Janji mencoba mewujudkan diri dalam tubuh sunyi, membaca pesan gurat matahari sebelum rebah. Lelah serupa tuah, tak bisa dicegah menggagahi lidah muntahkan serapah, atau sampah. Menanti kabut turun selimuti bau busuk udara.

Ini hari ada yang harus tersaji, tumbukan kacang, wijen bercampur karamel, dalam balutan liat tapioka. Bulat, lembut dan kenyal, serupa kenangan purba di mata merah manusia bijak. Bersila di atas altar, jubah sutra, menatap tarian api di ujung lilin. Bayangbayang tombak menari di dinding. Aku gentar mengingat kahyangan, warna jingga selalu perkasa menunggangi angan dengan mimpi liar.

Tirai masih melambai, di bukutbulit landai, tanpa tiang, menantang badai. Apa artinya lalai untuk seorang tanpa masa lalu. Hangat dan manis kuah jahe merayu gerahamku mengunyah namamu. Tak ingin jadi luhur, jauh dalam kepalaku bungabunga mulai gugur, terbenam dalam nisannisan patah yang marah. Aku tak punya leluhur, tak tahu bersyukur. Anjing buduk terkutuk yang duduk terkantukkantuk sepanjang hari di samping tempat tidurmu. Tak juga begitu, lebih buruk, anjing buduk yang berjalan kesana kemari dalam dengkur, terusmenerus meneteskan liur.

Persis jejak siput, kupandangi langkahku tertinggal di kuburankuburan besar. Mungkin bangkai butuh berlari dan loncat kesana kemari saat didatangi malaikat. Batapa aku berhutang pada segala yang memuakkan. Bolabola merah putih berenang di kuah jahe. Manis pedas khilafku kutelan satusatu, berharap akhir segera datang merobek semua tirai, biar kupandang sepenuh sayang, saat kauhujamkan tombak di lambungku yang bebal. Mungkin aku akan mendengking lirih sebelum hening*

romantische lieder

Jika surga membuka pintu, memanggilku  waktu aku di teras rumahmu. Mungkinkah kutinggalkan setengah gelas kopi nyaris dingin, milik kita, untuk menghampiri langit. Mungkin tidak, sangat mungkin, kuteguk saja lamalama jejak bibirmu di tepi gelas. Kulentikkan jari menjepit sigaret dari celah bibirmu, menghirup sisa nafasmu, seratus tahun, belum cukup. Hingga tak ada lagi yang pantas disebut maha penyabar mau menungguku melepasmu. Biar surga menutup pintu, pun neraka hangus terbakar, aku masih ingin menulis beberapa lembar syair lagi di teras rumahmu. Tentang sungai, embun, hujan, salju, kupukupu, atau apapun.

Tunggu sebentar, aku sibuk menggunting kertas kecilkecil sebanyak mungkin, kutuliskan macammacam nama dan aneka benda di tiap serpih. Kaubisa membantu menggulungnya satusatu, memasukkan semuanya ke dalam kaleng bekas biskuit. Kita boleh mengocoknya bergantian. Kaleng bekas biskuit bergerak riang, seperti tak pernah selesai. Kauambilah acak satu gulung kertas setiap saat yang kaurasa tepat, tentukan rentang waktunya sesukamu. Kita buka gulungannya dan baca bersama setiap kata tertulis di kertas kecil, Akan kubuatkan syair tentang masingmasing nama dan benda yang tertera, dengan indah. Serupa menarik undian berhadiah tiada akhir. Kita bikin Tuhan tak habis pikir, bagaimana sebuah kesalahan tak termaaf bisa tercipta : mempertemukan kita.

Jika surga sungguh ada, biarlah seluruh penghuninya bahagia melupakanku, nerakamu yang setia*

purnama

Andai ibu punya ibu, apa yang akan kaukatakan di hari ibu

Ibu memelukku, mencium rambutku, membisikkan namaku

aku tertawa, sungguh ibu cinta padaku kata anakku

Ibu mengangguk, tersenyum di mata anakku*

surat buat ibu

Jadi besok hari ibu, hari rabu berkata kepada subuh. Ibuibu tak mendengar apaapa selain suara tangisan anakanak sepanjang malam. Seterang apa bulan harus bersinar, biar wajah ibu terlihat dekat. Lebih dekat dari setumpuk surat yang ditulis tangantangan yatim piatu.

Kepada ibu, ada berapa ibu yang bernama ibu. Di bawah jembatan, anakanak telah membangun terlalu banyak ruas jalan, tak pernah menghubungkan rindu dengan dada ibu. Lalu siapa aku, kelelawar saja punya ibu, yang mengajari anakanak kelelawar tidur sambil membalik waktu. Burung merak punya ibu yang menunjukkan cara membuka ekornya demi pujian. Ibu cacing mengajari anakanaknya melupakan letak kepala dan kakinya. Apa yang ibu ajarkan padaku, melupakan namamu, aku sudah pintar, ibu mesti memberiku pujian.

Surausurat sangat keras kepala, memaksa kertas meminta kata, dari tinta, juga darah. Melipat malam dalam garis pudar, menyekat surga di telapak kaki ibu dan doa dalam genggam tanganku. Suarasuara itu selalu tembang, remang dan suram, menjadi ruang buram, tempat  ingatan menanam rindu dendam. Tak akan merubah yang tercatat di lembarlembar surat, juga surat kabar di segala hari yang mencari.

Percuma merisaukan malam, besok tetap akan melewati subuh, menjadi hari rabu. Rabu untuk mengenang ibuibu yang sempat membaca surat anakanak. Dengan perangko bergambar foto di sudut kanan amplop, cap tanda tempat dan waktu, bisu. Sehening kantor pos jam dua belas malam.Suratsurat menangis di dada meja, tanpa basah, tanpa mata, kehilangan kata*