Dindingdinding putih, marilah menari, ulurkan hujan di balik punggungmu. Seperti aku menumpahkan air terjun dari balik keningku. Biar hujan mengenal sungai dan menyatukan bening dalam deras riaknya. Seperti yang biasa terjadi di ngarai dan hutanhutan.
Satu, dua, tiga, empat pasang mata cicak saling tatap. Mungkin bertanyatanya kenapa begitu hangat telapak kaki dan tangannya. Dindingdinding putih, aku bertanya, bisakah kaukatakan padaku apa beda kaki dan tangan pada seekor cicak. Hanya tempatnya, atas bawahnya, atau ada lagi yang belum kutahu. Dindingdinding putih menggeleng. Teruslah menari, kudengar permintaan hujan. Maka aku menari, seperti angin berpusing di lembah dan tepian pantai.
Burung merak membuka ekornya, dinding putih penuh warna, dan puluhan mata menyala dari bulu merak. Jingga, biru, merah, ungu, hijau, tak ada kelabu. Putih berlari, melubangi atap kamarku. Runtuh. Langit menatap dinding, mata, cicak dan burung merak. Menyambut putih dalam pelukan, ini yang kucari sedari tadi. Biar putih diam di sini, beranak pinak jadi berjuta cahaya.
Dindingdinding jadi bahagia, lalu kami terus menari, terus menari, selangkah demi selangkah, berputar dan saling mendekap. Dengan senang dan puas aku dan dinding terus menari. Cicak mendekati burung merak, mata hitamnya melahap warna. Aku dan dindingdinding jadi bahagia. Hujan reda, tapi kami terus menari sampai pagi. Putih tak pernah kembali, merak telah bersahabat dengan cicak. Aku dan dindingdinding terus menari sampai pagi. Pagi yang berseri, seperti bayang ekor merak di mata cicak*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar