Pagi yang membingungkan. Aku terbangun pada sebuah kamar yang seakan belum mengenalku. Meski pada dindingnya kutemukan coretancoretan yang serupa goresanku semalam. Kulihat awan berarak dari matamu yang terpejam. Kucing memang cantik, terlebih yang sedang tidur lelap, menyandarkan kepalanya pada lengan, mengenyahkan jarak. Tapi ini adalah hari yang lain dari kemarin, hari yang membuatku tak mengenal namaku, tanggal lahir dan alamat rumahku.
Kudengar kotak catur itu ribut di balik tutupnya. Tak tahukah mereka aku sudah bangun, sudah waktunya kerajaan dan pasukannya tidur. Aku tak yakin telah berbagi udara denganmu setiap pagi. Ataukah mimpi itu adalah sebuah dunia yang sebenarnya, nyata, bergeming, macam angin. Nyata dan tak pernah menampakkan wajah.
Aku terkejut, lantai kamarku mencair. Kakiku tenggelam menapak lelehan keramik, cair, wangi pudding, lembut pada telapak kaki, tungkai, paha, dada, leher, cairan mulai menggenangi lubang hidungku. Aku melihat matamu begitu biru, dipenuhi gelembung udara dan anak cumicumi, sewarna prisma di bawah cahaya, pendar, tak pudar. Tak pudar juga, ketika kepalaku telah terbenam penuh dalam lantai, rasa sejuk dalam paruparu. Rasa sejuk di sekujur tubuh, pelahan beku.
Aku melihatmu memasuki ruang, dari telapak kakimu aku melihat, melekat jejak pasir, timah, emas bercampur batubara. Aku mengetukngetuk permukaan lantai, tapi kau tak mendengarku. Berkeliling kamar menyebut namaku. Aku terus mengetukngetuk atapku yang lantaimu, kau masih tak mendengar. Matamu nampak letih, kau berbaring di tempat tidurku, menggaruk leher kucingku, dengkurnya malah terdengar seperti doa dan ucapan syukur. Aku masih mengetuk permukaan lantai yang beku. Kau kelihatan tertidur, tak terusik kucingku, begitu manja menggosokkan punggungnya pada pinggangmu. Kau tertidur, lelap dan indah*
Kudengar kotak catur itu ribut di balik tutupnya. Tak tahukah mereka aku sudah bangun, sudah waktunya kerajaan dan pasukannya tidur. Aku tak yakin telah berbagi udara denganmu setiap pagi. Ataukah mimpi itu adalah sebuah dunia yang sebenarnya, nyata, bergeming, macam angin. Nyata dan tak pernah menampakkan wajah.
Aku terkejut, lantai kamarku mencair. Kakiku tenggelam menapak lelehan keramik, cair, wangi pudding, lembut pada telapak kaki, tungkai, paha, dada, leher, cairan mulai menggenangi lubang hidungku. Aku melihat matamu begitu biru, dipenuhi gelembung udara dan anak cumicumi, sewarna prisma di bawah cahaya, pendar, tak pudar. Tak pudar juga, ketika kepalaku telah terbenam penuh dalam lantai, rasa sejuk dalam paruparu. Rasa sejuk di sekujur tubuh, pelahan beku.
Aku melihatmu memasuki ruang, dari telapak kakimu aku melihat, melekat jejak pasir, timah, emas bercampur batubara. Aku mengetukngetuk permukaan lantai, tapi kau tak mendengarku. Berkeliling kamar menyebut namaku. Aku terus mengetukngetuk atapku yang lantaimu, kau masih tak mendengar. Matamu nampak letih, kau berbaring di tempat tidurku, menggaruk leher kucingku, dengkurnya malah terdengar seperti doa dan ucapan syukur. Aku masih mengetuk permukaan lantai yang beku. Kau kelihatan tertidur, tak terusik kucingku, begitu manja menggosokkan punggungnya pada pinggangmu. Kau tertidur, lelap dan indah*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar