Haruskah aku bertanya, kepada telinga yang sedang berebut menyentuh rambutmu. Belum sempurnakah angin mengantarkan pesan pagi pada sekuntum melati. Atau aku harus berjalan lagi, mengikuti aroma hujan. Pigura kosong tersenyum mengingat kisah kita. Berlarilari dari balik pohon yang satu ke pohon yang lain. Membuat tonggeret tertawa keras pada setiap pergantian musim. Tak bisa meredam, tak juga padam rindu dan majenun yang mendidih dibalik jaketmu. Aku tahu, aku selalu mendengar lagulagu yang mengalun di lubang telingamu, memanggil rambutku. Aku selalu percaya.
Angin menari untuk kita, lebih perkasa dari neraka*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar