Jalan setapak, ladang dan bintangbintang telah jadi wajahmu. Aku merasa telah melukismu berulang kali dalam sehari. Tak terhitung. Kau masih sabar bersandar di dinding kamar, membebaskan anganmu berkejaran dengan seekor cicak, gerak tangan dan jejak kuasku. Aku masih tak mampu beli kanvas. Itu alasan sah untuk melukismu di manamana, di sembarang tempat. Di dasar gelas, di atas meja, pada layanglayang, pada uap udara sehabis hujan. Aku selalu rakus melukismu. Kaupun tak kenyangkenyang menjadi gambar. Aku bukan seniman, hanya sedang mencoba menghadirkan rindu di semua waktu, dengan garis dan lengkung, dengan warna dan bentuk. Suatu hari nanti, mungkin aku bisa punya galeri kecil, memajang semua lukisanmu, dan orangorang akan menertawakan aku karena hanya melukis kau melulu. "Dasar edan," orangorang menggelengkan kepala, tapi mata mereka tak bisa berpindah dari lukisanmu.
Kau tahu, aku tak tahu malu, dan masih akan terus melukismu. Hingga tak tersisa lagi ruang dan benda di bumi yang belum kulukis kau di situ. Tapi aku tak mau berhenti, masih rindu melukismu sekali lagi. Aku sungguh masih harus melukismu. Bahkan jika hanya tinggal tubuhmu saja yang bisa jadi tempat kugoreskan kuas. Kelak dunia akan mengingat, aku perempuan yang melukis kekasihnya pada tubuh kekasihnya sendiri. Perempuan yang mampu mengecoh maut.
Saat tiba waktunya maut menjemputmu, hanya lukisanmu di atas tubuhmu itu saja yang tercabut. Kau akan berlanjut, dengan tubuhmu yang bisa kulukisi sekali lagi. Atau berkalikali lagi, aku tak peduli.
Kau tertawa sampai perutmu terlipat, merdu sekali. Tawamu membahana sampai ke surga, tuhan akan menyesal tak sejak awal mencegahku membeli kuas*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar