Kamis, 30 Desember 2010

gunung kartu

Aku membangun gununggunung dari setumpuk kartu, segiempat terlipat, menumpuk rapuh. Meski dalam rumahku tak ada badai, seekor babi bisa saja tibatiba menerjang. Babi merah muda, kenyal dan lengket, seperti terlahir dari gumpalan ampas permen karet, diludahkan ketika sudah pahit di lidah. Tanyakan pada penjaga kebun binatang, pernahkah aku diajari bersabar. Bersabar untuk selembar selimut perca, yang dijahit dari sisasisa sobekan lantai. Jika aku seekor gajah, tentu tak akan lupa dari mana harus mulai membaca, berapa kali paku menusuk kaki.

Babi merah muda tak suka main kartu, dia menatap cermin, mengikatkan pita merah muda pada lehernya. Menggoda seekor anjing kecil yang sedang pulas. Kalau saja aku punya uang untuk membeli baterei, kukira anjing kecil bisa menyalak, meloncat dan bersalto. Sehebat kucing di balik layar kaca, selalu membual tentang kebahagiaan. Aku melipat kartu lebih banyak lagi, untuk jagajaga, kalaukalau ada kaki menendang. Hore, hujan binatang, hujan binatang, anak perempuan itu berteriak di hadapan layar kaca.

Lipatanlipatan kartu berbaris, mencari jalan masuk ke televisi. Jangan pergi. Kau pengecut dengan setumpuk ketaskertasmu. Babi merah muda menangis tersedusedu, pitanya terbang, jadi kupukupu. Aku masih punya setumpuk kartu, bisa kulipatkan lagi banyak gunung untuk seisi rumahku. Aku hanya perlu memastikan televisi terus menyala*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar