Kamis, 30 Desember 2010

selendang

Pada awalnya adalah hamparan biru, tanpa batas dan sekat, kauberikan untuk tempatku meluangkan waktu. Ketika waktu belum juga mengenalku. Kau tak ingin aku terlalu jenuh menunggu. Kau menderingkan alarm, tepat jam dua belas malam. Sedetik setelahnya untukku mulai menghitung waktu. Aku menyelam ke dasar samudra, menghitung jeda kerang membuka tutup cangkangnya, memetik mutiara. Kau senang dan bertanya,”Tahukah kau kisah perempuan di sebuah taman?”

Aku tak tahu apaapa, bukankah aku adalah satusatunya mahluk. Aku memandangmu, menunggu kau menganggukkan kepala. Kau mengangguk, menunjukkan sebuah lorong di balik bunga karang. Hitam, seakan tak berujung, tapi kau bilang di ujungnya bisa kutemukan laut.  Bukankah aku sedang berada dalam laut, kenapa masih harus menemui laut yang lain. Kau menuntunku berjalan dalam gelap yang panjang, tanpa cahaya. Hanya ada lenganmu bertengger di pundakku, seperti elang. Aku merasa segera menjelma ular.

Kau mencengkeram tubuhku lebih erat, membawaku terbang. Kulihat matamu terang, cakarmu tajam. Kau membawaku terbang.  Melintasi banyak laut, tak terhitung. Aku merasa bukan lagi diriku, pecah, juga indah. Menyelami laut bening di matamu, aroma garam, dan warna matahari yang tenggelam di kepak sayapmu. Kau membawaku terbang sangat jauh, kurasakan cakarmu menusuk lembut nadinadiku, kelopak mawar berjatuhan dari tubuhku, merah, hangat dan harum. Kau membuatku mekar, jadi betina tersayang.

Sungguh sempurna, kau mendarat di sebuah taman, di bawah sebatang pohon berbuah ranum. Segera kulihat perempuan yang telah kutinggalkan, lama berselang di dasar samudra.  Merenung dan dahaga menatapku.

“Ajari perempuan itu terbang,” Kau berbisik mesra. Tapi aku tak bersayap.

“Sayapmu akan tumbuh jika kau telah mengerjakan kebaikan,” Kau berkata, menatap buahbuah ranum dan bibir kering perempuan bergantian.

Aku segera paham, kupetikkan beberapa butir buah ranum dengan taringku, kuulurkan kepada perempuan. Mulanya perempuan menyusut, keningnya berkerut. Aku terus mengulurkan buah ranum, menganggukangguk, seolah berkata, tak apa. Perempuan itu terpesona melihat belahan pada lidahku, juga jejak laut pada mataku. Raguragu perempuan mengambil buah ranum dari rahangku, sekejap saja. Perempuan itu segara berlari ke balik semak.

“Perempuan akan membagikan buah ranum itu pada kekasihnya, seorang lelaki.” Kau tersenyum. Kulihat matamu menyala, terdengar seperti cinta.

Sesaat kemudian, sayap sungguh tumbuh di punggungku, kuat dan bergerigi. Kulihat kau sangat bahagia, memeluk pinggangku. Segera kau tarik tubuhku mendekat, saling dekap, kau dan aku berputar, makin tinggi, menari, makin tinggi. aku bisa menggigit bulan, kau mengibaskan bintangbintang, berputar dan terus menari.

Aku telah melupakan perempuan di taman selama berabadabad. Kalau saja sebuah suara merdu tak menyentak dadamu. Aku berhenti menari, memandang berkeliling, melihat semua yang terhampar berwarna merah, cuaca sehangat musim panas. Kulihat kau masih memandangku penuh sayang.

Aku mulai mengerti, aku dan kau akan abadi. Sepasang kekasih, phoenix dan naga dalam sehelai angkasa. Kau dan aku, akan selalu bersamasama menerbangkan buah hati, menggantungkan cinta di pundak perempuan. Kau selalu memandangku mesra setiap kali buah hati bersuara manja. Mutiara berjatuhan dari matanya, berserak bersama kelopak mawar dalam pelukan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar