Kamis, 23 Desember 2010

alkisah

Suatu malam bulan kelelahan, mengetuk semua pintu dengan niat menumpang tidur. Tak satupun pintu terbuka, semua yang di dalam sudah terlelap, setelah kecapaian di kejar gelap. Bulan itu terus berjalan di bawah cahaya lampu. Tak mampu menahan laju waktu, bulan itu mengeluh,”Sekian kali lagi, haruskah kujelang pagi dengan tubuh pasi dan lingkaran hitam di mata.” Tak satupun telinga peduli, setiap pasang sedang tidur saling memeluk.

Bulan sangat kecewa, juga kesepian, berbaring sendiri di tanah sambil mengulum sebatang rumput, hingga akhirnya tertidur. Bulan tak terjaga ketika matahari datang mendekat, memandang bulan sepenuh sayang, menyelimuti tubuh bulan dengan cahaya. Bulan pasti sangat senang jika tahu bahwa dirinya akhirnya bisa tidur pulas dalam kehangatan. Hingga esok pagi tak ada seorangpun akan melihatnya dengan wajah pasi dan lingkaran hitam di mata.

Sungguh sayang, bulan tak pernah tahu itu, tak pernah tahu matahari datang diamdiam, menyelimutinya dengan cahaya. Terlalu lesap bulan tidur dalam selimut matahari. Bulan terbenam mimpi; seolah semua mata menatapnya di suatu pagi saat bulan bangun terlambat, dengan wajah pasi dan lingkaran hitam di bawah mata, telunjuktelunjuk mengarah padanya, suara riuh berseru,”Lihat, ada bulan kesiangan…”. Sebagian suara bernada simpati, sisanya sedikit terdengar benci. Bulan mengigau gelisah, menggigil, menggetarkan batang rumput di seluruh padang. Selimut cahaya di tubuhnya kusut, jatuh di atas rumput. Rumput jadi berkilau, mahlukmahluk kecil yang pulas di sekitarnya terjaga, keluar dari sarang dengan bingung, dengan tubuh tersapuh warna cahaya. Belalang, jangkrik dan kepik jadi serupa kunangkunang. Kunangkunang besar yang terbang mengitari bulan yang masih terlelap dalam resah.

Samarsamar kudengar sebuah lagu,”Ambilkan bulan bu. Ambilkan bulan bu. Yang selalu bersinar di langit…” Ingin aku mendebat suara merdu yang bernyanyi itu, bulan sekarang tak ada di langit, bulan sekarang sedang tidur di sebuah padang rumput, dikerumuni kunangkunang raksasa berwajah seram, sepertinya kunangkunang sedang pesta topeng. Jika lebih dekat mungkin bisa kudengar mereka saling mengucap happy halloween. Lalu ada yang meniup bulan sampai nyaris padam cahayanya.

Aku berteriak dan mengejutkan diriku sendiri,”Berhentilah bernyanyi, cepat beri mereka permen, sebelum mereka meniup bulan sampai benarbenar padam…”

Semua serangga berhamburan menjauh sewaktu aku bangkit dari rumput, lengan dan kakiku licin dan dingin, berkilau diselubungi embun. Aku harus tersenyum, wajahku pasti tak pasi lagi, pasti tak ada lingkaran hitam di bawah mata. Batang rumput masih terselip di bibirku, rasanya manis seperti permen*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar