Pagi menjelma anakanak, berlari mendekat dengan sekotak mainan. Prajurit, meriam, senapan dan granat, semuanya kecil. Tak bisa berpikir, tak bisa bergerak sendiri. Aku letih, masih luas lantai mesti kubaca. Boneka prajurit keburu berbaris, meninggalkan jejak kacau, ketika anakanak itu menghilang begitu saja dalam perang. Tapi aku sedang dalam perjalanan menuju ladang tebu. Hari ini cinta gadis gembala biar rela, menunggu kekasih prajuritnya dengan siasia. Aku mau menangkap kepik saja, sangat ingin yang bersayap merah dengan bintik hitam. Warna biji saga, membawaku kembali pulang kepada nyanyian lesung, udara berbau cengkeh dan kapulaga. Seorang lelaki tua menatap gelisah,”Kau anak siapa.” Aku tak ingin mendengar, kecuali nyanyian lesung, bernyanyi bersamaku sambil mengunyah biji saga, yang katanya beracun.
Tengah hari, anakanak datang kembali, membawa peta dan surat cinta titipan gadis gembala, juga bekal makanan dan obatobatan, ketika itu, prajurit mainan sudah pingsan semuanya. Aku menutup wajahku dengan sebuah buku, kupejamkan mata rapatrapat, tak ingin ada yang bertanya*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar