Sabtu, 26 Februari 2011

25 januari 2011


Kilat malam

Apa yang kaulihat di balik senja, malamkah, sepatusepatu menunggu ketukan di lantai dansa, sebotol vodka. Kita terlalu banyak bermain kata, aku merasa titiktitik di angkasa kehilangan tempatnya, berebut memasuki gelasku.

Untukmu, semoga tak bercela, wajah beku di pigura mahir bercerita, ada banyak jendela bisa dibuka untuk mengintip ke luar, saat senja memenuhi ruang, menenggelamkan kerinduan. Langkahlangkah bergegas mengejar sungai yang berlari membawa banyak senja di pangkuannya. Debar demi debar cepat menyusup ke akar rumput*



Libya, the heart of the sea

Aku pernah berkata, aku ingin bernama Libya. Tak kubilang kenapa, kaupun tak bertanya, baru berselang beberapa minggu. Kini aku mengerti semua peristiwa melintas dalam lorong benak, serupa sampah menyusuri arus sungai. Membawa kisahkisah perih dari lukaluka, tanpa sengaja tertanam di lutut anakanak yang berlarian mengejar awan. 

Doa terus menyayat langit, melubangi matahari. Dan Libya, nama itu, sekelam makna. Jantung samudra. Jiwajiwa manusia menuju jantung samudra menyanyikan desing peluru, tubuhtubuh berjatuhan di puncak subuh, dengan bangkai mimpinya masingmasing. Wajah mati tersenyum menatap jantung samudra menyala merah*



Nina bobo

Ketika itu aku masih seorang anak perempuan penggemar layanglayang. Tanpa pernah mampu menerbangkan, layanglayang dalam pelukan merengek merindukan awan. Ibuku berkata, tak apapa jika angin mau menerbangkan harus kulepaskan. Seperti mengeringkan wajah, seperti air ingin menghilang jadi uap.

Seperti sayapsayap capung, tipis, rapuh, dengan guratgurat tembus pandang, naik turun mengangkat tubuh, berat juga buruk, dengan mata nyalang tanpa mengenal pejam. Harus kuterbangkan layanglayang hingga tak tersentuh tangan, layanglayang selalu rindu bongkahbongkah sejuk awan.

Mengapung impian, berayun mendekati mata cahaya. Ketika masih anak perempuan menggenggam layanglayang penuh sayang, ibu sering datang menerbangkan impian, mengusir berat dan buruk burungburung hitam dari pundakku*


 
Tengah malam

Di sini kesunyian sedang gaduh berunding, memilih
katakata untuk pasangan dansa. Berjubah perak, dengan
girirnggiring bergetar nyaring mengoyak malam*

Jumat, 25 Februari 2011

24 januari 2011


Air mata api

Mata atau kawah sedang kubawa, kenapa begitu panas dan merah, meletup tanpa henti. Aku ingin tenggelam, biar tak lagi mesti berteman lubang api, mekar di kanan-kiri pintu nafasku. Debu berasap berjatuhan membakar bumi. Makam ibuku tertimbun salju merah jambu. Senja menguburkan musim semi di lereng gunung berapi.


Kau berdiri tegak di seberang jarak, tak berhenti berteriak, terjang, terjanglah api di mata, ada bumi lain menunggu, hitam, hening*




Hujan abu

perempuan itu mengorek tanah, serpihan hitam berguguran dari matanya. berjatuhan di atas pasir. serupa debu di atas salju. dia telah lupa pernah ditukarnya matanya dengan setumpuk abu dari catatan yang terbakar, ketika batubara dan kayu api telah habis semuanya, sementara badai masih bertiup liar di balik dadanya*




Kilat malam

Apa yang kaulihat di balik senja, malamkah, sepatusepatu menunggu ketukan di lantai dansa, sebotol vodka. Kita terlalu banyak bermain kata, aku merasa titiktitik di angkasa kehilangan tempatnya, berebut memasuki gelasku.


Untukmu, semoga tak bercela, wajah beku di pigura mahir bercerita, ada banyak jendela bisa dibuka untuk mengintip ke luar, saat senja memenuhi ruang, menenggelamkan kerinduan. Langkahlangkah bergegas mengejar sungai yang berlari membawa banyak senja di pangkuannya. Debar demi debar cepat menyusup ke akar rumput*

Kamis, 24 Februari 2011

detak senja

Dengar, dengarlah detak senja.
Cuma kita bisa mendengarnya, kita tak bertelinga,
tak mendengar suara manusia bicara.
Senja berdetak merdu, mengetukngetuk kelopak bunga*

lain kali

Aku mesti terus belajar jadi bengal. Menghidupkan neraka dalam kepala, biar terang mata membaca kitabmu. Harus kutemukan kalimat itu diantara paragrafparagraf yang sekarat. Kalimatmu tentang ular dan penjahat, tahu memberi yang baik untuk anakanaknya. Cerita tentang pelacur dan pemungut cukai yang kausayangi. Harus kubaca berulang kali, hingga neraka redup mengatupkan mata. Hingga aku tertidur memimpikan bunda membuka pintu gudang, mengusir gelap dengan pelukan yang berkata, lain kali jangan nakal*

pekan raya

Jika sekaleng bir bisa merubah takdir, tak perlu kupatahkan semua sisir di rumahku. Supaya tak tergoda kurapikan kepala hanya di bagian luarnya. Kau menyuruhku mencintai sajaksajak sampai terasa muak, sampai tak tertahan gairah menenggak bergelasgelas arak, melumat sepi di gerigi malam sampai lembek dan bengek, layak diejek atau dicekik sampai meledak berkepingkeping. Diam, tak lagi mendenguskan uap hangat memerih mata.

Aku berusaha keras melakukannya untukmu, mengaduk cairan otakku, sampai kelabu larut dalam darahku. Kopi susu selalu membuatku mual. Persis kemarahan ibuibu melihat anakanaknya mendekati gelandangan berambut kusut di gerbang sekolah, menawarkan jepit rambut berbentuk stroberi yang baru dibeli kemarin malam di pekan raya.

Kulihat manusia berputar bersama lampu, kapal berayun, tawa bahagia, musik hingar, mabuk udara. Tak juga bisa lupa kehilangan waktu. Sangat ingin kubakar rumah hantu, supaya tuhan memujiku, melontarkan sekaleng bir dari jendela surga. Tanahku sungguh dahaga*

sodom dan gomora

Masih adakah yang ingin minum, mata menawarkan air pada bibir, tersenyum kering tertiup angin, gerah menanti butirbutir jernih membasahi tanah.

Tak berumah, jiwa terbang berputar mendaki menara, mencoba mnggerakkan lonceng menidurkan malam, mencemari udara dengan doadoa.

Masih adakah yang ingin kotbah, lidah menawarkan sajadah kepada kepala, mengangguk memandang jejakjejak merah di lantai mimbar.

Siapa mengajarkan dahaga pada garam dilautan, kalau bukan tuhan. Siapa menggemakan dendam di ruas tulang, kalau bukan tuhan.

Siapa yang edan, beranikah kutanyakan pada tuhan, siapa yang edan, tuhan? Boneka garam aku, ayah, ibu dan saudarasaudaraku, berdiri kaku*

tawar

Maut hanya serabut di kulit kelapa, dengki
saat kuteguk air sejuk yang di jaganya,
hingga tak bersisa meredakan mabuk
paling laut menenggelamkan perut*

kepada bulan

Waktunya bicara rindu, sesaat
sebelum kutinggalkan tubuhku
pada malammalam yang bukan milikku.

Kutemui kau yang menatapku dari ketinggian dengan setengah wajah berseri matahari*

tabir

Di sini semua telah mati, menguburkan diri dalam dada bumi, hujan mengalingi pelangi untuk negeri yang datang menjenguk kematian di sini.

Hanya di sini, kematian menanam sendiri jasadnya, menancapkan pusara ke tanah merah. Membacakan doa demi lidah api warnawarni tak berhenti menari.

Di jalan ini, kutemukan diriku berkeras hati menuliskan kematian berulang kali, berlagak bisa membunuh kebencian dan dendam paling pijar, hanya kepada tuhan*

bukan ziarah

Taman makam pahlawan lenggang. Satu dua tiga empat pasang mata, ada yang datang, menjinjing tas besar, mencari tempat teduh di bawah pohon rindang. Dua lelaki, dua perempuan, bajubaju, topi, sepatu, kacamata hitam, kamera. Aku berkata, mereka hendak membuat gambar berlatar belakang makam.

Nisan berani bersumpah mereka tak menabur kembang, atau sekedar berbagi air dengan tanah. Tak memberi, tak mengambil, hanya membuat gambar. Tersenyum, berdiri miring, bercakak pinggang, bersandar di samping pohon dan tiang, mengejek kematian.

Kami tak berkenalan, manusia dan tonggaktonggak terpisah meski samasama bernama, beberapa angka tanda pengenal jatuh di bebatuan, tak terbaca. Mereka nakal, aku kekal, menyimpan gemerisik langkah, bisikbisik dan tawa hinggap di rerumputan. Kakikaki merdeka cepat berganti sepatu, tanah tak sempat mencatat jejaknya.

Kamera tak belajar sejarah, hanya kunjungan empat manusia muda. Para pahlawan tersipu malu memandang manusia muda mematut gaya, menyelipkan sebatang ilalang pada bibirnya.. “Jadi ingat dulu,” daundaun gugur berbisik lirih pada belalang.

Siang belum terbenam pun tak ada hujan, waktu yang tepat untuk mencintai kehidupan*

obsesi

Sebilah belati bermimpi, berjumpa
sepotong tubuh paling keji, menikamnya
sampai mati. Aku tak yakin, darah siapa
menggenangi dadaku malam ini, belati
atau si jantung hati*

januari

Aku tak mainmain ketika bermain, menjadi kereta api, menggenggam tangan temanku, berlari mengejar gelembung sabun. Semuanya sungguhsungguh menghayati tahun baru.

Aku tak pernah purapura jika menggambar, kuberikan segenap garis dan lengkung pada kertas, kuwarnai putih, hitam, kelabu. Ini zebra, ini gajah, ini serigala, ini bulan menelan atap rumahku.

Pagipagi menyiapkan kaki, lantai berjalan mencari tanah, kakiku tertinggal, seperti sungguhsungguh tertinggal dalam lingkaran, berkejaran, berputarputar, bertepuk tangan. Sudah kugambar bulan yang pertama*

sovenir

Aku ingin pergi diamdiam serupa musim, datang membawa kejutan, sekuntum sakura, sebutir anggur, tarian daun, sebongkah salju. Kau suka semua itu.  Membuatmu tersenyum, menyusupkan jiwaku dalam baitbaitmu, puisi atau lagu, kau selalu merdu.

Jangan tentang rindu, kutuangkan biji bunga dan cahaya dalam gelasmu setiap fajar. Tentang kau saja, berjalanjalan di kota penuh menara, biola berdansa di atas gondola, lukisan surga, sekotak coklat aneka rasa.

Tenanglah, sudah kuhalau bunyi detak jam dinding, kukirim kepak dan warna sayap kupukupu ke dalam ruangmu. Dongeng menjelang tidur, karpet dan lampu ajaib, negeri terbang, kapal perompak, semburan api di mulut naga, hujan kembang api berjuta malam, mimpi tak bertepi.

Untukmu, aku ingin pergi  mengumpulkan setiap bongkah permata dari seluruh pelosok dunia. Kau bisa pilih beberapa yang terindah. Sematkan pada jubahmu, sisipkan di balik bantalmu. Membuatku tersenyum mengintipmu dari balik segumpal awan menjelang hujan*

puisi untukmu

"Adakah puisi untukku malam ini?" Kau bertanya, kujawab dengan mendongkkan kepala, mengarahkan pandang ke angkasa, balon warnawarni melesat ke udara. Kepala sekolah berkata biar terbang lepas balon warnawarni lambang citacita, sebelum menggunting benangnya di pagi hari.

Tahukah kau, sejak itu aku mengadaada, mengganti posisi tubuhku, mengalihkan pandang mataku, memutar badan, melangkah ke segala arah. Kukumpul jejak aneka bunga tanpa sejengkalpun terlewat. Mengendapkan peristiwa, mengaduk rasa. menenggak hingga tak bersisa segelas hitam setiap malam.

Untuk kesekian kali kuberkata,"Ada puisi untukmu malam ini, adakah kau di sana." Kaujawab dengan menerbitkan bintangbintang di sekitar purnama*

ambigu

Seharusnya tidak menulis lagi, udara malam berbisik sepanjang jalan pulang. Seperti biasa, aku mendebat, kenapa. Setelah tak sanggup membaca, haruskah tak boleh menulis. Aku harus jadi apa, kalimatku serupa jedajeda di antara putaran roda, menggelinding, tak ada satu matapun mengikuti, tak juga mataku sendiri, ini hanya kisah, direkareka sederet kata.

Seorang anak lelaki kecil duduk menunduk, memandangi tanah hitam di bawah kakinya. Tak tahukah dia bulan sedang purnama, langit sejuk, beberapa bintang kecil, meski tak amat banyak, tapi ada. Aku ingin memanggil ayah padanya.

Tak punya kenangan di mana kaki pertama melangkah, membuat sebagian diriku mengejek bagian lainnya, satu, dua, tiga, empat, aku terus menghitung bagianbagian tak dikenal pada tubuhku. Siapa menitipkan bongkahbongkah asing di dada, kening, lengan, betis, siapa ? Sayupsayup kudengar awan bergeser, membetulkan letaknya, agar puas menonton setiap bagian dunia.

Kucari anak perempuan, aku perlu seorang anak perempuan untuk kupanggil ibu. Anak perempuan yang mahir menjahit baju boneka, menyusun manikmanik plastik, jadi gelang dan kalung penghubung masa lalu. Dia mestinya sedang mewarnai gambar istana di sebuah sudut kota.

Aku ingin menulis bisikan mesra debu kepada angin ketika menyentuh rambutku. Aku ingin menulis suara harmonika dalam benakku merangkak keluar dari telinga menusuk mata. Aku ingin menulis aroma udara menyusup masuk lewat hidung menerobos keluar di celah bibirku. Aku ingin menulis setiap kisah terbaca bagianbagian tubuhku menyimpan rahasia. Aku ingin menulis, aku ingin menulis segala yang kusangka bisa kutulis setelah aku membaca udara.  Aku ingin menulis semua alasan kenapa seharusnya aku tak menulis apaapa.

Ayah, aku melihatmu duduk di atas sepeda, memandangi anakanak ayam yang baru datang di depan toko pakan ternak. Ayah, kau begitu asyik mengamati gumpalan daging mungil berbulu kuning yang berciap tanpa henti hingga terlambat menjemputku pulang sekolah.

Ibu, aku sembunyi di antara deretan kain dan bajubaju, diamdiam mengamatimu memilih kancing dan benang. Kau sungguh anggun bergaun biru. Ketika kau sudah temukan benang dan kancing yang kaucari, kau menengok ke samping, mendapati aku sudah tak ada.

Aku tahu, kenapa itu, kujawab sendiri saja dari pada lelah menunggu suarasuara dari lorong bawah tanah. Sesungguhnya aku tak bisa menulis apaapa. Hanya bisa melukis sketsa hitam putih kota, asap kelabu, debudebu ungu, penantian waktu. Sketsa wajahwajah asing penghuni bagianbagian tubuhku, yang tak saling kenal, tapi kekal menancapkan benderabendera putih di sepanjang jalan menuju rumahmu*

enam puluh detik mimpi

Kalau aku mati besok pagi, kau harus hidup selama mungkin, seratus tahun lagi, atau lebih. Pertama, untuk menguburkan jasadku. Kedua, mendoakan jiwaku. Ketiga, riang gembiramu bagi surgaku. Sekarang kau mengerti aku sangat egois, maka bencilah aku mulai satu menit kedepan.

Kau punya enam puluh detik untuk ciuman paling liar, jangan siasiakan, sudah kubayar lunas.

Ini bukan pagi yang kunanti, tapi aku terlanjur terjaga, menatap keluar jendela. Kudengar angin menari lembut di bibirmu, kudapatkan satu alasan untuk mengatakan selamat pagi kepada benihbenih mimpi yang baru tumbuh, setelah tertanam beribu malam di ketiakmu*

dinding malam

Untuk cinta, demi cinta, dua bayangbayang duduk bersulang anggur. Cuma itu pemberian lampu kepada tubuh, melukis bias cahaya, hitam, bergerak, berwujud kita. Pantaskah mengeluh, tentang apa, gaharu yang mengabu demi harum peraduanmu, atau cangkang yang pecah demi elang bisa terbang. Jangan diam, cepat remukkan daging dan tulang dada, biar jantungku nyata, kaulihat merah terpanah.

Anggurmu tumpah, tanpa membasahi lantai*

musim menjarah

Otak bebal minta tumbal, menambal tubuhtubuh berlubang. Liang lahat melirik, berkedip genit, lalu pamit, temui aku pukul tiga belas. Kenapa memilih angka yang tak kelihatan, serupa jubah kematian menyembunyikan kapak di balik punggungnya. Bukan jiwa yang dikerat, balokbalok kayu itu, dibikin sampan atau kotak, untuk mengantar seikat kembang, persembahkan surga, persembahkan surga pada burung gagak di atas nisan.

Kertas malas minta emas, berbongkahbongkah menjatuhkan tuah, mengutuk batubatu jadi manusia. Menyihir sungai mengalir darah. Dunia merah keemasan di hutanhutan, aku masih berani jatuh cinta di musim menjarah makam. Adakah yang lebih gila ? Kematian membungkuk, melepas topi, manusia batu mengukir namanama bulan di pundak awan*

garis bawah

Teringat masa sekolahku saat bapa ibu guru berkata,”Yang penting digaris bawah.” Aku masih bocah, ingusan pula, dari hidungku selalu menggantung lendir, bening, kuning. Ketika hening, suara nafasku terdengar lebih gemuruh dari stasiun kereta. Temanteman sekelasku sering tertawa melihat corengmoreng di sekitar hidung dan pipi, menandakan seorang anak terbelakang. Selalu menempati barisan paling jauh dari depan papan tulis hitam.

Kuambil pulpen bertinta merah, mistar, lalu tekun membaca. Bab tentang metamorfosa atau sumpah pemuda. Mencari kalimatkalimat penting untuk diberi garis bawah berwarna merah. “Kalau tak penting, buat apa ditulis ?” Kusiapkan pertanyaan ketika ibu bapa guru bertanya,”Ada yang ingin bertanya ?”

Kuacungkan tangan tinggitinggi, menunjuk atap, bersama beberapa tangan teman sekelasku, berharap perhatian dan anggukan bapa ibu guru tertuju ke arahku.

Akhirnya, suatu hari aku bernasib baik, mendapatkan tatapan dan anggukan ibu bapa guru mengarah ke kepalaku. Menyebut namaku.

“Kalau tak penting, buat apa ditulis ?” Kalimatku meluncur keras bagai pisau di bawah sepatu menari pada permukaan salju seluas lapangan bola dalam anganku.

Bapa ibu guruku menatapku, pandangannya ganjil, seakan aku fosil yang tibatiba usil bicara asal memakai bahasa asing.”Siapa yang ingin bertanya, tunjuk jari, hanya tentang bab dua, bukan yang lain.”

Mungkin pertanyaanku terlalu sulit, ibu bapa guru tak sanggup menjawabku, berusaha lupa bahwa aku salah satu murid sekolah dasar yang sedang belajar menggunakan nalar.

Aku bersabar, menunggu setiap kesempatan bertanya, setelah menggaris bawahi yang penting. Bapa ibu guru selalu berkata ,”Siapa yang ingin bertanya, angkat tangan.” Aku dan teman sekelasku mengangkat tangan menunjuk atap.

“Kalau tak penting, buat apa ditulis.” Aku masih mengatakan kalimat serupa sampai bertahuntahun kedepan, sampai papan tulis hitam di depan kelas memutih, berkilau dan licin wajahnya. Ibu bapa guru setia tak hiraukan tanyaku.

Di akhir tahun kudapati buku pelajaranku penuh garis bawah berwarna merah. Kalimatkalimatnya tampak seperti mengendarai kereta api menderuderu meruntuhkan sabarku. Nalar masih kecambah, belum berakar, belum tertanam, selama bapa ibu guru belum memberi alasan kenapa harus ada pahlawan, kenapa hendak melawan jaman, kenapa perlu berjabat tangan, kenapa tuhan menciptakan setan.

Garisgaris bawah berwarna merah bergetar, seperti marah, atau justru tertawa, tak ada bedanya kulihat. Yang tak penting tetap tertulis, terselip di antara kalimatkalimat penting bergaris bawah merah di atas kertas.  Harus diingat agar lulus ujian. Yang tak penting melayanglayang bebas di halaman bukubuku, bebas sebebas bebasnya, tanpa garis bawah merah. Nalar tak hendak ingkar, setia, sabar, seolah paham ibu bapa guru masih belum tamat belajar mengajar sekolah dasar.

Kata siapa, garis bawah berwarna merah menyelamatkan negara*

maha penyayang

Jadi benar, dunia tak butuh sejarah, tak perlu korban perang, tanpa luka, tak ada darah. Hingga di suatu siang tenang, matahari tak tahan lagi, tejerat hasrat membunuh jenuh, menjatuhkan diri tepat di jantung samudra, laut meluap, bumi berjuang sendiri, terengahengah, habis nafas, pelanpelan tenggelam. Akhir yang sama, setidaknya tak ada pejuang merasa pecundang.

Tapi Tuhan, bagaimana aku bisa hidup tanpa syair yang dituliskan penyair dari anyir darah, dipahat tajam pedang, luka lebih merdeka dibanding surga. Kekasihmu menunjukkan padaku, kau berpesta anggur bersama bangkai pesawat tempur, dalam mabuk, Kausebutkan namanama para penjarah dengan nada mesra.

Tuhan, kau curang, diamdiam menyayangi para pembangkang.

“Jadi sekarang kau merasa benar.”

Aku merasa dungu, kunyalakan pemantik di tubuhmu demi melunasi dendamku pada tuhan, sang maha penyayang orangorang hilang ingatan* 

dua ekor kelinci

Bisakah kaukatakan di kehidupan yang mana kisah itu tercipta. Berlompatan di lereng gunung, mereka bilang namanya tanjakan cinta, panjang penuh kelokan. Aku menghapalmu dengan kalimat tak terhitung, malam purnama, pagi berkabut, siang mendung, senja basah. Kuciptakan musimmusim rahasia kita.

Kelinci betina nakal, waktu itu aku menyusup ke kebun tuhan, menemukanmu mencuri sebuah labu parang paling besar, jingga keemasan, hidungmu bergerak sangat lucu. “Tuhan tak akan sampai hati menghukum sepasang kelinci.” Telingaku menganggukangguk, kelinci tertawa tanpa suara*

lasana

Malam bukan perisai, tak melindungi segumpal jantung dari rantingranting anggur, tariannya teramat tajam. Kelopak mata bukan senjata menikam tawar dada, degupnya terlalu riuh menulikan rindu. Berjenis candu duduk tafakur di atas setumpuk bumi, tak mampu mengalihkan ingatan pada ruasruas jarimu mencengkeram kusut di kepalaku.

Rebah, rebahlah meredam sepasukan tentara surga, matahari berperang, berebut cakrawala denganmu. Kusiapkan air hangat dan sebotol madu. Menunggumu sambil merajut sepasang sarung tangan, untukmu menggenggam ruang dalam musimmusim terasing. Terang tak akan menang selain melawan bayang, tapi kau sudah memadatkan badan dari angan, mengurai hitam bukan hanya di kepala.

Di setiap nafas, di setiap nafas, perang demi perang, kau selalu menang* 

hanya kau

Jika sudah habis kata, saatnya membaca senja. Warnawarna di matamu, segera pejamkan rapat, biar tak ada seorang penyairpun sempat mencurinya dariku. Cuma kau, kekasihku yang pantas menyimpan senja, seluruh senja sepanjang usia dunia*

tertidur di kursi

Bagaimana sesuatu bisa jadi begitu sepi, bisu dan mati seperti loronglorong tanpa dinding, simpang siur di langit, terapung laut. Tak ada yang bisa lari dari tanah terbuka, lidah api mencari tonggak, menancapkan sepi pada ekor kelelawar. Ini bulan jengah benar, mendamba puncak tebing menusuk, merobek sepi, menguburkan kematian dalam lingkaran hitam di bawah mata*

dua bungkus permen

Sstt, aku bicara dengan sebungkus permen kosong, selembar kemasan plastik berwarna cerah, diam di atas meja, pasrah menumggu waktunya dicampakkan ke tempat sampah. kutanyakan padanya bagimana rasanya ketika tangan manusia memisahkannya dengan sebongkah butiran manis berkilau yang biasanya dijaganya dengan setia.

Bungkus permen diam saja, tak mau berbagi rasa, sampai aku putus asa, mengancam akan segera membuangnya. Bungkus permen tetap diam. Kudekatkan ke wajah, mungkin tak kudengar jawabnya. Tercium sisa aroma manis dan sejuk dari selembar kecil berbahan plastik. Seakan berkata,”Tak ada yang siasia,” dalam semua bahasa. Aku teringat rasa manis permen, sudah sepenuhnya lumer, tertelan tak bersisa.

“Tak mungkin ada yang peduli padamu.”

“Tempat sampah adalah satusatunya tempat yang pantas untukmu.”

“Lagipula kau terbuat dari jenis bahan yang tak bisa didaur ulang, merusak lingkungan.”
Aku terus menyerang bungkus permen kiss, bertuliskan ‘mimpi indah’ pada salah satu sisi.

Bosan dengan kebisuannya, kucampakkan bungkus permen ke tempat sampah. Kuambil sebungkus permen lagi dari kotak di atas meja, kubuka bungkusnya sembarangan, kumasukkan butir permen ke dalam mulut. Mengulum dengan suara gaduh, sengaja kuejek bungkusnya, kubiarkan tergeletak di atas meja, menggantikan bungkus permen yang sudah kubuang.

Tak lagi kuajak bungkus permen bicara, hanya kudekatkan ke wajah, kuhirup jejak aroma manisnya ketika permen dalam mulutku telah habis tak bersisa. Kuhirup kuatkuat, sebelum kucampakkan ke tempat sampah.

Sebelum tidur, kutulis pada secarik kertas, ajarilah aku diam, sehening bungkus permen, saat sebutir yang manis dalam diriku telah dihabiskannya, bukankah kini aku pantas dicampakkan ke tempat sampah. Jika nanti dia datang dan mendekatkan wajahnya, semoga masih ada jejak manis terhirup nafasnya. Tapi kenapa terasa begitu sesak di rongga dada, bahkan jadi sebungkus permen untuknya saja begitu berat, serasa nyaris tak sanggup. Jadi alasan apalagi yang membuatku percaya : aku masih boleh berharap ada manis bisa kuberi sepenuh hati padanya

Dua lembar bungkus permen di tempat sampah saling menatap, dalam diam. Tapi selembar kertas seperti paham, menulis adalah doa yang tak mampu kukerjakan sambil bersujud, ketika lutut terlalu rapuh menopang tubuh. Meski sama diam dengan segala benda, aku percaya Tuhan sudi membaca*

hajat

Wahai malaikat, bukan aku tersesat, sengaja kuketuk gerbang surga, ijinkan sebentar saja kutemui para martir beserta orangorang suci. Aku hanya peduli dan ingin mengerti, apa mereka semua bahagia dan baikbaik saja di dalam.

Kubawa amanat dari budakbudak cinta di neraka : tarian api meliuk sangat cantik, sungguh sejuk, dan tuhan betah di sana, berpesta bersama para kekasih tanpa henti*

kolase rindu

Jalanjalan bersayap mengepungku, menawarkan punggung.  Kubilang aku tak jadi pergi, sudah kaukirimkan segala yang kuperlu, tepat di depan hidungku, menjaga pintu sadarku, sepasang hitam mata, pahit empedu, tinta biru, sebatang buluh. Kini aku mesti menulis catatan pesanan malam, sebelum matahari kembali mengantar terang butakan mata, harus kumenangkan sebait kalimat pekat, jadikan isyarat agar esok kau tak tersesat lagi di lorong mimpiku, mencuri lelapku.

Jalanjalan bersayap kecewa, membubarkan barisan, terbang berpencar dalam gelap. Sesudah sendiri, kuraih sayupsayup suaramu dari jantungku, kudekap erat* 

puisi frenzy

Puisi aku pamit, ruangmu terlalu sempit, sedang cinta tumbuh membelukar, memanjat dindingdinding kata, rindu menyapa dunia. Dan dia masih menunggu di bawah deru kincir air, sibuk memunguti bulubulu burung onta yang berjatuhan di sela hijau basah rerumputan*

tak ada yang benar

Dalam tas tangannya, perempuan itu selalu menyelipkan beberapa bunga kecil, tak diketahuinya jenis dan nama masingmasing bunga, dia hanya tahu warnanya, beberapa berwarna putih, yang lainnya ungu, merah jambu. Baru dia bisa berdiri atau berjalan dengan tenang di semua sudut dan ruas remang yang biasa dilewatinya tiap malam. Malam yang selalu sama gelap dan panjang, terutama di musim hujan. Tapi bunga dalam tas tangannya membuatnya tenang, seperti sebilah senjata tajam, atau sepucuk senapan, bungabunga kecil dalam tasnya menjaganya dari bahaya, bahkan juga menenangkan resahnya karena cuaca buruk.

“Tak lama lagi emak bisa menjagamu.”

“Mak…”

“Emak ingin meninggalkan sesuatu untukmu, tapi tak ada apaapa, selain cerita, maukah kau mendengarnya ?”

Hidup sesederhana yang diduga semua orang, tak ada yang rumit, tak ada yang sulit. Emak hanyalah perempuan biasa yang pernah dilahirkan seorang perempuan biasa juga, pernah dicintai, pernah dibenci, pernah melewati banyak tawa dan airmata. Pernah sehat, pernah sakit, pernah memaki, pernah dimaki. Semua diingat emak dengan sempurna. Hanya satu yang emak tak bisa ingat, mati. Emak tak ingat pernah mati, hingga bagian itu jadi gelap sebelah, konon seperti wajah bulan yang sedang tersenyum tajam malam itu.

Anak perempuan itu memilih mengingat bagian yang buruk lebih dahulu, seperti kebiasaannya memakan nasinya banyakbanyak dulu, menyisakan lauknya di sudut piring untuk dinikmati saat terakhir, bersama seekor kucing betina yang selalu datang dan menungguinya di waktu makan. Itulah yang dipelajarinya dari emak, perihal anak perempuan pengkhayal yang gemar menggambar bajubaju indah diceritakan emak belakangan, sesudah semua kisah sedih dan ngeri.

Anak perempuan itu masih terlalu muda untuk mencerna kalimatkalimat duka, semua yang didengarnya serupa kabut, menyentuh telinganya dengan rasa dingin dan ngilu. Belakangan setelah anak perempuan itu lebih dewasa, tahu membaca surat kabar, pernah dia menyangka emaknya pasti mendapatkan cerita dari membaca surat kabar yang sama seperti miliknya, kisahnya mengerikan, menakjubkan. Anak perempuan yang sudah jadi gadis muda itu malah lega, ternyata cerita emak bukan kisah nyata.

Kenyataan selalu tak seburuk dongeng dan legenda. Nyatanya gadis muda itu tetap tumbuh, tak kekurangan apaapa setelah emak tak ada. Hanya suara dan wajah emak yang terpahat dalam ingatannya. Kucing betina juga masih selalu datang di waktu makan, menunggunya berbagi suapan terakhir yang paling sedap, sesendok nasi dan sepotong ikan goreng. Tak ada yang mengerikan di bumi selain mimpi buruk, dan bagusnya gadis muda itu jarang tidur. Terlalu banyak kesenangan terjadi di malam hari, hingga tidur dan harapan untuk bermimpi indah sama sekali tak dibutuhkan. Persis kunangkunang, atau kembangkembang paling wangi, memilih malam untuk bersinar dan mekar.

Kembang sedap malam, adalah salah satu bunga yang tersimpan dalam tas tangan perempuan itu, kebetulan yang satu itu diketahuinya jenis dan namanya. Putih, kecil, sangat wangi, banyak tumbuh di mana saja, hingga mudah didapat, melati sudah agak langka. Semasa emak dulu semuda gadis itu, melati adalah kembangnya. Terselip di manamana, di rambut emak. di lipatan baju, dalam tas emak, di bawah bantal dan sudutsudut tempat tidur, wangi melati semerbak di mana saja emak ada.

“Di kain bedongmu dulu, selalu emak selipkan juga melati. Melati itu yang bikin bapakmu jatuh hati, bikin bapakmu tak bisa ke manamana dalam waktu lama, lalu kau ada.”

“Kemana bapak, mak ?”

“Pergi.”

Anak perempuan itu masih terlalu kecil untuk membaca beritaberita di surat kabar yang terbit sehari sesudah bapaknya tak ada lagi.

“Kemana ?”

“Sebentar lagi emak juga akan ke sana, nanti kamu juga akan ke sana, ketemu emak dan bapak lagi, kalau kamu tak nakal dan sekolahmu pintar.”

Tak lama itu seberapa lama, anak perempuan itu menyesal tak menanyakannya, sebab terlalu senang mendengar cerita emak, bahwa nanti akan bertemu lagi dengan bapak, sudah lelah anak perempuan itu menahan diri setiap kali ada yang mengejeknya tentang bapaknya yang pergi. Emak selalu cuma berkata,”Sabar ya nduk.” Begitu sering katakata itu diucapkan emak, hingga akhirnya jadilah katakata terakhir yang diucapkan emak,”Sabar ya nduk.”

Anak perempuan itu tetap tinggal sendiri di rumah kecilnya, hidup dari belas kasihan dan kebaikan orangorang di sekitarnya. Emak pernah bilang, tak ada yang benarbenar jahat di dunia, mereka yang mengejeknya juga memberinya makanan dan bajubaju, lengkap dengan seragam sekolah, kaos kaki dan sepatu. Masih pula ditambah tas sekolah dan bukubuku. Emak ternyata benar, meski sebagian ceritanya ternyata hanya ceritacerita dari surat kabar, bukan kisah nyata.

Dunia selalu indah bagi seorang gadis muda, terlebih yang menyimpan wangi melati dalam lipatan kulitnya, emak ternyata sangat bijak, menyelipkan melati di laipatan baju dan alas tidurnya dulu, bikin wanginya meresap ke balik kulit, tinggal abadi dalam sesuatu yang dia tak tahu. Wajahwajah ramah, rayuan manja, surat cinta, dan tentu saja juga bungabunga bertebaran di sepanjang jalan yang dilalui gadis muda, andai emak masih ada, mungkin emak akan ikut senang melihatnya gembira.

Gadis muda itu tetap tinggal sendiri di rumahnya yang dulu, dia mulai bekerja dan mendapat upah dari orangorang yang menyuruhnya ini itu, menjaga dagangan, mengasuh anak, mencuci baju, atau apa saja, gadis muda itu selalu melakukan apa saja yang disuruhkan orangorang kepadanya, meski kadangkadang terlalu lelah dan mengeluh, hidup terus berlanjut.

Emak juga pernah bilang, tak ada orang yang benarbenar baik di dunia, mereka yang menyuruhnya juga mengupahnya, membuatnya bisa membeli, memiliki bendabenda yang diinginkan, selayaknya gadisgadis muda lainnya. Mereka yang memujinya juga menghinanya, mereka yang memujanya sekaligus melecehkannya. Pada akhirnya gadis muda itu tahu bahwa sebagian ceritacerita di surat kabar sungguhsungguh nyata. Gadis muda itu bingung, lalu limbung langkahnya.

Tak ada yang benarbenar baik jadi terdengar mengerikan. Tak ada yang benarbenar jahat tak lagi menenangkannya. Orangorang itu selalu saja begitu, tak ada yang benarbenar baik, tak ada yang benarbenar jahat, sama sekali tak menyenangkan, seperti berada dalam ketidakpastian tanpa ujung. Memastikan kegelisahan semakin menghuni lemari bajunya, meja makannya, tas sekolahnya, bahkan tempat tidurnya. Gadis muida itu telah jadi seorang perempuan, seperti emaknya dulu, yang suara dan wajahnya kini semakin kerap memenuhi ingatannya, menorehkan pahatanpahatan luka yang dulu tak pernah terasa perihnya.

Gadis muda telah jadi seorang perempuan, seperti emaknya, menyelipkan bungabunga kecil di manamana. Bukan hanya melati, bunga melati kini sudah jadi bunga langka. Perempuan itu hidup di jaman yang berbeda, bunga melati, pun sedap malam tak lagi tumbuh dan bisa dipetik di banyak tempat sekehendak hati. Maka perempuan itu memetik sembarang bunga kecil yang ditemui dan bisa dipetiknya, untuk diselipkan di manamana, di semua tempat di mana dia ingin diingat oleh yang tak benarbenar jahat, atau dilupakan oleh yang tak benarbenar baik.

Suatu hari bungabunga kecil itu menjelma beberapa kalimat dalam surat kabar. Sebuah berita tentang tas tangan yang kehilangan pemiliknya; seorang perempuan yang tewas terbunuh, tubuhnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah hotel murahan*

surga kita

Di sini surga kita.
Mereka mengutuk cinta, cinta membunuhku.

“Persis dia,” Mereka menunjukkan tangan ke jasadku. Akulah dia.

Tak peduli mereka saling menginjak, saling meludah, saling menikam, saling membakar. Aku tak beranjak, tak melihat, tak mendengar.

Tak berhenti bernyanyi,”Nanananananana…”

Cinta terkutuk tak pernah menunduk, tak ingin mengenang atau mengheningkan cipta, tak ingin menjenguk. Selalu mengangguk, ketika suara bertanya,” Semuanya baikbaik saja ?”

“Kau tak baca berita ?”

Sudah berkalikali kubilang kulihat cinta, kudengar cinta, datang, sesaat kemudian aku terbunuh.

Mereka kecewa, berlalu meninggalkan jasadku, orang mati tak bisa sedih. Burung nazar berkicau riang,”Di sini surga kita.”

Saatnya tubuh menjamu paruh, cinta tak bisa padam*

melebihi senja

Bukan niat pasir menghapus yang diguratkan ranting,
hanya angin menari terlalu penuh, membaca namamu,
teramat sering kutuliskan, melebihi jengah, melebihi resah,
melebihi merah, melebihi jingga, melebihi kuning,
melebihi hijau, biru, nila, ungu.

Hujan menyimpan pelangi di lengkung mimpi*

di sekolah

Pena bertanya, di buku mana menuliskan sejarah.
Ayah menggelengkan kepala.
Bunda melayat, tuhan baru wafat.
Bapa ibu guru menyapu halaman.
Anakanak melipat kertas*

untuk janji

Malam memilih jari menyulam sunyi
sepasang merpati merajut mimpi
menganyam ranting.

Menyarang embun kelak datang
meniup ruang dalam cangkang
menggenang merah*

buat kekasih gelapku

Buat kekasih gelapku :

tolong nyalakan lampu*

tradisi

Aku percaya aku dilahirkan pembunuh, waktu. Aku percaya maut mengendapngendap dalam bilik jantungku, berpindah ke serambi, kanan kiri, merah hitam, anakanak kota mewarnai rambutnya. Mereka jatuh cinta. Pagi dalam sebungkus nasi, kecambah, bunga turi, bumbu kacang, ikan teri, membujuk tubuh terus tumbuh ke arahku, menutup mata. Merah hitam berceceran di manamana.

Bus, kereta api, gedung  dan mesinmesin ingin jadi kuda nil, berkubang lumpur, dadanya pengap manusia. Sudah lama kusaksikan dalam mimpi buruk, gedunggedung ambruk, kembali padang rumput, setelah puingpuing pulang ke dalam ruang antara ruasruas tulang. Kita sama, pemakan segala.

Demi cinta, demi cinta kau mengajariku memuja badai, berdiri di tanah datar menanti petir. Tubuh selalu ingin menyala, tulangtulang iri pada baja, ingin ditempa, darah ingin tumpah. Belum bisa kubaca satupun perkara di tanah merah. Hanya laut, laut setia mengalun, membuai anakanak paus. Anakanak paus kelak tumbuh dewasa, membawabawa tongkat dan kabar gembira di atas menara. Tapi laut setia mengalun, mengantar janinjanin kembali ke dalam rahim induknya masingmasing.

Bermula debu, kembali debu, kulontarkan dua dadu keraskeras, tak bisa pecah, kubus plastik bertulis angka, minta ditebak, pintar mengelak. Ini seteguk lagi minumlah, minumlah, berhadapan dan tertawa pada luka, bersama gununggunung muntah, batuk darah, paruparu hitam. Permainan tak boleh berhenti, wajib terus bermain, menjadi lahar, melupa lapar , hingga terkapar. Kertaskertas harus mencetak kabar, biar tak ada pengangguran yang makan tidur dalam kerduskerdus, mendengus sebentar hangus.

Bibirbibir berguman, bagus, bagus sekali menjadi kaktus, tumbuh di padangpadang tandus, duri di sekujur tubuh. Kaktus, cara bagus  tak jadi pengecut. Menumbuhkan duri di sekujur tubuh, serupa landak. Manusia keparat, tahu cara memetik kaktus, menangkap landak, tanpa terluka. Menfitnah iblis yang bersalah, menghasut, membujuk.  Padahal iblis sedari tadi duduk manis di sudut dengan sepotong kayu dan belati di tangannya, tekun memahat wajah tuhan.

Aku percaya aku dilahirkan pembunuh, kelak terbunuh, seperti pertukaran suku kata, tu-han ke han-tu, kembali tuhan, kembali hantu, terus berulang hingga akhir jaman. Aku percaya orang suci mengenakan lingkaran terbang di kepala, berputar keras, berhenti dengan tanda panah menunjuk angka, menang atau kalah selesaikan segalanya.

Selamat ! Belum tamat*

terbang

Bulan pendek memanjangkan rindu. Meneduhkan tubuh di bawah sembilu. Sudah kuusir semua yang bertalutalu, tak juga berlalu. Aroma bungabunga cengkeh dan kayu manis dari gudangku, getah mengisahkan sejarah. Gemericik di atap rumah bernyanyi tanpa henti, diterpa angin.

Sunyi menguntai jalanjalan kumuh, berkerumun di depan pintu. Mengulurkan tangan mohon belas kasihan. Rajaraja berebut tahta, aku mengejek mahkota, dengan keangkuhan berderai di mata. Kulelang jejak buram di jendela kamarku pada sekumpulan kunangkunang yang kehilangan malam, diguyur hujan.

Langkah menghapus jejakmu, jauh, riuh saling membunuh. Sungai  mengeluh jenuh untuk tiap riaknya pecah di telinga. Nada sumbang, ini tentang lagulagu kenangan yang dimainkan burung gagak menjelang kematian. Kutawarkan cumacuma jiwa untuk ditukar sekeranjang kembang. Aku manatap dari balik kerudung, tangantangan menaburkan umur di atas lumpur, menanam syukur.

Burungburung kertas setia menanti siang, hinggap di atas ranting paling kering, berharap langit lekas mengirim api, mengantar asap ke dekap awan, menerbangkan hilang*

Selasa, 22 Februari 2011

perang lidah

Di tanganku, katakata menjelma pedang. Katakatanyapun demikian. Kami mengasah pedang setajam malam, saling menikam. Perang paling kejam, luka terpahat di sekujur tubuh, dari bumi sampai ke langit. Darah berjatuhan di atas peta, menandai setiap kota di mana kita pernah singgah.

Pedang tak ingin perang berakhir, sampai darah mengering sepanjang jalan menuju neraka : rumah kita*

dua bola mata

Kau mencongkel kedua mataku. Menghapus lingkaran hitamnya yang berlendir. Melontarkan bagian putih yang tersisa jauh ke angkasa. Lalu berbisik mesra,”Lihat, kuciptakan satu matahari, satu bulan dari dua bola mata.”

Aku mengeluh putus asa,”Aku sudah buta.”

“Lihatlah, kau tak butuh bola mata,” Kauremas jemariku, erat*

tanpa makna

“Saya !” Kuangkat tangan waktu ibu guruku berkata,”Tanpa nama.” Di depan kelas dengan sebuah buku besar di tangannya.  Semua mata menatapku, aku tahu, aku punya mata, bisa melihat, meski tanpa nama. Terdengar bisikbisik di seluruh ruang kelas, bunyi bangku bergeser, suara pena beradu kertas di tangan ibu gurupun terdengar, ketika beliau membubuhkan tanda centang pada setiap baris dalam buku besarnya.

Matamata menatapku, kulihat berkata,”Tanpa nama ?” Kalimat yang sama, persis kalimat yang tadi diucapkan ibu guruku, hanya saja dikatakan dengan nada berbeda. Bukan oleh ibu guru dengan buku besar di tangan, tapi wajahwajah bertopang dadu di atas meja.  Aku tak mengangkat tangan, melainkan mengangguk untuk menjawab pertanyaan setiap mata. Sambil tersenyum senang, ternyata tanya jawab bisa berlangsung tanpa suara.

Ibu guru akhirnya menutup buku besarnya, suaranya bergema,” Marilah kita berdoa.” Tangantangan mengatup, wajahwajah tertunduk, matamata tertutup, aku yang tanpa nama melihat semua dengan mata terbuka lebar, suarasuara berlarian, berkejaran, berkeliling ruang kelas, masingmasing mencari wajahnya. Karena tanpa nama, aku tak bisa ke manamana. Suarasuara menawarkan pena, mereka semua berkata,”Tanpa nama membuatmu tak bisa berdoa.” Aku menatap ibu guruku dan mata pena, ingin sekali kubertanya,”Tak bisakah tanpa doa.” Kudengar jawaban,”Berdoalah, paling tidak untuk sebuah nama.”

Namanama berkata tanpa suara, pada meja, buku besar dan pena. Tanpa nama seharusnya tekun berdoa untuk namanama tanpa wajah,”Saya !” Kembali kuangkat tanganku, selalu, setiap kali kudengar tanpa nama di katakan tanpa suara*

refrain

Bunuh aku berkalikali, sesering kau rindukan wangi kematian dan bau tanah lembab. Kubur atau buang saja jasadku ke sembarang tempat, akan tertanam, tumbuh, menjadi aku seperti sediakala. Menemukanmu untuk berkata, jika kau rindukan bau lembab tanah dan wangi kematian, aku siap kaubunuh sekali lagi. Boleh kaubuang atau kubur jasadku di manapun kausuka, akan tertanam dan tumbuh kembali, selama jantungmu masih bernyanyi, aku tak bisa mati*

nyamuknyamuk nakal

Aku harus jadi baju, menjaga tubuhmu. Berjalanjalan bersamamu. Terlebih lagi aku harus jadi baju, digantung di balik pintu kamarmu, menjadi sarang nyamuknyamukmu, biar nyamuknyamukmu tak tersesat sepanjang malam di depan lubang telingamu. Nyamuk sangat gemar bau gurih dalam lubang telinga, ceritacerita hebat yang kaudengar. Tapi lipatan tubuhku lebih hangat, dan jejak keringatmu di situ lebih sedap, jika aku sudah jadi baju, kuharap kau dan nyamuknyamukmu samasama bisa tidur nyenyak*

mana yang kausuka

Aku selalu ingin tahu bagaimana kau memandangku. Aku tahu itu terdengar mementingkan diri sendiri dan membosankan, hanya ada aku dalam benakku. Aku sesungguhnya tak peduli tentangmu, cuma memikirkan diriku sendiri sepanjang waktu. Sepanjang waktu apakah sekusut rambutku, itu yang kutanya kepada cerminku setiap kali aku bersisir, benarbenar narsis! Seandainya cermin punya lengan dan telapak tangan tentu akan ditutupnya wajahnya, jenuh menatapku. Aku tak suka berdandan hanya suka menatap mataku.

Cerminku pasti tak tahu kisah itu, cermin tarsa, aku pernah membacanya, cermin yang baik hati dan pandai, tahu apa yang ingin dilihat mata sesiapa yang menatapnya, dan mau repotrepot menunjukkannya. Seperti cermin salah kodrat, bukan memberi bayang, malah mewujudkan angan, cermin lancang. Kenyataannya yang lancang itu bikin senang. Tak seperti cerminku, cermin biasa, hanya sekeping kaca yang menyajikan bayangbayang, segenang air saja bisa melakukannya, kelebihannya, cerminku akan tetap ada walaupun tak turun hujan.

Aku sungguh tak tahu caranya, agar aku bisa tahu bagaimana kau memandangku. Itu membuatku suntuk. Meski kedengarannya egois, sesungguhnya tak benar begitu adanya. Aku mencintaimu, hanya dan hanya itu sebabnya aku ingin tahu bagaimana kau memandangku. Aku tahu bagaimana aku memandangmu, karena matamu juga bisa jadi cermin, saat kutatap dalam tanpa berkedip. Matamu bisa jadi cermin, sayangnya sama saja seperti banyak cermin, hanya memantulkan bayang, bukan harapan dan anganangan. Setiap kali kupandang cermin dalam matamu, yang kulihat hanya cinta melulu. Pasti begitulah aku memandangmu, penuh cinta, dan matamu yang cermin membiaskan kembali pandanganku.

Aku tak perlu memandang cermin di dinding. atau di matamu, untuk tahu aku mencintaimu, aku tentu mengenal diriku lebih baik dibanding cermin manapaun mengenalku, aku tahu pasti tentang aku mencintaimu selalu. Tapi kau, diamdiam aku sangat ingin tahu bagaimana kau memandangku. Tak masalah juga kalau itu akan membuatku terlihat narsis atau egois, atau bermacam kata sifat buruk lainnya. Aku tetap ingin tahu bagaimana kau memandangku.

“Katakan bagaimana kau memandangku.” Aku berkata sambil menatap matamu. Aku sudah tak mampu membendung rasa ingin tahuku, pun tak kutemukan kemungkinan cara lain yang lebih baik selain bertanya langsung padamu, meski dengan berat hati aku juga sangat jelas mengingat kepandaianmu berdusta. Bahkan kau akan tertawa kalau kusebut tukang bohong, itu memang pantas untukmu selain sebutan tuti, tukang tidur.

“Bagaimana aku memandangmu ?” Kau bingung dan mengulang kalimatku.

“Iya, katakan padaku, bagaimana kau memandangku.”

“Bagaimana aku memandangmu ?” Kau lagilagi mengulang kalimatku, aku mulai kesal.

“Kau mendengarku, jelas kan, aku juga dengar ucapanku sendiri. Tak perlu kauulangi lagi, jawab saja.” Aku mencoba
bicara lugas padamu, hal yang jarang bisa kukerjakan. Bicara denganmu selalu lucu atau sendu, tak pernah tegas dan jelas.

“Bagimana aku memandangmu…hmm.”

“Ahh…!!”

“Aku tak mengerti, sama sekali tak mengerti.”

“Aku bicara bahasa Indonesia, baku, tanpa kias atau pantun, juga tak ada katakata tak lazim, apanya yang tak kaumenegrti. Kenapa kau selalu harus membuatku kesal sebelum menjawab.”

“Nah…kenapa tak tanya pada dirimu sendiri, kenapa kau selalu bicarakan halhal tak penting. Kau bisa tanya, apa aku sudah makan, apa aku sehat, apa aku ingin segelas kopi lagi. Itu yang seharusnya kautanyakan kalau kau inginkan jawaban masuk akal.”

“Jadi begitu kau memandangku, tak jelas, tak masuk akal, sinting, gila.”

“Ya Tuhan…”

Suaramu terdengar putus asa, tapi aku tak boleh jatuh kasihan padamu kali ini, kau selalu meremehkanku, selalu menganggap semua yang kubilang tak penting, apa kau tahu itu sangat menyakitkan.“Jangan bawabawa Tuhan.” Aku menukas cepat.

“Oke, kutaruh dulu Tuhan,” Katamu sambil menaruh sebatang sigaret yang belum sempat kausulut, sedari tadi hanya kauputarputar di sela jari tangan, kau mahir melakukannya, serupa memutar duniaku. “Sekarang aku tak membawabawa
Tuhan, tapi masih tak mengerti apa sebenarnya yang kautanyakan tadi.” Matamu masih memantulkan cintaku, membuatku bingung, bahkan disaat kau sangat menjengkelkan.

“Ini yang terakhir, bagaimana kau memandangku, jawab saja itu.”

“Hmm, kau perempuan…” Kau menjawab ragu.

“Setanpun tahu itu !”

“Kau tak suka aku membawabawa Tuhan, sekarang kau sendiri, membawabawa setan. Kenapa tak kaukatakan saja aku harus menjawab apa biar kau senang.”

“Ohh…jadi begitu ya, jadi begitu kau memandangku, cuma perempuan, tak lebih, dan perempuan yang membawabawa setan pula.” Aku menatapmu gusar, berusaha keras menghapus rasa menyenangkan yang biasa kudapatkan saat menatapmu dengan sungguhsungguh. Kau menarik tubuhmu, setengah bersandar di kursi, menggaruk kepala sebentar, sedikit menyedihkan, tapi aku bersikeras tak akan berbaik hati dan iba padamu, sampai kudapatkan jawaban yang pantas.

“Hmm…Jadi kau ingin aku melihatmu bukan cuma perempuan, apa maumu, super girl, princess, atau miss apapun, katakan saja, aku akan mengingatnya setiap kali aku harus memandangmu.”

“Kau menyebalkan.”

“Kau menyesal ?”

“Apa gunanya, kau tetap menyebalkan.”

“Aku senang.” Matamu mulai tertawa.

“Kau sengaja menyebalkan. Kau sengaja membuatku kesal.”

“Kau tahu, jangankan kau, Tuhan saja tak mampu mengenyahkan segala yang menyebalkan.”

“Kau, kau sangat menyebalkan.”

“Kau menyenangkan.”

“Justru itu, aku sebal, kau membuatku sungguh sebal. Jadi menyenangkan, tak ada yang lebih memuakkan.”

“Ada.”

“Apa ?”

“Dicintai.”

“Hmm…”

“Aku senang kau tak tahu, betapa menderitanya aku kaucintai.”

“Ya. Merasa layak dicintai itu sungguh tak tertahankan. Jangankan manusia, Tuhan saja tak tahan.”

“Jadi sekarang kau mau merampok, meledakkan tempat ibadah, atau membakar sekolah ?”

“Bisa lebih parah ?”

“Meletuskan gunung, meluapkan laut, atau lumpur.”

“Kau suka yang mana ?”

“Yang kerusakannya paling parah.”

“Kalau begitu beri aku senapan untuk meledakkan kepalaku.”

“Kalau samurai, sayatan melintang di tubuhmu pasti hebat.”

“Kau suka yang mana ?”

“Apa aja asal kau senang.”

Aku tak bisa menahan senyum, kau tertawa dengan mata.

“Aku tak suka berbenah, tak bisa bisa berdandan, tak tahu adat.”

“Aku tak butuh segelas kopi panas, sepiring makanan hangat, setumpuk baju rapi.”

“Hahaha… Jadi apa yang kauinginkan.”

“Seorang perempuan yang tak ingin punya credit card, tak butuh microwave, kulkas dan ac di rumah.”

“Rumah ? Rumah yang mana.”

“Rumah yang mana lagi.”

“Rumah jamur, rumah pohon, rumah boneka ?”

“Yang mana kausuka.”

Aku tahu kau pasti akan mengatakannya berulang kali, sebanyak kali kukatakan pula. Selama aku dan kau masih bisa saling berkata, “Mana yang kausuka.” Segalanya akan baikbaik saja, tak peduli seburuk apa kau dan aku saling memandang, sebelum memandang dunia.

“Sudah kujawab dengan baikkah?”

“Aku tanya apa ?”

Kau memandangku sepenuh tatapan langit, aku terjun ke dalam laut matamu. Hitam dan jernih*

bintang merah

Saban malam dinding kamarnya makin penuh, selalu bertambah bintangbintang terbit di sana. Dia yang menerbitkan bintang dengan warna merah di dinding kamar sedang berbaring memandang bintang merah ciptaannya, berhamburan di dinding putih, sebagian sedang berputar saling menyapa.

Bintang lebih mudah digambar dibanding domba. Dia suka, kata bintang serima petang, semua benda dengan tanda bintang, hanya orang berjasa yang boleh mengenakan tanda bintang di bajunya, disematkan dengan takzim oleh yang berkuasa, tanda hormat dan kagum, pada keberanian atau kesetiaan, dua hal yang tak pernah dimilikinya.

Warna merah tak disukainya, tapi warna merah yang dikenangnya sesaat sebelum terlelap, warna merah, bibir ibu, membisikkan dongeng pengantar tidur. Matamata dengan urat merah simpang siur di dalamnya. Mananak  doa jadi begitu lunak, langsung bisa ditelan tanpa cemas tersedak.

Dia butuh bintangbintang merah untuk dihitung agar bisa tidur. Menghitung bintang merah sangat tak menyenangkan, namun harus dikerjakannya. Membeningkan mata, memenangkan kepala. Kepala pening tak lagi mampu berdering, maka setiap malam dia mendapati hitungan terakhirnya tak pernah sama.

Bintangbintang tumbuh saban hari, dari putih dinding kamarnya, merambati mata dan wajah. Dia tersenyum kepada bintangbintang di luar rumahnya, teriingat janji tuhan kepada nenek moyangnya, tanda merah di pintu, darah domba, malaikat maut tak akan mengetuk pintu, hanya lewat dan bertanya,”Sampai hitungan keberapa, sudah tidurkah ? Semoga memimpikan surga”

Dia akan menjawab sapaan malaikat maut dengan melemparkan satu bintang merah lewat jendela. Malaikat maut pasti senang, merah warna kesayangannya. Bangkai domba bertumpuk di kolong tempat tidurnya, menemaninya memimpikan surga, warna yang tak bisa diingatnya. Dia tersenyum lagi sambil berpikir ibuku pasti  perempuan sopan, tak pernah mengangkat telapak kakinya lebih tinggi dari bumi.

Dia teruskan menghitung, bintangbintang merah mengatupkan matanya satusatu*  

penumbra

“Jika tiba waktuku, tak seorangpun akan merayu, tidak juga kau…” Kirakira begitulah kalimat yang kuingat pernah kubaca. Ditulis seorang penyair besar di masa lalu, konon penyair dengan banyak lubang di paruparunya, luka, darah, nanah, berkumpul dalam dadanya, mengaduk nafasnya. Meski tak ada peluru bersarang di sana, pedang tak menusuknya. Darinya aku percaya, asap lebih kejam dibanding logam, lebih tajam, lebih menikam. Seringkali kulihat gambarnya dalam warna suram, dangan rahang terangkat, sigaret terselip di jarinya, matanya memang rada mirip neraka dan mereka memberinya gelar ‘pelopor’ satu angkatan dengan bilangan seram, bilangan yang mengingatkanku pada setan.

Belakangan aku tahu, setan sedikitpun tak seram, segalanya menakutkan kalau belum kenal. Setelah akrab, setan ternyata sangat ramah, jenaka, banyak akal dan gemar tertawa. Bahkan setan bilang, api hanya menggelitik telapak kaki, tak bikin nyeri. Aku percaya, ada banyak orang mampu berjalan di atas bara tanpa alas kaki tak terluka. Setan bahkan lebih baik dari seorang penyair malang, yang hanya berteman sajak menjelang ajalnya, atau seorang pemusik berbakat besar yang cuma mewariskan hymne kematian.

Setan, setanlah yang selalu menemaniku sejak matahari terbenam, membaca sajaksajak dari penyair besar, dengan suara pongah, tapi senyumnya sungguh ramah, setan sungguh baik hati, membuatku merasa tak bersalah saat kukatakan dengan lantang, “Betapa besar kepala penyair itu, siapa yang peduli pada waktunya, siapa sudi merayunya. Selama otak masih bersemayan dalam tempurung kepalaku, tak akan pernah aku merayu. Apalagi untuk seorang penyair, sepintar apapun ia mencipta sajak, tak akan pernah.”

Setan tertawa terbahakbahak, hangat dan gembira, di ujung tawanya setan berkata,”Itulah kehebatan perempuan, intuisi, berani mengatakan dengan pasti segala yang tak bisa diprediksi.” Mau tak mau aku nyengir, setan tersenyum sangat menggoda.

Entah sengaja, entah kehendak siapa, aku dan setan semakin akrab. Entah pula kenapa setan sangat suka membaca sajak, setiap kami bersama sajaksajak seolah jadi santapan lezat, satu lagi kelebihan setan, suaranya merdu dan harum.
Dengan acuh setan menjawab saat kutanya, kenapa bisa merdu dan harum,”Aku hanya makan bunga.”

KIni aku yang tertawa, lama, tawa yang seperti terlalu ringan untuk dilepaskan di udara, sebagian tawa itu untuk diriku sendiri, dan setan tak boleh tahu itu. Bisabisa setan mengejekku tanpa henti, mahluk yang menyenangkan pasti sekaligus juga menyebalkan, begitulah adanya setan, saat ramah setan lebih baik dari malaikat, saat mengejek setan lebih brengsek dari tokek. Setan tak boleh tahu aku bukan hanya suka suara merdu dan harumnya, tapi juga setiap sajak yang dibacanya. Aku yakin hanya orang menyedihkan yang menyukai sajak, puisi, syair, atau apalah namanya. Susunan katakata tak lazim yang bikin pening, itulah caraku dulu mendefinikan kata sajak. Dan aku sekarang mulai kecanduan.

Diamdiam aku kecanduan membaca kalimatkalimat sesat, sendiri. Setan telah begitu pintar memilihkan sajaksajak senapan, berkalikali pelurunya melubangi dada, tapi aku baikbaik saja. Setan sangat paham, apa yang paling membuatku terpesona, sesuatu yang kukenal, namun tak pernah dekat, serupa malaikat, atau tuhan, dan sajaksajak memenuhi semua syarat untuk membuatku tak berhenti jatuh hati. Bercahaya, putih, perkasa, bersayap, bisa mencipta dan menggerakkan semua yang tak ada dan diam, warna tumbuh dari hitam, kilat merekah saat awan hitam menghambur dalam peluk cahaya. Api menerkam udara, menjatuhkan air kepada tanah, tanah menumbuhkan kayu dari batubatu, batubatu menggesekkan tubuh, meletupkan api. Siklus terjalin tak putus, macam kulit apel kupasan perempuan berjiwa besar.

“Hahaha…Kau menulis sajak.” Aku terlonjak, menengok kebelakang secepat kilat, tak ada siapasiapa. Ke kiri lalu ke kanan,”Ahh…!” Aku berteriak sambil membekap bibirku, di dinding sebelah kiriku, seekor tokek besar, hitam kecoklatan memandangku tajam, bola matanya pekat, sesaat bunyi decak terdengar, lalu tokek itu melafalkan bunyi namanya, seperti lazimnya seekor tokek bersuara,”Tok…keekk”.

Hahh, bikin keget saja, jantungku nyaris berhenti, kupikir kau setan baik hati yang biasanya selalu datang, jam berapa ini, biasanya dia sudah datang di waktuwaktu ini.

“Aku memang sudah datang.” Suara itu masih berasal dari arah yang sama, dari dinding  tepat di mana tokek menempel, memandangku dangan mata hitam pekat. Kali ini aku tak terkejut, tapi bergidik takut. Tokek saja sudah mengerikan, apalagi tokek yang bisa bicara. Aku ingin kabur meninggalkan ruang, tapi rasa penasaran menang, aku melangkah mendekati dinding tempat tokek berada, mengamati wajahnya baikbaik, itu memang tokek.

“Bicaralah sekarang, kalau kau bisa.” Aku bicara pada tokek di dinding.

“Aku harus bilang apa ?”

“Haahh..!” Aku berteriak sambil membekap bibir lagi, lebih erat dengan kedua tangan.

Tokek itu diam, memandang dengan mata menantang.

“Kau siapa, setan atau tokek ?”

“Kau sendiri, perempuan atau iblis ?”

“Kenapa, kalau kau memang setan ceritakan apa yang terjadi, hingga kau jadi, hmm…bertubuh tokek, dulu kau keren, suaramu merdu dan harum.”

“Dulu, dulu aku lelaki, kau perempuan, sebelum kalimatkalimat aneh itu mengutuk otakmu jadi sebongkah permata.”

“Benarkah ?”

Ck…ck…ck..ck…tok…keekk.

“Ha…ha…ha… Kau pintar menyamar, kalau mereka melihatmu, kau bisa diburu, dibunuh, dijadikan obat penyakit langka. Menyedihkan kenapa mereka semua ingin sembuh.”

“Kaukah yang dulu menggigit pergelangan tangan ayahku, bekas gigimu tak bisa hilang.”

“Bukan aku, mungkin ibuku.”

“Ha..ha..ha.. Bagusbagus, sekarang akan kubacakan sajaksajak hebat untukmu.”

“Kaukah yang membunuh ibuku, dalam karung itu ada ibuku, mereka menangkap seluruh kerabatku untuk seseorang yang sekarat, tapi itu bodoh. Bagaimana mungkin seorang berotak percaya seekor reptil bisa menyembuhkan, apapun sakitnya.”

“Bukan aku, sungguh, aku cuma mengintip dari balik pintu, menggeletar ketakutan. Kakekku yang menyuruh meraka.”

“Sudahlah, sekarang kuanggap kita sudah impas, kau bilang mau membacakan sajak.”

“Jika sampai waktuku, tak seorangpun akan merayu, tidak juga kau…”

“Ha..ha..ha.. Kau tidak sungguhsungguh.”

Aku merasa kepalaku berdenyut, sebongkah keras dalam tempurungnya melumer, entah terbakar apa, aku merosot lemas, tak bisa menggerakkan tubuh. Tokek meloncat ke wajahku, mengecup bibirku.

Kejadiannya sangat klise, seperti adegan di filmfilm saat kutukan punah oleh sebuah kecupan.

Aku dan tokek di dinding kini bicara bersahutan, saling memanggil nama masingmasing.

Kami saling tersenyum ketika seorang penyair menghitung berapa kali kami saling menyebut nama dengan mesra*

distorsi

Siang tadi kulihat lagi kupukupu kuning di jalanan, terbang dekat roda, kecil dan sendirian, lincah kepak sayapnya, entah mencari apa, entah hendak kemana, tak sampai hati kubertanya, tak ingin kudengar lagi cerita duka, atau perihal terbang mengembara tanpa arah.

Hampir pagi, tikus hitam besar mondarmandir di tempat sampah, tak ingin kutahu tentang wajahwajah suram, sarang kumuh menunggu, kelaparan tengah malam. Induk kucing sibuk memindahkan anakanaknya,  mencari tempat berlindung dari cinta dan benci yang tumbuh bersama, sama kuat di taring kucing jantan.

Rongga dada penuh sesak, suarasuara sumbang geraham tikus mengunyah makanan busuk, jasad anak kucing dalam kerdus, kucoba menyusun kalimat bersengat, dengan racun yang paling bisa menidurkan mata.

Sayupsayup subuh melantun, jauh, teramat jauh dari tempat tidurku. Tak berani kupejanmkan mata, takut tikus hitam  iseng mengucap mantra, merubahku jadi kecil, dengan sayapsayap kuning, tipis, rapuh, tak pernah bisa diam, selalu bergetar hendak terbang*

autumn leaves

Menjelang musim dingin, kudengar akar bernyanyi, lagunya terbang terbawa angin, daundaun merona warnanya ketika mendengar syairnya, melepaskan pegangan dari ranting, melayanglayang, lalu rebah di atas tanah, begitu rindu menemui akar yang telah menumbuhkannya di musim semi, merawatnya di musim panas.

"Tak apa jika kau lupa, aku mengingatmu
 tak apa jika kau ragu, aku mempecayaimu
 tak apa jika kau jauh, aku memandangmu
 tak apa jika kau diam, aku mendengarmu
 tak apa jika kau berlalu, aku mengenangmu
 tak apa jika kau tak tahu, aku merindumu
 tak apa jika kau tak ada di manamana,
 aku menemukanmu dalam doa, melayang
 tinggi di angkasa, aku menatap dari bawah,
 tersenyum bahagia."

Mendengar nyanyian akar, aku tertunduk malu, betapa parau syairku, sedikitpun tak layak untuk kaudengar*

kata hati

Sejak tadi ingin kutuliskan puisi untukmu, tapi katakata tibatiba lari, berhamburan dari kertasku. Kucoba mengejarnya sekuat dayaku. Katakata sangat lincah, berkelit di antara punggung manusia, merunduk di kolongkolong meja sepanjang jalan, sembunyi di balik pohon, tembok  dan tikungan jalan, bahkan sesekali nekat hinggap di jarijari roda yang sedang berputar. Aku sangat cemas katakata akan celaka, aku membutuhkan katakata setara kubutuhkan udara.

Harus kutangkap kembali katakata yang kabur dari kertasku, apapun taruhannya. Aku terus mengejar sampai kelelahan. Sampai sungguh tak lagi sanggup bergerak. Kujatuhkan tubuhku di tepi jalan, masih memandang katakata dari kejauhan. Katakata masih lincah bergerak di bawah sinar lampu, tak menengok ke belakang barang sekejap, semakin lama semakin jauh. Akhirnya katakata tak lagi bisa kuikuti dengan mata, hilang sudah.

Aku pasrah, dengan sedih dan kecewa berkecamuk dalam dada, kenapa katakata tibatiba berkhianat, tibatiba menjadi begitu pengecut, taga meninggalkan aku yang selalu setia menyusunnya pada kalimat, menjaganya dalam baitbait bermakna. Sejak dulu aku dan katakata selalu teman setia, sampai malam ini, katakata lari dariku tanpa penjelasan.

Malam kian larut, pintupintu mulai tertutup, punggungpunggung berjalan pulang, rodaroda berputar semakin cepat seakan takut tersesat. Aku berdiri, melangkah pelan, aku harus pulang, meski tanpa katakata. Aku ngeri membayangkan bagaimana harus kulalui sisa malam ini tanpa katakata, temanku yang biasanya paling setia. Aku teringat betapa aku dan katakata biasa bercengkrama bersama, berbagi rasa, menanggung dingin dan sunyi ruangan, hingga datang pagi. Kulangkahkan kakiku tanpa semangat menembus hamparan kosong malam.

Sepertinya dunia merasa iba, menyingkirkan segala yang tadi nampaknya menghalangi langkah ketika kukejar katakata, percuma katakata sudah hilang. Diamdiam aku justru berharap semua zat dan benda menghadang langkahku saat ini, agar tak pernah tiba kembali dalam ruang di mana aku sungguh sendirian, ruang yang akan membuatku teringat bahwa aku kehilangan sesuatu senilai hidupku, puisiku untukmu, bagaimana bisa kutulis puisi tanpa katakata.

“Ssttt…” Kudengar sebuah suara sangat dekat di telinga. Sepertinya suara katakata. Jantungku berdegup kencang, entah secepat apa kutengokkan kepala. Dan benar, katakata sedang duduk di atas sebuah balon berwarna merah muda yang baru melintas. Aku seketika berniat mengejar, tapi segara kuurungkan niatku, tak mungkin aku yang sudah sangat letih sanggup mengejar katakata di atas balon yang sedang melaju bersama motor. Aku hanya bisa menatap dengan putus asa, menundukkan kepala, terlalu berat kesedihan di mataku.

“Ssttt…” Pasti ini hanya ilusi, katakata pasti telah jauh meninggalkanku. Aku tak lagi menengok, tak ingin merasakan lebih banyak kepedihan.

“Ssttt…”. Suara itu kembali terasa begitu dekat di telinga.

“Hey…Kau kembali…!” Aku tak yakin senyaring apa teriakanku, aku begitu terkejut, katakata berada tepat di sampingku.

“Ssttt…” Suaranya terdengar sehangat sahabat.

“Kenapa, kenapa kau lari dariku ?”

“Aku lelah.”

“Lelah ?” Aku merasa bersalah,”Katakan aku harus bagaimana, agar kau mau kembali pulang bersamaku.”

“Aku tadi bermain air mancur di alunalun.”

“Kau lelah, kenapa? Jelaskan padaku, kau mau bermain air mancur lagi sekarang, tak apa. Aku ikut, asal nanti kau pulang. Jangan tinggalkan aku, kau satusatunya teman setia yang kupunya.”

“Aku lelah, kau selalu menuliskan dusta.”

“…”

“Aku merasa tak sanggup terus berpurapura.”

“Berpurapura apa ?”

“Purapura masih hidup dan bahagia.”

“…”

"Kau sungguhsungguh mau bermain air mancur ?"

Aku mengangguk, sesaat kemudian kami bergandengan tangan, berjalan ke arah alunalun. Aku terpana melihat bintangbintang berloncatan di kolam*

di luar akal

Pernahkah kau menyangka awanawan bergulung menjadi mendung, cuma karena aku berbisik dalam hati, teduh, teduh, aku ingin teduh. Maka awanawanpun patuh, memeluk debu, asap dari seluruh cerobong dunia, dan segala lenguhan yang terbang di padang dan jalanjalan. Mengotori jubah putihnya hingga kelabu kehitaman.

Belum cukup, kali ini aku tak lagi berbisik, melainkan berseru lantang, meski masih dalam hati, hujan, hujan, aku ingin basah. Awan hitam kelabu berderap mendekati cahaya, menyerahkan setiap massa tubuhnya diremas panas, meleleh, jatuh terhempas ke bawah, ke semua retak tanah, lembah dan puncak, dusun dan kotakota.

Kau tak percaya, mana mungkin seorang manusia bisa menyuruhnyuruh awan, membuat hujan. “Tak masuk akal,” Kau terus bicara, setengah berteriak agar suaramu terdengar di antara gemuruh hujan. Bibirmu mengkerut, tapi matamu tak bisa menyembunyikan senyum. Kau pasti juga tak percaya, kalau kubilang kudengar kau tertawa keras dan hangat, dalam hatimu, meski tubuhmu menggigil basah diguyur hujan. Di sebuah trotoar, di mana oarangorang berdiri berderetderet menatap hujan dengan mata penat*

sehari

Kalau kau matahari, terbitlah dari keningku. Akan kuputar dunia, kau singgahlah dalam telaga, ada sepasang bergelombang di mata, menimang bayangmu. Sesudahnya, kauhangatkan tanah merah, biar tak lagi gaduh mengeluh, biar doadoa terucap rahasia.

Sehari lebih dari cukup, diamlah matahari, hukum tata surya telah lama tercipta, setua usia batu bara. Satu rotasi sama dengan satu kali bumi mengitari matahari. Dan aku tak ingin menghitung berapa kali matahari berkedip, sebab mataku terlalu genit ketika senyummu selalu terbit*

jihat

Berdiri di perempatan jalan, dia memandang badanbadan tegak berjalan, mengusung berlembarlembar tulisan, berteriakteriak, kalimatkalimat bertabrakan di udara. Dia merasa kesepian, murung dan kehilangan kesempatan.

Beberapa mata menemukannya dan berkata,” Jangan sedih, kami akan menyusun barisan membelamu, sampai titik darah penghabisan.”
Dia semakin kesepian, semakin murung, berbisik sendiri dalam kepalanya,”Tak akan ada kesempatan yang bisa lewat, jalan telah jadi sangat padat.”

Kalimatkalimat larut dalam kepulan asap, seperti gelondong kayu terseret ke muara, seperti daundaun kering tersapu angin. Menusuk matanya bersamaan, seakan tak ada tempat untuk berdiri lagi, dia semakin tersiingkir, tak sanggup terus berpikir.

Menjelang siang jalanan sedikit lenggang, tapi sudah terlambat baginya untuk menyelamatkan rumputrumput yang terinjak. Dilihatnya badanbadan berjalan ke arah barat, dia melangkah pelahan, memunguti kertaskertas yang berserakan. Dia tak bisa membaca kalimatkalimatnya, namun didengarnya sayupsayup bunyi paruh burung pelatuk, riuh mematuk puhon tumbang di mana dulu sarangnya pernah bertahta. Dia mulai bersiul, telingatelinga yang sempat mendengar lagunya pelanpelan menundukkan kepala, mungkin mengantuk. Dia terus bersiul sampai kepalanya sendiri tertidur*

kepinding

Sekarang waktunya segelas kopi, hitam sehitam bola mata dalam gelap. Aku bukan keluarga primata, tak punya kilat cahaya di mata, bulu mata genit berkedip menggoda kaca.

“Jangan bermain api,” Manusia bijak dalam kaca berkata. Tapi aku manusia laknat, menelan gelap demi gelap dalam mata, sebelum gelap sempurna menelan bayang. Sebelum terbakar, kulahap api di ujung lidahku, tak peduli gelap menyesatkan langkah. Terbakar atau tersesat, pilihan antara neraka atau terikat di ranjang penuh bangsat menggigiti pantat. Rasa gatal itu candu sejati begi kukukuku tajam, haus darah.

“Kau keras kepala,” Manusia bijak dalam kaca belum menyerah, mataku mulai merah, darah menetes dari kuku, serupa kelopak bunga luntur warnanya. Memangnya kenapa, kepalaku nyata, bisa keras, bisa lunak, bayangbayang tak dapat menyentuhnya. Tak perlu berlagak bijak, aku tak akan ragu sedikitpun melenyapkan sosokmu dengan kepala, atau kepalan tangan. Mungkin tak perlu kepala ikut berperang, cukup kepalan tangan kupecahkan segala nasehat.

Prang…! Manusia bijak seketika berantakan, kurasakan hangat mengaliri telapak tangan, tak bisa kulihat merahnya, tapi bau amisnya terasa sangat manis. Dalam gelap pekat, kudengar suara tawa menggema dalam ruang. “Akhirnya kau pulang,” Seekor bangsat menyambutku dengan gigitan paling tajam*

secangkir teh manis

Malam ini kucoba berbincang dengan secangkir teh. Kebetulan saja secangkir teh sedang berada di mejaku, dan aku sedang ingin berbasabasi. Cangkir teh diam saja, juga cairan bening kecoklatan di dalamnya, bukan seolah tak mendengar hasratku, cangkir teh dan teh memang tak mendengar, juga tak bicara. Padahal bibirku dan secangkir teh sempat berkalikali saling menyentuh. Kurasakan jelas lembut pinggiran cangkir di bibirku, hangat dan manis telah menggenangi rongga mulut, memenuhi lidah dengan rasa sedap. Nyaman, namun diam.

Secangkir teh memberiku rasa hangat, manis, nyaman, yang berarti tak bicara, diam. Betapa tegarnya diam, batapa manis dan hangat, serupa ciuman, haha...kuharap secangkir teh ikut tertawa. Tapi secangkir teh tetap diam, membuatku merasa sendirian. Padahal aku memang sendirian, tapi secangkir teh punya banyak cerita, perjalanan dari ruang dan waktu yang tak pernah dilalui manusia manapun. Aku tak tahu bagaimana cairan bening kecoklatan itu bisa tahan menyimpan semua kisahnya, hanya menemuiku dengan rasa hangat dan manis.

Kalau kuucapkan terima kasihpun, kurasa siasia belaka, cangkir dan teh hangat tak akan pernah peduli. Secangkir teh berkeras diam di atas meja, seolah aku bukan apaapa*

sore

Sore mengetuk jendela kamarku, jarijari angin dengan kuku runcing dan wajah meringis semanis kucing.

“Aihh… kau lucu sekali,” aku menyapanya. Lalu sore itu berjingkat melompat jendela kamar. Jejak kakinya basah,” Di luar hujan,” katanya, dengan riang sore melompat sekali lagi ke pangkuan. Duduk manis sambil membisikkan makian.

“Tapi kenapa ?” Aku bertanya. Sore mengangkat bahunya, tersenyum ramah,”Tak perlu alasan untuk marah atau bahagia.” Aku menatap jendela, air berjatuhan menimpa punggung semut, pekerjapekerja setia yang malang di luar sana, tak lagi bisa pulang menemui ratunya. Air melumat semua yang kecil dan tak berdaya.

“Tapi hujan selalu indah,” aku menghibur sore sambil mengeringkan tubuhnya*

tanpa titik

Kita harus berpesta merayakan pagi, setiap hari adalah ulang tahunmu, seperti hari berganti nama seringkali, sebelum sempat mencetak gambargambar, menulis sajaksajak, waktunya kembali mempersiapkan pesta, dengan layanglayang, gumpalan awan, mungkin nanti gerimis akan ikut bernyanyi*

burungburung kertas

Pamatang sawah tak pernah terlalu sempit untuk dilangkahi.  Beriringan telapak kaki seribu berjalan, dari tanah ke tanah, setiap butir makna, kucoba mencatat, tak pernah bisa. Tinta mengering terlalu cepat sebelum musim berganti, kau pergi, pergilah dari dusundusun kumuh di telapak tanganku.  Mengirim tanah ke kota, ke lantai istana. Tubuh dan kepala, lupakan saja.  Cacingcacing biar gembira memakannya, menjadi gemuk dan sehat.

Kaki seribu tak pernah punya sepatu, berjalan lambat dari waktu ke waktu. Tak punya kata dan bahasa, menjadi bagian rumah kita, serupa embun dan matahari terbit, bungabunga melati dan biji saga. Burung kertas warnawarni kaulipat tiap hari, hinggap di rambutku tiap pagi, berkicau tentang pematang sawah, lumpur dan gabah. Hangat memeluk udara*

最美麗的第七天 - 抱著空氣

談情時太美妙  但是已經告別了
痛愛每天困擾  是沒法可預料

愛上你太奧妙  為甚要開這玩笑
看痛苦的破曉  伴著我的合照

*曾快樂曾相戀 曾擁抱吻著你
  曾吵架曾生氣  如今一一記起
   如果心仍不死  容許我 掛念你
   明知道迷戀你  而可惜沒法擺脫別離  抱著空氣

說再見那暗示  現實要捨棄情意
但是我想你知  事實我很在意

Love is so wonderful, but has bid farewell to the time
Love is pain everyday problems can not be expected

Why fall in love with you too subtle to be opening this joke
I see pain accompanied by a photo of dawn

*Was happy hug kiss you once fell in love once
  Now one by one has to remember angry quarrel had
  If the heart is still not allow me to miss you die
  Unfortunately, knowing a crush on you but can not hold the air out of parting

Say goodbye to abandon the real affection that implies
But I want you to know I am very concerned about the fact that

pesta

Hujan berebut malam dengan anjinganjing liar, beranda rumahku banjir lolongan. Serpihan kapal dan pecahan kaca bertengkar hebat, saling menyalahkan, siapa lebih dulu melukai malam, anjinganjing liar mengibaskan ekor, kencang menyapu bintangbintang. Kurakura bertelur di kolong meja, di atas meja sekuntum bunga tekun menulis puisi tentang air mendidih, telur kurakura siap tinggal landas ke luar angkasa.

Ya.Ya.Ya. Marilah bersulang, demi segala yang hilang. Bayi ular mengeliat dalam gelas arak. Liur anjing liar membasuh lantai kapal dan wajah kurakura betina. Aku buta huruf. “Aku buta huruf!” Setumpuk buku riuh menyahut. Sekuntum bunga menjatuhkan kelopaknya, satu satu ke atas meja. Meja menjadi congkak, berkotbah,sejak dulu, tepatnya seratus sepuluh tahun yang lalu,  manusia mampu bikin anjing berliur tanpa makanan.  Apakah ini pesta, atau peta menuju sekolah*

dunia yang indah

Dari semula dia tak pernah merasa kalau sedang sakit, sampai temannya yang kata orangorang sakit menjadi sembuh, meninggalkan taman teduh dan loronglorong tanpa dinding yang biasa dilewatinya saban pagi. Dia menjadi sendiri, bercakapcakap dengan angin, rumput dan batubatu dengan bahasa bisu, tentang orangorang yang selalu mengenakan baju yang sama setiap hari. Putih.

Perempuanperempuan berbaju putih dengan penutup kepala berbentuk lucu, dia kerap ingin tertawa saat melihatnya, tapi tak tega melukai hati perempuanperempuan itu. Lelaki lebih sedikit jumlahnya, putih pula warna bajunya,  mereka selalu menggunakan wewangian khas yang mengingatkannya pada wangi pembersih lantai di rumah salah seorang temannya. Lelakilelaki berbaju putih yang malang, mereka membawabawa sebuah alat, tergantung di lehernya.

Dengan alat itu lelaki berbaju putih mendengar suarasuara dari dalam dadanya. Dia merasa bangga bisa membuat lelakilelaki berbaju putih itu sedikit nampak lebih bergairah hidupnya dengan bunyi yang berasal dari dadanya. Dia teringat pada rumah kerang besar penahan daun pintu di rumah kakeknya yang menyimpan bunyi laut di dalamnya. Dulu dia gemar menempelkan rumah kerang besar itu pada telinganya untuk mendengarkan bunyi laut, suara laut selalu membuatnya tersenyum. Tak jadi masalah jika itu terasa ganjil dalam pikirnya, lelaki berbaju putih yang menempelkan alat serupa  mainan pada telinga, membuatnya juga ingin tertawa, tak jadi soal dia tak ikut mendengar bunyi dadanya sendiri, asal lelaki berbaju putih itu bisa terhibur dan tak cemas lagi. Dia tahu lelaki berbaju putih itu tak akan rela meminjamkan barang sebentar alat itu, macam  temanteman masa kecilnya yang selalu menangis sedih kalau dia meminjam mainan meraka.

“Selamat pagi mas Simon,” suara permpuan berbaju putih terdengar merdu bersahutan menyapanya setiap pagi, saat dia sedang berjalan di lorong atau dudukduduk di salah satu bangku. Dia selalu tersenyum, meski tak pernah mengangguk atau membalas salam perempuanperempuan berbaju putih itu. Dia merasa beruntung bahwa ada banyak orang bersikap ramah padanya.

Makanan selalu terhidang pada waktunya, dengan menumenu yang membangkitkan selera.  Perempuan berbaju putih sangat pandai memasak, meski topinya sama sekali tak mirip topi juru masak. Ahh, dia ingat, mereka samasama berbaju putih, perempuanperempuah di sini dan juru masak di restoran dan hotelhotel.

Dulu saat temannya masih bersamanya, dia dan temannya selalu makan bersama, sambil berbincang dan tertawatawa. Sekarang dia makan sendirian saja, sambil sesekali mengembangkan senyumnya ke segala arah. Dia masih selalu berharap temannya suatu ketika akan muncul tibatiba, duduk di sampingnya, menemaninya makan seperti dulu.

Harihari selalu cerah dan hangat baginya, secerah senyumnya, tak ada alasan apapun yang bisa membuatnya berhenti tersenyum. Dunia ini indah, selalu suara itu yang diingatnya, atau dia sengaja menyimpan ingatan itu baikbaik dalam lubang telinganya sendiri. Serupa kulit kerang besar menyimpan suara ombak. Hidup semerdu suara laut dalam ingatannya, dan dia tak menginginkan apapun selain tersenyum.

“Sekarang mas Simon sudah lebih baik ya, selalu makan sampai habis, dan yang terpenting  tak lagi suka bicara sendiri.” Suatu hari salah satu perempuan berbaju putih berkata dengan riang sambil memandang piring kosong di hadapannya.

Seperti biasa dia hanya tersenyum, hanya dalam hati dia menjawab,”Dari dulu selalu kuhabiskan jatah makanku, yang tertinggal di piring itu bagian temanku, tentu tak akan kumakan juga, mana boleh begitu. Tapi temanku toh pergi juga, sekarang aku tak bicara karena tak ada temanku, tak mungkin aku bisa bicara sendiri, nanti orangorang bisa ketakutan, mengira aku gila.” Hanya dalam hati semua itu dikatakannya, dia tak pernah sampai hati bicara dengan siapasiapa, sejak teman bicara satusatunya meninggalkannya sendirian di dunia yang indah dan sempuna. Dunia yang membuatnya selalu tersenyum*

malam tanpa bulan

Suatu ketika malam berbisik, “Aku bosan membaca tulisanmu tentang bulan”

Aku merasa tak enak hati mendengarnya, “Akupun demukian.”

Aku dan malam saling pandang, lama, hingga akhirnya bertukar isyarat, saling mengedipkan sebelah mata.

“Hei bulan, kau dengar kan, aku telah banyak menuliskanmu, tapi tak satu katapun kautulis untukku, malam ingin membaca tulisanmu tentang orangorang yang setia menemanimu bersinar.”

Bulan diam, hanya terus menatap dengan sebelah muka bersinarnya. Bulan tak mau memalingkan wajah, mungkin juga tak bisa, bulan tak punya otot dan tulang untuk menggerakkan wajahnya.

”Bulan tetap bersinar, hanya menatap satu arah.” Aku kembali menuliskan bulan, walau malam tak melihat wajahnya, mungkin tertutup awan, atau sedang berputar menyinari sudut lain dunia. Bosan pada bulan hanya sebentar, kurasa malampun demikian.

Malam menurunkan hujan*

korek api

Dalam saku bajuku ada sekotak mungil penuh dejavu. Rajangan dahan pinus tersusun rapi, siap kusulut satusatu kapan saja kubutuh menghangatkan jariku. Bintikbintik rindu melekat di tiap ujungnya, aku tinggal menggoraskannya keraskeras pada lengan atau dadaku, crezz, kau menyala terang, mencairkan dingin dan beku nafasku,

Kaubawakan untukku nyanyian daundaun dan ranting, memetik angin. Orkestra hutan di bawah rembulan. Lenganmu tumbuh menjalar di manamana, siap mendekap erat, sayapmu mekar, lirih kau bertanya,” Hendak terbang kemana…”

Aku cuma bisa diam, menjaga nyalamu tak padam*

makan malam

Kucoba mengingat matahari yang terbenam itu, setiap guratnya, warnanya, biasnya, bahkan sampai aromanya. Kau bilang lagulagu lebih membekas sayatnya dibanding  warna, maka aku mendengar, mendengar matahari melangkah dalam jantungku. Dug, dug, dug, kau tersenyum. Penjual bakmi lewat di depan rumah bersama matahari. Adaada saja, masa iya bisa begitu indah jika kau ada.

Jiwa penulis ada pada penanya, jiwa penyanyi ada pada suaranya, tapi jiwa penari ada di sekujur tubuhnya, kau lagilagi berkata dengan sok tahu. Kau pasti tak tahu aku belajar menari sejak saat itu, untukmu. Kuamati arus sungai, nyala api, ombak, gerak tangan penjual bakmi. Semua mendadak mahir menari. Mustahil, mereka semua menari saat kau ada di sini.

Aku mengerjapkan mata, bumi berganti rupa. Kau bukan senja, bukan hujan, bukan halilintar, bukan angin, bukan pelangi. Kau bukan semua yang singgah hanya sebentar meneduhkan mata. Kau bahkan bukan kau, aku berpikir sambil memandang kau makan, suapanmu besarbesar.  Aku mengernyitkan hidung, memicingkan mata, mencoba merumuskan kau setara dengan apa. Tak ada.

Dug, dug, dug, kudengar matahari mondarmandir dalam jantungku. Penjual bakmi pergi bersama matahari. Kau dan aku tak peduli, aroma matahari mengepul hangat dari piringmu. Bibir dan rahangmu menari seirama matahari. Aku tibatiba sadar, aku sangat lapar*

catatan biasa

Harihari biasa, pagi hari, siang hari, sore dan malam yang biasa. Kalaupun ada purnama, bintang, juga senja atau fajar yang indah itu juga biasa. Aku tak tahu kenapa semuanya serba biasa saja. Oh, tentu karena manusia itu sangat biasa. Presiden juga manusia biasa, jadi kupikir biasa saja kalau mengeluh ingin naik gaji. Biasa pula orangorang yang menganggap semua hal luar biasa. Hanya masalah memandang, mendengar dan merasa dengan cara yang berbeda. Berbeda itu juga biasa. Kalau semua hal sudah jadi biasa, lamalama jadi terbiasa, jadi kebiasaan. Mati gaya.

Tragis sekali, di tahun 2011, setahun menjelang 2012 yang diramalkan bakal luar biasa, aku sempat merasa hidup terlalu biasa, mungkin aku mati rasa. Mati gaya, mati rasa, mati aja deh. Begitu mungkin yang dipikirkan orangorang luar biasa sesaat sebelum terjun dari ketinggian sampai meremukkan tubuhnya. Bahkan itu juga biasa. Perempuan yang terbunuh di kamar motel, lelaki muda yang menggantung diri, anakanak yang mati karena gigitan nyamuk atau serangan bakteri penyebab diare juga biasa. Bahkan kabar tentang kedatangan mahluk luar angkasa juga tak lagi istimewa. Biasa saja, ya Tuhan, apa kau juga sudah jadi begitu biasa, sampaisampai tak mampu lagi memberi rasa, selain biasa.

Aku mengacakngacak peti tua, menemukan bukubuku lama, semua kata ditulis dengan cara berbeda, ‘guci’ tertulis ‘goetji’, ‘yang’ ditulis ‘jang’, sepertinya sedikit tidak biasa, tapi kenapa kubaca saja dengan biasa, tak ada kejutan, tak ada ketakjuban. Buku yang biasa, dan kata ‘biasa’ ditulis tanpa perubahan dalam bukubuku yang kemudian kurasa tak sedikitpun istimewa. Siapa yang salah, tak ada, mengerikan sekali semua hal biasa yang mengepung benakku.

Aku berbaring, menatap langitlangit kamar, putih berpola kotakkotak, lampu yang menyala, tak ada apaapa, tak ada cicak, tak ada laron. Janganjangan mereka sudah bosan pada langitlangit kamarku, seperti aku, tak ada di sana, tak ada siapasiapa. Redup, sayup. Kuputuskan membasuh wajahku. Kemudian duduk di depan layar komputer yang biasa, menggerakkan jamariku seperti biasanya, dan kalimatkalimat berdatangan di depan mata, tersusun dari hurufhuruf yang dikirim jarijari tanganku ke dalam komputer. Maka begitulah catatan ini kutulis dengan cara yang biasa. Aku manusia biasa, menuslis dengan cara biasa, dan inilah hasilnya, sebuah catatan yang biasa.

Ahh…akhirnya kupikir ada yang menarik, akan kuhitung ada berapa kata ‘biasa’ dalam catatan ini, semoga orangorang yang membaca catatan ini juga sempat menghitung ada berapa banyak katakata ‘biasa’ kutuliskan di sini. Aku menduga atau berharap masingmasing orang akan punya hasil hitungan berbeda. Harapan yang entah darimana datangnya, terlintas begitu saja. Aku juga berharap bahwa hitunganku akan berbeda jika kuulangi menghitung lebih dari sekali. Haha…itu bisa membuatku sedikit muak dan pening, macam arak. Ya, arak, sedikit lebih keras dari biasanya kucoba untuk kembali tertawa, tawa yang semoga tak akan terdengar biasa.

‘Langit dan bumi itu tidak manusiawi, memperlakukan alam seperti boneka anjing’ ; benar sekali*

baris

Emberember berbaris di depan selang air. Kendaraan berbaris di perempatan jalan. Tiang lampu berbaris di tepi jalan. Pagar, pintu dan atap rumah berbaris di kotakota.  Menunggu atau menuju, aku menunggu.

Awanawanpun berbaris di angkasa. Tak kudengar abaaba, tak ada peluit menjerit, untuk apa terus berbaris. Bubar, bubar, aku berteriak pada dunia. Bahkan seekor semutpun tak sudi mendengarku.

Sekawanan semut teguh berbaris di dinding dapurku. Aku merasa sebebal garpu, menunggu, menunggu ada yang memanggilku, menyuruhku berbaris seperti layaknya penghuni dunia*

di balik udara

Sejak kapan malam bernama malam, aku bertanya kepada malam. Kumulai menuliskan malam dengan kata malam. Mencari musik untuk dijadikan teman, lalu mencoba terbang. Sederhana, sepenggal malam selalu sederhana, seperti jalanjalan gelap terkesiap oleh langkah kaki, teriakanteriakan, lengkingan klakson, derit roda dan cengkeraman rem kendaraan. Seolah tertegun, mengunjungi sebuah kejutan kecil, sebentar dan kembali lagi kepada gelap yang terhampar.

Malam diam, memandangku dengan bola matanya yang pekat. Tangannya seolah terentang lebar, menanti tubuhku. Tapi aku tak bisa rebah, harus terus berdiri, sebisanya makin tinggi dari hari ke hari, berharap melihat seseorang yang mungkin sedang mencari, atau mungkin aku sedang mencari seseorang yang tak pernah kutemui. Malam tak peduli, hanya diam, merentangkan tangan.

“Malam membuat segalanya hitam putih.”

“Ya. Hitam putih.”

“Bayangbayang menari di dinding.”

“Ya. Menari.”

“Seperti api. Tak pernah berhenti menari.”

“Ya. Seperti api.”

Seseorang sedang membaca puisi, seseorang yang selalu bersembunyi di balik udara. Seseorang yang mengerti, jika kutemukan ia nanti, aku akan merajuk dan membenci udara selamanya. Takkan kuijinkan lagi udara memasuki rongga dada, mengalir dalam darah, membuat malam datang dan pergi melewati tubuhku. Aku akan beku.

Malam pasti sengaja diam, merentangkan tangan lebarlebar, agar aku lupa jalan pulang. Lupa seseorang pernah datang, lupa warnawarna cahaya, lupa bau tanah dan rumput basah. Malam tak ingin merasa siasia, aku purapura lupa segala yang diamdiam disembunyikan malam di balik udara.

Aku terus berdiri mengacuhkan tangan malam. Menulis di dinding, tentang seseorang yang memandang dari balik udara, menyalakan kembang api, melesat ke atas, kucoba menangkap kerlip yang berjatuhan, tak lagi peduli, tak lagi bertanya tentang malam. Malam dan udara mungkin sepakat membuatku lengah, atau buta, agar seseorang terus bersembunyi di balik udara. Bayangbayang menari di dinding, tak pernah berhenti, seperti api, api warnawarni*

"hmm..."

“Kau seperti kurang kerjaan saja, menuliskan banyak kata untuk menjelaskan entah apa. Kalimatkalimatmu memburamkan makna. Mengacaukan bahasa, merusak logika. Kau sebenarnya tergilagila pada siapa, bendabenda langit itu, laut, puncak gunung ? Lalu kenapa matamu tak berkedip menatapku. Lehermu sakit karena terlalu lama menundukkan kepala, matamu basah, perih terlalu lama menatap jidatku ? Kenapa diam, sekarang kuberikan seluruh waktuku untukmu, katakan semua yang sudah kautuliskan itu sebenarnya apa ?”

“Hmm…”

“Hanya itu ?” Airmataku mengalir deras, tak tertahan.

“Maafkan aku, maafkan aku, membuatmu sedih…”

“Aku bahagia, aku malah sangat bahagia…” Kucoba bicara tanpa menelan ingus dan airmata.

Wajahmu jauh lebih manis dibanding kelinci manapun. Aku sangat suka, jatuh hati berkalikali dalam sedetik. “Hanya untuk katakan ‘Hmm…’ padaku kau mau bersusah payah menuliskan segitu banyak kalimatkalimat gila…”

“Hmm…”

diam

Aku mencintaimu, maka kuusir kau dari perutku. Hanya ada satu ruang di situ, remang dindingnya, gamang lantainya. Dengan seribu bayangan tak berhenti menari , bergerak acak macam cuaca di akhir jaman. Pergi saja, sebelum lantai di situ retak, menjatuhkanmu dalam lubang tak berdasar, tentu kau mengerti, tak mau membuatku repot mesti menyuruhmu hatihati selalu. Kubisa menjagamu saat mataku terbuka, tapi aku lebih sering tertidur, menutup mata menemui mimpi yang berdiam dalam gelap. Sekali lagi kuminta, pergilah. Sebelum pahit empedu tersentuh olehmu, tak akan bisa kumaafkan diriku, jika sampai kau kenapakenapa.

Kau diam membatu.

Kutawarkan padamu, kepalaku, baiknya di sana kau berada, jika tak ingin beranjak dari tubuhku. Di kepalaku ada banyak ruang, lebih aman dibanding perut yang kacau. Ada peradaban dan kota di kepala, meski tak sempurna. Ada ruang kerja, ruang makan, ruang bermain, ruang baca dan perpustakaan, bahkan ada sebuah aula di mana kau bisa berlatih sekaligus main sirkus, oh, juga ada kebun binatang dan kolam renang. Kalau kau mau, bisa juga kubangun lapangan futsal atau padang golf dalam kepalaku, untukmu. Kau tahu, mataku sudah menelan seluruh dunia. Kemarilah kau, kepalaku juga selalu terang disinari lampu, perusahaan listrik mengirimkan tagihan ke ruang kerjaku saban bulan. Dengan segala hormat, kuminta kau hijrah dari perut ke kepala.

Kau tertawa.

Sekali lagi kuminta dengan hormat, pindahlah, jangan dalam perut, tempat buruk, suatu ketika di sana juga berbau busuk. Kepalaku saja, kucuci rambutku tiap hari, wangi apel dan stroberi, kau pasti betah, kepala tempat yang lebih masuk akal.

Tak terdengar jawabmu.

Tubuhku menguning, darahku menguning, tak lama kemudian membiru. Kudengar suara sendawa dari dalam perutku, keras dan puas.Kau baru saja menelan hatiku sampai habis. Darahku sekarang berwarna biru. Ruangruang dalam kepalaku bergetar hebat, runtuh satu persatu. Tsunami di sekujur tubuhku. Aku terseret arus, menabrak kursi, rak buku, meja, lemari baju, tiang lampu. Tenggelam dalam, dalam, tak berdasar, tak ada ruang. Sesaat lagi aku pasti hilang.

Kau mendekap erat, aku tenggelam, dalam, tak berdasar.

“Ada saran,” Akhirnya kau berkata.

Aku tak hilang, mendengar, hanya tenggelam.

Diam*

blantika

Tuhan ada di mata, tuhan ada di kepala, tuhan ada di surga, tuhan ada di neraka, tentu tuhan juga ada di setiap sudut dan lengkung bumi, bukit dan lembah, buah dan sayur, tak ada satu tempatpun terlewat. Di semua tempat kau yang bernama tuhan ada, menganggukangguk menikmati segala yang digerakkan angin, sejukkah tuhan, apakah tuhan punya tubuh, tanganku lancang bertanya. Mataku mencari jawab di rintik gerimis, tuhan jatuh bersama air.

Jadi tuhan ada di mana malam itu, saat mela anjani bernyanyi sambil menari di atas panggung warnawarni, hujan kertas mengguyur deras. Kertas itu bernama uang, seribu rupiah setiap lembarnya, tuhankah yang berkata, rumi, atau lelaki berhidung panjang yang dulu cuma boneka? Ahh, tuhan basah kuyup, tersiram peluh, tapi tuhan pasti masih bisa menganggukangguk, seirama lagu dan getar pinggul.

Ahh…Tuhan memang maha bisa*

catatan kaki

Kusembunyikan suaramu di balik tumpukan baju. Kaki menyuruhku melangkah ke tahuntahun asing, jauh, jauh dalam rongga tak di kenal, suarasuara berkata, terus jalan, di bawah cahaya lampu batubatu tertawa. Usia dihitung dengan siasia. Lihat, katakata membelah bulan tanpa belas kasihan, selalu hanya satu sisi menghadap cahaya.

Seperti si bodoh tumbuh dari mangkok bakso, saus dari pepaya busuk mewarnai bibirku, buku pelajaran berkhianat, mengajariku cara mendaur ulang kepalsuan. Tak seperti uang logam dengan tulus menghargai nyanyian. Aku ada di surga, kolong tempat tidur tempat terhormat untuk kotakkotak lapuk, segala benda yang pernah dikoyak hujan. Kenapa begitu sayang, kau diam, seolah tuas besi di perlintasan kereta api, jam dua pagi.

Satu jam lagi untuk satu lamunan tentang sepatu dan majalah baru, seteguk hitam malam, sehembus uap dingin, lalu hidungku akan berhenti mengendus harum tubuhmu sehabis mandi. Kau sedang terburuburu mencari kunci, air menetes dari rambutmu, hujan kecil. Betapa manisnya hujan kecil membasahi sepuluh jari*

roket

Hidup seperti lari, anak lakilaki berseru, meloncat dari atas tempat tidur, kakinya menghentak lantai, berdebam keras, mengirim harta karun ke lubang telinga kecil. Kudengar sangkakala di tiap tawanya. Heningku nada, Klilk, klik, sekarang tanpa suara, memerangkap gerak dalam gambar.

Kelak di sebuah hari, kulihat anak lakilaki meloncat dari menara ke punggung naga, terbang seperti maut. anak lakilaki tak kenal ragu, tak tahu takut, mengantarku dalam pusaran badai.

Aku tak bertanya apakah naga atau anak lakilaki yang jatuh cinta*

di jantungmu

Kau sering bertanya bagaimana aku bisa menyusup dalam dadamu. Aku tak tahu, aku tak ingat pernah menyusup ke manapun. Hanya saja jantungmu, serupa bukitbukit hijau tak berbatas, di mana aku bisa bebas berlarian, mengejar dan menangkap segala jenis ciptaan menakjubkan, yang tak pernah berhenti berloncatan dan terbang sepanjang waktu*

asal usul

Jika puisi punya ayah dan ibu, tak akan yatim piatu jiwaku. Setiap malam akan membacakan kisah seribu satu malam. seribu satu malam mematahkan krayon dua puluh empat warna, atau lebih banyak yang bisa diberikan satu hari dalam perjalanan pulangpergi antara rumah dan sekolah, antara sekolah dan toko serba ada. Menggotong bukubuku yang tak henti menggerutu.

Ibu akan mencuci rambutku tiap kali aku mengantuk, debudebu di sekujur tubuh membeku, aku berdiri di tengah taman kota, menghapal baitbait buta dari kitab tua. Ayah belikan kaca mata, agar lancar membaca, air mancur menganggukangguk, lehernya terlalu panjang menjulur sampai ke luar angkasa. Harihari selalu pendek bagi yatim piatu, menyenangkan sekaligus mencengangkan, rumput bisa tumbuh dari tembok sekolah, menjadi hutan kecil dengan tujuh orang bajang penggali intan.

Menjinjing tas penuh negeri dongeng kudatangi guru bahasa, bertanya, siapa nenek moyangku. Guru bahasa menatapku bingung, menunggu kububuhkan tanda tanya di akhir kalimatku. Ya, sudahlah, puisi mungkin memang yatim piatu, hanya sederet kalimat dungu berbaris di lapangan, memberi hormat pada bendera. Batubatu menyusun menara, sebatang ilalang menusuk jari kakiku, aku tak terluka, hanya tertidur, tidur teramat panjang, seribu satu malam.

Dalam salah satu mimpi, aku berjumpa burung parkit biru tekun menganyam sarang dari serpihan kertas, bertelur, mengerami telurnya sepanjang hari, memenuhi udara dengan penantian. Entah di mimpi yang keberapa, aku lupa, telutelur burung parkit biru menetaskan ular dengan seribu tanda tanya di sekujur tubuhnya*