Jumat, 10 Desember 2010

bumbu

Menenggak riak diantara gelombang, rebah dibawah cahaya. Sisik ikan adalah teman bicara yang riang. Kurajut buih jadi canda anakanak nelayan, meluncur dari lubang karang, aku membelai ekor tajam kuda laut. Berputar dalam gelisah ombak. Samudra selalu lindungi aku dari jalan takdir, sungguh satir. Semua segera berakhir dalam sebuah hari ketika arus mengayun tubuhku kearah muara mengisi petak kotakkotak sepi tanpa nada, tanpa gairah. Lalu tajamnya mata itu jadi musuh yang menyayatnyayat tubuhku. Memar aku dihajar pijar api, hingga mengumpal mati. Beku lalu luruh. Sekarang aku macam yatim piatu. Tanpa doa, amanat dan jaga laut, jadilah aku telanjang, menciut. Kian susut masa, pasrah aku terbaring diam, yah akhirnya laut sungguh tinggalkan aku dalam perangkap kubus mungil. Maka hendaknya kau paham bahwa asin peluhku dilidahmu adalah ungkapan getir takdir, terpisahnya hasrat laut dari pelukan hangat jiwaku. Dan alangkah hina diriku kini jadi butirbutir mungil penggoda selera makan.
Duh laut, semoga tak pernah kaulupa tiap tarian kita, meski kini aku hanya serpih yang merintih dalam setiap sedapnya rasa lapar…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar