Minggu, 31 Juli 2011

bias

by Dian Aza on Saturday, July 23, 2011 at 12:27am
Kulanjutkan percakapan dengan kesepian menghitam. Di gelasku, di rambutmu, di bola mata para perantau. Aku mohon ijin sejenak meninggalkan meja, memenuhi bisikan angkasa, hitam pula. Ini seperti kebutaan paling pekat mengikat huruf huruf dalam kata. Langit mengisahkan jejak perjalanan burung burung mengejar musim, lintasan bintang di senyummu. Terlalu panjang selalu redam, melukiskan diam di tanah. Asap sigaret menerbangkan hangatmu di bibirku. Tentang mahluk yang diciptakan untuk saling memeluk, meredakan galau dengan sehembus udara. Menuliskan sejarah seperti mendesah, meninggalkan jejak buram di kaca jendela*

linier

by Dian Aza on Saturday, July 23, 2011 at 12:07am
Lalu aku mencintaimu, seperti mencintai lumpur, mencintai lubang jalan, mencintai luka di telapak kaki dan kepalan tangan. Lalu aku mencintaimu, seperti mencintai kilau lantai, mencintai lingkaran tangga, mencintai tirai dan bingkai jendela. Dan aku terus mencintaimu selama perjalanan, seretak ingatan setiap pintu rumah menunggu pulang penghuninya. Dan aku tak pernah tersesat di jalan asing, tak ragu memilih arah di persimpangan. Aku terus mencintaimu, mencintaimu tanpa henti, mencintaimu tanpa letih, mencintaimu tanpa menghitung hari*

surga

by Dian Aza on Thursday, July 21, 2011 at 12:55am
Kulihat kautenggelamkan malam. Meredakan ratapan, tak menyisakan sesal dalam gelapnya. Jubah putih berbaris, berayun ayun sendiri. Kehilangan tubuh, mengacuhkan iba dan belas kasihan berdiri kebingungan di tengah jalan, meninggalkan pertanyaan dungu tertegun di pintu. Serupa doa ibu menemui lelap anaknya aku membisu, meringkuk di pangkuanmu*

durhaka

by Dian Aza on Thursday, July 21, 2011 at 12:46am
Ketika semua anak berbangga demi ibu, ayah dan leluhurnya aku tertawa. Merasa istimewa terlahir dari sesuatu yang tak butuh dipuja puji dengan sesaji dan janji janji berkah yang terselip di wangi kembang tersesat di asap dupa.

Ayahku hanya sebatang kayu, ibuku setitik air yang tumbuh dan terjatuh di segunduk abu leluhurku*

implisit

by Dian Aza on Wednesday, July 20, 2011 at 1:25am
Sebaiknya kau jalan kaki ketika hendak menjumpaiku. Tak usah terburu buru. Memang jauh, kalau dekat akan kuminta kaulari saja.

Tak sulitkan kalau kuminta kaubawakan sebutir batu. Batu apa saja, asal jangan batu bata. Batu bata tak tahan lama, bisa hancur kembali menjadi tanah seperti semula wujudnya. Tak perlu besar, tak perlu istimewa. Semakin kecil, semakin mudah dibawa dan disimpan, tak merepotkan untuk orang tak pedulian dan malas macam kau dan aku.

Jangan batu berharga, kau bisa mati kelaparan kalau kauhabiskan uangmu untuk membeli permata. Kemudian aku mati penasaran mempertanyakan harga, cerita lama sangat menyedihkan juga membosankan.

Itu saja, jalan kaki sambil menggenggam sebutir batu biasa. Kau bisa datang menemuiku menunggumu di bawah pohon rindang pertama yang kautemukan dalam perjalanan.

Jangan ragu, jika kautemukan sebuah pohon yang tegar dan perkasa menghentikan langkahmu, memaksamu menepi sejenak, duduk bersandar pada kekar dahannya, merasa teduh di bawah rimbun ranting dan daunnya, terhibur belaian angin dan nyanyian burung yang berkejaran di rantingnya.

Di situlah, tenangkan dulu debar jantungmu, atur nafasmu, lemaskan otot ototmu. Acuhkan saja waktu biar menunggu selama kaumau. Tepat ketika kau mulai merasa nyaman rebahan, memejamkan mata, saat itu aku pasti siap datang.
Mengejutkanmu dengan sebutir peluru, kulontarkan kuat kuat tepat di keningmu dari tempat persembunyianku di balik kemejamu.

Segera kemudian kau merasa segalanya begitu menyenangkan dan sempurna. Kau dan aku ditakdirkan bersama selamanya. Sebutir batu di genggam tanganmu akan setia menjaga rahasia kita. Sekarang kau mengerti, batu menjadi saksi kita saling menepati janji, bukan pengkhianat atau pengecut yang sedang berpesta merayakan kemenangan lawan.

Saling memiliki selamanya, tubuhku berkilau, labirin di dalam kepalamu alangkah rumit dan asyik*

di istana

by Dian Aza on Sunday, July 17, 2011 at 3:18pm
Pesta topeng sudah usai, orang orang masih sibuk mencari wajahnya sendiri sendiri. Tepat tengah malam ketika lonceng tanda berganti hari berdentang topeng topeng sempat menyembunyikan wajah di kegelapan, di bawah meja, di balik tirai, di belakang jambangan besar. Sesaat sebelum lampu menyala kembali topeng topeng berlagak baik hati kembali ke tempatnya masing masing, pura pura menutupi kepala yang telah kehilangan wajah.

Sudahlah, dalam suatu masa setiap kepala pasti pernah ingin mengubah dunia. Kepala kepala mulia bertopeng megah, dengan hiasan paling elok berkilau. Saling menyapa, membungkuk, menyepuh pikiran buruk dengan serbuk putih.

Dini hari, kepalaku menemukan wajah, berlubang lubang digerogoti topeng binatang bertaring. Topeng binatang bertaring berkata,”Itu hanya prasangkamu saja.”

Topeng ksatria berkata,”Kepalanya memang penuh bangkai.”

Kepalaku tiba tiba tak ingin mengakui wajahnya sendiri*

kediaman

by Dian Aza on Sunday, July 17, 2011 at 1:18am
Di sebuah jaman di negeri yang mahir menuliskan sejarah, si bisu mati tertikam kata katanya sendiri. Si buta menggambar peta, si tuli bernyanyi. Lalu orang orang bijak berencana mendirikan sebuah prasasti di ibu kota, agar masa depan mengingat para pahlawan yang gugur terkubur kemenangan. Hanya sebuah lagu pada upacara bendera, hanya menyenangkan topi, sebelum mampir di warung kopi.

Satu bintang kuning untuk yang berdiam di atas langit. Rantai pengikat hasrat. Pohon keramat. Seekor kerbau jantan. Sejauh jarak bunga bunga kapas dan beras. Dapur dan tempat tidur, di sana kukenang burung burung di dinding ruang ruang penting. Riwayat hutan di meja rapat, kertas kertas bermeterai, stempel dan tinta, palu dan kitab beribu pasal kesalahan. Burung pembawa perisai selamanya cuma menoleh ke satu arah*

dari lantai atas gedung

by Dian Aza on Sunday, July 17, 2011 at 12:47am
Aku tak ingin bicara tentang ruang dan waktu, gelandangan tua bersandar di jembatan, memandangi bantaran sungai yang memanggil langkahnya. Alas tidurnya berdiam di sana, bersama ceceran nasi yang sedang bermimpi. Sungguh aku tak suka berdebat dengan diriku sendiri, bagaimana gelandangan tua bisa mengarahkan mataku ke baju dekil, pundak, lengan dan jemari tangannya yang hitam. Botol air mineral di dalam ranselku ingin membasahi bibirku, serupa sungai rindu membelai jendela jendela kaca, besar besar dan buram, di dalamnya tentu dingin dan kering. Aku menggigil, berusaha sekuatnya mengembalikan tubuhku ke rahim ibu*

kayuh

by Dian Aza on Sunday, July 17, 2011 at 12:45am
Jeruji roda menelan jengkal demi jengkal kenangan, memantulkan setiap peristiwa dalam guncang riang terantuk kilau batu batu. Melaju menembus arah, mengikuti jejakmu, kaki naik turun menginjak pedal yang rompal sebelah. Bukan  dendam atau keikhlasan, hanya memindahkan beban, bergantian memahami jalan. Ujung yang entah, depan yang panjang. Menyepakati angin mendorong, melawan angin menghadang. Seakan tahu pasti senja adalah rumah di mana mana*

in vino verzi

by Dian Aza on Friday, July 15, 2011 at 2:57am
Bulan menjadi begitu genit malam ini, berbinar, berpendar. Sepertinya langit sedang menggantung sebutir permen rasa mint yang bisa bikin segala kondisi jadi lebih baik. Seperti biasanya juga, ujung ujungnya sudah pasti semua cuma imajinasi, benda bernama bulan itu jika dengan imajinasi berikutnya bisa didatangi akan ketahuan hanya berupa sebuah benda besar kelabu dengan permukaan tak rata, berlubang, berkabut, gelap dan hampa. Konon telah ada yang mengunjungi bulan beberapa puluh tahun silam meski diragukan.

Begitulah, ini semua permainan, segenap alam semesta. Tak ada yang nyata. Semua mahluk boleh berangan angan lalu membual apa saja tentang segala hal. Lelaki itu mendecakkan lidahnya, menatap angkasa, hanya satu hal yang sepertinya serius dan tak pernah lekang dari benaknya, lolongan pilu anjing berbulu putih kesayangannya yang telah tiada. Lelaki itu tak pernah mendengar lolongan itu dengan telinganya, logis sekali, telinga mengarah ke arah luar kepala, sedangkan lolongan itu berasal dari dalam kepalanya sendiri.

Anjing betina manis berbulu putih, ayahnya berkata namanya cleo, kependekan dari cleopatra. Hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh. Seperti dirinya sendiri sejak kecil cleo harus berpisah dengan induknya, untuk diberikan kepada seorang anak lelaki kecil yang terpisah dari ayahnya. Mungkin ayahnya sengaja menghadiahkan anak anjing agar dia berpikir bahwa anak lelaki kecil yang terpisah dari ayahnya seharusnya lebih tegar dibanding anjing anakan betina yang terpisah dari induknya. Ibunya tak pernah mengatakan apapun tentang hadiah ulang tahun yang istimewa dan bernyawa itu, hanya matanya bersinar bahagia tiap kali mereka bermain bertiga, anak lelaki, anjing kecil dan seorang perempuan sederhana.

Masih bisa diingatnya betapa lembut dan harum bulu bulu anak anjing itu, ibunya memandikannya dengan shampo yang sama dengan yang dipakainya sendiri. Memberikan minuman dan makanan sama lezat antara anak lelakinya dan anak anjing betina pemberian mantan suaminya. Lelaki itu benci warna putih pada bulan, tapi tak bisa berhenti memandang, seperti dia benci lolongan anjing dalam kepalanya tanpa bisa berhenti mendengar. Kalau saja lolongan itu berasal dari luar telinganya pasti mudah dienyahkan, tinggal menyumpal telinga. Sialnya, lelaki itu tak tahu bagaimana caranya menyumpal telinga dari dalam.

Lagu lagu pujian terdengar sangat parau, tanpa sengaja baru saja didengarnya barusan, dalam perjalanan pulang. Membuat dadanya sesak dan panas, dia harus mencari sesuatu yang lebih dahsyat dari air untuk menyejukkan dadanya. Lelaki itu merasa dia tak boleh sampai meninggal gara gara sesak nafas seperti ibunya setahun silam. Tak ada yang tahu apa sakit yang diderita ibunya, mungkin jantung, mungkin asma, apapun sakitnya, tak ada dokter yang pernah dikunjungi apalagi mengunjungi, alangkah merdeka dan bahagia penyakit berdiam di dada ibunya. Dia hanya ingat ibunya pertama kali sesak nafas dan nyeri dadanya ketika dia pulang dengan lengan baju berluruman darah dan mata nanar kemerahan.

Anak anjing betina tumbuh secepat dan sesehat anak lelaki kecil, membuat ibunya kerap tertawa menatap keduanya sedang berkejaran di halaman rumah yang sempit. Bapa pendeta dan istrinya yang secara rutin berkunjung ke rumah kecil itu selalu mengatakan kekaguman penuh kehangatan untuk anak anjing dan lelaki kecil, membuat ibunya semakin bangga dan bernafas lega sehabis kunjungan yang selalu meninggalkan beberapa buah tangan, panganan dan buku buku yang akan dinikmati bersama seisi rumah. Mereka hanya bertiga dan bahagia, ibu juga selalu berkata, jangan lupa mendoakan ayah dan adik adikmu, di hari minggu dalam perjalanan menuju gereja.

Lelaki itu hanya sekali melihat kedua adiknya di rumah besar, ketika ayahnya menjemputnya untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu adiknya, yang bungsu, bayi lelaki, baru setahun usianya. Rumah megah, kue ulang tahun penuh hiasan, balon warna warni, banyak makanan lezat dan sirup berwarna cerah, sangat menyenangkan andai saja perempuan yang menjadi ibu adiknya adalah ibunya sendiri, yang menyambutnya dengan gembira ketika dia pulang tapi sama sekali seperti tak berminat mendengar ceritanya tentang pesta meriah adiknya. Dua bulan kemudian ayahnya menepati janjinya, memberinya hadiah anak anjing di hari ulang tahunnya. Rupanya ayah memperhatikan anak lelakinya yang sangat tertarik dan hanya bermain main akrab dengan anjing anjing di rumah besarnya selama pesta.

Kenapa orang orang yang tinggal di rumah besar selalu menginginkan miliknya, anak lelaki itu sangat marah teringat penghuni rumah besar yang mengambil ayahnya, bapa pendeta yang meminta anjing betinanya. Cleo sangat lucu, setia, sangat menyayanginya dan disayanginya.

Sore itu hujan turun, bapa pendeta dan istrinya kembali berkunjung membawa aneka buah tangan, kali ini ada tambahan baju dan sepatu baru sebagai hadiah natal yang diberikan sebulan lebih awal. Ibunya hanya tergagap ketika dengan suara trenyuh, bapa pendeta dan istrinya bergantian menceritakan anak mereka yang bungsu, lelaki pula, masih empat tahun usianya sudah seminggu terbaring sakit.

“Sejak ikut berkunjung kemari, Jason tak berhenti merengek meminta anjing. Kami sudah belikan, tapi dia tak suka, dia inginkan anjing ini. Kami sudah jelaskan kalau tak boleh mengambil cleo, kakak pemiliknya tentu sangat menyayanginya dan akan sedih kalau cleo diambil, tapi dia tak mau mengerti. Besoknya badannya mulai panas, sampai hari ini tak turun juga, sudah kami beri macam macam obat, sudah pula kami bawa ke dokter, tak ada hasil.” Istri pendeta bicara dengan suara halus dan mata berkaca kaca.

Tengkuknya mendadak terasa terbakar ketika ibunya memeluknya dan berkata,”Tak apa apa kan kalau cleo diberikan pada Jason, kasihan dia masih kecil dan sedang sakit, mungkin cleo bisa bikin dia senang dan sembuh.”

“Oh, tak usah, jangan, jangan sampai merepotkan. Biar saja, namanya juga anak anak, dia memang begitu, kalau keinginannya tak dituruti jadi sakit, waktu itu sempat kejang gara gara minta mobil mobilan yang ada remotenya.”

Tentu saja tuhan lebih mendengar doa seorang anak pendeta dari pada doanya. Lelaki itu tak ingin mengingat bagaimana bapa pendeta dan istrinya akhirnya membawa cleo pergi dari rumah kecilnya.

“Datanglah ke rumah kami kapan saja kau kangen padanya.” Entah kenapa suara hangat bapa pendeta terdengar bengis di telinga anak lelaki itu. Usianya baru sembilan tahun, di tahun itulah seekor anjing mulai melolong di dalam kepalanya.

Natal sudah lewat, tak ada yang menyenangkan, bahkan ibunya tak bisa lagi menatapnya sambil tertawa bahagia ketika melihatnya mengenakan baju dan sepatu baru hadiah natalnya. Bapa pendeta tak memberi kotbah di gereja pada hari natal, kabarnya sedang berlibur ke tempat asalnya di luar kota, padahal ibu berniat mengajak anak lelaki mampir ke rumah besar bapa pendeta untuk melepas kangen pada mantan anjing betina mereka, sekalian mengucapkan selamat natal tentunya.

Sehari sebelum tahun baru, anak lelaki itu tak mampu membendung rindunya pada mantan anjingnya. Diam diam dia mengayuh sendiri sepeda kecilnya ke rumah pendeta. Rumah besar nampak sepi, mungkin bapa pendeta sekeluarga belum pulang dari liburan, tapi siapa tahu anjingnya tak diajak serta ke luar kota. Lelaki kecil menyenderkan sepedanya pada pagar besi, melongokkan kepalanya berkali kali ke dalam lewat celah pagar meski tak bisa melihat apapun selain rumah cantik berdinding putih, dengan daun pintu kayu kokoh berwarna coklat berukir indah yang tertutup rapat.

“Cari siapa nak ?” Sapaan ibu setengah baya dari rumah di sebelah rumah bapa pendeta mengejutkan anak lelaki.

“Tak ada siapa siapa di dalam. Semua sedang pergi.” Ibu itu berkata lagi dengan suara ramah.

“Kapan datangnya ?” Anak lelaki itu berani bertanya melihat mata ibu setengah baya bersinar ramah.

“Mungkin dua hari lagi, mau ketemu pak Bernard, atau anaknya. Kamu belum pernah datang ke sini ya.”

“Tidak…hmm, apa anjingnya juga di ajak pergi ?”

“Anjing ?” Ibu setengah baya mengernyitkan kening.“Tak ada anjing di rumah itu.”

Anak lelaki itu mulai merasa tak enak, mulai merasa harus tahu tentang sesuatu. “Ada bu, anjing putih, baru saja diambil…” Kalimatnya mulai tak tersusun dengan baik.

“Ohh iya. Iya. Anjing putih yang itu, bulunya lebat, kira kira sebulan yang lalu, ibu hampir lupa, maklum sudah tua.”

“Iya. Apa anjingnya ikut pergi ?”

“Loh, anjing putih itu ya sudah disate too nak, seperti biasanya, begitu dapat, besoknya langsung disembelih.”

Sedetik kemudian seekor anjing mulai melolong di dalam kepalanya. Anak lelaki meninggalkan ibu setengah baya yang ramah itu begitu saja. Mengayuh sepeda dengan telinga penuh suara lolongan anjing menyebabkan anak lelaki itu nyaris tertabrak motor, terjatuh dari sepeda. Lolongan anjing tak juga berhenti, anak lelaki itu tak mendengar makian pengendara motor atau teriakan khawatir orang orang yang melihat darah mengalir pada lengan bajunya.

Sesampainya di rumah ibunya yang karena naluri keibuannya sudah merasa cemas sesari tadi menunggunya sangat terkejut dan panik melihat wajah dan lengannya berdarah. Itulah pertama kalinya ibunya menjerit hingga dadanya serasa pecah. Beberapa tetangga datang membantu, dia hanya terdiam ketika orang orang bertanya. Setelah reda sakit di dada ibunya, perempuan itu memeluknya yang mendadak menggigil demam.

“Dia mati bu…dia sudah mati, ibu jahat.”

Ibunya menangis ketakutan sambil tak berhenti bertanya. Kalau saja saat itu anak lelaki itu lebih dewasa, tentu dia akan lebih tabah dan tak gegabah menyalahkan ibunya atas kematian mantan anjing betinanya.

Pada malam harinya anak lelaki itu baru bisa menceritakan dengan kacau apa yang terjadi siang tadi. Malam tahun baru itu adalah malam tahun baru terburuk sepanjang hidupnya, mungkin juga sepenjang hidup ibunya. Mereka menangis bersama hingga tahun berganti.

Tak ada lagi hari minggu ceria, tak ada lagi lagu lagu pujian dan bacaan alkitab, tak ada kunjungan bapa pendeta dan istrinya membawakan buah tangan. Anak lelaki itu tak tahu bagaimana semua mendadak berhenti dan hilang, dia juga tak bisa peduli, hanya ada lolongan anjing di dalam kepalanya. Suara ibunya adalah satu satunya yang bisa meredakan bising di dalam telinganya. Suatu hari seseorang pernah datang mengantar bingkisan, mungkin dari bapa pendeta atau mantan teman teman lama jemaat gereja, ibunya melemparkan bingkisan itu ke pengirimnya sebelum membanting pintu.

Lelaki itu tersenyum sendiri ketika lolongan anjing semakin nyaring terdengar, begitulah selalu jika dia memandang bulan bersinar terang. Digenggamnya sebotol berisi cairan sejernih air yang mulai jadi sahabat dekatnya, sebagai pengganti suara ibunya menyejukkan dadanya. Lelaki itu menyeringai tidak kepada siapa siapa. Mungkin begitulah dulu awalnya bumi, serupa bulan, hanya sebuah benda besar kelabu, tak rata, berlubang, berkabut, gelap dan hampa. Tiba tiba dia merasa ingin melolong bersama anjing di dalam kepalanya. Ahh, lelaki itu tersenyum lagi pada imajinasinya sendiri, menjadi manusia serigala, melolong bersama anjing dalam kepalanya, mencari mangsa, menerkam lalu memakan mentah mentah. Seisi dunia hanya main main, tapi mantan anjingnya sungguh sungguh telah dimakan manusia. Bulan berpendar menatapnya dari kejauhan*

Rabu, 13 Juli 2011

candu

by Dian Aza on Wednesday, July 13, 2011 at 12:29am
Di sudut sudut tersembunyi mata hati selalu memeluk anak anak sunyi yang dilahirkannya sendiri, buah cintanya dengan rindu yang lebih perkasa dari semua kata. Gerak bibir hanya sejengkal lubang menelan resah memuntah serapah. Tak terbilang nama dengan suara, tak ada telinga mencuri dengar percakapanku tentangmu.

Kau mengambang, menggenang, menerang, aku tenggelam, terbenam, tergelap. Kita bertemu di keabadian debu, di lekat tubuh tubuh dekil di lingkar tugu. Pundak menggigil setia mengabarkan resah, mendekat, meraih setitik pahit di ujung lidah. Lelah betapa mengguncang rasa. Anak anak sunyi masih tumbuh, kelak menyanyikan kerinduan yang sama, yang kutanam di lenganmu waktu lelap mendekap*

seperti manusia

by Dian Aza on Wednesday, July 13, 2011 at 12:28am
Dia seperti bukan manusia. Berjalan di atas bara api tanpa alas kaki sambil mengayunkan tongkat, berseru seru tentang kebenaran luka bakar. Anak anakku harus belajar menggunakan sepatu agar tak melepuh telapak kaki ketika menapaki usia, melangkahi tubuhku yang menyala menelan gelap tanah.

Dia sungguh tak mirip manusia. Mengorek sampah, menyuapkan sisa sisa kerapuhan ke mulutnya sendiri. Masa depan harus menenggak kesalahan menutupi mata dari tuduhan melecehkan isi kepala. Menjadi satu satunya pembaca jaman dia harus telanjang, menyerahkan segenap tubuhnya pada keraguan yang mengintip dari balik jeruji. Menguji siapa taat pada janji setia sehidup semati dengan degup jantungnya sendiri*

penggali sumur

by Dian Aza on Tuesday, July 12, 2011 at 11:39pm
Penggali sumur sejati menggali sepenuh hati karena mengerti semakin dalam liang, semakin jauh dari permukaan tanah, semakin jernih dan tawar mata air bakal menyembur. Tak akan ada sesalnya andai tewas tertimbun lumpur, dia hanya ingin menggali sumur, bukan gali lubang tutup lubang kemudian terjebak di kedangkalan*

surat cinta

by Dian Aza on Tuesday, July 12, 2011 at 11:25pm
Sesaat kemudian kedua orang yang sedang bertempur terdiam. Rebah berhadapan. Masing masing meletakkan senjata, saling memandang, mencoba mengingat aroma ladang sebelum tercemar mesiu. Bau arang dari tungku dapur yang tak pernah tidur. Lalu mereka terjaga oleh sapaan luka, di lambung dan dada. Ada yang meronta di saku celana, selembar surat lusuh dan seraut wajah dalam foto. Seharusnya salah satu dari mereka melanjutkan perjalanan mengirimkan pesan. Tapi tidak, keduanya kini sahabat karib. Segera setelah perih mereda mereka bertukar surat dan gambar, tertawa bersama tentang kekonyolan bahasa*

rumah kaca

by Dian Aza on Tuesday, July 12, 2011 at 12:05am
Seluruh tanah akhirnya telah mati dibakar api. Hanya ada kaca untuk mendirikan rumah di atas pasir atau kayu kayu terapung. Seisi dunia berumah kaca. Tembok kaca murah hati, menunjukkan banyak wajah dari satu kepala. Kepala kepala kelihatan puas menatap kaca, tak perlu lagi khawatir kehilangan muka*

sarapan

by Dian Aza on Monday, July 11, 2011 at 11:38pm
Di dalam panci air mendidih melonjak lonjak. Merayakan kemenangan anak unggas mengalahkan kehidupan di balik cangkang.

Lelaki duduk di seberang meja membasahi bibirnya. Membaca kisah perempuan baru saja memindahkan surga dari telapak kakinya*

mestinya

by Dian Aza on Monday, July 11, 2011 at 12:12am
Orang sinting berjalan tanpa menutupi auratnya, orang waras mendesah merapatkan jaketnya. Berjalan berlawanan arah, orang waras menjauhi orang sinting. Orang sinting bergumam tanpa makna, orang waras berbisik penuh rahasia. Pohon pohon mestinya melihat di ujung mana tuhan tersenyum sendiri*

melukismu

by Dian Aza on Monday, July 11, 2011 at 12:01am
Aku butuh setiap detik waktu untuk memandangi punggungmu yang menghalangi cahaya menyilaukan mataku. Tak boleh terang merobek lukisan setangkai kembang, merekah di bibirmu.

Duduklah membelakangiku sepanjang musim, agar kusempurnakan sketsa pudar membentuk jalan setapak yang tertimbun warna pucat kelopak kembang, berguguran di kakimu*

SIM

by Dian Aza on Sunday, July 10, 2011 at 1:33am
Menangis itu sulit. Orang gila jarang jarang menunjukkan kegilaannya dengan menangis. Tertawa jauh lebih mudah, cukup dengan tertawa tawa sendiri orang orang yang memandang akan percaya dan mau menerima bahwa dia gila. Tak perlu sebab dan alasan, yang terbaik tentu saja tak akan ada yang bertanya. Berbeda sekali dengan menangis. Melihat seseorang menangis, atau cukup mendengar suaranya saja, meski hanya isakan kecil, sesenggukan sedang atau raungan pilu, orang orang segera menjadi ingin tahu, merasa berkepentingan untuk bertanya kenapa, ada apa, karena apa.

Sebenarnya tak apa apa dipedulikan sesama manusia, itu juga hak mereka, hanya tak nyaman saja mengingat orang orang lebih tertarik pada kesedihan. Lagipula tak mungkin berhenti menangis sejenak untuk menjawab pertanyaan yang terpancar dari mata atau terucap bibir orang orang tak dikenal, lebih deras dari pada air mata yang bercucuran. Rasa ingin tahu juga bikin air mata semakin terasa panas, alirannya serasa membakar sudut mata dan pipi yang basah. Membakar yang sudah basah, alangkah bertambah susahnya, alangkah memberatkan langkah, seolah dikejar waktu tapi tak mampu berjalan cepat. Lutut terasa lemas, tungkai patah. Rasa sakit biasanya menyebabkan air mata terus mengalir. Tangisan tak bisa reda.

Begitulah awalnya, air mata. Ketika dia masih waras air mata bercucuran karena sebab dan alasan yang jelas. Sedu sedan dan wajah berkilau basah mengundang orang orang mendekat melontarkan tanya. Tanya hanya ingin jawab, jawab hanya mau benar. Tak ada satupun di antara manusia ingin tahu memahami, berkenan maklum pada kecengengannya tanpa repot repot mencari jawaban untuk membenarkan tangisannya.

Nafasnya sesak, seketika dia tersengal sengal, seperti tersedak, dan seakan terjaga dari mimpi buruk paling kacau. Tangisnya reda, berhenti begitu saja. Tak ada lagi isakkan, tak ada sedu sedan atau raungan. Dia mengusap mata dan wajahnya lalu menatap satu persatu pasang mata yang memandangnya menunggu penjelasannya. Dadanya bergerak naik turun tanpa suara. Tatapannya terlihat jauh melampaui jarak antara pertanyaan dan jawaban. Nampaknya dia mulai mengerti orang orang memang tak memahami. Jika paham tentu sudah tahu, maka tak ingin tahu, jadi tak perlu bertanya lagi.  Dia merasa sungguh sungguh tahu tentang yang orang lain tidak tahu. Menyadari semua kenyataan itu membuatnya senang, menyumbat air matanya, menghentikan tangisnya. Tiba tiba di merasa sangat ingin tertawa.

Dia terus tertawa, pasti lebih mudah pula baginya. Aku tak lagi peduli, tak ingin tahu kenapa dia selalu tertawa. Kutenangkan diriku dengan prasangka, paling paling dia sedang gembira. Kemungkinan lain lebih imajinatif, dia kehabisan air mata. Aku suka memandangi wajahnya, buram tapi teduh macam langit malam yang jernih. Tawa di bibirnya melengkung terang serupa bulan sabit, tajam bersinar.

Bulan sabit itu tiba tiba mendekat, menatapku tajam sambil mengulurkan tangan, suaranya tegas membuatku terjaga dari lamunan,"Razia.Tunjukkan SIM anda !"
Aku masih tergagap ketika dia melanjutkan kalimatnya,"Cepat, cepat, SIM ! Awas, tak punya SIM masuk penjara."
"SIM ?" Suaraku terdengar tolol.
"Iya. SIM, surat ijin menangis. Cepat !" Dia membentakku sangat keras, kemudian tertawa terbahak bahak*

Kamis, 07 Juli 2011

setengah hati

by Dian Aza on Thursday, July 7, 2011 at 12:03am
Andai peduli bisa setengah hati, mungkin hanya basa basi. Baiknya jangan berhenti merobohkan tembok. Rumah ibadah, sekolah, kantor polisi dan tempat rehabilitasi, semua itu mengajariku tak percaya padamu. Bakar buku buku, aku butuh rak dan lemari untuk tempat menyimpan botol botol curian pesta. Aku menunggu hukumanmu, kau ingin bukti aku mengerti. Percaya boleh melakukan apapun, kau tak mau marah atau tak bisa, aku lupa.

Lupa menjadi baju besi memerangi keramahan di balik kaca. Tak ada yang tahu hanya bayang atau sepenuh badan bergerak. Andai reruntuhan bisa bicara, mungkin akan diceritakannya bagaimana lengan, telapak tangan dan jari jari mencoba menghibur lampu, tak mendiamkan cahaya, menghidupkan rupa rupa mahluk kelabu di dinding, memancing senyum dan gelak tawa anak anak kesepian*

remah remah

by Dian Aza on Wednesday, July 6, 2011 at 11:37pm
Kepiluan tercecer di atas meja, sebenarnya sederhana. Cuma remah remah kripik atau biskuit yang tak menemui nasib baik atau nasib buruk. Nasib baik atau buruk harus dipilih sendiri oleh sudut pandang remah remah tak berdaya. Gigi gigi manusia hanya tahu mengunyah, lidah merasa, tenggorokan menelan, dan seterusnya dan seterusnya. Organ tubuh selalu bersikap arogan pada semua yang bukan bagian tubuhnya, menjadi penguasa, pantang membuang pandang ke arah bukan tujuan, tak jadi soal, bukan urusan.

Remah remah di atas meja bahagia berjumpa semut, meski perih rasanya di gigit sedikit demi sedikit, masih bisa mencoba memandang mata semut dan bertanya, memang enak. Semut semut menjawab dengan memanggil kawan kawannya. Semut menggigit semakin banyak, semakin cepat. Remah remah merasa berharga tak disisakan di aras meja. Hingga keping terakhir yang terbesar dan paling tebal tak termakan, tak tertinggal, digotong sekawanan semut bersama sama menuruni meja, menyusuri lantai, mendaki dinding, memasuki lubang. Remah remah merasa terhormat ditinggikan selama perjalanan pulang. Sarang mengesankan kehangatan, padat, beraroma asam, gelap.

Remah remah hanya butuh tempat menghilang sebelum tangan manusia sempat membersihkan meja*

suara sunyi

by Dian Aza on Wednesday, July 6, 2011 at 6:50am
Aku bersaksi bahwa aku telah mati kepada setiap yang menziarahi sebaris nama dan penanda waktu di nisanku. Mungkin seseorang tak mengerti, yang lain tak memahami, tak sudi membersihkan kotoran kambing dan rumput kering di atas segunduk tanah naunganku*

berjalan dengan lengan

by Dian Aza on Wednesday, July 6, 2011 at 6:47am
Melihat lelaki tua yang kedua kakinya hanya sebatas paha, anakku terdiam. Lama mata anakku mengikuti gerak lengan lelaki tua menyeret tubuhnya. Lelaki tua bergerak di hadapanku yang berdiri di sisi anakku, kupeluk pundak kecilnya, tak berkedip matanya. Untuk bertanya lebih dulu aku sangat ragu mungkin juga malu. Mestinya kutunggu anakku bertanya, apa saja tentang lelaki tua yang barusan lewat berjalan menggunakan lengan. Sulit kupercaya anakku tak ingin tahu kenapa lelaki tua tak berjalan dengan kedua kaki. Kutunggu menit demi menit berlalu, anakku mengalihkan pandangnya ke mataku. Tak kudapatkan satu tanya pun dari matanya, bibirnya terkatup tak terlihat resah.Pantaskah kutanyakan tanpa suara, mengapa anakku tak bertanya.
Kedua lengannya membawa lelaki tua semakin jauh tertelan lalu lalang manusia. Anakku sungguh sungguh tak ingin tahu, tak memintaku mencari jawab yang tak kumengerti*

syahda

by Dian Aza on Tuesday, July 5, 2011 at 1:15am
Arus keemasan bercerita tentang jembatan di mana kau bersandar menunjukkan senja kepadaku yang berbinar.
“Kau tak bahagia jadi istriku.”

Aku tak tahu, apa harus bertempur dulu dengan sepasukan prajurit berseragam kelabu di dalam kepalaku hanya untuk mengatakan satu kebenaran padamu. Jumlahnya tak terhitung, prajurit prajurit berseragam kelabu dalam kepalaku menghunus pedang, menodongkan senapan, ke jantung perempuan yang sedang membenamkan kepalanya jauh ke rongga waktu.

Aku perlu perisai tebal untuk menjagamu dari serangan para prajurit kelabu di dalam kepalaku. Jika aku terbunuh, bacalah senja pada lukaku, sayat atau lubang sempurna menyampaikan pesan, Perempuan tak pandai menggerakkan bibir dan lidah untuk bicara tentang wangi tubuh, hangat mata atau lapang dada yang erat mendekap sambil mengayunkan rupa rupa senjata.

Senja menenggelamkan tubuhnya, cemerlang dan berdendang sepanjang aliran ke arah muara. Kau dengar lagunya, setenang kauhela udara*

miniatur

by Dian Aza on Monday, July 4, 2011 at 7:41am
Dua boneka kayu di ujung pensil setiap malam bercelotah. Cerita tantang harum akar wangi di hutan tersembunyi. Serupa apa dahannya tak pernah kutahu. Mungkin tanah di sana butirannya sangat lembut, hujan yang jatuh begitu ringan dan halus tak menyentuh permukaan tanah. Hingga akar akar tanaman tumbuh bersih tanpa jejak lumpur mengotori. Hujan salju sehangat bedak bayi dalam ingatan erat memeluk pagi sehabis mandi.

Anak kecil akan tumbuh besar pada masanya, kukatakan dengan berat hari. Berat hati ingin mengurung binatang binatang yang berlari kencang menuruni lereng bukit berumput tebal, berpohon rapat, beradu cepat dengan sepeda kayu. Dua boneka kayu menatapku, seolah berkata, rautlah pensilnya, agar bisa kulukisi kertasmu, gambar kota yang selalu meriah petasan dan derap kaki kuda. Tak perlu memendekkan jarak mata air dan matahari, kataku pada sepeda kayu. Biar awan selalu berparas riang mengintip hutan* 

selimut kaki

by Dian Aza on Sunday, July 3, 2011 at 5:29pm
Senja yang tesesat di lututmu, kubaringkan kepala, kugeraikan rambut. Seakan apa adanya, seolah pura pura. Tak usah resah, sebab aku hanya selembar kain bergambar yang dipakainya menyelimuti kaki. Terhampar dari paha hingga tumitnya yang wangi. Angin mengibarkan kehendak, melambai lambai memanggil ruang dan jiwa yang terpencar*

samar

by Dian Aza on Sunday, July 3, 2011 at 5:20pm
Yang tak punya mimpi akan miliki pagi, orang bijak berucap, matanya seterang lampu yang lalai kupadamkan hingga siang.

Di sudut dan kelokan jalan orang bebal bertabrakan mengejar mimpi yang lari sembunyi di malam hari.

Kulihat seseorang tercengang serupa kehilangan. Dengan mata terpicing dan tubuh ngilu kudekati dan bertanya,”Apa yang kaucari ?”

“Diriku sendiri,” Seseorang berbisik lirih sebelum berlalu setelah seakan tanpa sengaja menikam dada.

Aku terjaga, bertanya pada ruang ini siang atau malam*

dering

by Dian Aza on Sunday, July 3, 2011 at 3:49pm
Orang asing adalah teman terbaik bagi yang terasing. Orang asing akan menemukan persinggahan meringankan penat di tempat pengasingan mereka yang terasing. Orang asing tak akan segan berdekatan dengan yang terasing. Mungkin orang asing tak tahu bahwa yang terasing sedang diasingkan di tempat pengasingan, atau orang asing tak peduli karena merasa paham perihal menjadi asing. Tanpa pusing mereda bising. Apa saja tak jadi masalah, yang penting orang asing dan yang terasing bisa bergembira bersama bermain gasing setelah kenyang melahap ikan asin*

jantung hati

by Dian Aza on Sunday, July 3, 2011 at 3:30pm
Langit dan bumi begitu luas, kutanya sejauh mana, berapa lama. Bukan tak terjawab, hanya tak terbersit tanya. Tak ingin menerka serupa apa sehari penuh bersamamu.

Langit dan bumi punya matahari menandai datang dan pergi. Kau berdetak di dadaku tanpa jeda, tanpa lelah*

Minggu, 03 Juli 2011

selalu

by Dian Aza on Saturday, July 2, 2011 at 10:35pm
Pagi datang tanpa kejutan, terang menerobos setiap celah memasuki ruang. Kudengar nafasmu terhembus di setiap kubik. Sejuk, seperti angin menggetarkan batang batang bambu, membawaku ke dekat jernih. Kusentuh, telapak tanganku terjaga, kubasuh wajah, kulihat kau di balik bola mata memetik sebatang padi yang biji berasnya masih basah, batangnya hijau. Kudengar kau berkata, waktu baik untuk berdansa.

Pagi yang sama, sebutir beras meleleh di lidah, tak perlu ditampi. Pematang, sungai dan batang batang bambu merayakan langkah langkah menginjak, girang tangan mengacak. Dinding melubangi dirinya sendiri berbaik hati memberi jalan pada mimpi kembali. Kau benar, waktu baik untuk berdansa.

Pagi yang itu itu saja, musim berganti, butir beras mengeras, batang padi mengering kuning. Mimpi sudah besar jemarinya tumbuh membuka pintu, dinding memasang pigura. Kulukis batang batang bambu di pematang sungai, kau meniru suara burung bersiul bersama air mendidih. Kudengar kau masih berkata, waktu baik untuk berdansa*

hujan

by Dian Aza on Saturday, July 2, 2011 at 10:23pm
Kau tahu air terjun yang ngawur. Tetesan air mendadak jatuh menderas di sembarang tempat. Mengejar punggung, memukuli pundak, mengguyur kepala, apa saja yang menduga basah seharga hadiah, membuat kaki berderap ringan. Apalah artinya janji dan waktu bagi sepasang tangan tengadah, serupa itu pesannya. Datang setiap kali gerah dan muram baru meledak tak tertahan. Aku menamainya pelukan. Sebenarnya ada lagi kalau kau tahu, kuisyaratkan saja di kedipan sebelah mata*

cinta itu seperti...

by Dian Aza on Thursday, June 30, 2011 at 7:32am
Malam ini tak ada yang tidur, tak ingin kuacuhkan mimpi saat jadi nyata barang sejenak. Menggenggam tanganmu berjalan di sampingmu. Mendadak kuingin makan permen, kau mengajakku ke swalayan yang buka dua puluh empat jam.

Jalanan lengang dan remang penuh aroma lembab udara, sepertinya embun akan segera gugur. Rambutmu nampak seksi di bawah sorot lampu merkuri, berayun ayun di wajahku, menggelitik pipi dan hidung, pinggangmu kepeluk erat. Tidak jauh, tak cukup lama kusandarkan dadaku di pundakmu.

Tak ada pembeli selain kau dan aku. Tentu hanya sepasang manusia yang sedang saling tergila gila rela keluar jam setengah empat pagi cuma karena pasangannya ingin membeli permen. Kau dan aku sama sama tahu cinta bisa membuat semua hal jadi masuk akal.

Berjalan jalan di antara rak barang barang juga jadi setara nikmatnya dengan bersampan di sungai saine. Aku mengerti kau merasa menjadi raja seluruh dunia, terutama karena akulah permaisurinya. Ini memang memuakkan dan kampungan, tapi tak ada yang bisa melarang. Saat saat ini waktu seperti sedang tidur kelelahan mengikuti detak jantung.

Kau mulai bicara ketika melewati rak buah,“Cinta itu seperti durian…”

“Berduri di luar, hangat dan lembut di dalam.”

“Ada musimnya.”

“Ohh…”

“Cinta itu seperti semangka…”

“Merah dan segar.”

“Ada yang berbiji dan tidak.”

“Hmm…”

“Cinta itu seperti mangga…”

“Ada yang manis dan asam.”

“Cuma rasa yang kaupikirkan, payah…”

“Lah, habisnya cinta disamakan buah. Kenapa mangganya…”

“Lebih sedap kalau masak di pohon.”

“Haaa…” Kau tiba tiba jadi kelihatan sangat jenaka, matamu mengerling jahil waktu kubilang,”Yang lain, jangan buah terus.”

“Cinta itu seperti cabe…”

“Pedas…hmm, bikin kehausan juga ketagihan.”

“Nah, lagi lagi cuma rasa, tak bisa mikir yang lain selain dimakan.”

“Apa ?”

“Cinta itu seperti cabe, baru terasa sesudah hancur dikunyah.”

“Wah…”

“Hahaha…” Kau tertawa merasa menang. “Permen apa nih…”

“Permen kiss.”

“Kenapa ?”

“Enak aja, namanya juga romantis.”

“Hhh…tidak inovatif!” Nada bicara dan ekspresi wajahmu sungguh menyebalkan.

“Jadi permen apa coba ?”

Matamu mencari cari sebentar kemudian kauambil sebungkus permen sugus, kauulurkan padaku. Kupandangi sebungkus permen sugus dengan bingung.

“Apanya yang inovatif, permen jadul nih.”

“Cinta lebih jadul. Ini paling pas. Cinta itu seperti permen sugus…”

“Aghh…taulah.”

“Ya, apa coba ?”

“Jadul, tak ada matinya, empuk, banyak yang suka…”

“Cinta itu seperti permen sugus, dibaca dari depan atau belakang tetap sugus.”

“Ahh…” Kucubit lenganmu keras, kau tak sempat berkelit. Cuma meringis sambil mengaduh lirih.

Sampai di depan kasir kau masih mengulum senyum kemenangan, semakin manis. Karena dongkol, kupeluk kau lebih erat dalam perjalanan pulang*

bekas luka

by Dian Aza on Thursday, June 30, 2011 at 12:40am
Seorang penyayang kupu kupu tak akan membunuh seekor ulat bulu yang tiba tiba kedapatan merambat di atas lengannya betapapun dia terkejut dan merasa ngeri. Dia tahu ulat bulu akan membuatnya tersiksa dengan rasa gatal tak tertahan. Penyayang kupu kupu hanya akan mengibaskan ulat bulu dari lengannya, pelan saja agar ulat bulu tak cidera. Tanpa menghiraukan rasa tak nyaman di lengannya dia akan mencari sebatang ranting untuk memungut ulat bulu yang terjatuh, meletakkannya dengan hati hati pada sehelai daun. Berharap ulat bulu melanjutkan hidup, memakan daun sampai tiba waktunya membungkus tubuh menjadi kepompong, bertapa hingga tumbuh sayap, terlahir kupu kupu. Rasa gatal dan perih pada lengannya akan berangsur hilang, meninggalkan jejak samar luka luka lecet akibat terlalu keras menggaruk.

Setiap kali terpandang tak sengaja bekas luka pada lengannya, penyayang kupu kupu tersenyum melihat seekor kupu kupu hinggap di situ. Kupu kupu tercantik yang pernah dilihatnya. Tak pernah terbang jauh meninggalkan lengannya, selalu terbang berputar putar, sesekali hinggap pada bekas lukanya seakan akan sekuntum bunga*

doa batu

by Dian Aza on Wednesday, June 29, 2011 at 11:24pm
Jalan jalan sunyi bernyanyi di lubuk hati, nadanya berkata, tidurlah di atas puing puing kota, di mana saja debu melekat ada lengan mengusap. Meraba masa demi masa jejaknya. Menerjemahkan bait demi bait doanya. Hanya perlu memejamkan mata untuk memandang pepohonan tumbuh membangun sendiri rumah bagi anak anak yatim piatu*

kalau

by Dian Aza on Wednesday, June 29, 2011 at 10:59pm
Kusangka kau serupa langit, atau awan, atau matahari, atau bulan, atau bintang, atau cuma sekedar sinar lampu, pastinya tak kumengerti. Hanya merasa kemanapun langkahku kauikuti. Sesungguhnya aku tak ingin kau lelah suatu hari, runtuh, jatuh atau padam dan menghilang.

Jika kau mau menjelma sehelai selimut biru, atau hujan, atau bunga, atau kunang kunang, atau sebongkah batu hitam. Akan kudekap, kutadah, kurawat, kupandang dan kugenggam sepanjang waktu, tak akan lelah, tak pernah kuhilangkan.

Tak apa kalau segala sangka dan harapku salah kau bisa tertawa*

rangkuman

by Dian Aza on Wednesday, June 29, 2011 at 3:52pm
Hasratmu membunuhku sesering inginku melubangi dadamu,
menggali jantungmu ke luar, agar kulihat merahnya berdenyar untukku*

di pasar burung

by Dian Aza on Wednesday, June 29, 2011 at 3:30pm
Untuk siapa burung bernyanyi, belum sekalipun sempat kutanyakan kepada batang batang kayu pengurung ruangnya. Burung terus berbunyi, seperti bernyanyi, seperti memanggil manggil yang tak ada di sini.  Akankah berbeda jika manusia suci yang mendengar kicaunya, akankah jadi serupa nada nada syukur atas makan dan minum yang didapat tanpa perlu beranjak. Bagaimana kalau seorang pemburu, akankah kicau burung terdengar serupa rintihan kerinduan terbang bebas kembali ke hutan. Atau bertanya dulu pada telinga, apa ingin didengar, pujian, permohonan, persembahan, atau hanya sebuah keinginan untuk bersuara tanpa berharap terdengar makna. Burung di dalam sangkar masih berbunyi di waktu sama setiap hari, berganti ganti telinga mendengarnya. Keramaian tak pernah menyusup ke dalam sangkarnya. Kulihat seorang pemilik telinga yang sangat akrab kukenal persis telingaku sendiri, berdiri mengamati seekor burung dalam satu sangkar yang sama setiap hari masih tak mengerti untuk siapa burung bernyanyi*

aku ingat

by Dian Aza on Wednesday, June 29, 2011 at 12:21am
Aku ingat kau tak pernah berjanji untuk mencairkan hitam dalam gelasku,
menyalakan kayu gemeretak membakar rindu dalam kepalaku.

Kuseduh sendiri pekat itu, kusulut sendiri bara itu, demi satu halaman kisah yang ingin kubaca*

pada suatu malam

by Dian Aza on Wednesday, June 29, 2011 at 12:05am
Sekawanan burung gagak hitam terbang mematuk bintang, satu satu tenggelam kepak sayap sayap hitam. Kucoba melemparkan segenggam batu sebelum segenap bintang tertelan. Berhamburan batu batu menyentuh sayap sayap, jatuh kembali ke tanah, sia sia. Batu batu dan sayap sayap hitam diam, melayang, rebah dan terentang. Bintang bintang di lambung gagak padam. Langit malam menunduk seperti mencari mata mata terbuka meminjam cahaya. Mata mata yang tak mendekap mimpi. Mata mata yang tabah memandang gelap, tak terpejam ketakutan ketika paruh burung burung gagak mematuki bintang. Mata mata yang menengadah setia menatap langit yang menunduk, mencari seperti tak peduli*

drama

by Dian Aza on Tuesday, June 28, 2011 at 11:26pm
Panggung sandiwara bukan dunia. Manusia tak punya peran. Tertawa dengan bibir kering. Menangis dengan mata basah. Gila kewarasan, mabuk kegilaan. Hidup mati rasa. Tapi naskah masih menghitung  waktu tirai merambat saling merapat demi satu ciuman di atas tikaman terdalam di balik panggung bukan sandiwara*

catatan

by Dian Aza on Tuesday, June 28, 2011 at 1:08am
Tiada bulan malam ini. Setelah kujumpai hujan di perjalanan. Rumah rumah kegelapan basah, jalan jalan berlubang tergenang. Tak sempat kuhitung.

Rintik hujan menghapus debu pada kaca kaca jendela yang tertutup. Setiap debu yang tak sudi melekat pada bulu bulu ayam di tangan bocah lelaki, tadi kulihat di bawah cahaya lampu merah*

yang tersurat

by Dian Aza on Monday, June 27, 2011 at 7:25am
Kertas menguasai hidup manusia. Lebih ngeri lagi, tak ada yang menyadarinya. Tak ada sesuatu yang begitu berkuasa namun tak kentara seperti kertas. Kertas kertas menjadi pintar karena manusia menuliskan ilmu padanya. Kertas kertas telah belajar bersikap pasrah dan rela ditulisi dan dijadikan apa saja hingga tak ada seorangpun merasa terancam akan kehadirannya, caranya mengendalikan dunia manusia.

Kusadari aku tak berarti tanpa kertas. Tak ada yang percaya namaku jika belum tertulis atau tercetak di atas kertas. Tak ada yang percaya sepasang manusia telah memutuskan saling mencintai sepanjang usia jika tak mengurus surat nikah, terbuat dari kertas. Sesorang bisa saja tak punya sanak keluarga kalau tak tercatat pada selembar kertas. Parah sekali, sampai sampai seorang ibu tak bisa mengakui telah melahirkan seorang anak jika tak ada selembar kertas yang menerangkan demikian adanya.

Percuma saja menyelesaikan masalah, menjadi bijak atau pandai, mempunyai harta benda bergerak atau diam. Percuma semuanya jika tak punya ijasah, sertifikat yang semuanya kertas. Kertas kertas sangat berkuasa. Tak peduli manusia bejat atau penjahat, cukup dengan menunjukkan selembar kertas bernama surat keterangan berkelakuan baik, semua akan percaya manusia itu memang seorang yang benar. Aku merasa keterlaluan. Bukankah kartu kartu juga berbahan kertas, tarot, remi, domino, kwartet, dan semua kartu lain yang dipakai untuk bermain. Kekuasaan kertas serasa tak terbatas.

Kertas kertas semakin merajalela sesudah tercetak gambar dan angka tertentu yang kemudian menjadi nilai nominalnya. Manusia saling menukarkan semua yang dibutuhkan dengan selembar kertas bernama uang. Uang memberi manusia minum dan makan, tidur dan berpindah tempat, datang dan pergi, sehat dan sakit, senang dan sedih. Seluruh keadaan serta peristiwa dalam hidup manusia ditentukan oleh apa yang tertulis dan terbaca di atas kertas. Tak ada urusan apapun dalam hidup manusia yang lepas dari ikatan dan ukuran yang ditentukan dan tertera pada selembar kertas. Bahkan di saat wafatpun, meski semua kepala sudah menyaksikan dengan pasangan matanya masing masing jasad dikuburkan, masih saja harus ada pernyataan tertulis di selembar kertas bahwa seseorang telah wafat, namanya akta kematian. Adakah yang lebih mengerikan dari kenyataan kertas telah makan tuan.

Dengan galau kurobek kemudian kuremas setiap kertas yang terjangkau tanganku. Aku baru sadar beberapa saat kemudian telah kurobek dan kuremas pula  kertas catatan obat yang harus kubeli di apotik. Biarlah, lebih baik aku tak usah beli obat, lagi lagi berurusan dengan kertas, memuakkan. Kupikir lebih baik mati dari pada hidup dijajah kertas.

Siapa sih yang pertama kali menciptakan kertas, apakah penemu kertas menyadari betapa gawat benda temuannya, seburuk apa kertas kertas menindas manusia. Terakhir, masih jelas kuingat beberapa hari yang lalu seorang perempuan baru saja dihukum pancung, penyebab utamanya pasti berkaitan dengan kertas, apa lagi, tak ada yang bisa seperti kertas. Perempuan itu berada di tempat dan waktu yang jauh dan salah demi setumpuk uang, kertas. Perempuan itu harus dipancung karena kesalahannya melanggar salah satu perkara yang tertulis pada kitab, kertas. Tak ada yang mendengar peristiwa yang sebenarnya terjadi jika tak tercatat pada kertas.

Adakah jalan keluar bagi manusia, agar tak lagi sengsara, agar kertas kertas tak lagi dengan seenaknya mengendalikan hidup manusia. Mungkin dunia manusia bisa lebih masuk akal jika tak ada semua kitab dan buku buku, segala macam surat keterangan yang lebih dipercaya segenap penghuni dunia dibanding jawaban yang terucap dari bibir seorang manusia. Alangkah tak tertahankan untukku hidup di bawah tekanan segala macam jenis benda yang tak satupun terlepas dari campur tangan kertas. Mampukah kurobek dan kuremas setiap lembar kertas di dunia.

“Dilipat jadi burung atau pesawat terbang saja ya…” Sebuah suara terdengar begitu menyenangkan juga menenangkan. Seorang anak kecil yang bicara, dia kelihatan tak mengerti melihat serpihan dan gumpalan kertas cukup banyak di atas meja dan lantai. Lelaki kecil yang nampak menakjubkan itu anakku, begitulah yang tertera pada selembar kertas bernama akta kelahiran, kalau tak tertulis demikian adanya sangat sulit kiranya bagi dunia untuk percaya*

Sabtu, 02 Juli 2011

suara cacing

by Dian Aza on Monday, June 27, 2011 at 7:23am
Pengetahuan membuatku bodoh atau murtad, bahkan keduanya sekaligus, masih pula ditambah kejam dan bebal. Kau tertawa, mungkin tak percaya. Lalu kita duduk berhadapan membuat coretan morat marit tentang jalan simpang siur menuju kolam. Kautemukan jejak jejak kerucut kecil di tanah, di sebuah pojokan lapangan di belakang pasar, kulingkari tanah dengan batang lidi, kerucut semakin membesar, kutunggu undur undur keluar, apakah dia kesal kukacaukan rumahnya, mungkin undur undur sudah punah sekarang dan pasar menjalar luas sampai ke belakang lapangan

Kenapa di pasar. Karena banyak orang memperhatikan, itulah gunanya pasar, saling berteriak, saling menawar, saling menukar, saling memenuhi kebutuhan, saling menyenangkan. Apa kau lebih suka aku menipumu dengan kata kata, jangan pedulikan, sambil mengasah pisau yang kusiapkan untuk menggorok leherku sendiri. Kau mungkin tak tahu pasti seberapa besar aku punya nyali, seberapa inginku membuka mata ketika kau datang tengah malam ke depan tidurku memamerkan mimpi, ingin sekali kuteriak, habiskan sebelum pagi.

Pasar sudah kehilangan lapangan di belakangnya, tak ada lagi tanah tanah berjejak kerucut yang membuatmu takjub saat kusebut rumah undur undur. Yang tersisa cuma sepetak tanah becek berlumpur, berbau busuk, dipenuhi sisa sisa segala yang tak menemukan tawaran baik, tak mampu menyenangkan siapapun di pasar, kecuali cacing. Ada banyak cacing di situ, kita bisa mencongkel tanah lembab dengan sebatang besi, mengeruk bergumpal cacing tanah, mereka semua nampak sehat dan bahagia, menggeliat, menari nari. Aku senang mereka tak bersuara.

Satu putaran penuh jarum panjang pada jam tanganmu yang hilang.

Cacing adalah satu satunya binatang yang mahir menari tanpa diiringi bunyi, tubuhnya licin dan dingin, kemerahan dan liat. Ketika mata kail menembus tubuh cacing semakin liar liukannya. Kuamati tarian cacing melingkar sempurna tubuhnya, mengejang, memanjang, kembali melingkar, masih terlihat meski kupejamkan mata rapat rapat, membuatku bergidik..

Siang teramat terik. Sungguh masuk akal jika lelaki di sebelahku terus terusan resah dengan kerah bajunya. Katamu dia buaya. Kubilang mirip cacing geraknya andai saja badannya tidak besar dan kekar, tentu lelaki besar kegerahan, dia bukan cacing yang tubuhnya selalu dingin. Sungguh menarik melihat orang lain gelisah. Biar tahu rasa, kataku tanpa suara, semoga dia  ingat neraka jauh lebih menyiksa dibanding tepian kolam jam dua siang.

Hanya dua batang bambu panjang ditaruh sejajar di atas pasak pasak kayu rendah sebagai tempat duduk di situ, orang orang berdekatan, beberapa malah saling merapat, tak bisa kubayangkan betapa memuakkan rasanya, seperti lelaki besar di sebelahku yang sering merapatkan badannya kepada perempuan di sebelahnya. Memiringkan kepala dan dadanya ke lengan dan dada perempuan berambut panjang yang tak berhenti tertawa renyah. Perempuan di sebalah kiri lelaki besar di sebelah kananku berambut sangat panjang, terikat di pangkal lehernya, ujung bagian bawah rambutnya bergetar pada pantatnya yang bercelana ketat seiring tawanya. Perempuan itu cantik, dada dan pinggulnya melengkung serupa lekukan pada tarian cacing. Mungkin aku iri padanya hingga merasa ingin muntah setiap kali mendengar tawanya. Perempuan berambut panjang mungkin baru saja terkena semprotan gas tertawa.

Tambahan lagi lelaki besar itu tak pakai celana, selalu sibuk bergerak merapikan sarungnya. Sesekali lelaki besar itu berdiri sejenak melemparkan mata kailnya ke tengah kolam, segera perempuan berambut panjang dengan sigap merapikan sarungnya, amit amit, macam baginda raja, aku kembali berkata penuh kedengkian, tanpa suara. Tentu tak baik jika ada yang mendengar kebencianku, walaupun yang kubenci sungguh patut dan layak dibenci.

Lelaki besar itu sungguh layak dan patut dibenci. Kudengar dari suara manusia, kubaca tarian cacing, tentang setiap hal yang dikerjakan lelaki besar. Menurut ukuran standar manusia, lelaki besar sangat payah, dia tukang gendam, punya banyak anak buah, penghasilannya dari memperdaya orang orang dungu sudah pasti sangat melimpah. Meski lelaki besar kerap meyakinkan bahwa korbannya hanya yang benar benar kaya dan dungu, sama pantas dibenci macam dirinya, menipu tetaplah dosa, kejahatan, ada bab dan pasal tertentu yang memberitahu tentang unsur unsur kejahatan pada tindakan penipuan. Berulang kali lelaki besar menghitung setumpuk tebal uangnya di hadapan sekumpulan cacing yang menggeliat di dalam plastik.

Ketika lelaki besar itu akhirnya melepaskan bajunya, aku semakin suntuk. Betapa malangnya, hampir satu jam menderita, belum kudapat giliran tertawa barang sebentar. Sedang perempuan di sebelah sana seakan akan punya terlalu banyak sebab untuk tertawa dalam setiap menit. Dunia memang tidak adil. Hanya satu dua ekor cacing yang tak mati sia sia, jadi umpan di mulut ikan, jadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi satu dua orang yang gembira mendapat tangkapan.

Masih ada tambahan lagi yang kudengar untuk membenarkanku bersungut sungut memikirkan alangkah buruknya dunia, alangkah tidak becus yang mengaturnya. Perempuan berambut panjang itu istri ketiga lelaki besar. Istri keempatnya yang lebih bagus lengkung dada dan pinggulnya, lebih manis parasnya, sedikit lebih pendek rambutnya dari istri ketiga, baru tiga minggu yang lalu wajat, overdosis obat terlarang. Seminggu sebelum kematiannya seorang pejabat menawarkan pertukaran kepada lelaki besar, istri keempat ditukar tiga set alat pancing berkelas bikinan jepang.Ahh, bisa jadi kematian istri keempat itu yang membuat perempuan berambut panjang di sebelah lelaki besar tak berhenti tertawa.

Tak seekorpun ikan tersangkut di mata kail lelaki besar yang kini bertelanjang dada. Aku ingin menggorok leherku sendiri melihat lelaki besar dan perempuan berambut panjang kelihatan riang gembira, bermesra sepanjang siang. Saling merapat, mengelus, memegang, menggelitik dan semua saling lain yang membuat kepalaku pening serasa jutaan cacing sedang menari di dalamnya. Aku hampir putus asa menunggu giliran tertawa ketika lelaki besar tiba tiba terjungkal ke arah belakang. Punggung besarnya menyentuh tanah, sarungnya terkembang, kakinya mengangkang lebar. Lelaki besar terjatuh karena terlampau seru bergurau dan tertawa bersama perempuan berambut panjang yang kini tersipu malu.

Sesaat kemudian kudengar gelak tawaku membahana memenuhi udara. Tawa yang merdu dan panjang. Semakin merdu dan panjang saat aku sadar tidak sedang tertawa sendirian. Semua orang di tepi kolam tiba tiba tertawa bersama, terdengar bahagia, kurasa cacing cacing juga tertawa tanpa suara*

naluri

by Dian Aza on Sunday, June 26, 2011 at 7:17am
Para binatang tak perlu mengganti kulit dan bulu bulunya ketika musim berubah. Manusia memakai mantel di musim dingin tetap menggigil. Baju sederhana berbahan ringan di musim panas masih terasa gerah. Aku tak mengerti, manusia lebih mengandalkan baju dari pada otak untuk mengatur suhu tubuhnya. Aku jadi terkenang alangkah senangnya jadi berang berang, bebas berenang renang di arus sungai, membangun rumah dari seonggok sampah. Mengejar, menangkap dan melahap ikan ikan segar. Tak ada yang sebaik ikan mengasup nutrisi bagi tubuh dan otak, lemak tak jenuh untuk merawat jantung. Tertulis di majalah, daging ikan mengandung lebih dari satu macam omega yang terdapat angka di belakangnya.

Sesungguhnya tak ada satu berang berangpun yang paham tentang kesehatan. Berang berang hanya tahu memuaskan rasa laparnya sendiri, menghalau kedinginan dan kesepian dengan bermain, menyelam tanpa hiraukan basah. Berang berang selalu basah, timbul tenggelam di permukaan sungai, mungkin sejenak duduk berjemur menikmati hangat matahari, tidur selama waktu membeku. Dan ikan ikan tak pernah cemas akan kehilangan kehidupan ketika menjadi santapan berang berang.

Aku masih manusia yang gemar berangan angan tentang berang berang. Tak tahu mengatakan terima kasih pada kucingku yang membagi kepala ikan dari meja tetangga, diletakkannya di depan pintu kamar, menatapku dengan pandangan tak mengerti waktu kukatai dia nakal, pencuri yang nakal berbulu hitam putih, berekor panjang. Jadi rada mirip berang berang, sekujur tubuh kucingku basah kuyup disemprot air dari selang milik rumah sebelah. Penghuninya pasti manusia juga, tak jauh bedanya denganku, mungkin juga sering berangan jadi berang berang, doyan makan ikan.

Memandang kucingku sibuk mengeringkan tubuh dengan lidahnya aku teringat pada selembar handuk, tebal, hangat dan lembut*

nafsi

by Dian Aza on Sunday, June 26, 2011 at 1:44am
Lama lama aku merasa makin hilang. Aku sudah sering kehilangan uang, kehilangan teman, kehilangan jalan, bahkan juga kehilangan tuhan. Sesaat setelah menyadari kehilangan selalu enggan aku bertanya, cuma menunduk sebentar lalu mengangguk, menghabiskan satu botol ingatan pahit dalam sekali teguk. Biasanya segera kutemukan kembali yang hilang meringkuk sembunyi di sudut, merajuk sambil menuntut supaya lain kali kujaga lebih hati hati. Tapi saat ini aku sungguh khawatir tentang siapa yang akan menunduk lalu mengangguk dan meneguk satu botol ingatan pahit kalau aku sudah tak ada lagi. Mungkinkah yang hilang bisa menemukan kembali dirinya sendiri. Atau tuhan, jalan, teman, dan uang mau meluangkan waktu mencariku.

“Sampai ketemu lagi,” Aku tiba tiba melangkah pergi tanpa menghiraukan ketakutan di wajahku sendiri. Tak sempat kutanyakan kapan dan di mana bertemu kembali, aku terus berlalu menjauhi meja, keluar menembus jendela* 

risalah

by Dian Aza on Saturday, June 25, 2011 at 12:13am
Di pucuk ranting bunga berayun, di pangkal dahan burung bersarang, di batang pohon semut berbaris, di dalam pohon rayap makan, di akar pohon cacing bermain. Aku tak peduli, hanya menatap sepotong kayu di genggam tangan kiriku, belati di tangan kanan. Di dalam kepalaku kau menunggu kubebaskan tubuhmu. Serpih demi serpih kayu berjatuhan dari waktu ke waktu, aku terus memahat. Sesuatu yang belum pernah kukerjakan, menyayat kehidupan. Kelak boneka kayu akan menunjukkan jalan pulang kepada bunga, burung, semut, rayap dan cacing. Mengembalikanku kepada musim dan desah angin* 

pengantar

by Dian Aza on Thursday, June 23, 2011 at 5:13pm
Sehari setelah kautinggal pergi, aku berdiri di persimpangan jalan lebih lama dari biasanya. Lampu merah padam, hijau menyala. Mobil, motor, becak dan sepeda melaju, menembus perutku. Tidak ada yang robek atau bolong, bajuku juga masih utuh. Aku juga tidak terjatuh, tak terhuyung sedikitpun. Aku mulai cemas, ada yang aneh denganku, seharusnya aku tertabrak lalu mati, setidaknya terbaring dengan usus terburai di tengah jalan. Seharusnya kendaraan dan manusia berhenti, menjerit, mendekatiku sambil mendekap wajah, berkerumun dan melongokkan kepala memandangku yang berantakan. Apakah sudah tak ada yang peduli di bumi ini, sembab sekali kudengar bisikan dari bibirku.

Seorang anak perempuan mendekat, menggandeng tanganku ke tepi jalan. Akhirnya ada juga yang memperhatikan, kutarik nafas lega. Belum sempat kukatakan sepatah kata anak perempuan berlari, hilang dari pandangan. Mobil dan motor berderit keras, suara benturan, teriakan, manusia manusia berhamburan ke tengah jalan, berkerumun sambil melongokkan wajah ke arah tubuh anak perempuan yang berantakan.

“Tidak sulit kan?” Seorang asing, lelaki setengah baya menyentuh bahuku, bertanya.

“Apanya ?” Sungguh, aku tak mengerti.

“Pekerjaan barumu, kematian selalu menarik perhatian.”

“Tapi, aku tidak mati, mungkin tak bisa mati.” Seandainya bisa kukatakan betapa inginku.

“Kau sepertinya sedih, aku dulu juga begitu waktu masih baru.”

“Baru apa.”

“Baru jadi kurir.”

“Kurir ?” Aku semakin tak mengerti.

“Hei…cepat selesaikan kerjamu, antarkan segera dia ke tempat semestinya.”

Aku merasa lengan bajuku ditarik pelan. Anak perempuan mendongak memandang wajahku, seperti menunggu sesuatu. Melihatku kebingungan anak perempuan tersenyum dan berkata,”Ayo aku sudah kangen ibuku.”

Orang asing memandangku hangat,”Kau akan tahu jalannya.” Lelaki setengah baya itu mengangguk juga tersenyum.

Anak perempuan kembali menggandeng tanganku. Kami berjalan meninggalkan jalanan yang kian bertambah terang dan gaduh. “Kau malaikat pencabut nyawa paling tampan yang pernah kulihat.”

Aku terpana, ternyata anak perempuan itu lebih besar dari yang semula kuingat menggandeng tanganku di tengah jalan tadi. Matanya mengedip sebelah, seolah menggoda,”Tak apa. Aku sudah mati berkali kali. Bunuh diri.” Tangannya kian erat menggenggam, tanpa ragu membawaku melangkah ke arah jalanan di depan kami yang lebih gelap dan lengang*

tidur panjang

by Dian Aza on Thursday, June 23, 2011 at 3:28pm
Tuhan ingin memberi makan, menjelma roti dan ikan. Roti dan ikan bermimpi menjadi tuhan, menggumamkan sabda di bawah lidah. Manusia besar dan kecil mendengarkan kotbah di atas bukit, dari fajar sampai senja tidak terjaga. Kelinci kelinci menukar letak bukit dan langit, menanam bintang di lereng curam, mematikan alarm, menyelimuti tubuh anak anak manusia, telinganya merah muda menggerakkan isyarat, tidurlah, tidurlah selelap libur panjang*

ibadat pagi

by Dian Aza on Thursday, June 23, 2011 at 6:37am
Jangan menghiburku, jangan membuatku tersenyum, aku bisa sakit perut, kusut lalu hanyut. Lebih baik kau duduk manis di barisan terdepan melihatku menari di atas tali, betapa buruk gerakanku. Semakin buruk, semakin membuatmu menunduk menghindari telur busuk yang dilontarkan dari barisan belakang ke atas panggung. Telur busuk ingin menyentuh telingaku, membisikkan pesan dari pantat ayam tentang rumbai rumbai yang bergetar di pergelangan tangan dan pinggang. Kau boleh mengumpat, asal jangan menghiburku, jangan membuatku tersenyum. Tak terkira banyak kuning telur terjatuh di lantai papan. Kuning kecoklatan dan kental, bau kandang ayam tak terawat. Aku menunggu kepala kepala menetaskan ayam jantan, kepak sayap dan jeritannya menandai pagi. Kau bisa mengangkat kepala, ketika aku berdoa atau sekedar bercakap dengan atap*