Mengingkari katakata di bukubuku sejarah, aku membalikkan tubuhku. Memelukmu yang berpindah. Sejengkal saja meleset peluru dari dadamu, tembuslah jantungku. Meruntuhkan bangunan tua yang meringkuk di dalamnya, seperti pecundang yang ketakutan melihat kuda dan pedang.
Aku tak percaya aku diundang dalam perjamuan itu. Tempat lilin, piringpiring perak, lukisanlukisan, menumpahkan keluhan pada alas meja. Putih berenda, manja bergayut di lutut. Jaman apa yang kautawarkan pada daftar menu. Aku merasa jadi perempuan masa lalu, mengenakan korset terlalu ketat, susah bernafas. Dengan payudara mengundang selera di balik gaun satin, dan kau menatap ganjil. Tak ada penjelasan untuk kesan yang tertinggal di lampu taman. Bulan resah menatap kolam mengalir dari gelasmu.
Aku menanam teratai, menanti seorang dewi menemukannya berbunga, menjadikannya serupa piring terbang untuk mengunjungi semua mata yang menangisi nasib dan hutang para leluhur. Aku yang lain masih mengapung di kolam, menunggu seorang putri sebesar ibu jari terjatuh ke dadaku, aku berniat melindunginya dari seekor katak buruk rupa yang menginginkan tubuhnya. Melindunginya dari batubatu yang dilemparkan anakanak lelaki ke arah kepala ikan yang timbul tenggelam. Sampai pangeran peri datang menunggang naga terbang, menjemputnya pulang ke istana.
Tibatiba kudengar namaku disebut, nilai sembilan pada pelajaran sains. Dan kuteringat seorang lelaki bersuara lembut membacakan dengeng untukku setiap malam, di sebuah rumah yang tak pernah sekalipun mengadakan perjamuan makan malam sepanjang riwayatnya.
Belajarlah, lelaki bermata cahaya itu berkata sambil menutup semua buku*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar