“Saya !” Kuangkat tangan waktu ibu guruku berkata,”Tanpa nama.” Di depan kelas dengan sebuah buku besar di tangannya. Semua mata menatapku, aku tahu, aku punya mata, bisa melihat, meski tanpa nama. Terdengar bisikbisik di seluruh ruang kelas, bunyi bangku bergeser, suara pena beradu kertas di tangan ibu gurupun terdengar, ketika beliau membubuhkan tanda centang pada setiap baris dalam buku besarnya.
Matamata menatapku, kulihat berkata,”Tanpa nama ?” Kalimat yang sama, persis kalimat yang tadi diucapkan ibu guruku, hanya saja dikatakan dengan nada berbeda. Bukan oleh ibu guru dengan buku besar di tangan, tapi wajahwajah bertopang dadu di atas meja. Aku tak mengangkat tangan, melainkan mengangguk untuk menjawab pertanyaan setiap mata. Sambil tersenyum senang, ternyata tanya jawab bisa berlangsung tanpa suara.
Ibu guru akhirnya menutup buku besarnya, suaranya bergema,” Marilah kita berdoa.” Tangantangan mengatup, wajahwajah tertunduk, matamata tertutup, aku yang tanpa nama melihat semua dengan mata terbuka lebar, suarasuara berlarian, berkejaran, berkeliling ruang kelas, masingmasing mencari wajahnya. Karena tanpa nama, aku tak bisa ke manamana. Suarasuara menawarkan pena, mereka semua berkata,”Tanpa nama membuatmu tak bisa berdoa.” Aku menatap ibu guruku dan mata pena, ingin sekali kubertanya,”Tak bisakah tanpa doa.” Kudengar jawaban,”Berdoalah, paling tidak untuk sebuah nama.”
Namanama berkata tanpa suara, pada meja, buku besar dan pena. Tanpa nama seharusnya tekun berdoa untuk namanama tanpa wajah,”Saya !” Kembali kuangkat tanganku, selalu, setiap kali kudengar tanpa nama di katakan tanpa suara*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar