Puisi Rose Widianingsih
Harian Global
Saturday, 02 October 2010
Pintu Demi Pintu
Ingatkan aku jalan berliku menuju rumahmu. Ingatkan juga bagaimana cara mengetuk pintu, karena pintu selalu ingin diketuk, ingin membuka kala tertutup, ingin pula mengingat cara mengunci diri sendiri. Meski anak kunci itu mungkin sudah patah, lubang kunci tetap abadi.
Kemudian, ingatkan aku seusil angin, menyusup ke dalam lubang kunci rumah-rumah tak berlantai. Rumah-rumah yang berdiri di tepi pantai, menunggu laut menjemput, meneriakkan ombak pada lantai, mengantar gelombang pada kertas-kertas yang berjatuhan dari buku catatan tuhan.
Aku sungguh ingin kau tak ragu mengingat tubuhku yang pecah berkeping, dalam kepalan pintu-pintu yang tak sabar menanti ketukan sebatang coklat.
Pasuruan, Agustus 2010
Sepenggal Hujan
Kau membawa musim hujan ke dalam kepalaku. Menjejalkan gumpalan mendung lewat lubang hidung dan telingaku. Bisa kututup rapat-rapat bibirku, namun tak mampu apapun menyumpal lubang hidung dan kedua telingaku. Selalu mengendus dan mendengar getar nadimu, seperti anjing pelacak mengendus heroin, mendengar detak jantung seorang buronan. Maka aku mengejarmu tanpa peduli waktu, tempat dan majikan yang memegangi tali kekang di leherku. Berlari di semak-semak dan reruntuhan gedung, seperti adegan sebuah film. Aku memburu tubuhmu. Diam-diam berlomba dengan desing peluru, ingin kuterkam kau saat masih berlari. Sebelum guntur meletus, meledakkan gumpalan mendung di balik keningku. Aku tak ingin cerita tamat tanpa akhir yang sempurna. Aku ingin hujan turun sebelum wajahku keriput. Sederhana saja, uangku mungkin hanya cukup untuk beli racun tikus, sebagai pereda rasa sakit di perut anak-anakku. Lalu aku mesti kerja lagi, mengendus jejak-jejak tikus di lorong-lorong kota. Jika beruntung, akan kubawakan keju untuk anak-anakku. Memeluk anak-anakku di teras rumah, memandang hujan dari balik kaca. Kalian yang berdiam dalam rumah, tak perlu berteduh lagi. Biar hujan turun, anak-anakku sedang belajar melukis pelangi.
Pasuruan, Agustus 2010
Zaman
Ular itu merayap sambil menyeret sesuatu pada ekornya. Menyusuri jalan panjang berbatu, karena sesuatu pada ekornya tak ingin meninggalkan jejak pada tanah. Kurasakan licin dan kelabu batu-batu kasak-kusuk di telinga. Membicarakan sesuatu yang menempel pada ekor ular. Ingin mencari sebuah tempat berbeda, di mana malam membunuh setiap bintang, menginjak terang dengan telapak kakinya, hingga pecahlah jantung, darah kental mengalir, hitam membasahi tubuh bintang-bintang. Rintihannya begitu pilu. Ijinkan aku berkedip, alis matanya berkata. Kelopaknya terpejam, memenjarakan kepala ular pada sebuah lorong panjang. Sebuah nisan membentur kepala ular, membuat ular seakan sadar dari silau kegelapan. Bacakan kata-kata yang tertulis di situ, kata sesuatu yang mencengkeram ekornya. Ular dengan sabar mengeja susunan huruf pada nisan, tiga kali sembilan, sembilan baris tiga deret lambang-lambang menumpahkan keluhan panjang. Ekor ular tak sabar pada kerja sel-sel kelabu dalam kepalanya. Sudahlah, ini belum apa-apa. Nisan itu bukan akhir perjalanan. Semua bermula dari tanah, kembali kepada tanah, maka lumut-lumut melepaskan diri dari tubuh dan ekor ular, memeluk batubatu di sepanjang jalan, menunggu abad-abad berlalu.
Pasuruan, Agustus 2010
Dongeng Dini Hari
Darimu aku belajar berdusta. Darimu aku belajar mencinta. Dua hal paling indah, dua hal paling neraka. Kalau kau biasakan dirimu menikmati neraka, niscaya semerbak harum surga bisa tumbuh di segala musim. Salju akan berjatuhan dari kaleng kosong yang berserak di lantai kamar. Lalu aku pergi ke warung, berniat membeli rumput jepang. Tapi penjaga warung begitu dungu, segulung benda tanpa jiwa ia sodorkan ke tanganku, cuma ini yang bisa kaudapat dari sedikit cucuran keringat. Percuma berdebat dengan seorang tak berilmu, bathinku.
Aku pulang. Jam tiga pagi, mulai kukumpul kaleng-kaleng di lantai kamar, mengikatnya dengan bangkai rumput jepang, yang ternyata tak sia-sia. Satu jam saja, rampung sudah, kurentangkan untaian kaleng bekas pada atap kamar. Setiap kau melintas, kaubuat kaleng-kaleng berkelontang, berebut ingin menyentuh ujung jubahmu.
Aku tak berdusta, hanya mencinta sepenuhnya. Tepat saat matahari kembali membuka mata, kamarku sudah menjelma lembah salju, tunas-tunas cemara sudah remaja di situ. Seekor rusa yatim piatu sedang mencoba menggali salju, mencari rumput yang tumbuh lebih awal dari musim semi. Sesekali rusa kecil melompat, berusaha meraih pucukpucuk daun cemara.
Sekali lagi aku tak berdusta, hanya mencinta sepenuhnya. Mencinta semua cerita dan suara renyah rusa kecil ketika mengunyah daundaun cemara muda. Musim dingin akan segera berakhir, jubahmu menghangatkan sekujur tubuhku, membuaiku dalam dusta yang terindah, dusta yang paling mencinta.
Pasuruan, Agustus 2010
http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=46714%3Apuisi-rose-widianingsih&catid=45%3Akalam&Itemid=69
Harian Global
Saturday, 02 October 2010
Pintu Demi Pintu
Ingatkan aku jalan berliku menuju rumahmu. Ingatkan juga bagaimana cara mengetuk pintu, karena pintu selalu ingin diketuk, ingin membuka kala tertutup, ingin pula mengingat cara mengunci diri sendiri. Meski anak kunci itu mungkin sudah patah, lubang kunci tetap abadi.
Kemudian, ingatkan aku seusil angin, menyusup ke dalam lubang kunci rumah-rumah tak berlantai. Rumah-rumah yang berdiri di tepi pantai, menunggu laut menjemput, meneriakkan ombak pada lantai, mengantar gelombang pada kertas-kertas yang berjatuhan dari buku catatan tuhan.
Aku sungguh ingin kau tak ragu mengingat tubuhku yang pecah berkeping, dalam kepalan pintu-pintu yang tak sabar menanti ketukan sebatang coklat.
Pasuruan, Agustus 2010
Sepenggal Hujan
Kau membawa musim hujan ke dalam kepalaku. Menjejalkan gumpalan mendung lewat lubang hidung dan telingaku. Bisa kututup rapat-rapat bibirku, namun tak mampu apapun menyumpal lubang hidung dan kedua telingaku. Selalu mengendus dan mendengar getar nadimu, seperti anjing pelacak mengendus heroin, mendengar detak jantung seorang buronan. Maka aku mengejarmu tanpa peduli waktu, tempat dan majikan yang memegangi tali kekang di leherku. Berlari di semak-semak dan reruntuhan gedung, seperti adegan sebuah film. Aku memburu tubuhmu. Diam-diam berlomba dengan desing peluru, ingin kuterkam kau saat masih berlari. Sebelum guntur meletus, meledakkan gumpalan mendung di balik keningku. Aku tak ingin cerita tamat tanpa akhir yang sempurna. Aku ingin hujan turun sebelum wajahku keriput. Sederhana saja, uangku mungkin hanya cukup untuk beli racun tikus, sebagai pereda rasa sakit di perut anak-anakku. Lalu aku mesti kerja lagi, mengendus jejak-jejak tikus di lorong-lorong kota. Jika beruntung, akan kubawakan keju untuk anak-anakku. Memeluk anak-anakku di teras rumah, memandang hujan dari balik kaca. Kalian yang berdiam dalam rumah, tak perlu berteduh lagi. Biar hujan turun, anak-anakku sedang belajar melukis pelangi.
Pasuruan, Agustus 2010
Zaman
Ular itu merayap sambil menyeret sesuatu pada ekornya. Menyusuri jalan panjang berbatu, karena sesuatu pada ekornya tak ingin meninggalkan jejak pada tanah. Kurasakan licin dan kelabu batu-batu kasak-kusuk di telinga. Membicarakan sesuatu yang menempel pada ekor ular. Ingin mencari sebuah tempat berbeda, di mana malam membunuh setiap bintang, menginjak terang dengan telapak kakinya, hingga pecahlah jantung, darah kental mengalir, hitam membasahi tubuh bintang-bintang. Rintihannya begitu pilu. Ijinkan aku berkedip, alis matanya berkata. Kelopaknya terpejam, memenjarakan kepala ular pada sebuah lorong panjang. Sebuah nisan membentur kepala ular, membuat ular seakan sadar dari silau kegelapan. Bacakan kata-kata yang tertulis di situ, kata sesuatu yang mencengkeram ekornya. Ular dengan sabar mengeja susunan huruf pada nisan, tiga kali sembilan, sembilan baris tiga deret lambang-lambang menumpahkan keluhan panjang. Ekor ular tak sabar pada kerja sel-sel kelabu dalam kepalanya. Sudahlah, ini belum apa-apa. Nisan itu bukan akhir perjalanan. Semua bermula dari tanah, kembali kepada tanah, maka lumut-lumut melepaskan diri dari tubuh dan ekor ular, memeluk batubatu di sepanjang jalan, menunggu abad-abad berlalu.
Pasuruan, Agustus 2010
Dongeng Dini Hari
Darimu aku belajar berdusta. Darimu aku belajar mencinta. Dua hal paling indah, dua hal paling neraka. Kalau kau biasakan dirimu menikmati neraka, niscaya semerbak harum surga bisa tumbuh di segala musim. Salju akan berjatuhan dari kaleng kosong yang berserak di lantai kamar. Lalu aku pergi ke warung, berniat membeli rumput jepang. Tapi penjaga warung begitu dungu, segulung benda tanpa jiwa ia sodorkan ke tanganku, cuma ini yang bisa kaudapat dari sedikit cucuran keringat. Percuma berdebat dengan seorang tak berilmu, bathinku.
Aku pulang. Jam tiga pagi, mulai kukumpul kaleng-kaleng di lantai kamar, mengikatnya dengan bangkai rumput jepang, yang ternyata tak sia-sia. Satu jam saja, rampung sudah, kurentangkan untaian kaleng bekas pada atap kamar. Setiap kau melintas, kaubuat kaleng-kaleng berkelontang, berebut ingin menyentuh ujung jubahmu.
Aku tak berdusta, hanya mencinta sepenuhnya. Tepat saat matahari kembali membuka mata, kamarku sudah menjelma lembah salju, tunas-tunas cemara sudah remaja di situ. Seekor rusa yatim piatu sedang mencoba menggali salju, mencari rumput yang tumbuh lebih awal dari musim semi. Sesekali rusa kecil melompat, berusaha meraih pucukpucuk daun cemara.
Sekali lagi aku tak berdusta, hanya mencinta sepenuhnya. Mencinta semua cerita dan suara renyah rusa kecil ketika mengunyah daundaun cemara muda. Musim dingin akan segera berakhir, jubahmu menghangatkan sekujur tubuhku, membuaiku dalam dusta yang terindah, dusta yang paling mencinta.
Pasuruan, Agustus 2010
http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=46714%3Apuisi-rose-widianingsih&catid=45%3Akalam&Itemid=69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar